Komparasi tafsir dengan usûl al-syarî'ah

A. Komparasi tafsir dengan usûl al-syarî'ah

Untuk mengidentifikasi tafsir yang mamdûh (terpuji) dari tafsir yang madzmûm (tercela), menurut al-Habasyi cukup hanya dengan mengkomparasikannya dengan kesatuan usûl al-syarî'ah. Ayat-ayat al-Qur'an yang bersifat zanniy (interpretatif) harus di-interpretasi-kan selaras dengan usûl al-syarî'ah yang qat'iy al-tsubût wa al- dilâlah .

1. Al-Qur'an

"Al-Qur'an yufassiru ba'duhu ba'dan" , demikian adagium yang senantiasa dipegang oleh para ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur'an. Karena itu wajar apabila mereka menjadikan tafsir al-Qur'an bi al-Qur'an sebagai jenis tafsir bi al- ma`tsûr yang paling kuat. Meskipun tidak dianggap benar, kecuali apabila yang menafsirkannya adalah Nabi atau telah disepakati (mujma' 'alaihi). Ibn Katsir (w.774

H) dalam muqaddimah tafsirnya menegaskan bahwa cara terbaik dalam menafsirkan al-Qur'an adalah dengan menafsirkan al-Qur'an dengan al-Qur'an. Apabila terdapat ayat yang mujmal dalam satu tempat, maka ayat tersebut akan dijelaskan maknanya pada tempat (ayat) yang lain, dan ayat yang diringkas pada satu tempat, maka dalam

tempat yang lain telah dijelaskan secara rinci. 3 Pernyataan tersebut juga ditegaskan kembali oleh al-Dzahabi, ia menjelaskan bahwa bagi setiap orang yang akan

menafsirkan al-Qur'an, maka ia harus melihat pada al-Qur'an itu sendiri. Ia harus mengumpulkan ayat-ayat yang berbicara tentang tema yang sama dan membandingkannya satu sama lain. Ayat-ayat yang bersifat memberi penjelasan bisa digunakan untuk memahami ayat yang mujmal (global), dan ayat-ayat yang muqayyad dapat digunakan untuk memahami ayat yang mutlaq, ayat-ayat yang

3 Ibnu Katsir, Tarsir al-Qur'an al-'Azim , juz 1, h.4 3 Ibnu Katsir, Tarsir al-Qur'an al-'Azim , juz 1, h.4

Dalam perkembangan ilmu tafsir modern, tafsir al-Qur'an bi al-Qur'an berkembang menjadi metode tafsir maudû'i. Sebuah metode tafsir al-Qur'an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat al-Qur'an yang sama temanya untuk dianalisa, sehingga memperoleh hasil penafsiran yang komprehensif dan tidak parsial. Metodologi tafsir maudû'i dianggap paling relevan untuk menjawab persoalan manusia yang semakin banyak dan komplek sebagai dampak dari globalisasi dalam segala bidang.

Tafsir al-Qur'an bi al-Qur'an, sebagaimana dilakukan oleh Nabi, sahabat dan para ulama klasik juga ulama kontemporer dengan tafsir maudû'i-nya terilhami oleh sebuah dogma teologis bahwa ayat-ayat al-Qur'an tidak saling bertolak belakang (tanâqud) . Seorang mufassir yang tidak memperhatikan hal ini, sering terjebak pada penafsiran kontroversial, karena dinilai kontradiktif dengan penafsiran pada ayat al- Qur'an yang lain.

Agar tidak terjebak dalam mempertentangkan ayat-ayat al-Qur'an, seorang mufassir harus mengetahui bahwa ayat al-Qur'an terbagi menjadi dua kelompok, muhkamat , sebagai induk al-Qur'an dan mutasyâbihât sebagai cabangnya (Q.S Ali

Imran: 7). 5 Menurut al-Habasyi, ayat muhkamat tidak boleh dipahami dengan selain satu makna yang dikandungnya, sedangkan ayat mutasyâbihat, tidak boleh

4 Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, h.31 5 Maknanya : "Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al- Qur'an) kepada Muhammad. Di antara

(isi)nya ada ayat-ayat muhkamat, itulah Umm al-Qur'an (yang dikembalikan dan disesuaikan pemaknaan ayat-ayat al Qur'an dengannya) dan yang lain ayat-ayat mutasyâbihat. Adapun orang-orang yang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyâbihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta`wîlnya sesuai dengan hawa nafsunya, padahal tidak ada yang mengetahui ta`wîlnya (seperti saat tibanya kiamat) melainkan Allah serta orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan : "kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal" (isi)nya ada ayat-ayat muhkamat, itulah Umm al-Qur'an (yang dikembalikan dan disesuaikan pemaknaan ayat-ayat al Qur'an dengannya) dan yang lain ayat-ayat mutasyâbihat. Adapun orang-orang yang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyâbihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta`wîlnya sesuai dengan hawa nafsunya, padahal tidak ada yang mengetahui ta`wîlnya (seperti saat tibanya kiamat) melainkan Allah serta orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan : "kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal"

a. Bahasa arab sebagai kriteria kritik tafsir ayat muhkamat

Menurut al-Habasyi, ayat muhkamât adalah ayat yang dari sisi kebahasaan memiliki satu makna saja dan tidak memungkinkan untuk di-ta`wîl pada makna lain. 7

Definisi seperti ini tidak jauh berbeda dengan definisi yang telah dibuat oleh para ulama al-Qur'an sebelumnya, sebagaimana diungkapkan oleh al-Suyûti (w.911 H)

dalam al-Itqân. 8 Ayat-ayat al-Qur'an yang masuk dalam kelompok ayat ini misalnya

9 10 Q.S al-Syura: 11, 11 al-Ikhlâs: 4, dan Maryam: 65. Ketiga ayat ini adalah ayat yang berbicara tentang teologi atau keimanan, menjelaskan bahwa Tuhan sama sekali tidak

serupa dengan makhluk-Nya. Mengingat ayat muhkamat hanya mengandung satu makna dalam bahasa arab, maka ayat tersebut harus dipahami secara zahir-nya, sesuai dengan kandungan makna bahasanya. Tidak diperkenankan ada ta`wîl, sebab ta`wîl pada ayat muhkamat berarti tahrîf al-Qur'an (menyelewengkan al-Qur'an). Karena sebagai sebuah kitab yang diturunkan dengan menggunakan bahasa arab, tidak mungkin pemahaman al-Qur'an menyalahi atau bertentangan dengan bahasa arab itu sendiri.

6 Al-Habasyi, al-Syarh al-Qawîm, h.190 7 Al-Habasyi, Sarîh al-Bayân, h.64 8 Al-Suyuti menyebutkan definisi ayat muhkamât sebagai berikut: 1. Ayat yang telah diketahui

maksudnya, dengan zahir-nya atau dengan ta`wîl 2. Ayat yang maknanya telah jelas 3. Ayat yang dari segi ta`wîl hanya memiliki satu makna saja 4. Ayat yang maknanya ma'qul (rasional) 5. Ayat yang dapat berdiri sendiri (tidak membutuhkan penjelasan dari selainnya) . Al-Zarqâni menjelaskan bahwa apabila pendapat-pendapat para ulama tentang definisi ayat muhkamât diperhatikan dengan seksama, sejatinya tidak akan ditemukan pertentangan. Sebaliknya akan ditemukan persamaan dan tasyâbuh (penyerupaan). Pernyataan al-Zarqâni memang sangat tepat, sebab ayat al-Qur'an yang telah diketahui maksudnya adalah ayat yang maknanya jelas. Makna suatu ayat menjadi sangat jelas dan pasti, manakala ayat tersebut dari segi bahasa hanya memiliki satu makna saja. Dan karena maknanya telah jelas maka ia tidak membutuhkan pada sesuatu yang lain sebagai penjelas dan seterusnya. Al-Suyuti, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an, Juz 2, h.3. Perbedaan ulama seputar definisi ayat muhkamat juga di kutip oleh al-Zarqani, Manâhil al-'Irfan, jld. 2, h. 289-294 9

Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya”. Ayat ini adalah ayat yang paling jelas di dalam al-Qur'an yang menegaskan bahwa Allah maha suci dari menyerupai dengan makhluknya. Baca: Syabab Ahlussunnah wal Jama'ah, Majmu'ah al-Qutûf al-Dâniyah (Jakarta: Syahamah Press, 2006 M), h.3 10

11 Maknanya: “Dia (Allah) tidak ada satupun yang menyekutui-Nya”. Maknanya: “Allah tidak ada serupa bagi-Nya”.

Persoalan yang muncul adalah bahwa setiap bahasa termasuk bahasa arab senantiasa berkembang setiap masa. Tentang hal ini, Abd Allâh al-Ghumâri (w.1413

H) menegaskan bahwa seorang mufassir wajib menafsirkan ayat al-Qur'an dengan makna-makna yang dikenal oleh orang arab ketika ayat tersebut diturunkan, baik dari segi haqîqah ataupun majâz. Hal ini berdasarkan firman Allah "inna anzalnâhu qur'anan 'arabiyyan ". Karena itu, ia juga tidak sependapat apabila al-Qur'an ditafsirkan dengan makna-makna yang baru yang muncul setelah tanzîl (setelah selesainya proses turunnya al-Qur'an). Menurutnya seseorang yang menafsirkannya dengan makna semacam itu, maka secara tidak langsung dia telah menganggap bahwa al-Qur'an telah berbicara dengan orang arab yang belum memahami dan

mengetahuinya. 12 Diantara orang yang memahami dengan makna baru adalah Muhammad Abduh

(w.1323 H). Ketika menafsirkan Q.S al-Fîl, ia menjelaskan bahwa makna burung Ababil pada ayat tersebut bukanlah burung ynag sebenarnya, tetapi maknanya adalah wabah penyakit. 13 Model penafsiran seperti ini mendapat kritik tajam dari M. Quraisy

