Nabi Yûsuf

b) Nabi Yûsuf

Disebutkan dalam tafsir al-Jalâlain ketika menafsirkan surat Yûsuf: 24, 72 bahwa Nabi Yûsuf berkeinginan dan telah bermaksud untuk melakukan zina. 73 Penafsiran

senada disampaikan oleh Sayyid Qutb (w.1966 M), ia mengatakan bahwa Nabi Yusûf hampir lemah dan menyerah pada godaan isteri ‘Azîz (penguasa Mesir). 74 Bahkan

dalam beberapa buku kisah Nabi, diceritakan bahwa Nabi Yusuf sudah sempat membuka pakaian dan telah siap untuk melakukan perzinan.

Penafsiran di atas menurut al-Habasyi tidak tepat, karena kontradiktif dengan kesucian para Nabi dari perbuatan radzâlah (perbuatan yang rendah). Mustahil bagi para Nabi memiliki keinginan melakukan zina sebagimana juga mustahil melakukannya. Penafsiran yang benar menurutnya adalah bahwa Zulaikha (istri 'Azîz) ingin mendorong Nabi Yusuf agar dia dapat berzina dengannya setelah Yusuf jatuh ke tanah. Sedangkan Nabi Yusuf bermaksud mendorang Zulaikha agar menjauh darinya dan bisa keluar dari pintu, tetapi tidak ia lakukan karena Allah memberikan ilham kepadanya bahwa apabila Nabi Yusuf mendorong Zulaikha, maka hal tersebut akan dijadikan bukti bagi keluarga Zulaikha bahwa Nabi Yusuf mendorong Zulaikha agar bisa berzina dengannya. Nabi Yusuf kemudian tidak mendorong Zulaikha, tetapi ia membalikkan badannya untuk lari ke arah pintu. Tetapi kemudian Zulaikha mengejarnya dan merobek pakaiannya dari belakang, sehingga ini menjadi bukti kebenaran Nabi Yusuf. Apabila Nabi Yusuf memukul atau mendorong Zulaikha meski hanya sekali, tentu ini akan menjadi alasan bagi Zulaikha bahwa Nabi Yusuf

71 Al-Habasyi, Risâlah al-Tahdzîr min al-firaq al-Tsalâts, (Bairut: Dar al-Masyari', 2005 M) h. 5 72 Dikatakan: "Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan

Yusuf, dan Yusufpun bemaksud yang sama dengan wanita itu" 73 Jalal al-Dîn al-Mahalli dan Jalal al-Dîn al-Suyuti, Tafsîr al-Qur'an al-'Azîm, (Bairut: Dar al-

Fikr, t.t), h.119 74

Sayyid Qutb, al-Taswîr al-Fanni fi al-Qur'ân, (Kairo: Dar al-Syuruq, t.t) h. 116  Sayyid Qutb, al-Taswîr al-Fanni fi al-Qur'ân, (Kairo: Dar al-Syuruq, t.t) h. 116 

untuk melakukan zina (Q.S Yûsuf: 26). 76 Selanjutnya pada ayat ke 29, 77 dijelaskan bahwa ketika Nabi Yusuf menyatakan

bahwa dirinya tidak bersalah, Allah menjadikan seorang bayi yang masih dalam ayunan dapat berbicara dan memberi persaksian. Bayi tersebut menjelaskan bahwa apabila baju Nabi Yusuf robek bagian depannya maka Zulaikha yang benar, dan apabila yang robek adalah bagian belakangnya, maka berarti Zulaikha berbohong dan Nabi Yusuf yang benar. Dan ketika diketahui bahwa bagian baju Nabi Yusuf yang robek berada di belakang, maka al-Aziz mengetahui bahwa istrinya yang salah dan Nabi Yusuf benar. Tetapi ia meminta kepada Yusuf agar masalah tersebut dirahasiakan, dan meminta kepada istrinya untuk bertaubat.

Selain itu menurut al-Habasyi, penafsiran tersebut juga bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur'an yang lainnya. Dalam ayat sebelumnya (Q.S Yûsuf: 23), 78

disebutkan bahwa dengan tanpa ada malu Zulaikha mengajak Yusuf untuk melakukan zina. Akan tetapi Nabi Yusuf adalah seorang Nabi yang 'afîf (jauh dari kemaksiatan) dan terjaga dari melakukan perbuatan yang rendah. Sehingga dengan tegas Yusuf menolak ajakan tersebut dan meminta perlindungan dari Allah dari perbuatan yang

75 Al-Habasyi, al-Tahdzîr al-Syar'I al-Wâjib, h.101, lihat juga: al-Habasyi, al-Syarh al-Qawim, h.338, lihat juga: Qism al-Abhats wa al-Dirasat al-Islamiyah pada Jamiyah al-Masyari', Qasas al-

Anbiya` 76 (Bairut: Dâr al-Masyari', cet.4, 2000 M/ 1421 H) h. 134-137, Maknanya: "Yusuf berkata: "Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya)", dan

seorang saksi dari keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya: "Jika baju gamisnya koyak di muka, maka wanita itu benar dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta".

