Ayat mustahiq zakat

C. Ayat mustahiq zakat

Dalam 10 tahun terakhir antusias umat Islam untuk mengeluarkan zakat terlihat mulai meningkat. Antusias tersebut kemudian disambut dengan menjamurnya badan- badan pengelolaan zakat, baik yang langsung dikelola oleh pemerintah seperti BAZNAS maupun oleh beberapa lembaga keagamaan seperti Dompet Du'afa, Pos Keadilan Peduli Ummat, Rumah Zakat DSUQ, al-Falah dan Dar al-Tauhid. Namun, kepercayaan masyarakat terhadap badan-badan tersebut belum cukup kuat, sehingga sebagian orang merasa lebih tenang apabila mereka menyalurkan zakatnya dengan tangannya sendiri. Salah satu faktor penyebabnya adalah tidak adanya transparasi dalam pendistribusian zakat, dan profesionalitas para anggotanya yang belum bagus. Terutama dari segi pemahaman terhadap hukum-hukum zakat, sehingga menjadikan para muzakki gelisah tentang ibadahnya, sudah sesuaikah dengan tuntunan agama.

Zakat sebagai kewajiban bagi umat Islam, telah ditentukan jenis dan tata cara pengelolaannya oleh Islam. Dalam Q.S al-Taubah: 103 104 Allah memerintahkan Nabi-

Nya untuk memungut zakat dari umat Islam, kemudian pada Q.S al-Taubah: 60,

103 Muhammad al-Ghazâli, Min Ma'âlaim al-Haq, (Dar al-Kutub al-Haditsah, cet. III, 1382 H/1963 M), h.264

104 Maknanya: "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu

(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui".

Allah dengan jelas menerangkan orang-orang yang berhak menerima zakat, yaitu fakir, miskin, âmil, muallaf, riqâb, gharim, ibn sabil, sabîlillah.

Apabila mengikuti definisi yang telah dibuat oleh para ulama klasik tentang asnaf delapan, maka pada masa sekarang ada beberapa asnaf yang tidak dapat ditemukan lagi, seperti riqâb, 'âmil dan sabîlillah. Karena itu sebagian cendekiawan muslim kontemporer berusaha untuk memperluas cakupan definisi mustahiq zakat. Salah satu asnâf yang diperluas cakupannya adalah sabîlillah. Mereka berpendapat bahwa sabîlillah dalam ayat mustahiq zakat (Q.S al-Taubah: 60) bisa diartikan dengan segala amal kebaikan. Sehingga zakat bisa diperuntukkan untuk pembangunan Masjid, rumah sakit, sekolah atau membiayai keperluan dakwah Islam.

Yûsuf al-Qardâwi dengan secara diplomatis berpendapat bahwa agar makna sabîlillah itu menjadi tepat sasaran, dan tidak kabur harus diberi makna dengan jihâd untuk menegakkan agama Allah baik dengan senjata maupun non senjata. Menurutnya, saat ini perang untuk menegakkan agama Allah bisa dilakukan dalam bentuk perang pena atau perang saraf. Karena itu apabila berpegang pada pendapat yang sempit maka fungsi zakat menjadi kurang efektif, lantaran yang disebut perang pada saat ini bukan hanya dalam bentuk senjata, tapi juga dalam bentuk non

senjata. 105 Kesimpulan al-Qardawi di atas, menurutnya berdasarkan Qiyas, bahwa tujuan

perang fisik adalah untuk menegakkan agama Allah, sehingga semua usaha yang bertujuan untuk itu, juga disebut perang sabîlillah. Dari sini al-Qardawi mengklaim bahwa pendapatnya ini adalah pendapat mayoritas (jumhur) dengan sedikit perluasan cakupannya. Makna inilah yang menurutnya paling relevan dengan kebutuhan umat

Islam pada saat ini. 106 Dengan demikian, dasar pendapat al-Qardawi adalah ijtihad yang sifatnya agak

luas serta bicara dalam konteks fiqih prioritas. Di masa sekarang ini, lahan-lahan jihâd sabîlillah secara fisik boleh dibilang tidak terlalu besar. Sementara tarbiyah dan