Shihab, menurutnya Muhammad Abduh masih belum mampu melepaskan akidah dan madzhab mereka dalam menafsirkan al-Qur’ân. Asumsi ini diketahui dari adanya sekian banyak penakwilan tanpa menggunakan alasan yang dianut mayoritas ulama, hanya dengan dalih bahwa tanpa penakwilan tersebut maka makna yang dikandung ayat itu tidak dipahami berdasarkan ukuran akal penafsirannya, bukan berdasarkan

ukuran kekuasaan dan kudrat Allah. 14 Penggunaan makna-makna baru dalam tafsir al-Qur'an juga dilakukan oleh Nasr Hamid Nasr Hâmid Abû Zayd, ketika

menafsirkan Q.S al-Baqarah: 102 15 ia menjelaskan bahwa makna jin, syetan dalam

12 Al-Ghumari, Bida' al-Tafâsir, h.12-13 13 M. Abduh, Tafsir Juz 'Amma,(Kairo: al-Amiriyah, 1322H) h.35

15 M. Quraisy Sihab, Rasionalitas al-Qur'an, (Jakarta: Lentera Hati, 2006 M) h. 181-182 Maknanya: "Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan

Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil Yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil Yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka

orang-orang yang menafsirkan lafaz al-Qur'an dengan bahasa yang asing atau dengan i'rab yang lemah dari segi kaidah nahwunya, karena hal itu bisa diartikan sepagai

penafian terhadap fasahah al-Qur'an. 17 Semua bentuk interpretasi terhadap al-Qur'an harus dibangun dari teks yang

berbahasa arab, pemahaman yang akurat tidak mungkin akan muncul dari suatu interpretasai yang tidak berlandaskan teks. Karena hal tersebut bisa berarti membuat al-Qur'an tersendiri dan bukan meng-interpertasi-kan al-Qur'an. Dengan demikian penguasaan bahasa arab mutlak harus dimiliki oleh seorang mufassir, agar tidak keliru dalam penafsirannya. Tamêm Usâma menegaskan bahwa tanpa pemahaman yang mendalam terhadap bahasa al-Qur'an, maka besar kemungkinan bagi seorang mufassir akan melakukan penyimpangan (distorsi) dan kesalahan interpretasi

(misinterpretasi) 18 . Tidak dapat disangkal, bahwa pemahaman terhadap konteks ayat sangat penting

untuk memahami ayat-ayat al-Qur'an. Terbukti para ulama tafsir mensyaratkan bagi seorang mufassir untuk mengetahui asbâb al-nuzûl dan al-nasikh wa al-mansûkh. Namun tafsir kontekstual tetap harus mengacu pada teks al-Qur'an yang berbahasa arab, dan tidak boleh keluar darinya. Abd al-Rahman bin Nasir al-Sa'di menyebutkan salah satu kaidah tafsir yang mesti diperhatikan oleh seorang mufassir al-Qur'an, berbunyi:

mereka mempelajari dari kedua Malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudarat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudarat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui".

16 Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-Khitâb al-Diniy, h.206 17 Al-Ghumâri, Bida' al-Tafâsîr, h. 12-13 18 Tamîm Usâma, “Methodologies of The Qur’anic Exegesis” terj. Hasan Basri dengan judul

“Metodologi Tafsir al-Qur'an, Kajian Kritis, Obyektif Dan Komprehensif” (Jakarta: Riora Cipta, 2000 M), h.33

"Setiap makna yang digali dari al-Qur'an, yang tidak berlaku dalam bahasa arab, maka makna tersebut tidak benar menurut 'ulûm al-Qur'an". 19

Ijtihâd Umar (w.23 H) sering sekali dijadikan sebagai dalih untuk melegalkan penafsiran kontekstual tanpa mempertimbangkan makna. Dalam salah satu ijtihâd- nya, Umar bin Khattab (w.23 H) tidak memberi bagian zakat kepada al-muallaf qulûbuhum. Ijtihâd tersebut dianggap secara nyata telah keluar dari teks, karena dalam teks ayat mustahiq zakat (Q.S al-Taubah: 60), menyebutkan bahwa al-muallaf qulûbuhum adalah salah satu asnâf (kelompok) yang berhak menerima zakat. Pernyataan seperti itu tidak tepat, karena apa yang dilakukan oleh Umar (w.23 H) dalam kasus tersebut adalah suatu hukum yang berkaitan dengan 'illah (sebab). Al- muallaf qulûbuhum mendapatkan bagian zakat pada masa Rasulullah dan Abu Bakar, karena pada masa itu umat Islam dalam keadaan lemah. Namun pada masa Umar, 'illah tersebut sudah tidak ada lagi, Umat Islam sudah tidak lemah lagi, sehingga Umar memandang bahwa mereka tidak perlu lagi untuk diberi bagian zakat.

Muhammad Zâhid al-Kautasri (w.1371 H) menjelaskan bahwa ijtihad Umar bin Khattab (w.23 H) dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok:

1. Permasalahan yang belum diketahui ketetapan hukumnya pada masa Nabi. Dalam kasus seperti ini Umar mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah. Apabila ditemukan kata sepakat (ijmâ' sahabat), maka tidak boleh diragukan kebenarannya, seperti ketetapan hukum bagi orang yang melakukan jima' pada waktu ihram, bahwa dia harus melanjutkan ibadahnya serta meng-qada-nya. Sedangkan apabila tidak ada kesepakatan antara Umar dengan para sahabat, masih diperselisihkan (mukhtalaf fîhi) seperti dalam masalah kakek dengan ikhwah dalam masalah waris, maka diperbolehkan untuk mengambil pendapat salah satu dari pendapat mereka.

19 Kaidah ini dikutip oleh Abd al-Rahman bin Nâsir al-Sa'di, al-Qawa'id al-Hisan li Tafsir al- Qur'an (Riyad: Maktabah al-Ma'ârif, 1400 H/1980 M) h.224

2. Permasalahan tersebut telah ada ketetapan hukumnya pada masa Nabi, tetapi berbeda dengan ijtihâd Umar. Dalam kasus seperti ini, adakalanya pertama, Umar telah meralatnya kembali, dan mengikuti ketetapan Nabi. Apabila demikian maka pendapat Umar yang pertama tidak boleh dipakai. Kedua, ketetapan hukum Nabi ada dua versi yang salah satunya sesuai dengan ijtihâd Umar, maka hasil ijtihâd Umar dianggap me-naskh ketetapan Nabi yang lainnya. Ketiga, Nabi memberi rukhsah (keringanan) terhadap beberapa jenis ibadah, kemudian Umar memilihnya untuk umat Islam yang dianggapnya paling baik dan cocok. Dalam kasus seperti ini, tidak diperbolehkan mengamalkan hukum, selain yang telah dipilih Umar. Keempat, ketetapan hukum Nabi berlaku karena ada 'illat (sebab) tertentu. Namun kemudian hilang 'illat-nya, sehingga hukumnya menjadi hilang dengan hilangnya 'illat, seperti

dalam kasus al-muallafah qulûbuhum. 20 Dengan demikian, ayat muhkamat harus dipahami sesuai dengan kandungan

makna teksnya. Konteks ayat bisa menjadi pertimbangan, akan tetapi tetap tidak boleh melampaui teksnya yang hanya mengandung satu kemungkinan makna. Menurut al-Habasyi ta`wîl yang dilakukan oleh sebagian ahli ta`wîl bahwa kata "kursi " pada ayat kursi adalah suatu bentuk ungkapan untuk menunjukkan ilmu, tidak dapat dibenarkan. Karena bahasa tidak mengizinkan makna yang seperti itu, sedangkan al-Qur'an tidak boleh ditafsirkan dengan penafsiran yang tidak sesuai dengan bahasa. Sebab bertentangan dengan penegasan Allah bahwa al-Qur'an

diturunkan dengan menggunakan bahasa arab. 21

b. Ayat muhkamat sebagai kriteria kritik tafsir ayat mutasyâbihat

Berbeda dengan ayat muhkamat, ayat mutasyâbihat dari segi bahasa memiliki banyak kemungkinan makna dan pemahaman, sehingga perlu direnungkan agar

diperoleh pemaknaan yang tepat yang sesuai dengan ayat-ayat muhkamât. 22 Ayat-ayat

20 Muhammad Zâhid al-Kautsâri, al-Isyfâq 'ala Ahkam al-Talâq, (Kairo: al-maktabah al- azhariyah li al-Turats, 1994 M), h.41-42

22 Al-Habasyi, Izhar al-'Aqidah al-Sunniyah, h.197-198 Al-Habasyi, al-Maqâlat al-Sunniyah fi Kasyfi Dalalat Ahmad Ibn Taimiyah, (Bairut: Dar al-

Masyari' cet. V,1423 H/2002 M) h.188 Masyari' cet. V,1423 H/2002 M) h.188

Meskipun ayat mutasyâbihat bersifat multi interpretatif, tetapi tidak berarti bahwa segala interpretasi yang diberikan pada ayat tersebut dapat di benarkan. Karena pemahaman ayat mutasyâbihat harus disinkronkan dengan pemahaman ayat muhkamat sebagai umm al-kitab (induk al-Qur'an). Al-Sarkhasyi (w.490 H) menjelaskan bahwa ayat muhkamat disebut sebagai umm al-kitâb (induk al-Qur'an), karena ayat tersebut menjadi rujukan dalam memahami ayat al-Qur'an yang lain.

