Sifat Allah
A. Sifat Allah
Perdebatan mengenai sifat-sifat Tuhan adalah perdebatan klasik yang sudah terjadi sejak masa awal Islam. Perdebatan terjadi terutama antara Ahl al-sunnah,
Muktazilah 1 dan Mujassimah. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa pembahasan tentang sifat-sifat Tuhan menjadi tidak relefan lagi pada masa sekarang. Sebab
pembahasan tentang sifat Tuhan berkaitan langsung dengan ma'rifat Allâh (pengenalan terhadap Allah) yang merupakan dasar keimanan seorang muslim, kapan dan dimanapun ia berada. Pembahasan tentang hal tersebut semakin menemukan
1 Muktazilah berpendapat bahwa Allah tidak memiliki sifat, menurut mereka Allah mendengar tanpa sifat mendengar, melihat tanpa sifat melihat, mengetahui tanpa sifat ilmu dan seterusnya.
Sedangkan Musyabbihah Mujassimah berpendapat bahwa Allah memiliki sifat yang serupa dengan sifat makhluknya, menurut mereka Allah mendengar, melihat, layaknya manusia. Ahl al-Sunnah berada di tengah-tengah antara kedua pendapat tersebut, mengatakan bahwa Allah memilki sifat yang tidak serupa dengan sifat makhluknya, sifat Allah azaliyah (tanpa permulaan) abadiyah (tanpa akhiran).
urgensinya, ketika dampak dari perdebatan tersebut akan selalu berpengaruh pada diri setiap muslim dalam kehidupan mereka secara luas.
Perdebatan mengenai sifat-sifat Tuhan adalah konsekwensi logis dari perbedaan pandangan umat Islam tentang metode memahami ayat-ayat mutasyâbihat. Kelompok literalis Wahhabi memahami ayat sifat Tuhan yang mutasyâbihât dengan secara
zahir 2 nya. Berdasarkan Q.S Taha: 5 (al-Rahmân 'al-a al-'Arsyi istawâ), mereka meyakini bahwa Allah duduk atau bersemayam di atas 'Arsy. Ibn Taimiyah (w. 728
H) -rujukan utama kalompok Wahhabi- menegaskan bahwa makna istawa dalam ayat ini adalah istaqarra (bersemayam). 3 Dalam kitab al-Minhâj, Ibn Taimiyah (w.728 H)
mengatakan bahwa Allah duduk di atas 'Arsy seukuran dengan 'Arsy, 4 sedangkan pada kitab al-Fatâwâ ia mengatakan bahwa Allah duduk di atas Kursi dan
mengosongkan tempat untuk Nabi Muhammad. 5 Pendapat senada diungkapkan oleh Abd al-'Azîz bin Bâz –salah seorang tokoh Wahhabi-, ia menafsirkan al-istiwa' pada
ayat di atas juga dengan al-istiqrâr (bersemayam), bahkan ia mengecam seseorang yang mengingkari penafsirannya tersebut dan menjustifikasi-nya sebagai seorang
Jahmiyah. 6 Metode kelompok Wahhâbi dalam memahami ayat mutasyâbihât dengan
memahaminya secara zahirnya, menuai kritik keras dari al-Habasyi. Menurutnya, memahami dengan secara zahir terhadap ayat-ayat sifat Tuhan mutasyâbihât yang zahir nya mengindikasikan tasybîh (adanya serupa bagi Allah), sebagaimana dilakukan oleh Ibn Taimiyah dan kelompok Wahhabi adalah kesalahan yang fatal, sebab akan kontradiktif dengan ayat al-Qur'an lainnya, hadits, ijma' dan akal. 7