106 Yusuf al-Qardawi, Fiqh al-Zakah ( Maktabah Wahbah, 1994/ 1414 cet 21), h. 712-714 Yusuf al-Qardawi, Fiqh al-Zakah h. 712-714 106 Yusuf al-Qardawi, Fiqh al-Zakah ( Maktabah Wahbah, 1994/ 1414 cet 21), h. 712-714 Yusuf al-Qardawi, Fiqh al-Zakah h. 712-714

Berdasarkan argument di atas, maka al-Qaradawi 107 menyebutkan bahwa bagian sabîlillah dapat dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan dakwah Islam seperti:

1. Membangun pusat-pusat dakwah (al-markaz al-Islami) yang menunjang program dakwah Islam di wilayah minoritas, dan menyampaikan risalah Islam kepada non muslim di berbagai benua.

2. Membangun pusat-pusat dakwah (al-markaz al-Islami) di negeri Islam sendiri yang membimbing para pemuda Islam kepada ajaran Islam yang benar serta melindungi mereka dari pengaruh ateisme, kerancuan pemikiran (fikrah), penyelewengan akhlaq serta menyiapkan mereka untuk menjadi pembela Islam dan melawan para musuh Islam.

3. Menerbitkan tulisan tentang Islam untuk mengantisipasi tulisan yang menyerang Islam, atau menyebarkan tulisan yang bisa menjawab kebohongan para penipu dan keraguan yang disuntikkan musuh Islam, serta mengajarkan agama Islam kepada para pemeluknya.

4. Membantu para da'i (du'ât) Islam yang menghadapi kekuatan yang memusuhi Islam di mana kekuatan itu dibantu oleh orang-orang kafir dan murtad.

107 Yusuf al-Qardawi, Fiqh al-Zakah, h. 712-714

5. Biaya pendidikan sekolah Islam yang akan melahirkan para pembela Islam dan generasi Islam yang baik atau biaya pendidikan seorang calon kader dakwah/ da`i yang akan diprintasikan hidupnya untuk berjuang di jalan Allah melalui ilmunya.

Meskipun secara lisan al-Qardawi tidak sependapat dengan orang yang mengatakan bahwa sabîlillah berarti segala amal kebajikan, tetapi apabila ditilik dari uraian di atas sebenarnya ia sejalan dengannya. Pendapat al-Qardawi dinilai hanya sebuah retorika agar seolah-olah pendapatnya sesuai dengan pendapat mayoritas ulama, sehingga pendapatnya dapat diterima oleh umat Islam secara keseluruhan. Mengingat jumhûr (mayoritas) berpendapat bahwa sabîlillah dalam ayat tersebut berarti perang, maka ia juga berpendapat yang sama tetapi dengan cakupan yang lebih luas. Padahal secara praktis, al-Qardawi membolehkan zakat diberikan untuk segala bentuk pekerjaan yang bertujuan untuk menegakkan agama Allah, seperti sekolah, masjid, dan pusat-pusat dakwah Islam (markaz islamiy).

Menurut al-Habasyi, penafsiran sabîlillah pada Q.S al-Taubah: 60 dengan segala amal kebaikan dan perang non fisik, bertentangan dengan al-Qur'an, hadits maupun ijma'. Menurutnya, redaksi Q.S al-Taubah: 60 adalah menggunakan kata "innama ". Kata tersebut adalah kata yang berfungsi hasr (membatasi) yaitu terbatas pada sesuatu yang disebutkan setelahnya. Sehingga ayat tersebut berarti bahwa zakat hanya sah jika diberikan kepada delapan golongan tersebut. Seandainya zakat diperuntukkan bagi semua amal kebaikan maka tidak ada artinya al-hasr dengan kata

innama 108 pada ayat tersebut. Pendapat al-Habasyi di atas, sama dengan pendapat al-Razi (w.604 H) dalam

buku tafsir monumentalnya, ia menjelaskan bahwa kata "innama" adalah susunan dari dua kata "inna" yang berfungsi untuk menetapkan (itsbât), dan kata "mâ" yang berfungsi untuk meniadakan (nafi), dan ketika keduanya berkumpul maka pemahamannya harus juga tetap seperti itu, mesti memberikan faidah tetapnya