Menurutnya, kedudukan ayat muhkamat seperti kedudukan ibu bagi anaknya. 25 Ibn al-Hisar sebagaimana dikutip oleh al-Suyuti (991 H) menjelaskan bahwa penyebutan

ayat-ayat muhkamat dengan umm (induk) dari al-Qur'an karena kepadanyalah ayat- ayat mutasyâbihât harus di kembalikan. Ayat muhkamat-lah yang mesti dijadikan pedoman dalam memahami maksud Allah ta'ala. 26

Al-Râzi (w.606 H) menjelaskan bahwa ayat muhkamat dapat dipergunakan untuk menguak misteri makna ayat mutasyâbihât. 27 Bahkan Ibnu Katsîr (w.774 H)

dengan lebih tegas menyatakan bahwa seseorang yang mengembalikan ayat mutasyâbihat pada muhkamât, maka ia akan mendapatkan petunjuk. Sebaliknya seseorang yang mengembalikan ayat muhkamât pada ayat mutasyâbihât, maka ia akan tersesat dan ia adalah diantara orang yang dalam hatinya terdapat kesesatan (zaigh) . Karena itu Allah memuji al-râsikhûna fi al-'ilm (orang yang mendalam

ilmunya) dan mencela al-zâighin (orang-orang tersesat). 28

24 Maknanya: "Allah Istiwa Arsy". Maknanya: "Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu

semuanya. kepadanyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkannya…" 25 Al-Syarkhasi, Usûl al-Sarkhasi, (Bairut: Dar al-Ma'rifah, t.t) juz 1, h. 165

27 Al-Suyuti, al-Itqân fi 'Ulum al-Qur'an, juz 2, h.354 28 Al-Râzi, al-Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtih al-Ghaib, (Bairut: Dar al-Fikr, 1993 M) juz, 4 h.72 Ibn Katsir, Tarsir al-Qur'an al-'Azim, juz 2, h.365

Pernyataan senada disampaikan oleh al-Sa'di, ia menjelaskan bahwa al- Râsikhûn fi al-'Ilm, dalam memahami ayat-ayat mutasyâbihât , mereka mengembalikan makna ayat-ayat tersebut pada makna ayat yang muhkamât. Merekapun akhirnya mengatakan bahwa semua ayat al-Qur'an (muhkamât dan mutasyâbihat) berasal dari Allah, karenanya tidak mungkin saling bertentangan (tanaqud) . Ayat yang mutasyâbihât ditafsirkan oleh ayat yang muhkamât yang ada di

tempat lain, sehingga hilanglah kesulitan dalam memahami ayat yang mutasyâbihât. 29 Sebagian orang tidak sependapat dengan pendapat ini, mereka beralasan bahwa

tidak pernah ada kesepakatan tentang penilaian mana ayat yang muhkamat dan mana yang mutasyâbihât. Karena faktanya meskipun ayat tertentu diklaim sebagai ayat muhkamat , tetap saja ada perbedaan penafsiran pada ayat tersebut. Pendapat seperti ini tidak tepat, karena untuk menilai sebuah ayat muhkamat, bukan dilihat dari ada atau tidaknya perbedaan penafsiran terhadap ayat tersebut. Tetapi dilihat dari segi bahasa arab sebagai bahasa al-Qur'an, apakah ia memiliki kemungkinan makna lain atau tidak. Apabila tidak memiliki kemungkinan makna lain dari segi bahasa, maka ia disebut muhkamat. Karena sejelas dan se-muhkam apapun suatu ayat al-Qur'an, pasti terdapat orang yang memahami berbeda, tetapi perbedaan itu tidak lantas menjadikan ayat tersebut menjadi mutasyâbihat, karena secara bahasa penafsiran yang ia lakukan tidak memiliki landasan.

Selain berimplikasi pada pertentangan ayat al-Qur'an, pemahaman ayat mutasyâbihât secara zahir-nya, khususnya pada ayat-ayat sifat Tuhan, tanpa disesuaikan dengan ayat muhkamât juga akan berakibat fatal. Karena dapat menjerumuskan sang penafsir pada kufur tasybih. Ibnu Abbâs ketika menjelaskan firman Allah "fa yattabi'una mâ tasyâbaha minhu", menegaskan bahwa mereka yang membawa ayat-ayat muhkamât pada ayat yang mutasyâbihât dan ayat mutasyâbihât

29 Al-Sa'di, al-Qawa'id al-Hissan li Tafsir al-Qur'an, h.70 29 Al-Sa'di, al-Qawa'id al-Hissan li Tafsir al-Qur'an, h.70

Sebagai contoh, orang yang memahami istawa dalam surat Taha: 5, dengan duduk atau bersemayam, berarti penafsirannya kontradiktif dengan ayat muhkamât yang menafikan penyerupaan Allah ta'ala dengan makhluk-Nya (Q.S al-Syura: 11). Karena duduk dan bersemayam dalam bahasa arab tidak digunakan kecuali sebagai sifat jisim (benda), duduk hanya digunakan untuk sutu benda yang memiliki dua

bagian tubuh; atas dan bawah. 31 Secara tidak sadar ia telah terjerembab pada kufur tasybih . Karena itu Ahmad al-Rifa'i (w.578 H) selain meminta kepada umat Islam

agar dalam menafsirkan ayat mutasyâbihat diselaraskan dengan ayat muhkamat, mengingat ayat muhkamât adalah pokok al-Qur'an (umm al-kitab) dan ayat

mutasyâbihat 32 tidak bertentangan dengan ayat muhkamât, di tempat lain, secara lebih tegas mengingatkan kepada umat Islam agar tidak berpegang pada zâhir ayat

mutasyâbihat 33 , karena hal itu merupakan pangkal kekufuran. Dalam menyikapi ayat mutasyâbihat yang zahir-nya mengindikasikan adanya

tanâqud (pertentangan) dalam al-Qur'an, menurut al-Habasyi, metode ta`wîl adalah satu-satunya metode untuk mensinkronkan antara ayat muhkamat dengan ayat mutasyâbihat . Sehingga pemahaman ayat tersebut tidak kontradiktif dengan ayat muhkamat . Menurutnya, ta`wîl dapat dilakukan dengan dua metode; ijmaliy (global) dan tafsiliy (terperinci). Mayoritas ulama salaf men-ta`wîl ayat-ayat mutasyâbihat secara global (ta`wîl ijmâli), yaitu dengan mengimani dan meyakini bahwa maknanya bukanlah sifat-sifat jism (sesuatu yang memiliki ukuran dan dimensi), tetapi memiliki makna yang layak bagi keagungan dan kemahasucian Allah, tanpa menentukan

30 Ibnu Abi Hatim, Tafsir Ibnu Abi Hatim, (Bairut: Dar al-Ma'rifah, t.t), juz 2 h. 416 31 Al-Habasyi, Sarîh al-Bayân, h.99 32 Qism al-Abhats Jam'iyah al-Masyari' al-Khairiyah al-Islamiyah, Ijâbah al-Dâ'I Ila Bayan

I'tiqâd al-imam Ahmad al-Rifa'i (Bairut: Dar al-Masyari', cet. 1, 1996 M/ 1417 H) h.57 33 Ahmad al-Rifâ'i berkata:

ﺮﻔﻜﻟا لﻮ ﺻأ ﻦﻣ ﻚﻟذ نﺈﻓ ﺔﻨﺴﻟاو بﺎﺘﻜﻟا ﻦﻣ ﮫﺑﺎﺸﺗ ﺎﻣ ﺮھﺎﻈﺑ ﻚﺴﻤﺘﻟا ﻦﻣ ﻢﻛﺪﺋﺎﻘﻋ اﻮﻧﻮﺻ "jagalah akidah kalian dari beregang teguh pada zahir ayat al-Qur'an dan hadits mutasyabihat. Karena hal itu adalah pangkal kekufuran".Lihat: Ahmad al-Rifa'iy, Maqâlat min al-Burhân al- Muayyad (Dar al Masyari',1425 H/ 2004 M) h.17 ﺮﻔﻜﻟا لﻮ ﺻأ ﻦﻣ ﻚﻟذ نﺈﻓ ﺔﻨﺴﻟاو بﺎﺘﻜﻟا ﻦﻣ ﮫﺑﺎﺸﺗ ﺎﻣ ﺮھﺎﻈﺑ ﻚﺴﻤﺘﻟا ﻦﻣ ﻢﻛﺪﺋﺎﻘﻋ اﻮﻧﻮﺻ "jagalah akidah kalian dari beregang teguh pada zahir ayat al-Qur'an dan hadits mutasyabihat. Karena hal itu adalah pangkal kekufuran".Lihat: Ahmad al-Rifa'iy, Maqâlat min al-Burhân al- Muayyad (Dar al Masyari',1425 H/ 2004 M) h.17

Secara praktis, ta`wil ijmaliy adalah seperti komentar al-Syâfi'i (w.204 H), ketika ditanyakan kepadanya tentang ayat sifat mutasyâbihat, ia mengatakan: "Aku beriman dengan segala yang berasal dari Allah sesuai dengan apa yang dimaksudkan Allah dan beriman dengan segala yang berasal dari Rasulullah sesuai dengan yang

dimaksud Rasulullah". 35 Maksud perkataan ini adalah bukan sesuai dengan yang terbayangkan oleh prasangka dan benak manusia yang merupakan sifat-sifat fisik dan

benda (makhluk) yang tentunya mustahil bagi Allah. 36 Jawaban hampir serupa diberikan oleh Malik bin Anas (w.179 H), ketika ditanya tentang makna ayat istiwa`

(Q.S Taha: 5), ia mengatakan: "Istawa sebagaimana Allah mensifati diri-Nya, dan tidak dikatakan bagaimana (sifat makhluk), dan sifat makhluk itu tidak mungkin

bagi-Nya". 37 Sedangkan ta`wîl tafsiliy adalah men-ta`wîl ayat-ayat mutasyâbihât secara

terperinci dengan menentukan makna-maknanya sesuai dengan penggunaan kata tersebut dalam bahasa Arab. 38 Ta`wîl dengan jenis ini umumnya dilakukan oleh para

ulama khalaf. Metode ini bisa diambil dan diikuti, terutama ketika dikhawatirkan terjadi goncangan terhadap keyakinan orang awam demi untuk menjaga dan membentengi mereka dari tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya).