2 Makna zahir adalah makna yang pertama kali muncul dalam pikiran seseorang ketika mendengar sebuah kata diucapkan.
4 Ahmad Ibn Taimiyyah, Majmû' al-Fatâwâ, (al-Maktabah al-Syamilah, Vol.2) juz 5, h.519 Ahmad Ibn Taimiyyah, Minhâj al-Sunnah al-Nabawiyyah, (al-Maktabah al-Syamilah, Vol.2),
juz 1, h.260-261 5 Ahmad Ibn Taimiyah, Majmu' al-Fatawa, juz 4, h. 374 6 Abd al-'Azîz bin Baz, Tanbihât fi al-Rad 'ala Ta`wîl al-Sifât, (Riyad: Idarah al-Buhuts al-
'Ilmiyah wa al-Ifta
7 ) h. 84 Al-Habasyi, Sarîh al-Bayân, h.63-113
1) Al-Qur'an
Menurut al-Habasyi, Q.S al-Syura: 11, 8 adalah salah satu ayat sifat Tuhan yang muhkamat. Karena ayat tersebut dengan jelas dan tegas menjelaskan bahwa tidak ada
satupun makhluk yang menyerupai Allah ta'ala, baik dari satu segi maupun semua segi. Hal ini dapat dipahami dari kata syai' (berbentuk isim nakirah) yang berada dalam struktur kalimat nafi. Kaidah bahasa mengatakan bahwa apabila isim nakirah ditempatkan pada struktur kalimat nafi maka berfaidah syumûl (menyeluruh), tidak ada pengecualian. Sehingga dapat dipahami dari ayat ini bahwa Allah bukan benda
9 katsîf, 10 dan bukan benda latîf dan Allah juga tidak boleh disifati dengan sifat benda (a'rad), seperti membutuhkan pada tempat, duduk, bergerak, diam, berubah,
berpindah, naik dan turun secara fisik, memiliki warna dan rasa. 11 Ayat di atas juga dikuatkan oleh ayat-ayat al-Qur'an lainnya, seperti Q.S al-
12 13 14 15 Ikhlâs: 4, 16 al-Nahl: 60, al-Nahl: 74, Maryam: 65, al-Hadîd: 3, . Seluruh ayat- ayat tersebut adalah ayat-ayat muhkamat yang mesti dijadikan rujukan dalam
memahami ayat-ayat sifat Allah yang mutsyâbihât. Konsekwensi dari pemahaman
8 Maknanya: "tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat". 9
Benda katsif adalah benda yang bisa dipegang oleh tangan seperti manusia, binatang, batu, bumi dan langit. Baca: Syabab Ahlussunnah wal-Jama'ah, Aqidah Ahlussunnah wa al-Jama'ah (Jakarta: Syahamah Press, 2006 M) h.4
10 Benda latif adalah benda yang tidak bisa dipegang oleh tangan seperti cahaya, ruh, dan udara. Baca: Syabab Ahlussunnah wal-Jama'ah, Aqidah Ahlussunnah wa al-Jama'ah (Jakarta: Syahamah
Press, 2006 M) h.4 11 Al-Habasyi, al-Syarh al-Qawîm, h.25
12 Maknanya: "Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." 13 Maknanya: "dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi". Menurut al-Habasyi al-matsal al-
A'la dalam ayat tersebut berarti sifat yang tidak serupa dengan sifat makhluknya". Baca: Al-Habasyi, al-Syarh al-Qawîm,
14 h.25 Maknanya: "Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah ". 15 Maknanya: "Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut
disembah)?". Menurut al-Habasyi istifham (kata tanya) pada ayat ini adalah istifham taqriri (untuk menetapkan) bukan istifham hakiki (bertanya karena tidak tahu). Sehingga maknanya adalah: tidak ada seorangpun yang sama dengan Allah. Lihat: al-Habasyi, Bughyah al-Talib, h. 10 16