108 Al-Habasyi, Sarîh al-Bayân, h.11-19 108 Al-Habasyi, Sarîh al-Bayân, h.11-19

menurut al-Zamakhsyari (w.538 H) seakan-akan ayat tersebut mengatakan bahwa zakat itu khusus untuk mereka (asnaf delapan) tidak untuk selain mereka. 111

Dengan demikian, bahasa arab al-Qur'an telah menolak dengan sendirinya penafsiran sabîlillah dengan selain perang bersenjata. Karena ketika sabîlillah diartikan dengan pendapat yang luas, maka makna zakat menjadi keluar dari asnaf yang delapan, sehingga distribusi zakat menjadi tidak jelas, dan asnaf yang ada dalam al-Qur'an menjadi kehilangan hak menerima zakat akibat habisnya distribusi zakat yang diberikan pada setiap jalan kebajikan.

Secara lebih luas, Abu Hayyan (w.754 H) menegaskan bahwa keterbatasan penerima zakat hanya pada 8 asnaf dapat dijelaskan dengan dua cara, pertama, dipahami dari struktur ayat tersebut yang menggunakan kata "innama" yang berfaidah hasr. Kedua, dipahami dari sifat yang ada pada ayat tersebut. Ketika sesuatu itu disifati dengan suatu sifat, maka berarti ia terikat dengannya dan

karenanya ia terbatas dengannya. 112 Dalam ayat tersebut disebutkan bahwa penerima zakat itu adalah fakir berarti selain miskin, miskin berarti selain fakir, gharim berarti

selain fakir, riqab berarti selain gharim dan seterusnya. Menurut al-Habasyi, asnaf yang delapan itu saling terpisah (tabâyun), tidak saling tadâkhul (bertabrakan), kecuali jika ada petunjuk yang menjelaskan bahwa tidak untuk tabayun. Mengartikan sabîlillah dengan segala amal kebajikan berkonsekwensi adanya tadakhul dalam masalah mustahiq zakat. Karena memberi bagian zakat pada orang fakir dan miskin, memerdekan budak, menyelamatkan orang yang berhutang dari hutangnya, serta memberi bantuan ibn al-sabil, semua itu adalah merupakan bentuk kebajikan. Apabila sabîlillah berarti segala amal kebajikan, maka

109 Al-Râzi, al-Tafsîr al-Kabîr wa mafatih al-Ghaib, jld. VIII, juz 16, h. 107 110 Al-Khâzin, Lubab al-Ta`wil fi Ma'ani al-Tanzil, jld. II, juz 3, h.109 111 112 Al-Zamakhsyari, Al-Kasyyaf , juz 1, h.490

Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhit, (Bairut: Dar Ihya al-Turats al-'Arabiy, cet II, 1411 H/ 1990 M), juz 1, h.980 Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhit, (Bairut: Dar Ihya al-Turats al-'Arabiy, cet II, 1411 H/ 1990 M), juz 1, h.980

Pemaknaan sabîlillah dengan perang adalah haqîqah syar'iyah. Ketika disebut sabîlillah maka makna yang langsung dipahami oleh ahl syari'at adalah perang fisik, meskipun secara bahasa bisa saja sabîlillah diartikan dengan makna segala amal kebajikan. Namun ketika tidak ada qarînah yang menunjukkan bahwa sabîlillah dalam ayat mustahiq zakat berarti segala amal kebajikan, maka harus diartikan dengan makna syara'nya, yaitu perang fisik. Haqiqah syar'iyah adalah sesuatu yang dipahami pertama kali oleh ahli syari'at ketika kata-kata tersebut diucapkan. Sedangkan haqiqah lughawiyah adalah kalimat yang tidak langsung dapat dipahami oleh ahli syari'at. Karena itu menggunakan suatu kata dengan makna bahasa, padahal kata-kata tersebut telah dikenal dengan makna syar'iynya harus ada qarînah yang menunjukkan akan hal itu.