77 Maknanya: "Dan jika baju gamisnya koyak di belakang, maka wanita itulah yang dusta, dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar."Maka tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf

koyak di belakang dia berkata: "Sesungguhnya (kejadian) itu adalah diantara tipu daya kamu, sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar."

78 Maknanya: "Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan Dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: "marilah ke sini."

Yusuf berkata: "Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik." Yusuf berkata: "Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik."

akan berkhianat kepadanya. 79 Dengan demikain, penafsiran Q.S Yûsuf: 24 bahwa Nabi Yusuf juga

menginginkan berbuat zina bertentangan dengan al-Qur'an. 80 Nas al-Qur'an yang kontradiktif dengan penafsiran tersebut adalah lanjutan dari ayat tersebut yang

menerangkan bahwa Nabi Yusuf tidak melakukan perbuatan s û (buruk) dan fahisyah (keji) dan bahwa Nabi Yusuf adalah salah seorang hamba Allah yang ikhlas. Pada

ayat ke-51 81 dari surat yang sama juga dijelaskan bahwa di belakang hari, Zulaikha mengakui bahwa dirinyalah yang memaksa Yusuf untuk melakukan zina, dan bahwa

Nabi Yusuf sama sekali tidak bersalah dan bahwa ia adalah seorang yang jujur.

Penafsiran tersebut menurut al-Habasyi juga kontradiktif dengan ijma' para ulama yang mengatakan bahwasanya wajib bagi para Nabi al-siyanah. Sehingga mustahil bagi mereka melakukan perbuatan radzalah dan safahah. Memiliki kemauan kuat untuk berzina adalah perbuatan radzalah yang mustahil dilakukan oleh seorang

Nabi Allah seperti Nabi Yusuf. 82 Penafsiran yang paling bagus menurut al-Habasyi adalah bahwa kalimat wa

hamma biha terikat dengan kalimat sesudahnya "laula an ra`a burhana rabbihi". Sehingga penafsirannya menjadi bahwa Nabi Yusuf sama sekali tidak memiliki

keinginan untuk berzina karena dia telah melihat al-Burhan (penjagaan Allah). 83

79 Qism al-Abhats wa al-Dirasat al-Islamiyah pada Jamiyah al-Masyari' , Qasas al-Anbiya` (Bairut: Dâr al-Masyari', cet.4, 2000 M/ 1421 H) h. 134-137

81 Al-Habasyi, al-Tahdzîr al-Syar'I al-Wâjib, h.101 Maknanya: "… berkata isteri al-Aziz: "sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang

menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar."

82 Qism al-Abhâts wa al-Dirâsât al-Islâmiyyah Jam'iyah al-Masyâri' al-Islâmiyyah, Qasas al- Anbiyâ'

83 , h.137-138 Al-Habasyi, al-Syarh al-Qawim, h.338 83 , h.137-138 Al-Habasyi, al-Syarh al-Qawim, h.338

Berdasarkan Q.S Sad: 23, 84 diceritakan bahwa dua orang malaikat dalam bentuk manusia datang kepada Nabi Dawud, untuk memberi peringatan kepadanya perihal

perempuan (na'jah) yang telah dinikahinya. Kata "na'jah" dalam ayat tersebut ditafsirkan dengan seorang perempuan. 85 Diceritakan bahwa suatu ketika Nabi

Dawud sedang di mihrabnya dan secara tiba-tiba ada seekor merpati yang terbuat dari emas. Nabi Dawud ingin mengambilnya, tetapi merpati itu terbang. Kemudian ia mengejar dan berusaha untuk menangkapnya, sampai kemudian ia melihat seorang perempuan yang sedang mandi, dan membuatnya jatuh cinta kepadanya. Diceritakan bahwa perempuan tersebut adalah istri Uriya, salah satu panglimanya. Agar dapat menikahi perempuan tersebut, Nabi Dawud memerintahkan kepada Uria untuk pergi berperang dan bahkan diserahi bendera perang. Sebelumnya Nabi Dawud sudah menginstruksikan kepada para tentara agar ketika sang panglima maju ke arah musuh, mereka mundur, sehingga ia terbunuh oleh musuh. Sekenario ini terjadi, Uria terbunuh dan Nabi Dawud berhasil menikahi Uria. 86