Sebagai contoh, Q.S Sad: 75, 39 ayat ini boleh di-ta`wîl-kan bahwa yang dimaksud dengan al-yadayn adalah al-'inayah (perhatian khusus) dan al-hifz (pemeliharaan dan

penjagaan). 40

34 Al-Habasyi, al-Syarh al-Qawîm, h. 45

36 Ibn Taimiyah, Majmu' al-Fatawa, (al-Al-maktabah al-syamilah vol.2) juz 4, h.2 Al-Habasyi, Izhar al-'Aqidah al-Sunniyah h.26 37 Al-Baihaqi, al-Asmâ wa al-Sifât, (Bairut: Dar Ihya al-Turats al-'Arabiy, t.t), h.408

38 Al-Habasyi, al-Syarh al-Qawîm, h. 46 39 Maknanya: Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang

telah Ku-ciptakan biyadayya". 40 Al-Habasyi, al-Syarh al-Qawîm,h.202

Meskipun demikian, di antara para ulama salaf seperti al-Bukhâri (w.810 H), Ahmad bin Hanbal (w.241 H), Mujâhid (w.101 H), Ibnu Abbâs (w.68 H), Sufyân al- Tsauri (w.161 H) juga ada yang melakukan ta`wîl tafsili. Al-Bukhâri (w.810 M) men-

ta`wîl 41 kata "wajh" dalam Q.S al-Qasas: 88 dengan "illa mulkahu" (kecuali kekuasaan dan pengaturan-Nya terhadap makhluk-Nya) atau amal yang dilakukan

untuk mendekatkan diri kepada-Nya. 42 Kekuasaan Allah adalah sifat Allah yang azali (tidak memiliki permulaan), tidak seperti kekuasaan yang Ia berikan kepada makhluk-

Nya. Ahmad bin Hanbal (w.241 H) men-ta`wîl Q.S al-Fajr: 22 ("wa jâ `a rabbuka"), secara tafsili (terperinci) dengan datang kekuasan-Nya (tanda-tanda kekuasaan-

Nya)". 43 Mujâhid (w.101 H) men-ta`wil kata "wajh" dalam Q.S al-Baqarah: 15 dengan qiblah. 44

Penegasan al-Habasyi di atas sekaligus membantah pandangan kelompok literalis Wahhabi yang secara tegas menolak ta`wîl. Mereka mengatakan bahwa ta`wîl adalah ta'tîl (meniadakan ayat). Karena terbukti bahwa ta`wîl baik yang tafsili maupun ijmâli telah dilakukan oleh para ulama, salaf dan khalaf. Penolakan Ta`wîl juga dapat menyebabkan adanya pertentangan (tanaqud) ayat al-Qur'an secara haqiqi. Pernyataan bahwa ta`wîl tidak diperbolehkan sebenarnya juga telah terbantahkan oleh doa Rasulullah untuk Ibnu Abbas: “Ya Allah, berilah ia pemahaman tentang agama

dan ajarilah ia ta`wîl al-Qur'an”. 45 Ibn al-Jawzi (w.597 H) dalam kitabnya al-Majalis berkata: "Tidak diragukan lagi bahwa Allah mengabulkan doa Rasulullah ini". 46

41 Maknanya: "… tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah." 42 Diriwayatkan oleh al-Bukhâri, Sahîh al-Bukhari, kitab al-tafsir, bab tafsir surat al-Qasas (al-

maktabah al-syamilah Vol.2), juz 4, h.1787 43 Sanad perkataan imam Ahmad ini di-sahih-kan oleh al-Hafiz al-Bayhaqi, seorang ahli hadits yang menurut al-Hafiz Salahuddin al-'Ala-i setelah al-Bayhaqi dan al-Daraqutni, belum ada ahli hadits yang menyamai kapasitas keduanya atau mendekati kapasitas keduanya. Komentar al-Bayhaqi terhadap sanad tersebut ada dalam kitabnya Manâqib Ahmad. Sedang komentar al-Hafiz Abu Sa'id al-

'Ala-i mengenai al-Bayhaqi dan al-Daraqutni terdapat dalam bukunya al-Wasyyu al-Mu'lam. Al Hafiz Abu Sa'id al-'Ala-i sendiri menurut al-Hafiz Ibnu H ajar : "Dia adalah guru dari para guru kami", beliau hidup pada abad VII Hijriyah.

44 Al-Baihaqi, al-Asma` wa al-Sifat, h.309 45 Hadits diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad ibn Hanbal, musnad bani

Hasyim, musnad Abd Allah ibn al-Abbas, 46 (al-maktabah al-syamilah, Vol.2), juz 1, h.266. Ibn al-Jauzi, al-Majâlis, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t), h.13

Kelompok literalis wahhâbi menyatakan bahwa ayat sifat mutasyâbihât, hanya Allah saja yang mengetahui maknanya, manusia tidak akan pernah dapat memahaminya. Untuk menyikapi ayat semacam itu, harus diserahkan pemahamannya kepada Allah (tafwîd). Menurut al-Habasyi, pernyataan seperti ini adalah suatu bentuk penghinaan yang terbesar terhadap kenabian, bahwa Nabi tidak mengetahui ta`wîl ayat sifat Allah. Berarti beliau mengajak kepada manusia untuk mengetahui

sesuatu yang ia sendiri tidak mengetahuinya. 47 Umat akan mengatakan kepada Nabi; jelaskan dulu kepada siapa, kamu mengajak kami?, dan apa yang kamu katakan?.

Keimanan terhadap sesuatu yang tidak diketahui pada dasarnya tidak akan pernah akan muncul dari seseorang. Penisbatan kepada Nabi bahwasanya ia mengajak pada Tuhan yang disifati dengan sifat yang tidak masuk akal adalah penghinaan yang besar, tidak dapat dibayangkan oleh seorang muslim. Sebab tidak mengetahui sifat

Allah, berarti tidak mengenal terhadap yang disifati (Allah). 48 Menurut al-Habasyi, mutasyâbihat bukan berarti tidak dapat diketahui

maknanya oleh manusia, dan hanya diketahui oleh Allah saja. Sebab menurutnya sebagai kitab petunjuk al-Qur'an pasti dapat dipahami oleh manusia. Sedangkan maksud dari mutasyâbihat yang hanya diketahui oleh Allah yang dimaksud dalam ayat " wa ma ya'lamu ta`wîlahu illa Allah" menurut bacaan waqaf pada lafaz al- Jalâlah adalah seperti waktu datangnya kiamat, waktu pasti munculnya Dajjal, dan bukan mutasyâbih yang seperti ayat tentang istiwa` (Q.S. Taha: 5). Sebab orang- orang musyrik bertanya kepada Nabi tentang waktu datangnya kiamat. Jadi mutasyâbih dalam konteks ini mengisyaratkan pada pengetahuan tentang hal-hal yang gaib. Karena memang tidak ada yang mengetahui peristiwa di masa mendatang

dan akhir semua hal kecuali Allah. Kesimpulan ini selaras dengan Q.S al-A'raf: 53, 49 yang maksudnya adalah bahwa mereka tidak menunggu kecuali datangnya kiamat.

47 Al-Habasyi, al-Dalîl al-Qawîm, h. 207 48 Al-Habasyi, al-Syarh al-Qawîm,h. 191 49 Maknanya: "Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali takwilnya, pada hari datangnya

takwil". Al-Tabari menjelaskan bahwa takwil dalam ayat ini berarti hari kiamat. Lihat: al-Tabari, Jami' al-Bayan, juz 5, h.511

Mengingat bahwa al-Qur'an diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas (Q.S al- Syu'ara: 195), 50 maka al-Habasyi menegaskan bahwa seseorang yang berpendapat ada

ayat al-Qur'an yang tidak diketahui ta`wîl-nya oleh makhluk, maka secara tidak langsung mengatakan bahwa Allah telah berdusta ketika berfirman "bi lisân 'arabiyyin mubîn" , sebab ternyata orang arab tidak dapat memahaminya. Apabila memang al-Qur'an ini berbahasa Arab, lalu bagaimana bisa seseorang mengatakan

bahwa di dalamnya ada yang tidak diketahui oleh orang Arab. 51 Pendapat al-Habasyi ini sama dengan pendapat Ibnu Khaldûn (w.1406 H) yang

menyatakan bahwa al-Qur'an diturunkan dengan bahasa orang arab dan mengikuti uslûb balâghah mereka, karena itu mereka semua memahaminya dan mengetahui

maknanya, baik kosa kata maupun struktur kalimatnya. 52 Adapun pernyataan Muhammad Husain al-Dzahabi bahwa meskipun al-Qur'an diturunkun dengan

menggunakan bahasa arab, akan tetapi tidak semua orang arab memahaminya, 53 sebenarnya tidak bertentangaan dengan pendapat al-Habasyi. Pernyataan al-Habasyi

ingin menyatakan bahwa al-Qur'an itu bisa dipahami oleh orang arab, sebab al-Qur'an diturunkan dengan bahasa arab dan tentu saja sebagaimana dikatakan oleh al-Dzahabi tidak semua orang arab dapat memahaminya. Selain faktor penguasaan bahasa yang tidak sama pada setiap orang, juga terdapat faktor hidayah yang menurut bahasa al- Dzahabi disebutnya sebagai mauhibah yang tidak diberikan kepada semua orang.

Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa bacaan ayat "wa ma ya'lamu ta`wîlahu illa Allah wa al-Râsikhuna fi al-'Ilm" , seakan Allah menyatakan bahwa orang yang mendalam ilmunya juga mengetahui ta`wîl-nya sehingga mereka beriman kepadanya. Karena beriman kepada sesuatu itu hanya dapat terwujud setelah mengetahui sesuatu itu, sedang sesuatu yang tidak diketahui tidak akan mungkin

50 Maknanya : "Dengan bahasa Arab yang jelas". Menurut al-Qurtubi, al-Qur'an diturunkan dengan menggunakan bahasa arab agar manusia tidak mengatakan kami tidak memeahami apa yang

kamu katakan. Lihat: al- Qurtubi, al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, juz 13, h.125

52 Al-Habasyi, al-Syarh al-Qawîm, h.190 53 Ibnu Khaldûn, Muqaddimah Ibn Khaldûn, (al-maktabah al-syamilah, vol.2),h. 489 Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, h.29 52 Al-Habasyi, al-Syarh al-Qawîm, h.190 53 Ibnu Khaldûn, Muqaddimah Ibn Khaldûn, (al-maktabah al-syamilah, vol.2),h. 489 Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, h.29

Meskipun demikian, menurut al-Habasyi penggunaan ta`wîl tidak boleh sembarangan, ta`wîl tidak boleh dilakukan kecuali jika didukung oleh dalil naqliy (al- Qur'an dan hadits) yang tsâbit dan dalil aqli yang qâti' (dalil akal yang tidka terbantahkan). Al-Habasyi mencontohkan, ta`wîl terhadap ayat-ayat sifat mutasyâbihât yang mengindikasikan adanya serupa bagi Allah adalah sesuatu yang wajib dilakukan berdasarkan dalil naqli, berupa ayat muhkamat (Q.S Syura: 11), dan berdasarkan dalil aqli yang qâti' (tidak terbantahkan), bahwa secara akal pencipta selalu tidak serupa dengan yang diciptakannya.