Menurut al-Habasyi, penafsiran sabîlillah dengan segala amal perbuatan yang baik juga bertentangan dengan sunnah yang menjelaskan bahwa zakat tidak halal bagi

orang kaya dan orang yang mempunyai pekerjaan yang mencukupinya. 113 Dalam hadits yang lain diceritakan bahwa suatu ketika datang kepada Nabi dua orang

pemuda yang kuat meminta zakat, kemudian Nabi menjelaskan bahwa orang kaya dan orang memiliki pekerjaan yang mencukupi tidak berhak menerima zakat. 114

Kedua hadits di atas menjelaskan bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada orang yang kaya, sedangkan masjid dan sekolah dipergunakan untuk umum, baik yang miskin maupun kaya. Karena itu tidak mungkin sabîlillah pada ayat mustahiq zakat berarti segala amal kebajikan, sebagaimana disampaikan oleh al-Qardawi dan cendekiawan muslim kontemporer lainnya.

113 Hadits diriwayatkan oleh Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, kitab al-Zakat, bab man yu'ta min al-sadaqah wa had al-ghaniy (al-maktabah al-syamilah, Vol.2). Diriwayatkan juga oleh al-Tirmidzi,

Sunan al-Tirmidzi, kitab al-zakah, bab ma ja'a man la tahillu lahu al-sadaqah (al-al-maktabah al- syamilah, Vol.2). 114

Hadits diriwayatkan oleh Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, kitab al-Zakat, bab man yu'ta min al-sadaqah wa had al-ghaniy (al-maktabah al-syamilah, Vol.2)

Penafsiran sabîlillah dalam Q.S al-Taubah: 60 dengan segala amal kebajikan, menurut al-Habasyi juga bertentangan dengan ijma'. Karena seluruh ulama tafsir dan ulama fikih bersepakat bahwa sabîlillah dalam ayat tersebut berarti perang fisik. Al- Tabari (w.310 H) mengatakan sabîlillah adalah untuk biaya memenangkan agama

dan syari'at Allah dengan memerangi musuh-musuhnya yaitu orang-orang kafir. 115 Ibn al-Jauzi (w.579 H) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sabîlillah adalah

orang-orang yang berperang, boleh memberi zakat kepada mereka, baik yang kaya maupun fakir. 116 Al-Baidawi (w.685 H) mengatakan bahwa pembelanjaan untuk jihâd

adalah dengan membiayai orang-orang yang berperang sukarela dan membeli perisai dan senjata. 117

Al-Qurtubi (w.671 H) menjelaskan bahwa sabîlillah adalah orang–orang yang berperang, mereka diberi untuk membiayai perang yang mereka lakukan, baik mereka

yang kaya maupun yang fakir. 118 Al-Baghawi (w.510 H) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sabîlillah adalah orang-orang yang berperang, mereka

mendapatkan bagian dari zakat, diberi ketika akan keluar untuk berperang dan untuk hal-hal yang mereka butuhkan dalam urusan peperangan seperti nafkah, pakaian, senjata, meskipun mereka kaya. Dan menurut mayoritas ulama tidak diberikan untuk

haji. 119 Dalam tafsir Jalalain dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan sabîlillah adalah orang-orang yang melakukan jihâd yang tidak mendapatkan harta fai,

meskipun mereka orang kaya. 120 Pendefinisian sabîlillah dengan para pejuang sukarelawan juga menjadi ijma'

fuqaha (ahli fikih). Malik bin Anas (w.179 H) sebagaimana dikutip oleh Ibn al-'Arabi (w.543 H) mengatakan subulullah (jalan-jalan Allah) itu jumlahnya sangat banyak, tetapi aku tidak mengetahui ada perbedaan pendapat bahwa yang dimaksud sabîlillah

115 Al-Tabâri, Jami' al-Bayan, juz 6, h.395 116 Ibn al-Jauzi, al-Zâd al-Masir, juz 3, h.458 117 Al-Baidâwi, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta`wil, juz 1, h.153 118 119 Al-Qurtubi, al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur'an, h.8,h.166 120 Al-Baghawi, Ma'alim al-Ta`wil, juz 1, h.61