Maknanya: "Dialah yang Awwal dan yang akhir yang Zahir dan yang Bâtin dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu". Kata awwal apabila diperuntukkan untuk Allah artinya tidak ada permulaan bagi adanya, sedangkan kata akhir berarti tidak ada akhir bagi adanya. Al-Zâhir artinya segala sesuatu menunjukkan keberadaannya, sedangkan al-Batin berarti bahwa Allah tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran. Lihat: Lihat: al-Habasyi, Bughyah al-Talib, h. 10 Maknanya: "Dialah yang Awwal dan yang akhir yang Zahir dan yang Bâtin dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu". Kata awwal apabila diperuntukkan untuk Allah artinya tidak ada permulaan bagi adanya, sedangkan kata akhir berarti tidak ada akhir bagi adanya. Al-Zâhir artinya segala sesuatu menunjukkan keberadaannya, sedangkan al-Batin berarti bahwa Allah tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran. Lihat: Lihat: al-Habasyi, Bughyah al-Talib, h. 10
Menurut al-Habasyi, ta`wîl adalah satu-satunya jalan yang mesti dilakukan untuk mensinkronkan pemahaman ayat sifat Tuhan yang mutasyâbihat dengan ayat sifat Tuhan yang muhkamât. Ta`wîl bisa dilakukan dengan dua cara, ijmâli (global) dan tafsîlî (terperinci). Ta`wîl ijmâlî dengan mengatakan bahwa Allah istawâ yang bukan sifat makhluk, Allah memiliki sifat yad, wajh dan 'ain yang bukan sifat makhluk (bukan anggota badan). Sedangkan ta`wîl tafsîlî (terperinci), adalah dengan memindahkan makna ayat dari makna zahir-nya dengan menentukan makna tertentu, seperti yang dilakukan oleh Taqy al-Dîn al-Subki (w.756 H) yang menta`wil kata
istawa 17 dalam Q.S Taha: 5, dengan istila' (menguasai), dan al-Qusyairi (w.514 H) dengan qahara (menguasai). 18 Al-Bukhâri men-ta`wil kata wajh dalam Q.S al-Qasas:
88, dengan al-mulk (kekuasaan), 19 Mujâhid (w.101 H) men-ta`wil wajh dalam Q.S al- Baqarah: 115, dengan kiblat, 20 Ahmad bin Hanbal yang men-ta`wil Q.S al-Fajr : 22, dengan datang kekuasaaanya. 21
Al-Qur'an surat Taha: 5 adalah ayat mutasyâbihât, karena dalam bahasa arab, kata istawâ memiliki makna yang lebih 14 arti, seperti duduk, bersemayam,
menguasai, masak, sempurna, menyengaja, naik dan lurus. 22 Di dalam al-Qur'an kata istawâ juga dipergunakan tidak dengan satu makna, tetapi memiliki makna yang
17 Murtada al-Zabîdî, Ithaf al-Sâdah al-Muttaqîn, (Bairut: Dar al-Fikr, t.t) juz 2, h.107 18 Murtada al-Zabîdî, Ithaf al-Sâdah al-Muttaqîn, juz 2, h.107 19 Diriwayatkan oleh al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhari, kitab al-tafsir, bab tafsir surat al-Qasas
(Maktabah al-Syamilah Vol.2), juz 4, h.1787 20 Al-Baihâqi, al-Asma wa al-Sifat, (Bairut: Dar Ihya ` al-Turats al-'Arabiy, t.t) h. 309
21 Al-Baihâqi, Manâqib Ahmad, (Bairut: Dar al-Fikr, t.t) h. 57 22 Zain al-Dîn al-Râzi, Mukhtâr al-Sihhâh, , h.156, lihat juga: Abu al-Fadl Jamâl al-Dîn
Muhammad bin Mukarram Ibn al-Manzûr, Lisân al-'Arab (Bairut: Dar al-Sadir, cet I 1997 M) jild 3, h.375 Muhammad bin Mukarram Ibn al-Manzûr, Lisân al-'Arab (Bairut: Dar al-Sadir, cet I 1997 M) jild 3, h.375
a) berlabuh (istaqarra), Allah ta'ala berfirman: 23 يدﻮﺠﻟاا ﻰﻠﻋ تﻮﺘﺳاو
b) sempurna (tamma), Allah berfirman: 24 ىﻮﺘﺳاو هﺪﺷأ ﻎﻠﺑ ﺎﻤﻟو
c) lurus (i'tadala), Allah ta'ala berfirman: 25 ﮫﻗﻮﺳ ﻰﻠﻋ ىﻮﺘﺳﺎﻓ
d) berkehendak (qasada), Allah ta'ala berfirman: 26 ءﺎﻤﺴﻟا ﻰﻟإ ىﻮﺘﺳا ﻢﺛ