Sedangkan ta`wîl yang tanpa didasari oleh dalil aqliy yang qâti' dan dalil sam'iy yang tsâbit, menurut al-Habasyi adalah seperti ta`wîl yang dilakukan oleh kelompok

muktazilah terhadap Q.S Qiyamah: 22-23, 55 mereka men-ta`wil kata nâzirah dengan menunggu nikmat Allah. Ta`wil seperti ini tidak didukung oleh dalil aqli maupun

sam'iy . Menurutnya ini bukan ta`wil tetapi tahrif (penyelewengan makna ayat al- Qur'an). 56

Al-Ghumâri (w.1413 H) menyatakan bahwa lafaz-lafaz al-Qur'an itu ada dua macam, pertama lafaz yang tidak boleh dipahami dengan majâz, yaitu ayat-ayat yang berkaitan dengan tauhîd dan keimanan seperti Q.S al-Ikhlâs, al-Kâfirun dan Nasr, ayat mawârits, ayat-ayat ahkam, lafaz al-Qur'an yang berbicara tentang umat-umat terdahulu, seperti ayat tentang kaum Nuh, kaum Fir'aun dan Bani Israil. Kedua, lafaz- lafaz al-Qur'an yang tidak boleh dipahami secara haqîqah-nya seperti ayat Taha : 5

dan ayat-ayat sifat mutasyâbihat lainnya. 57 Dengan demikian, segala interpretasi terhadap mutasyâbih al-Qur'an yang

bertentangan dengan muhkam al-Qur'an, maka interpretasi tersebut tertolak.

54 Al-Zarkasyi, al-Burhân fi 'Ulûm al-Qur'an, (Bairut: Dar al-Fikr, cet I, 1988 M),juz 2, h.73 55 Maknanya: "wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, kepada

Tuhannyalah mereka melihat". 56 57 Al-Habasyi, Izhar al-'Aqidah al-Sunniyah, h.152

Al-Ghumari, Bida' al-Tafasir, h.9-10

Misalnya interpretasi kelompok wahhabi terhadap Q.S al-Dzariyat: 47 58 dengan tangan anggota badan. Penafsiran seperti itu menurut al-Habasyi bertentangan dengan ayat muhkamat Q.S al-Syura: 11 yang menegaskan bahwa Allah tidak serupa dengan makhluk. Penafsiran tersebut secara akal juga muhal bagi Allah. Karena itu menurutnya, kata "aidin" dalam ayat tersebut harus dialihkan dari makna zahir-nya (tangan anggota badan) pada makna quwwah (kekuatan/ kekuasaan) dengan dalil akal

yang qati' sebagaimana hal itu juga diketahui dengan nas al-Qur'an yang sarîh. 59

3. 60 Sunnah

Sebagai kitab suci yang diturunkan dengan menggunakan bahasa arab, seperti halnya bahasa arab biasa, al-Qur'an juga memuat ayat-ayat yang mutasyâbihat, mujmal, 'am, mutlak dan majâz sehingga tidak semua umat Islam (termasuk orang arab) yang mampu memahaminya. Karenanya perlu ada seseorang yang dapat menjelaskannya kepada mereka. Rasulullahlah yang kemudian mendapatkan tugas

untuk menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an yang tidak dapat dipahami oleh umat Islam. 61 Nabi sebagai seorang manusia yang diberi tugas untuk menjelaskan wahyu (Q.S al-

Nahl: 44), 62 tentu tidak dibiarkan menjelaskannya menurut hawa nafsu dan pendapatnya sendiri, sebab akan mengurangi kesucian ayat-ayat al-Qur'an itu sendiri.

58 Maknanya: "Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan Sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa".

59 Al-Habasyi, Izhar al-'Aqidah al-Sunniyah, h.470 60 Menurut ulama hadits, pengertian hadits dan sunnah itu sama, yaitu yang terdiri dari empat

hal: perkataan, perbuatan, ketetapan dan sifat-sifat Nabi. Sedangkan menurut ulama hukum Islam membedakan antara sunnah dan hadis Nabi. sunnah hanya meliputi tiga aspek, yaitu perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi. Sedangkan sifat-sifat Nabi itu masuknya dalam hadits. Sedangkan menurut imam Syafi’i dibedakan antara hadits dan sunnah. Setiap sunnah adalah hadits dan tidak semua hadits adalah sunnah. Lihat: Ibnu Hajar al-Asqalâni, Syarh al-Nukhbah al-Fikr fi Mustalah al- Hadîts , (Bairut: Dar al-Masyari',1421 H/2001 M) h.3

61 Tafsir Nabi meliputi, takhsîs al-'Am, Taqyîd al-Mutlaq, al-Ta'rif bi al-Mubham, Bayan al- Mujmal, Bayan al-Alfaz, Tafsil al-qasas, Bayan al-Nasakh, Lihat: Khalid Utsman al-Sabt, Qawa'id al-

tafsir, Jam'an wa Dirasatan (Kairo: Dar Ibn Affan, 1421 H) juz 1, h.142-148 62 Maknanya: "Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu

al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan".

Karena itu semua ucapan dan tindakan Nabi selalu dibimbing oleh wahyu, tidak berdasarkan hawa nafsunya (Q.S al-Najm: 3-4). 63

Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa Nabi menerima al-Qur'an dan yang semisalnya (hadits). 64 Ketika menjelaskan hadits tersebut Abû Sulaimân al-Khattâbi

(w.388 H) mengatakan bahwa hadits tersebut memiliki dua kemungkinan makna; pertama bahwa telah diturunkan kepada Nabi wahyu yang tidak dibaca, sebagaimana ia menerima yang yang dibaca (al-Qur'an). Kedua, Nabi menerima penjelasan al- Qur'an melalui wahyu, sebagaimana ia menerima al-Qur'an. Karena itu tafsir Nabi terhadap al-Qur'an wajib diamalkan, sebagaimana wajib menerima al-Qur'an itu

sendiri. 65 Dengan demikian, pemahaman dan penjelasan Rasulullah terhadap ayat-ayat al-

Qur'an bersifat absolut kebenarannya. Ketika telah diketahui tafsir Nabi terhadap ayat tertentu, maka tidak dibutuhkan lagi ada penafsiran lain. 66 Al-Habasyi menjelaskan

bahwa berita orang yang ma'sûm (Nabi atau Rasul) berfaidah ilmu qat'iy (pengetahuan yang pasti), karena ditetapkan dengan ilm istidlâliy (ilmu yang diperoleh dari istidlâl (nazar terhadap dalil). Menurutnya dari segi keyakinan dan kepastiannya ilmu yang diambil dari berita al-ma'sûm (Nabi) serupa dengan ilmu yang ditetapkan dengan darûrah (pasti) seperti al-mahsûsât (sesuatu yang diketahui dengan indera) dan permasalahan-permasalahan yang mutawâtir. Hal ini bagi orang yang langsung menyaksikannya, meskipun dia seorang diri, sedangkan bagi orang yang tidak menyaksikannya akan tetapi kabar tersebut sampai kepadanya dengan perantara, maka juga dianggap berfaidah ilmu qat'iy, apabila sampai kepadanya

secara mutawatir. 67

63 Maknanya: "Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)". 64

Rasulullah bersabda " ﮫﻌﻣ ﮫﻠﺜﻣو نآﺮﻘﻟا ﺖﯿﺗوأ ﻲﻧإ ﻻأ " Hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad Ahmad, bab hadits al-Miqdam bin Ma'di Karib . (al-maktabah al-syamilah, vol.2), juz 35, h37 65 Al-Qurtubi, al-Jâmi' li Ahkam al-Qur'an, jld .I juz 1 h.29

67 Khâlid Utsman al-Sabt, Qawâ'id al-Tafsir, Jam'an wa Dirâsatan, juz 1, h.149 Al-Habasyi, al-Matâlib al-Wafiyyah fi Syarh al-Aqidah al-Nasafiyah, (Bairut: Dar al-Masyari',

1995 M), h.26-27

Pendapat di atas sekaligus membantah pendapat Yûsuf al-Qardâwi yang mengatakan bahwa Nabi pernah melakukan kesalahan dalam ijtihâd-ijtihâd-nya dalam masalah agama. Dasar pendapat tersebut adalah sebuah hadits yang menerangkan bahwa suatu ketika seseorang datang kepada Rasulullah, bertanya tentang seseorang yang mati syâhid. Kemudian Rasulullah menjelaskan bahwa seluruh dosanya diampuni oleh Allah. Setelah orang tersebut pergi, kemudian

Rasulullah memanggilnya dan mengatakan; "kecuali hutang". 68 Menurut al-Qardâwi, Nabi melakukan kesalahan dalam ijtihâd-nya. Sehingga Jibril mengingatkannya,

beliau lantas memanggil orang tersebut untuk meluruskan pernyataannya yang pertama. 69

Para ulama berbeda pendapat tentang apakah Nabi melakukan ijtihâd atau tidak, al-Habasyi berpendapat bahwa Nabi ber-ijtihâd, sebab apabila ulama seperti Abu Hanifah (w.150 H), al-Syafi'I (w.204 H), Malik bin Anas (w.164 H) dan Ahmad bin Hanbal (w.241 H) saja melakukan ijtihâd, maka Nabi sebagai manusia yang lebih lengkap alat ijtihâd-nya tentu lebih berhak untuk melakukan ijtihâd. 70 Ijtihâd Nabi

terbagi menjadi dua, ijtihâd yang berhubungan dengan dunia dan ijtihâd yang berhubungan dengan agama. Menurut Usamah al-Sayyid –murid al-Habasyi-, Nabi adakalanya melakukan kesalahan dalam ijtihâd-nya dalam urusan dunia, tetapi beliau

tidak pernah melakukan kesalahan dalam ijtihâd-nya seputar masalah agama. 71

Dalam sebuah hadits, Rasulullah telah menegaskan bahwa apabila beliau memerintahkan sesuatu yang berhubungan dengan urusan agama, maka wajib bagi umatnya untuk mentaatinya. 72 Secara lebih jelas, dalam hadits lain disebutkan bahwa

semua manusia itu boleh diambil dan juga boleh diabaikan perkataannya kecuali

68 Diriwayatkan Muslim, Sahîh Muslim, kitab al-Imarah, bab man qatala fi sabilillah kuffirat khatayahu illa al-dain,

69 (al-maktabah al-syamilah, Vol.2), juz 4, h.1501

Pendapat ini dikutip oleh Usamah al-Sayyid, al-Qardâwi fi al-'Ara (Bairut: Dâr al Masyari', 2002 M) h.132, juga dilansir sebuah acara televisi al-Jazirah pada tanggal 12/9/1999 M. 70 Al-Habasyi, Sarîh al-Bayân, h. 265

