Komparasi tafsir dengan akal

B. Komparasi tafsir dengan akal

Allah ta'ala memberikan kemulian kepada manusia dengan mengkaruniakan akal kepada mereka. Akal adalah pembeda antara manusia dengan binatang, batu dan benda-benda lainnya. Dengan akal manusia menjadi seorang mukallaf, karena dengannya manusia bisa mengenal Tuhannya dan bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan. Demikian pentingnya akal bagi manusia, maka Allah mengaharamkan mereka untuk melakukan sesuatu yang bisa menyebabkan rusak atau hilangnya akal, seperti minum minuman keras dan mengkonsumsi narkotika.

Dalam agama, akal memiliki posisi yang strategis. Sebab orang-orang yang tidak menggunakan akalnya dengan benar akan menyesal di akhirat. Dalam al-Qur'an

Q.S al-Mulk: 23 153 dijelaskan bahwa apabila manusia menjadikan akal sebagai sebab mendapatkan petunjuk, maka ia termasuk orang yang bersyukur. Sebaliknya

seseorang yang menggunakannya sebagai penyebab kesesatannya maka dia bukan orang yang bersyukur. Dengan akal manusia dapat mengetahui bahwa syari'at Islam itu benar dan syari'at selainnya salah. Dengan akal manusia bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan.

Meskipun demikian, akal bukan usûl al-syari'ah, karena hanya dengan akal, manusia tidak bisa mengetahui hal-hal yang menyelamatkannya di akhirat. Dengan akal manusia bisa mengetahui adanya Tuhan dan sifat-sifat-Nya, tetapi dengan akal manusia tidak bisa mengetahui siapa nama Tuhan tersebut. Hanya dengan akal manusia tidak dapat mengetahui kewajiban dan keharaman yang telah ditetapkan oleh Tuhan.

152 Maknanya: "Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,

Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". 153 Maknanya: Katakanlah: "Dia-lah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati". (tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.

Al-Habasyi menyatakan bahwa diantara keistimewaan agama Islam dibandingkan dengan agama-agama yang lain adalah bahwa kebenaran ajaran Islam disaksikan oleh akal, sedangkan ajaran agama yang lain justru bertentangan dengan akal. Meskipun akal tidak dalam posisi sebagai usûl al-syarî'ah, akan tetapi ajaran Islam tidak ada yang bertentangan dengan akal. Karena itu, dalam Islam akal

memiliki peran yang cukup kuat, yaitu menjadi saksi kebenaran syara'. 154 Bahkan menurut al-Khatîb al-Baghdâdi (w.510 H), apabila ada seorang yang

tsiqah dan ma`mûn (dapat dipercaya) meriwayatkan sebuah hadits yang bersambung sanadnya maka dapat ditolak dengan beberapa hal, diantaranya apabila bertentangan dengan mûjibât al-aql (kepastian akal). Karena syara' itu datang dengan mujawwizât al-'uqul (sesuatu yang bisa diterima oleh akal), sedangkan apabila bertentangan

dengan akal, maka dapat ditegaskan bahwa hal itu bukan bagian dari syara'. 155

Al-Habasyi mengatakan bahwa akal berfaidah ilmu qat'iy (pengetahuan yang pasti). Apabila dengan akal seseorang tidak memperoleh ilmu yang qat'iy, maka itu disebabkan oleh rusaknya nazar (perenungan) mereka. Karena tidak memenuhi

syarat-syarat nazar. 156 Dengan demikian, akal yang dapat dijadikan sebagai pedoman adalah akal yang sehat dan lurus (al-aql al-salîm). Al-aql al-salîm (akal yang sehat)

adalah akal yang tidak terpengaruh oleh hawa nafsu dan terhindar dari taklid buta, sehingga tidak terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran orang lain yang menyimpang

dari kebenaran (Q.S al-Anfal: 22). 157 Mereka juga yang akan mengaku sebagai orang yang tidak berakal pada hari kiamat (Q.S al-Mulk: 10-11). 158

Pendapat di atas bertentangan dengan pandangan para filosuf yang menjadikan akal sebagai dasar ajaran mereka, tanpa memandang pada apa yang disampaikan oleh

154 Al-Habasyi, Izhar al-'Aqidah al-Sunniyah, 317 155 Al-Khatîb al-Baghdâdi, al-Faqîh wa al-Mutafaqqih, h.132 156 157 Al-Habasyi, al-Matalib al-Wafiyyah fi Syarh al-'Aqîdah al-Nasafiyah, h.27

Maknanya: "Sesungguhnya makhluk yang seburuk-buruknya menurut Allah ialah; orang- orang yang pekak dan tuli yang tidak mau berfikir". 158 Maknanya: Dan mereka berkata: "Sekiranya Kami mendengarkan atau memikirkan

(peringatan itu) niscaya tidaklah Kami Termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". Mereka mengakui dosa mereka. Maka kebinasaanlah bagi penghuni-penghuni neraka yang menyala- nyala.

para Nabi. Mereka tidak mau menggabungkan antara nazr aqliy (teori akal) dengan kabar para Nabi para Nabi. Padahal nazar yang salim tidak pernah keluar dari apa

yang disampaikam oleh syara' dan tidak bertentangan dengan syara'. 159 Ahmad al- Rifa'I (w.578 H) sebagaimana dikutip oleh al-Habasyi mengatakan bahwa setiap

ajaran agama yang tidak sesuai dengan akal, maka itu bukan ajaran agama, sebaliknya setiap akal yang tidak sesuai dengan ajaran agama, maka itu bukan akal

yang sempurna. 160 Menurut al-Habasyi, apabila para filosuf bersedia untuk mendengar apa yang

disampaikan oleh para Nabi, dan menempatkan kabar para Nabi sebagai dasar dan akal sebagai penguatnya, niscaya mereka akan beriman dan selamat. Karena agama yang dibawa para Nabi tidak bertentangan dengan akal. Tetapi akibat dari ketidaksediaan mereka untuk mendengar para Nabi dan kesombongan mereka dengan merasa cukup dengan akal yang mereka miliki, maka mereka menjadi tersesat. Sebab nazar aqliy yang mereka lakukan menjadi terpengaruh oleh hawa nafsu mereka.