e) di atas ('uluw atau irtifa'), Allah berfirman: 27 ﻚﻠﻔﻟا ﻰﻠﻋ ﻚﻌﻣ ﻦﻣو ﺖﻧأ ﺖﯾﻮﺘﺳا اذﺈﻓ
f) menguasai (qahara atau istaula), Allah berfirman: 28 ىﻮﺘﺳا شﺮﻌﻟا ﻰﻠﻋ ﻦﻤﺣﺮﻟا Menurut al-Habasyi, ketika menafsirkan ayat yang memiliki makna yang
beragam seperti ini, maka harus dicari makna yang sesuai dan layak bagi Allah, dan tidak kontradiktif dengan ayat muhkamât. Penafsiran istawâ dengan jalasa (duduk) dan istaqarra (bersemayam) secara nyata melanggar ketentuan tersebut. Sebab duduk dengan segala tata caranya adalah sifat makhluk yang tidak boleh disifatkan pada Allah ta'ala. Duduk hanya diperuntukkan untuk benda yang memiliki dua bagian anggota tubuh, atas dan bawah seperti manusia, sapi, kera, anjing dan lainnya. Sehingga tidak dikatakan bagi sebatang pohon bahwa ia duduk, karena pohon hanya
memiliki satu bagian tubuh saja. 29 Menurut al-Habasyi, ta`wîl tafsîlî (terperinci) yang tepat dari ayat di atas
adalah qahara (menguasai). Selain bahwa qahara merupakan salah satu makna dari kata istawa, pen-ta`wil-an istawa dengan qahara tidak kontradiktif dengan ayat yang lain dan merupakan sifat yang layak bagi Allah, karena di antara nama Allah adalah
24 Maknanya: "dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi" Maknanya: "Dan setelah Musa cukup umur dan sempurna akalnya" 25 Maknanya: "Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan
tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan tegak lurus di atas pokoknya". 26 Maknanya: "Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia
berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu".
27 Maknanya: "Apabila kamu dan orang-orang yang bersamamu telah berada di atas bahtera itu, Maka ucapkanlah: "Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan Kami dari orang-orang yang
zalim." 28 29 Maknanya: "al-Rahman (Allah) menguasai 'Arsy".
Al-Habasyi, Sarîh al-Bayân, juz 1, h.22 Al-Habasyi, Sarîh al-Bayân, juz 1, h.22
sifat makhluk yang tidak layak bagi Allah ta'ala. 30 Sedangkan ta`wîl ijmâli (global) terhadap ayat tersebut adalah sebagaimana
yang dilakukan oleh Malik bin Anas (w. 179 H). Ketika ditanya tentang makna ayat tersebut, ia mengatakan: "istawa sebagaimana Allah mensifati diri-Nya, dan tidak
dikatakan bagaimana (sifat makhluk), dan sifat makhluk mustahil bagi-Nya". 31 Menurut al-Habasyi riwayat inilah yang benar dan tsâbit dari Malik, sedangkan
riwayat yang sering dikutip kelompok Wahhabiyah, menurutnya tidak tsabit dari Malik. Dalam riwayat tersebut disebutkan bahwa Malik berkata: " al-istiwa' ma'lûm
wa al-kaif majhûl wa al-iman bihi wâjib wa al-su'al 'anhu bid'ah" 32 . Perkataan al-kaif majhûl , berarti bahwa istiwâ Allah itu berupa kaif (sifat makhluk), akan tetapi tidak
diketahui oleh manusia seperti apa kaif-nya. 33 Sedangkan penafsiran ayat tersebut dengan istaqarra (bersemayam) dan
memenuhi 'Arsy yang terdapat dalam kitab Tanwîr al-Miqbâs fi Tafsîr ibn Abbâs, 34 menurut al-Habasyi tidak benar dari Ibn Abbâs. Sebab kitab tersebut menurutnya,