72 Usâmah al-Sayyid, al-Qardawi fi al-'Ara, h.132-135 Diriwayatkan oleh Muslim dalam Sahih Muslim, kitab al-Fadail, bab wujub imtitsli ma qalahu

syar'an… (al-Al-maktabah al-syamilah, Vol.2) juz 4,h.1836. Al-Habasyi, Sarih al-Bayan, h. 265 syar'an… (al-Al-maktabah al-syamilah, Vol.2) juz 4,h.1836. Al-Habasyi, Sarih al-Bayan, h. 265

Sementara kemungkinan adanya kesalahan dalam ijtihâd Nabi seputar urusan dunia terbukti telah terjadi. Misalnya ijtihâd Nabi tentang tata cara memelihara kurma. Ketika Nabi datang ke Madinah dan menemukan masyarakat di situ selalu mengawinkan serbuk jantan dan betina dari pohon korma agar produktifitas-nya meningkat. Saat itu Rasulullah menganjurkan agar mereka tidak melakukan hal tersebut. Namun saat panen tiba, penghasilan kebun mereka berkurang, dan dengan segera mereka melaporkan kejadian tersebut kepada Rasulullah, menanggapi hal itu Rasulullah bersabda, ''aku hanyalah manusia biasa, jika aku memerintahkan sesuatu yang berkaitan dengan agama, maka taatilah, dan jika yang aku sampaikan hanyalah

sekadar pendapat, maka ketahuilah aku hanya seorang manusia biasa''. 74 Dalam hadits lain disebutkan bahwa Rasulullah bersabda: "kalian lebih tahu tentang urusan

keduanian". 75 Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi memberikan pendapat dalam salah satu persoalan keduniaan yang tidak dikuasainya. Nabi bukanlah seorang yang

berprofesi sebagai petani korma. Saran Nabi saat itu oleh para sahabatnya dipandang sebagai ajaran agama yang harus diikuti, tetapi kemudian saat panen tiba hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Dari sini kemudian Rasul menjelaskan, dalam soal teknis yang terkait dengan persoalan dunia, para ahli dibidangnya lebih tahu dari Rasul. Karenanya, imam Muslim dalam Sahîh Muslim, meletakkan hadits tersebut dibawah judul "wujûb imtitsâli mâ qâlahu syar'an, dûna ma dzakarahu sallallahu 'alaihi wasallam min ma'âsyi al-dunyâ 'alâ sabîl al-ra`yi (bab kewajiban mentaati

73 Hadits diriwayatkan oleh al-Tabarâni dalam al-Mu'jam al-Kabir, (Al-maktabah al-syamilah, Vol.2) juz 11, h.339

74 Hadits diriwayatkan oleh Muslim Sahih Muslim, kitab al-Fadail, bab wujub imtitsli ma qalahu syar'an…

75 (al-Al-maktabah al-syamilah, Vol.2) juz 4,h.1835 Diriwayatkan oleh Muslim dalam Sahih Muslim, kitab al-Fadail, bab wujub imtitsli ma qalahu

syar'an… (al-maktabah al-syamilah, Vol.2) juz 4,h.1836 syar'an… (al-maktabah al-syamilah, Vol.2) juz 4,h.1836

Menurut penulis, pendapat yang menyatakan bahwa Rasulullah adakalanya salah dalam ijtihâd dalam masalah agama adalah pendapat yang keliru dan sangat mengkhawatirkan, karena pendapat seperti ini bisa mendorong munculnya sikap keragu-raguan terhadap kebenaran hukum Islam yang ditetapkan oleh Rasulullah. Di dalam hati setiap muslim akan muncul keraguan tentang ajaran agama yang dijalaninya, karena jangan-jangan ajaran tersebut adalah diantara hasil ijtihâd Nabi yang keliru.

Dalam kaitannya dengan al-Qur'an menurut al-Syâfi'iy (w.204 H), sunnah memiliki dua fungsi yaitu bayân ta`kîd dan bayân tafsîr. 77 Bayân ta'kîd artinya

menguatkan dan menggaris bawahi kembali apa yang terdapat dalam al-Qur'an, sedangkan bayân tafsîr artinya memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat al-Qur'an. Dalam kesempatan lain, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsîr (w.774 H), al-Syâfi'I (w.204 H) mengatakan bahwa semua hukum yang telah ditetapkan oleh Rasulullah adalah yang ia pahami dari al-

Qur'an. 78 Karena itu, Ibn Katsir (w.774 H) dalam muqaddimah tafsirnya menjelaskan bahwa apabila sulit ditemukan ayat penjelas terhadap ayat al-Qur'an

yang lainnya, maka carilah dalam sunnah, karena sunnah berfungsi untuk mentafsirkan dan menjelaskan al-Qur'an (Q.S al-Nahl: 64). 79

Mengingat fungsi sunnah sebagaimana diuraikan di atas, maka sunnah juga mesti dijadikan sebagai kriteria dalam tafsir dan kritik tafsir al-Qur'an. Seseorang yang menafsirkan al-Qur'an harus menjadikan sunnah sebagai parameter

76 Lihat: Muslim, Sahih Muslim,(al- maktabah al-syamilah, vol.2), juz 4, h.1834 77 Al-Syafi'iy, al-Risalah, tahqiq: Ahmad Syakir (Mesir: Maktabah al-Halabiy, 1358 H/1940 M),

h.401-458 78 Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-'Azîm, juz 1, h.3. Lihat juga: al-Suyûti, al-Itqân fi 'Ulûm al-

Qur'an , juz 2, h.351 79 Maknanya: "Dan Kami tidak menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) ini, melainkan agar

kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-'Azîm, juz 1, h.3 kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-'Azîm, juz 1, h.3

tentang penafsirannya. 80 Untuk mengetahui tafsir Nabi dapat dengan mudah ditemukan dalam hampir

semua kitab hadits. Karena di dalam kitab-kitab tersebut selalu menempatkan satu bab yang secara spesifik menyebutkan penafsiran Nabi terhadap ayat-ayat al- Qur'an. Hal itu karena setiap sahabat Nabi apabila mendapatkan kesulitan dalam memahami ayat al-Qur'an maka mereka datang kepada Nabi untuk menanyakannya. Nabi kemudian menjelaskannya, karena memang tugas Nabi adalah menjelaskan al-

Qur'an. 81 Persoalan yang muncul adalah bahwa dari segi tsubut (kebenaran sumber)nya

sunnah tidak seluruhnyanya qat'iy (pasti) sebagaimana al-Qur'an. Alasan inilah yang seringkali digunakan oleh kelompok pengingkar sunnah. Meskipun sebenarnya, tidak ada alasan bagi seseorang untuk mempersoalkannya, karena para ulama hadits telah melakukan kritik hadits dengan ilmu mustalah-nya. Dengan ilmu tersebut mereka telah berhasil mengidentifikasi hadits yang mardud (tertolak) dari yang maqbûl (diterima).

Dari segi tsubût (kebenaran sumber)nya, menurut ulama hadits, hadits/sunnah Nabi terdiri dari dua bagian; qat'iy al-tsubût dan zanniy al-tsubut. Kelompok hadits pertama disebut mutawâtir, yaitu hadits yang jumlah para perawinya pada setiap tingkatan sanadnya mencapai jumlah yang menurut kebiasaan tidak mungkin

bersepakat untuk bohong, seperti al-Qur'an dan salat lima waktu. 82 Hadits dalam kelompok ini terbagi menjadi dua bagian; mutawâtir lafzi 83 dan mutawâtir

80 Al-Habasyi, Sarih al-Bayân, h. 201 81 Al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz 1, h. 36 82 Ibnu Hajar al-Asqalâni, Syarh al-Nukhbah al-Fikr fi Mustalah al-Hadîts, (Bairut: Dar al-

Masyari',1421 H/2001 M) h.16 83 Mutawâtir lafzi adalah hadits yang diriwayatkan secara mutawatir dengan satu redaksi.

ma'nawiy. 84 Dari segi ke-hujjahan-nya, hadits mutawâtir berfaidah al-'ilm al-dîn al- darûriy 85 (semua orang pasti mengetahuinya dan tidak dapat menolaknya).