Memang tidak semua ajaran Islam dapat dipikirkan oleh sebagian akal manusia. Tetapi hal itu tidak menunjukkan bahwa sebagian ajaran Islam bertentangan dengan akal. Karena akal yang menjadi saksi kebenaran syara' adalah al-aql al-salim sebagaimana telah dijelaskan dan akal para 'ulama dan ahl al-'irfân. Bukan akal orang awam dan bodoh, yang seringkali tidak dapat membedakan antara akal dan wahm yang ada dikepalanya. Apabila yang muncul adalah wahm tentu saja tidak dapat digunakan sebagai saksi kebenaran syara'.

Terkait dengan hal tersebut, al-Habasyi menyatakan bahwa hukum-hukum agama yang wajib diyakini itu selalu berjalan pada rel akal, tidak sampainya sebagaian akal untuk memahaminya dan memahami hakikat rahasia syara' tidak perlu dipermasalahkan. Karena yang dimaksud dengan akal di sini adalah akal yang

sempurna yaitu akal para ulama al-'amilin dan ahl al-irfân. 161

159

160 Al-Habasyi, Sarîh al-Bayân, h.17 161 Al-Habasyi, Sarîh al-Bayân, h.17

Al-Habasyi, Sarîh al-Bayân, h. 127-128

Akal berbeda dengan wahm, karena wahm hanyalah berupa prasangka yang tidak memiliki bukti (tanpa dalil), seperti orang yang menyangka adanya air dijalan raya pada siang hari yang panas, padahal itu hanyalah fatamorgana belaka. Seringkali seseorang tertipu dengan wahm yang ia sangka sebagai akal. Kelompok wahhabi misalnya, mereka membantah ahl al-sunnah yang menyatakan bahwa Allah ada tanpa tempat. Mereka mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada (maujûd) seperti langit, bumi, manusia, binatang, tumbuhan dan lainnya, seluruhnya berada pada tempat. Sehingga mereka berkesimpulan bahwa setiap sesuatu yang ada pasti berada pada tempat. Apabila dikatakan bahwa Allah ada tanpa tempat, berarti Allah tidak ada. Kesimpulan seperti ini adalah berdasarkan wahm, tidak berdasarkan akal. Karena akal mengatakan bahwa sebagaimana tidak mustahil keberadaan Allah ada tanpa tempat sebelum terciptanya tempat, demikian juga tidak mustahil keberadaan Allah tanpa tempat setelah terciptanya tempat.

Tafsir al-Qur'an sebagai produk pemikiran manusia dianggap keliru apabila bertentangan dengan akal. Al-Habasyi mengatakan bahwa kebenaran syara' dapat dibuktikan dengan akal. Tidak terbayangkan adanya syara' yang bertentangan dengan akal, karena akal adalah saksi kebenaran syara'. Apabila ada syara' yang bertentangan dengan akal maka keduanya batil (salah). Apabila demikian, menurutnya, setiap lafaz yang ada dalam syara' yang berbicara tentang dzat, asma dan sifat, yang mengindikasikan bertentangan dengan akal, maka mengandung dua kemungkinan, mutawâtir atau ahad. Apabila berupa hadits ahad dan berupa nas yang tidak mengandung kemungkinan ta`wîl, maka dapat dipastikan kedustaan, kelupaan atau kesalahan orang yang mengutipnya. Tetapi apabila berupa lafaz yang zahir (memiliki kemungkinan ta`wil), maka makna zahir-nya bukan yang dimaksud oleh

syara' 162 . Sebaliknya apabila lafaz tersebut berupa lafaz yang mutawâtir, maka tidak

tergambarkan bahwa ia berupa nas yang tidak mengandung ta`wîl. Ia harus berupa

162 Al-Habasyi, Sarîh al-Bayân, h. 145 162 Al-Habasyi, Sarîh al-Bayân, h. 145

Dengan demikian, penyimpangan tafsir juga dapat dinilai dari sesuai atau tidaknya tafsir tersebut dengan al-aql al-salîm. Kelompok muktazilah tidak sepakat dengan Ahlussunnah yang mengatakan bahwa Allah dapat dilihat pada hari kiamat berdasarkan Q.S al-Qiyamah: 22-23. Mereka mengatakan bahwa Allah bukan benda dan ada tanpa tempat, karena itu sebagaimana Allah tidak bisa dilihat didunia, Ia juga tidak dapat dilihat di akhirat. Padahal al-aql al-salîm mengatakan bahwa Allah itu ada dan setiap yang ada secara akal pasti dapat dilihat. Tidak disyaratkan untuk dapat dilihat, sesuatu itu harus berupa benda atau berada pada tempat, tetapi untuk bisa dilihat sesuatu itu disyaratkan harus ada (maujûd). Kata nâzirah dalam ayat itu tidak bisa berarti memikirkan seperti pendapat kelompok Mu'tazilah, karena akhirat bukanlah tempat berfikir; juga tak bisa berarti menunggu, karena wajah atau muka tidak dapat menunggu, yang menunggu adalah manusia. Lagi pula, di surga tidak ada penungguan, karena menunggu mengandung arti dan membuat kejengkelan dan kebosanan. Oleh karena itu, nâzirah mesti berarti melihat dengan mata kepala.

163 Al-Habasyi, Sarîh al-Bayân, h. 145