dikumpulkan dan ditulis oleh seorang pendusta yang diatasnamakan Ibnu Abbâs. Kedua penafsiaran tersebut (istaqarra dan malaa), menurutnya berarti tasybîh (menyerupakan) Allah dengan makhluk-Nya. Sebab menisbatkan bentuk dan ukuran bagi Allah ta'ala, padahal Allah bukan benda yang memiliki ukuran, baik kecil maupun besar. 35 Al-Tahâwi (w.321 H) menegaskan bahwa Allah maha suci dari
30 Al-Habasyi, al-Syarh al-Qawîm, h.45
32 Al-Baihaqi, al-Asmâ wa al-Sifât, h.408 Lihat: Abd al-'Azîz bin Abd al-Rahman bin Baz, Majmû' Fatâwa wa Maqâlat Mutanawwi'ah
(Riyad: Maktabah al-Ma'arif, 1413 H/ 1992 M). 33 Al-Habasyi, al-Syarh al-Qawîm, h.208
34 Abu Tâhir bin Ya'qûb al-Fairûz Abadi, Tanwîr al-Miqbâs Tafsîr Ibn 'Abbâs (Bairut: Dâr al- Fikr , 1421 H/ 2001 M) h.312
35 Al-Habasyi, al-Tahdzîr al-Syar'I al-Wâjib, juz.1, h.31 35 Al-Habasyi, al-Tahdzîr al-Syar'I al-Wâjib, juz.1, h.31
Kemudian ayat-ayat yang secara zahir mengindikasikan bahwa Allah memiliki anggota badan seperti wajh, yad dan 'ain adalah juga disebut ayat-ayat mutasyâbihât. Dalam bahasa arab kata wajh memiliki lima arti, yaitu; muka anggota badan, ta'at,
qiblat 37 , mulk (kekuasaan), dzat. Sedangkan kata 'ain dalam bahasa arab memiliki empat arti, yaitu mata anggota badan, mata air, mata-mata dan penjagaan. 38 Dalam
menafsirkan ayat sifat mutasyâbihât yang zahirnya menunjukkan bahwa Allah memiliki anggota badan, maka harus di-ta`wîl dengan makna yang bukan anggota badan.
Dengan demikian menurut al-Habasyi, seseorang yang meninggalkan ta`wîl tafsîli dan ijmâli dan lebih memilih untuk berpegang pada zâhir ayat-ayat
mutasyâbihat 39 , maka dia telah keluar dari aqidah umat Islam.
2) Hadits
Pemahaman ayat-ayat sifat Allah yang mutâsyâbihât secara zâhir-nya juga dinilai al-Habasyi kontradiktif dengan hadits-hadits Rasulullah. Al-Bukhâri dan al- Baihaqî meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah ditanya oleh serombongan utusan dari Yaman tentang awal mula alam semesta, beliau menjawab: " Allah ada (pada
azal- 40 ) dan tidak ada sesuatupun selainnya, dan 'Arsynya berada di atas air (al-mâ')". Dalam hadits ini dijelaskan bahwa pada azal yang ada hanyalah Allah, tidak ada
sesuatupun selainnya, tidak ada 'Arsy, langit, bumi dan tempat-tempat yang lainnya dan Allah ada tanpa 'Arsy, langit, bumi dan tempat-tempat lainnya. Maka sebagaimana Allah ada tanpa tempat sebelum terciptanya tempat, demikian juga
36 Abu Ja'far al-Tahawi, al-Aqîdah al-Tahâwiyah, (Bairut: Dar al-Masyari', 1995 M), h.2 37 Qism al-Abhats, Ghayah al-Bayan fi Tanzihi Allah 'an al-Makan,(Bairut: Dar al-Masyari',
2003 M), h.34 38 Qism al-Abhats, Ghayah al-Bayan fi Tanzihi Allah 'an al-Makan,h.34
39 Al-Habasyi, al-Syarh al-Qawîm, h.190 40 Diriwayatkan oleh al-Bukhari, al-Jami' al-Sahih, kitab bad`I al-Khalqi, bab ma ja a fi qailihi
ta'ala " wahu al-ladzi yubdi`u al-khalqa tsumma yu'iduhu…" , (al-Maktabah al-Syamilah Vol.2), juz 3, h.1166.
setelah terciptanya tempat, Allah tidak membutuhkan tempat. Karena Allah tidak berubah seperti halnya makhluk, sebab sesuatu yang berubah berarti membutuhkan pada sesuatu yang lainnya yang merubahnya, dan sesuatu yang butuh berarti lemah, dan sesuatu yang lemah bukanlah Tuhan.