Sedangkan hadits yang zanniy al-tsubût (kebenaran sumbernya tidak pasti) disebut dengan hadits Ahad, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para perawi yang

jumlahnya kurang dari jumlah perawi hadits mutawâtir. 86 Dari segi kwalitasnya, hadits ahad terbagi menjadi tiga kelompok sahih, hasan dan daif. Mayoritas ulama

hadits bersepakat bahwa hadits Ahad yang maqbûl (sahih) dan hasan wajib diamalkan. Sehingga ajaran Islam yang ditetapkan dengan hadits Ahad yang sahih menjadi sesuatu yang qat'iy apabila maknanya disepakati oleh para ulama (mujma'

'alaihi 87 ). Ibnu Hajar (w.852 H) menegaskan bahwa hadits (ahad) yang al-muthaf bi al-

qarâin 88 juga wajib untuk diamalkan. Menurutnya, diantara hadits tersebut adalah semua hadits ahad yang diriwayatkan oleh al-Bukhâri (w.810 M) dan Muslim (w.261

H) dalam kitab sahîh-nya, kecuali hadits-hadits yang dipersoalkan oleh para huffaz. 89 Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan hadits-hadits tersebut tidak diragukan

kebenarannya; pertama, kepakaran al-Bukhâri (w.810 M) dan Muslim (w.261 H) dalam ilmu hadits, kedua, al-Bukhâri (w.810 M) dan Muslim (w.261 H) adalah orang yang paling terdepan dalam menilai hadits yang sahih, ketiga, kitab sahîh al-Bukhâri

dan Muslim diterima oleh seluruh umat Islam. 90 Ke-hujjah-an hadits ahad secara khusus dijelaskan oleh al-Syâfi'i (w.204 H)

dalam kitab monumentalnya al-Risâlah dengan judul al-hujjatu fi tatsbîti khabari al-

84 Mutawâtir maknawi adalah diriwayatkan secara mutawatir dengan redaksi yang berbeda-beda, tetapi maknanya sama. 85

Ibnu Hajar al-Asqalani, Nuzhah al-Nazar fi Taudih al-Nukhbah al- Fikr, h.44 86 Apabila diriwayatkan oleh satu orang disebut gharîb, dan apabila diriwayatkan oleh 2 orang

disebut 'Azîz dan apabila diriwayatkan oleh 3 orang atau lebih disebut masyhûr. Lihat: Ibnu Hajar al- Asqalani, Nuzhah al-Nazar fi Taudih al-Nukhbah al-Fikr, h.51

88 Ibnu Hajar al-Asqalani, Nuzhah al-Nazar fi Taudih al-Nukhbah al-Fikr, h.51 Hadits yang al-muthaf bi al-qarâin adalah hadits yang memiliki sifat-sifat atau keadaan

tertentu yang dapat memperkuatnya, sehingga menghilangkan kemungkinan salah dan bohong.

89 Hadits-hadits Bukhari yang mendapat kritikan dari para huffaz antara lain, hadits al-Saut. Sedangkan hadits Muslim yang mendapat kritikan dari para ulama adalah hadits Jariyah. Lihat: al-

Habasyi, Syarh al-Baiquniyah, h.21-22 90 Ibnu Hajar al-Asqâlani, Nuzhah al-Nazar fi Taudih al-Nukhbah al-Fikr, h.52-53 Habasyi, Syarh al-Baiquniyah, h.21-22 90 Ibnu Hajar al-Asqâlani, Nuzhah al-Nazar fi Taudih al-Nukhbah al-Fikr, h.52-53

Sementara itu, al-Khatîb al-Baghdâdi (w.463 H) juga menjelaskan bahwa kalangan ulama fikih telah menjadikan hadits ahad sebagai hujjah, dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Karena kalau seandainya ada yang mengingkarinya tentu

berita itu telah sampai kepadanya. 93 Ibnu Abd al-Barr juga menceritakan bahwa mayoritas ahli hadits berpendapat bahwa hadits Ahad memberikan keyakinan dan

wajib diamalkan. 94 Secara sederhana, al-Habasyi menjelaskan bahwa ke-hujjahan hadits ahad

dapat dipahami, mengingat dalam syara', umat Islam diperintahkan untuk mengamalkannya meskipun ada kemungkinan salah. Sebagaimana telah mutawâtir dari Rasulullah bahwa seringkali Nabi mengutus satu atau dua orang pada kabilah tertentu untuk mengajar agama Islam. Apabila hadits ahad tidak boleh diamalkan,

tentu beliau tidak mengutus hanya satu atau dua orang sahabat saja. 95 Misalnya, untuk berdakwah dan mengajar Islam di Yaman, Nabi mengutus dua orang sahabatnya,

Mu'adz bin Jabal dan Abu Musa al-Asy'ari, di tempat yang berbeda. Bukti lain adalah bahwa ketika diturunkan surat bara`ah yang memberitahukan tentang batas waktu aman bagi orang musyrik di Madinah. Nabi hanya menyuruh Ali bin Abî Tâlib (w.40

H) untuk mengumumkan informasi tersebut pada waktu haji. Seandainya hadits ahad tidak dapat diamalkan, tentu Rasulullah tidak akan memerintahkan hanya kepada satu

orang saja (Alî bin Abî Talib) untuk memberitahukan perihal tersebut. 96 Bukti lain kehujjahan hadits ahad menurut al-Habasyi, adalah bahwa seorang

hakim atau qadi diperbolehkan untuk menetapkan had (hukuman) bagi seorang

91 Al-Syâfi'i, al-Risâlah, h.401-458

93 Al-Syâfi'i, al-Risâlah, h.457-458 Al-Khatîb al-Baghdâdi, al-Kifâyah fi 'Ilmi al-Riwâyah, (al-Al-maktabah al-syamilah Vol.2)

h.31 94 Abu 'Umar Yûsuf bin Abd Allâh bin Muhammad bin Abd al-Barr, al-Tamhid li ma fi al-

Muwata` min al-Ma'ani wa al-Asânid 95 , (Muassasah al-Qurtubah, t.t) juz 1,h. 7-8 96 Al-Habasyi, Syarh al-Baiquniyah, h.22 Al-Habasyi, Syarh al-Baiquniyah, h.23 Muwata` min al-Ma'ani wa al-Asânid 95 , (Muassasah al-Qurtubah, t.t) juz 1,h. 7-8 96 Al-Habasyi, Syarh al-Baiquniyah, h.22 Al-Habasyi, Syarh al-Baiquniyah, h.23

dari persaksian mereka, meskipun berbohong adalah qisas (hukum bunuh) bagi terdakwa. Meskipun demikian, persaksian dua orang yang adil dalam Islam dapat dipergunakan untuk menetapkan had. Karena kenyataan inilah, maka al-Zarkasyi (w.794 H) mewajibkan untuk mengamalkan hadits ahad yang diriwayatkan oleh satu orang yang adil dalam berfatwa dan persaksian dengan kesepakatan ulama (ijma'),

demikian juga dalam semua urusan agama. 98 Seorang sahabat yang mendengar langsung hadits Nabi, maka wajib baginya

untuk membenarkannya. Sedangkan bagi orang yang tidak mendengar secara langsung dari Rasulullah, maka apabila hadits tersebut adalah hadits mutawâtir atau ahâd yang sahîh, maka ia juga wajib membenarkan dan mengamalkannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan al-Ghazâli (w.505 H), bahwa hadits Nabi adalah hujjah bagi orang yang mendengarnya secara langsung dari Nabi. Bagi orang yang tidak secara langsung mendengarnya dari Nabi, apabila ia mendengarnya secara mutawâtir maka itu juga hujjah. Sebab hadits mutawâtir itu qat'iy al-tsubût seperti halnya al- Qur'an. Sedangkan apabila hadits tersebut berupa hadits ahad maka wajib diamalkan

jika sahîh. 99 Dengan demikian, bagi setiap orang yang akan menafsirkan al-Qur'an, ia harus

menelaah dan menguasai sunnah Rasulullah. Tidak terbatas pada sunnah yang berkaitan langsung dengan ayat tersebut, tetapi juga sunnah-sunnah yang lainnya. Karena al-Qur'an berisi kaidah-kaidah umum, dasar-dasar agama yang masih global, sebagian ayatnya muhkamat dan sebagian lainnya mutasyâbihat. Sehingga al-Qur'an tidak dapat dipahami secara komprehensif tanpa sunnah Nabi. Al-Ghumari (w.1413

H) menegaskan bahwa seorang mufassir ketika menafsirkan al-Qur'an, tidak boleh

97 Al-Habasyi, Syarh al-Baiquniyah, h.23 98 Al-Zarkâsyi, Tasnîf al-Masâmi' 'ala Jam'i al-Jawâmi' (Bairut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1416

H/ 1996 M) h.164 99 Al-Ghazâli, al-Mustafa min 'Ilm al-Usûl (Bairut: Muassasah al-Risalah, 1997 M/1417 H), cet 1, h.246 H/ 1996 M) h.164 99 Al-Ghazâli, al-Mustafa min 'Ilm al-Usûl (Bairut: Muassasah al-Risalah, 1997 M/1417 H), cet 1, h.246

kepada Rasulullah. 100 Penggunaan sunnah sebagai kriteria kritik tafsir dapat dipahami dari kritik al-

Habasyi terhadap beberapa penafsiaran, antara lain sebuah penafsiran yang sering disitir oleh para da'i di atas mimbar, bahwa Q.S al-Baqarah: 191, 101 berarti

menjelaskan bahwa dosa fitnah (namimah) lebih besar dari pada dosa membunuh. Padahal penafsiran seperti itu menurutnya, bertentangan dengan sunnah Nabi yang

menerangkan tentang urutan dosa besar. 102 Dalam hadits disebutkan bahwa dosa yang paling besar adalah dosa syirik, kemudian membunuh tanpa haq, berzina,

meninggalkan shalat dan makan riba. 103 Contoh lain adalah penafsiran kelompok Ahmadiyah Qadiyaniah terhadap Q.S

al-Ahzab: 40, 104 dengan bahwa Nabi Muhammad adalah cincin perhiasan para Nabi. Menurut al-Habasyi, penafsiran seperti ini bertentangan dengan penegasan Nabi

dalam haditsnya yang berbunyi "wa khutima al-nabiyyun". 105 Sebab dari segi bahasa hadits ini hanya dapat diartikan dengan bahwa Nabi Muhammad adalah penutup para

Nabi. Dan seandainya ayat di atas berarti cincin maka mestinya hadits tersebut tidak seperti itu bunyinya, tetapi berbunyi "watakhattama biya al-Nabiyyun". Karena orang

100 Al-Ghumâri, Bida' al-Tafasir, h. 12-13 101 Maknanya: "Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka

dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), Maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.