Jalâl al-Dîn al-Mahalli dan Jalâl al-Dîn al-Suyûti, tafsir al-Jalâlain, juz1, h.250 Jalâl al-Dîn al-Mahalli dan Jalâl al-Dîn al-Suyûti, tafsir al-Jalâlain, juz1, h.250

orang yang berperang. 122 Al-Nawawi al-Syafi'I (w.651 H) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sabîlillah adalah orang-orang yang berperang dengansukarela yang

tidak mendapatkan gaji dari diwan dan nama mereka tidak disebutkan di dalamnya. 123 Namun Ahmad bin Hanbal (w.241 H) menambahkan bahwa termasuk sabîlillah

dalam hal ini adalah haji. Pendapat ini berdasarkan hadits Nabi riwayat Ibn Abbas (w.68 H) yang menceritakan bahwa seseorang menyerahkan seekor hewan untuk sabîlillah , namun isterinya ingin pergi haji. Nabi bersabda, "naikilah, karena haji itu

termasuk sabîlillah". 124 Menurut al-Habasyi, syari'at telah menjelaskan pintu-pintu untuk menutupi

keperluan kemaslahatan umum ini. Ada pintu infak, sedekah, wakaf dan lain sebagainya, bahkan dalam keadaan darurat penguasa muslim boleh mengambil paksa sebagian harta para konglomerat dan orang-orang kaya untuk menutupi kepentingan

atau kemaslahatan umum tersebut. 125 Karena itu tidak ada alasan untuk menentang syari'at yang telah ditetapkan oleh al-Qur'an, hadits ataupun ijma' dengan dalih

kepentingan / kemaslahatan umum. Pembatasan makna sabilillah hanya dengan perang fisabilillah, menurut penulis tidak dapat persalahkan. Namun pada saat umat Islam secara ekonomi berada di bawah garis kemiskinan. Hendaknya, al-Habasyi juga menawarkan solusi yang tepat untuk mengatasinya, dan bukan hanya mengkritik praktek penyaluran zakat yang selama ini menurutnya dianggap keliru. Karena pada dasarnya, praktek yang selama ini dilakukan karena ketidaktahuan mereka tindakan apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan umat Islam dari keterpurukan secara ekonomi.

121 Ibn al-Arabi, Ahkâm al-Qur'an, juz 2, h. 969 122 Al-Badr al-'Aini al-Hanafi, 'Umdah al-Qari syarh Sahih al-Bukhâri, jld 5, juz 9, h. 44 123 124 Al-Nawawi, al-Majmu' syarh al-Muhadzdzab, juz 6, h. 201 125 Diriwayatkan oleh Abu Daud, Sunan Abi Dawud (al- maktabah al-syamilah, Vol.2)

Al-Habasyi, al-Dalîl al-Qawîm, h.222

Lampiran 1:

Ayat-ayat al-Qur'an

BAB I

Al-Nisa`:105 (h.1)                  Al-Najm: 3-4 (h.1,72)            Al-Hijr: 9 (h.1)          Al- Isrâ: 88 (h.2)                   

 Al-Baqarah: 102 (h.6, 58,60)                 

   Ali Imrân: 14 (h.7)              

             Al-Hajj: 39 (h.9)             Al-Baqarah: 190 (h.9)                Al-Baqarah: 256 (h.10)                     

       Yûnus: 99 (h.10)                 

Al-Kahfi: 29 (h.10)                      

            Al-Kâfirun: 6 (h.10)      Sajdah: 25 (h.10)            

BAB II

Al-Baqarah: 43 (h.42)         Al-Isra: 32 (h.42)           Al-Nisa: 82 (h.42)                Al-Baqarah: 228 (h.43)      Al-Kahfi: 110 (h.48)            Al-Nahl: 125 (h.49)                    

      Al-Anbiya`: 69 (h.53)        

BAB III

Ali Imran : 7 (h.58)                   

Al-Syura: 11 (h.59, 65,100)        

Al-Ikhlas: 4 (h.58, 100)       Al-Taubah: 60 (h.61,178)                

          Taha: 5 (h.63,67,99,101)      Maryam: 65 (h.63)       Fatir: 10 (h.63)           Q.S Sad: 75 (h.67)                 Q.S al-Fajr: 22 (h.63,101)       Q.S al-Baqarah: 15 (h.68)         Q.S al-A'raf: 53 (h.69)          Q.S al-Syu'ara: 195 (h.69)     Q.S Qiyamah: 22-23 (h.71,96)         Q.S al-Dzariyat: 47 (h.71)       Q.S al-Nahl: 44 (h.72)            