Dalam hadits yang lain, disebutkan bahwa Rasulullah berdo'a: " ya Allah engkau al-Zâhir yang tidak ada sesuatu di atas kamu dan engkau al-Bâtin yang tidak
ada sesuatu di bawah engkau". 41 Al-Baihaqî mengatakan bahwa Ahl al-sunnah yang menafikan tempat bagi Allah menjadikan hadits ini sebagai dalil, karena apabila di
atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya juga tidak ada sesuatu, maka Allah ada tanpa tempat. 42
3) Ijmâ'
Umat Islam bersepakat (ijmâ'/ konsensus) bahwa Allah ta'ala tidak bertempat pada suatu tempat tertentu dan tidak diliputi oleh tempat, tidak bertempat tinggal di langit dan juga tidak bertempat tinggal di 'Arsy. Di antara para ulama yang mengutip ijma' tersebut adalah Abd al-Qâhir ibn Tâhir al-Bagdâdi (w.429 H), ia mengatakan bahwa ahl al-sunnah sepakat (ijmâ') bahwa Allah tidak diliputi oleh tempat dan tidak
berlaku baginya masa. 43 Abd al-Mâlik bin Abd Allâh al-Juwaini (w.478 H) yang dikenal dengan imam al-Harâmain mengutip ijma' bahwa madzhab ahl al-haq
seluruhnya meyakini bahwa Allah maha suci dari bertempat dan berada pada arah. 44 Ijma' 45 juga dikutip oleh Fakhr al-Dîn al-Râzi (w.606 H), Ismâîl al-Syaibani (w.629
46 47 H), 48 Saif al-Dîn al-Âmidi (w.631 H), Ibn Jahbal (w.733 H), Taj al-Dîn al-Subki
41 Hadits diriwayatkan oleh Muslim, kitab al-Zikri wa al-Du'a wa al-Taubah wa alistighfar, bab ma Yaqulu 'inda al-Naum , (Maktabah al-Syamilah Vol.2), juz 4, h. 2084.
42 Al-Baihaqi, al-Asma wa al-Sifat, bab ma ja a fi al-'Arsy wa al-Kursiy, h.400 43 Abd al-Qâhir ibn Tâhir al-Bagdâdi, al-Farqu baina al-Firaq, h.333 44 Abd al-Mâlik bin Abd Allâh al-Juwaini, al-Irsyad, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999 M),
h.58 45 Fakhr al-Dîn al-Râzi, al-Tafsir al-Kabir, (Bairut: Dar al-Fikr, 1993 M), juz 26, h. 216 46 Ismâil al-Syaibani, Bayân I'tiqad Ahlissunnah, (Bairut: Dar Ihya` al-Turats al-Islamiy, 1993
M) h. 45
48 Saif al-Dîn al-Âmidi, Ghâyah al-Marâm fi 'ilm al-Kalâm, (Bairut: Dar al-Fikr, t.t) h.194 Ibn Jahbal, Tabaqât al-Syâfi'iyah al-Kubra, tarjamah Ahmad bin Yahya bin Ismail, (Bairut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1989 M), juz 9, h. 35
(w.771 H), 49 Salâh al-Dîn al-'Alai (w.761 H), 50 Muhammad Mayyarah al-Mâliki
51 (w.1072 H), 52 Salîm al-Bisyri (w.1335 H), Yûsuf al-Dajawi al-Misri (w.1365
53 H), 54 Salâmah al-Qada'i al-'Azami (w.1376 H), Muhammad 'Arabi al-Tabbân al- Mâliki (w.1390 H). 55
4) Akal
Akal adalah syâhid (saksi) kebenaran syara', karena itu tidak mungkin syara' bertentangan dengan akal selama akal digunakan dengan benar. 56 Secara akal,
menurut al-Habasyi bahwa sebagaimana Allah ada tanpa 'Arsy sebelum menciptakan 'Arsy, demikian juga setelah menciptakan 'Arsy, Ia tidak berubah tetap ada tanpa 'Arsy. Sebab berubah adalah tanda terbesar makhluk, sedangkan Allah adalah dzat yang merubah dan tidak berubah. Sesuatu yang berubah membutuhkan pada yang merubahnya, dan sesuatu yang membutuhkan berarti ia lemah, dan sesuatu yang
