Nabi Ibrâhim

a) Nabi Ibrâhim

Kisah yang menceritakan petualangan Nabi Ibrahim mencari Tuhan demikian populer di telinga umat Islam. Kisah tersebut dikutip dalam buku-buku kisah Nabi dan buku-buku kurikulum di sekolah-sekolah. Sangat sedikit di antara umat Islam yang mengetahui bahwa sumber cerita tersebut berasal dari tafsir fi Zilâl al-Qur'an

karya Sayyid Qutb (w.1966 M). Ketika menafsirkan Q.S al-An'âm: 76-79, 61 ia mengatakan bahwa Nabi Ibrâhim pernah ragu terhadap Tuhan-nya. Ia menceritakan

bahwa ketika Nabi Ibrâhim masih muda, ia memandang ke langit dan melihat sebuah bintang, lalu ia mengira bahwa itulah Tuhannya. Tetapi tatkala bintang itu lenyap, ia berkata: "saya tidak suka kepada yang tenggelam". Kemudian ia memandang ke langit lagi dan melihat bulan yang lebih terang cahayanya, lalu ia mengira bahwa itulah Tuhannya, tetapi ketika bulan itu terbenam ia pun meninggalkannya dan melanjutkan pengembaraan spiritualnya. Selanjutnya ia melihat matahari dan ia terkesima akan bentuknya yang besar dan tak ragu lagi bahwa pastilah itu Tuhannya,

61 Dikatakan: "Ketika malam telah gelap, ia melihat sebuah bintang (lalu) ia berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam ia berkata: "Saya tidak suka kepada yang

tenggelam.Kemudian tatkala ia melihat bulan terbit ia berkata: "Inilah Tuhanku". tetapi setelah bulan itu terbenam, ia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaKu, pastilah aku Termasuk orang yang sesat.Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, ia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, ia berkata: "Hai kaumku, Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan ".

namun sekali lagi matahari itu tenggelam sehingga untuk kesekian kali dugaannya tentang Tuhannya salah. 62

Penafsiran Sayyid Qutb (w.1966 M) ini, menurut al-Habasyi kontradiktif dengan al-Qur'an, akal dan ijma' umat Islam. Penafsiran ayat tersebut harus

diserasikan dengan ayat berikutnya Q.S al-An'âm: 79, 63 yang menjelaskan ketegasan Nabi Ibrahim bahwa ia bukan seorang yang musyrik (menyekutukan Tuhan-Nya).

Ayat tersebut juga diperkuat dengan Q.S al-Anbiya: 51, 64 yang menjelaskan bahwa sebelum terjadi peristiwa perdebatan antara Nabi Ibrahim dan kabilah Haran yang

menyembah bintang, Nabi Ibrahim telah mendapat petunjuk (mengetahui bahwa ketuhanan hanya berlaku bagi Allah dan tidak ada yang berhak disembah selain

Allah). 65 Dalam Q.S al-An'âm: 83, 66 juga dijelaskan bahwa hujjah yang telah

disampaikan oleh Nabi Ibrahim kepada kaumnya yang tidak beriman adalah hujah Allah yang telah diberikan kepada sang Nabi-Nya untuk mengahadapi kaumnya. Dengan demikian, pernyataan Nabi Ibrahim dalam surat al-An'am: 76 di atas, harus dipahami bahwa Nabi Ibrahim ketika itu, sedang berdebat dengan kaumnya, untuk menjelaskan kepada mereka bahwa bintang, bulan dan matahari yang mereka sembah tidak layak untuk dijadikan Tuhan. Sebab ketiganya senantiasa berubah-rubah, padahal secara akal sesuatu yang berubah pasti membutuhkan pada sesuatu yang lain yang merubahnya, dan sesuatu yang butuh berarti lemah, dan sesuatu yang lemah bukan Tuhan.

Dalam Q.S Ali Imrân: 67, ditegaskan bahwa Nabi Ibrahim tidak pernah menjadi seorang Yahudi atau seorang Nasrani, akan tetapi ia adalah seorang muslim

62 Sayyid Qutb, al-Taswîr al-Fanni fi al-Qur'ân, (Dar Ihya al-Kutub al-'Arabiyah, t.t), h.113

64 Maknanya:" ….dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan". Maknanya: "Dan Sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran

sebelumnya". 65 Maknanya: Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran

sebelum ( sebelum diturunkan Taurat kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ) 66 Maknanya: "Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya".

yang lurus (jauh dari kesyirikan dan kesesatan), dan dijelaskan juga dalam ayat tersebut bahwa Nabi Ibrahim tidak pernah menjadi seorang musyrik. Dari sini menjadi jelas bahwa Nabi Ibrahim adalah seorang muslim yang tidak pernah mensekutukan Allah dengan sesuatupun dari makhluknya sejak ia belum di angkat

sebagai utusan Allah. 67 Menurut al-Habasyi penafsiran Sayyid Qutb (w.1966 M) kontradiktif dengan

akidah Islam yang yang telah disepakati oleh ulama Islam (ijmâ') bahwa seluruh para Nabi terjaga (ma'sûm) dari kekufuran. 68 Penafsiran tersebut menurutnya juga

bertentangan dengan akal sehat, sebab apabila seandainya seorang Nabi itu pernah melakukan kekufuran, tentu umatnya tidak akan mempercayainya. Karena mereka akan berfikir, bisa jadi suatu ketika ia akan menarik dakwahnya pada Islam dan

kembali kepada kekufurannya. 69 Menurut al-Habasyi, perkataan Nabi Ibrâhim ketika melihat bintang: "hadza

rabbî", mengandung arti istifhâm inkâri (pertanyaan yang berarti pengingkaran). Sehingga seakan-akan Nabi Ibrâhim ingin mengatakan: "Inikah Tuhanku seperti yang kalian katakan?!". Kemudian ketika tenggelam, Ibrâhim mengatakan: "lâ uhibbu al- âfilîn" , aku tidak menyukai yang tenggelam, maksudnya bahwa bintang ini tidak layak untuk menjadi Tuhan, bagaimana kalian bisa meyakini bintang sebagai

tuhan?!. 70 Dan tatkala kaum Nabi Ibrâhim tidak menangkap maksud perkataan Nabi