Q.S al-Nahl: 64 (h.76)                 Q.S al-Baqarah: 191 (h.80)

Q.S al-Ahzab: 40 (h.81)                    Al-Nisa`: 115 (82)                    

  Q.S al-Naba`: 23 (h.91)     Q.S al-Ahzab: 59 (h.91)                   

     Q.S al-Nur: 30 (h.92)                   Q.S al-Mulk: 23 (h.92)               Q.S al-Anfal: 22 (h.94)             Q.S al-Mulk: 10-11 (h.94)                  

BAB IV

Al-Nahl: 60 (h.100)                Al-Nahl 74 (h.100)             Maryam: 65 (h.100)               Al-Hadid: (h.100)            Al-Qasas:88

            Al-Baqarah: 115 (101)             Al-An'am: 76-79 (h.108)                       

        Al-Aniya` 51(h.109)            Al-An`am 83 (109)                  Ali Imran: 67 (109)                Yusuf: 24 (h.111)                     

  Yusuf: 26 (h.112)                      Yusuf: 23 (h.112)                      

     Sad: 23 (h.114)                 Al-Hajj: 52 (h.116)                     

        Ali Imran: 64 (h.118)

Al-A'raf: 156 (h.119)                      

             Al-Taubah: 30 (h.120)                  

          Al-Maidah: 13 (h.120)                   

                   Al-Baqarah: 79 (h.120)                    

      Ali Imran: 78 (h.120)                 

             Al-Bayyinah: 1(h.120)              Al-Bayyinah; 6 (h.120)                   Al-Maidah: 18 (h.120)                      

              Al-Sajdah: 13 (121)                  Saba`: 24 (h.122                      Ali Imran: 19 (h.122)

Ali Imran: 85 (h.122, 130)               Al-Baqarah: 213 (h.123)                 

    Al-Ahzab: 33 (h.123)          Yunus: 72 (h.124)                    Al-Baqarah: 132 (h.124)                  Yusuf: 101 (h.124)                    

     Al-Naml: 44 (h.124)             Al-Maidah: 44 (h.124)                 

Ali Imran: 52 (h.124)                    

   Ali Imran: 64 (h.124)                     

            Al-Maidah: 48 (h.124)

Al-Baqarah: 62 (h.125, 127,128, 129, 130)                

         Al-Baqarah: 285 (h.126)                    

           Al-Maidah: 44-47 (h.126, 174,176)                 

                Al-Syura: 13 (h.126)                      

                     Al-Baqarah: 111-112 (h.127)                    

Al-Fath: 13 (h.129)           Al-Baqarah: 256 (h.131)

Yunu: 99 (h.131, 134)                  Hud : 117-118 (h.134)                   

  Zumar: 7 (h.135)                         

            Al-An'am: 35(h.135)              Al-Kahfi: 29 (h.135,144)                     Al-Kafirun: 6 (h.131,135,137,145,162)      Sajdah: 25 (h.135)             Saba`: 25 (h.136)           Al-Hajj: 40 (h.136)                    

                   Al-Syura: 52(h.136,145)                     

         Al-Baqarah: 193 (h.140)                  Tahrim:9 (h.144)

              Al-Taubah: 123 (h.144)                  

BAB V

Al-Hajj: 39 (h. 151, 152, 153)             Al-Baqarah: 120 (h.151)                     

              Al-Taubah: 5 (h.151,152)               

              Al-Baqarah: 191 (h.151)                 

             Al-Taubah: 29 (h.151,152)                   

           Al-Taubah: 73 (h.152)               Al-Taubah: 123 (h.152)                   Al-Nahl: 125 (h.154)                    

      Ali Imran: 146 (h.154)                     

  Al-Baqarah: 193 (h.160)

                   Al-Anfal: 39 (h.160, 163)                   Al-Fath: 16 (h.164)                   

            Al-Baqarah: 193 (h.162, 163)                  Al-Hujurat: 9 (h.170)          Al-Maidah: 4 (h.170)                      

               Al-Taubah: 103 (h.178, 180)                   