lemah bukan Tuhan. 57 Abu Sa'id al-Mutawalli al-Syâfi'I (w.478 H) menjelaskan bahwa apabila Allah
membutuhkan pada tempat, maka tempat tersebut mesti berupa sesuatu yang qadîm/azali (ada tanpa permulaan), karena dzat Allah juga qadîm (ada tanpa permulaan), atau Allah baru (adanya berpermulaan) karena tempat yang ditempatinya juga baru, dan keduanya adalah kufur. Kemudian apabila dikatakan bahwa Allah di atas 'Arsy sebagaimana dikatakan kelompok musyabbihah maka hanya mengandung pengertian bahwa ia lebih besar dari 'Arsy atau lebih kecil dari 'Arsy atau sama
49 Taj al-Dîn al-Subki, Tabaqât al-Syâfi'iyah al-Kubra, tarjamah Abd al-Rahmân bin Muhammad al-Hasan , juz 8, h.186
50 Salâh al-Dîn al-'Alai, Tabaqat al-Syâfi'iyah al-Kubra, tarjamah Abd al-Rahman bin Muhammad al-Hasan , juz 8, h. 185
52 Muhammad Mayyârah al-Mâliki, al-Dur al-Tsamîn, (Kairo: Mustafa al-Halabi, t.t) h. 30 Salîm al-Bisyri, Furqân al-Qur'an (Bairut: Dar al-Fikr, t.t) h.93 53 Yûsuf al-Dajawi al-Misri, Majalah al-Azhar, jilid 9, juz 1 h.17, Muharram, tahun 1357 H
54 Salamah al-Qada'I al-'Azami, Majalah al-Azhar, jilid 9, juz 1 h.17, Muharram, tahun 1357 H
56 Abu Hamid bi Marzuq, Bara`ah al-Asy'ariyyin min 'Aqa'id al-Asy'ariyyin, juz 1, h. 79 57 Al-Khatîb al-Bagdâdi, al-Faqîh wa al-Mutafaqqih, h.94 Al-Habasyi, Sarih al-Bayân, h.23 56 Abu Hamid bi Marzuq, Bara`ah al-Asy'ariyyin min 'Aqa'id al-Asy'ariyyin, juz 1, h. 79 57 Al-Khatîb al-Bagdâdi, al-Faqîh wa al-Mutafaqqih, h.94 Al-Habasyi, Sarih al-Bayân, h.23
Al-Ghazâli (w.505 H) dalam kitab monumentalnya Ihya 'Ulûm al-Dîn mengatakan bahwa Allah bukan jauhar (benda) yang bertempat, akan tetapi Allah maha suci dari bertempat. Seluruh jauhar (benda) itu pasti bertempat, dan berarti ia dikhususkan pada tempatnya tersebut. Dan sesuatu yang seperti itu adakalanya diam di dalam tempatnya atau bergerak dari tempatnya. Jadi tidak akan bisa terlepas dari sifat bergerak atau diam yang keduanya merupakan sifat yang baru (makhluk), padahal sesuatu yang tidak terlepas dari sifat baru maka pasti juga baru (makhluk). 59
Al-Qusyairi (w.514 H) membantah bahwa jika dikatakan sebelum Allah menciptakan alam atau tempat, apakah Allah ada atau tidak?! akal yang sehat akan menjawab: ya, Allah ada. Jika demikian halnya maka sekiranya perkataan mereka tidak masuk akal adanya sesuatu tanpa tempat adalah benar, hanya ada dua pilihan: pertama, mereka akan mengatakan bahwa tempat, 'arsy dan alam adalah qadim (tidak memiliki permulaan) atau pilihan kedua, Tuhan itu baharu. Inilah ujung dari keyakinan golongan Hasyawiyyah yang bodoh itu, sungguh yang Qadîm (Allah)
tidaklah baharu (muhdats) dan yang baharu tidaklah qadîm. 60