Menurut al-Habasyi cerita di atas adalah cerita isrâiliyat yang bohong, karena selain dari segi periwayatan tidak sahih, demikian juga dari segi makna tidak benar, sebab para Nabi itu terjaga dari melakukan dosa besar dan kecil yang menunjukkan

kehinaan pelakunya. 87 Al-Qur'an surat Sad: 23 di atas, menurutnya harus difahami secara zahir, bahwa dua orang yang berseteru dalam ayat tersebut adalah dua orang

manusia yang sedang bersekutu dalam seekor kambing. Salah seorang dari keduannya menzalimi yang lainnya, sehingga keduanya datang ke mihrâb (tempat yang paling mulia dirumah Nabi Dawud), sedangkan Nabi Dawud ketika itu sedang beribadah

84 Maknanya: "Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina (na`jah) dan aku mempunyai seekor saja. Maka Dia berkata: "Serahkanlah kambingmu itu

kepadaku dan Dia mengalahkan aku dalam perdebatan".

86 Jalâl al-Dîn al-Mahalli dan Jalâl al-Dîn al-Suyûti, Tafsîr al-Qur'an al-'Azîm, , h.491 87 Dikutip oleh al-Ghumari dalam Bida' al-Tafasir, h.108-109 Al-Habasyi, al-Tahdzîr al-Syar'I al-Wâjib, h.102 86 Jalâl al-Dîn al-Mahalli dan Jalâl al-Dîn al-Suyûti, Tafsîr al-Qur'an al-'Azîm, , h.491 87 Dikutip oleh al-Ghumari dalam Bida' al-Tafasir, h.108-109 Al-Habasyi, al-Tahdzîr al-Syar'I al-Wâjib, h.102

kepada Nabi Dâwud untuk menghukumi perkara yang sedang mereka hadapi. 89

Penafsiran terhadap ayat di atas bahwa dua orang yang bersekutu tersebut adalah dua Malaikat sengaja memberikan sindiran kepada Nabi Dâwud yaitu dengan menyebut seorang perempuan dengan na'jah (kambing), untuk mengingatkan Nabi Dawud peristiwa yang dilakukan Nabi Dawud pada istri Uria, adalah tidak benar. Kata "na'jah" dalam ayat di atas, menurut al-Habasyi tidak benar apabila di artikan dengan seorang perempuan, karena tidak ada dalil yang menunjukkan akan hal itu. Sehingga harus dipahami dengan secara zahir, yaitu bahwa kedua orang yang berselisih memang benar-benar sedang berselisih tentang hasil kambing persekutuan

mereka. 90 Taqy al-Dîn al-Subki (w.756 H) seperti dikutip oleh al-Habasyi mengatakan bahwa kata "al-na'jah" dalam ayat di atas adalah benar-benar kambing,

sedangkan dua orang yang bertikai juga benar-benar manusia. 91 Al-Ghumari (w.1413

H) menyatakan bahwa cerita di atas adalah cerita Israiliyat yang tidak layak bagi kedudukan seorang Nabi dan bertentangan dengan sifat wajib bagi para Nabi beripa

al-ismah 92 (terjaga). Sedangkan istighfâr yang dilakukan oleh Nabi Dâwud bukan karena ia telah

melakukan dosa besar sebagimana diceritakan dalam cerita isrâiliyat di atas. Tetapi karena ia telah melakukan dosa kecil yang tidak ada unsur kerendahan jiwa pelakunya, berupa terburu-buru memutuskan hukum terhadap satu dari dua orang

88 Nabi Dawud membagi hari-harinya dalam seminggu menjadi 3 bagia, hari untuk beribadah, hari untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat dan waktu untuk bekerja. Kedua orang tersebut

datang pada hari beribadah. Lihat: al-Ghumari dalam Bida' al-Tafasir,h.107-108 89 Qism al-Abhâts wa al-Dirâsât al-Islâmiyyah Jam'iyah al-Masyâri' al-Islâmiyyah, Qasas al- Anbiyâ' , h.249-250 90 Al-Habasyi, al-Tahdzîr al-Syar'I al-Wâjib, h.102 , Lihat juga: Qism al-Abhâts wa al-Dirâsât al-

Islâmiyyah Jam'iyah al-Masyâri' al-Islâmiyyah, Qasas al-Anbiyâ', h.251 91 92 Al-Habasyi, al-Tahdzîr al-Syar'I al-Wâjib, h.102

Al-Ghumari, Bida' al-Tafasir, h. 109 Al-Ghumari, Bida' al-Tafasir, h. 109

untuk menanyakan pengaduan dari satu orang lainnya. 93