102 Mukhtasar Bughyah al-Talib li Ma'rifati 'ilm al-Dîn al-Wâjib. (Bairut: Dar al-Masyari', 2008 M), h. 34

103 Diriwayatkan oleh al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, kitab tafsir al-Qur'an 'an Rasulillah, bab wamin surah al-furqan , (al-maktabah al-syamilah, vol.2), juz 5, h.337

104 Maknanya: "Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup Nabi-Nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala

sesuatu". 105 Hadits diriwayatkan oleh Muslim, Sahîh Muslim, kitâb al-masâjid wa mawâdi'I al-salâh, (al- maktabah al-syamilah vol.2), juz 1, h.371 sesuatu". 105 Hadits diriwayatkan oleh Muslim, Sahîh Muslim, kitâb al-masâjid wa mawâdi'I al-salâh, (al- maktabah al-syamilah vol.2), juz 1, h.371

3. Ijma' 107

Mayoritas umat Islam berpendapat bahwa ijmâ' adalah hujjah dalam agama, dan berfungsi sebagai sumber hukum Islam (usûl al-syarî'ah), setelah al-Qur'an dan

sunnah 108 . Kesepakatan tersebut antara lain dikutip oleh al-Syafi'I (w.204 H), Abu Mansûr Abd al-Qâhir al-Baghdâdi (w.429 H), 109 al-Âmidiy (w.631 H) dan para ulama usûl 110 lainnya. Sikap mayoritas umat Islam tersebut, dilandasi oleh dalil-dalil naqli

(al-Qur'an dan sunnah) maupun aqli (rasio). Menurut al-Syâfi'I (w.204 H), salah satu dasar yang dijadikan sebagai dalil

kehujahan ijmâ' adalah hadits "umatku tidak akan berkumpul dalam kesesatan". 111 Hadits ini menunjukkan bahwa kebenaran akan diperoleh oleh orang-orang yang

selalu mengikuti mayoritas umat Islam, sebaliknya kesalahan dan kesesatan berada

106 Al-Habasyi, Izhar al-'Aqidah al-Sunniyah, h. 36 107 Secara bahasa ijmâ' memiliki dua pengertian; al-'azm ( ketetapan hati untuk melakukan

sesuatu) dan al-ittifâq (bersepakat). Sedangkan dalam istilah syara' terdapat perbedaan redaksi pengungkupannya, meskipun maksudnya sama, yaitu kesepakatan para ulama mujtahidin pada suatu masa terhadap suatu masalah, setelah wafatnya Nabi Muhammad. Lihat: Zain al-Dîn Muhammad bin Abî Bakr bin Abd al-Qâdir al-Râzi al-Hanafiy, Mukhtâr al-Sihâh, (Bairut: Syarikah Dâr al-Masyâri', cet. 1, 1425 H / 2004 M) h. 133, Syihâb al-Dîn Abu al-Abbâs Ahmad bin Idris bin Abd al-Rahman al- Sanhaji al-Misriy al-Qarâfiy, Nafâis al-Usûl fi Syarh al-Mahsûl ( Bairut: Dar al-Kutub al-'Ilmiah, t.t) juz 3, h.311, Jamal al-Din Abu Muhammad Abd al-Rahim bin al-Hasan al-Isnawi, al-Tamhid fi al- Takhrij al-Furu' 'ala al-Usûl ( Bairut: Muassah al-Risalah, 1407 H/ 1987 M) cet. 4, h.451, Abd Allâh bin Ibrâhim al-'Alawi al-Sinqitiy, Nasyr al-Bunûd 'ala al-Marâqiy al-Su'ûd (Bairut: Dâr al-Kutub al- 'Ilmiah, t.t ) juz 1 h.75, Saif al-Din Abû al-Hasan 'Ali bin Abu 'Ali bin Muhammad al-Amidiy, al- Ihkam fi Usûl al-Ahkâm , (Bairut: Dar al-Kutub al-'Ilmiah, 1983/1403) h.115, Zakariya al-Ans ari , al- Hudûd al- 'Anîqah wa al-Ta'rifat al-Daqîqah, (Bairut: Dar al-Masyari', 1425 H/ 2004 M) h.27 (Beirut: Dar al Masyari’,1425 H/ 2004 M) h.27, Abû Ishâq al-Syiraziy, al-Luma',( Bairut: Dâr al-Fikr, 1985 M),

h.87, Abu Mansûr Abd al-Qâhir al-Baghdâdi, al-Farqu baina al-Firaq, (Bairut: Dâr al-Ma'rifah,t.t) h.327-328, al-Amidiy, al-Ihkâm fi Usûl al-Ahkâm (Bairut: Dar al-Kutub al-'Ilmiah, 1983 M/1403 H) h.286

109 Al-Syafi'i, al-Risâlah, h.403 Abu Mansûr Abd al-Qâhir al-Baghdâdi, al-Farqu baina al-Firaq, (Bairut: Dâr al-Ma'rifah,t.t)

h.327-328 110 Al-Âmidiy, al-Ihkâm fi Usûl al-Ahkâm (Bairut: Dar al-Kutub al-'Ilmiah, 1983 M/1403 H)

h.286 111 Hadits diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dalam kitab Sunan al-Tirmidziy, kitab al-Fitan bab ma ja`a fi Luzum al-Jama'ah, (Al-maktabah al-syamilah vol.2), juz 4, h.459.

pada pihak orang-orang yang menyempal dari mayoritas umat Islam. 112 Hadist tersebut juga menunjukkan bahwa Nabi menjamin kebenaran pada pendapat yang dipegang oleh mayoritas umat Islam. Namun menurut al-Nawawi (w.676 H), hadits yang paling sahih, dan paling kuat dijadikan sebagai dasar kehujjahan ijmâ' adalah hadits muslim "senantiasa ada sekelompok umatku yang berada pada kebenaran, yang tidak dapat dikenai bahaya oleh orang yang memperdaya mereka sampai

kiamat". 114 Sementara al-Qurtubi (w.671 H) menegaskan bahwa surat al-Nisa`: 115 adalah dalil kebenaran pendapat yang mengatakan ijmâ' sebagai hujjah. 115

Kehujahan ijmâ' juga dibuktikan oleh besarnya perhatian ulama dalam menyusun sebuah buku yang berisi permasalahan-permasalahan yang telah disepakati oleh para ulama mujtahidîn. Mereka misalnya Ibnu Abî Syaibah dengan bukunya Musannaf , Ibnu al-Mundzir dengan bukunya al-Ijma', Ibn Hazm dengan bukunya Maratib al-Ijmâ' dan lainnya. Dalam buku-buku tersebut dipaparkan beberapa permasalahan agama yang mujma' 'alahi (disepakati oleh para ulama mujtahidin), baik dalam permasalahan aqidah atau fikih.

Dalam sejarah Islam tercatat hanya segelintir orang saja yang menolak kehujjahan ijma'. Mereka misalnya, al-Nazzam al-Mu'taziliy (w.231 H) yang menyatakan bahwa mungkin saja umat Islam berkumpul dalam kesesatan, dan kelompok Râfidah yang hanya mengakui kebenaran pendapat imam mereka. Bahkan menurut al-Kautsâri (w.1371 H) mazhab zahiriyah-pun mengakui kehujahan ijmâ'

sahabat. 116 Padahal mereka dikenal sebagai madzhab yang sangat literal dan hanya percaya pada zahir ayat-ayat al-Qur'an dan hadits Nabi. Penolakan tersebut bukan

karena ijmâ'nya, tetapi karena mereka tidak percaya ijmâ' bisa terjadi pada

112 Al-Syafi'i, al-Risâlah, h.403 113 Al-Nawawi, al-Minhâj Syarh Sahîh Muslim bin Hajjâj, (Bairut: Dar al-Fikr, t.t) cet.2, juz 13,

h.67 114 Maknanya: "Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk- buruk tempat kembali". 115

116 Al-Qurtubi, al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur'an, juz 5, h. 386 Al-Kautsari, al-Isyfâq 'ala Ahkam al-Talâq, h.73 116 Al-Qurtubi, al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur'an, juz 5, h. 386 Al-Kautsari, al-Isyfâq 'ala Ahkam al-Talâq, h.73

Namun menurut al- Zarkasyi (w.794 H) alasan tersebut tidak tepat, menurutnya ijmâ' tidak dikhususkan terjadinya pada sahabat, sebab dalil-dalil kehujjahan ijmâ'

tidak membedakan antara satu masa dengan masa lainnya. 117 Penolakan tersebut lahir dari ketidaktelitian terhadap ijmâ' yang dimaksudkan oleh para ulama'. Karena ijmâ'

yang dijadikan sebagai hujjah dalam agama adalah ijmâ' para ulama yang telah mencapai derajat ijtihâd dengan pengakuan para ulama, dan dia seorang yang wara' menjauhi perkara-perkara yang haram. Seorang ulama yang bukan mujtahid meskipun ia seorang yang salih dan wara', apabila mereka berkata tentang ijmâ' maka perkataan mereka tidak dianggap sebagai ijma', demikian juga seseorang yang terbukti kefasikannya.

Al-Zarkasyi (w.794 H) mengatakan bahwa perkataan orang kafir tidak dianggap dalam ijmâ' karena dalil-dalil ijmâ' tidak memasukkan orang kafir, tetapi khusus hanya orang-orang mukmin. Karena ucapan mereka tidak diterima, maka dalam hujjah syar'iyah juga tidak diterima. Demikian juga, perkataan ahli bid'ah yang dikafirkan sebab bid'ahnya, karena mereka tidak masuk dalam ummat yang dijamin

keterjagaannya. 118 Al-Jasâs (w.370 H) menegaskan bahwa seseorang yang telah terbukti

kekufurannya seperti seorang musyabbihah (menyerupakan Allah dengan makhluknya) maka ia tidak diperhitungkan dalam masalah ijma', demikian juga

seseorang yang terbukti kefasikannya. 119 Ibn al-Qudâmah al-Maqdisiy al-Hanbali (w.620 H) juga menjelaskan bahwa ijmâ' itu dapat diketahui dengan musyafahah

117 Al-Zarkâsyi, Tasnîf al-Masâmi' 'ala Jam'i al-Jawâmi', Tasnîf al-Masâmi' 'ala Jam'i al- Jawâmi' (Bairut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1416 H/ 1996 M) juz 3, h.94

119 Al-Zârkasyi, Tasynîf al-Masâmi', h. 226-227 Abu Bakr Ahmad bin Ali al-Râzi al-Jassâs, Ahkam al-Qur'an, (Bairut: Dâr al-Fikr,1414 H/

1993 M) juz 1, h. 127

(dari mulut ke mulut), dan orang yang diperhitungkan pendapatnya dalam ijmâ' adalah para ulama mujtahidîn yang terkenal, sehingga pendapatnya dengan mudah

diketahui oleh siapapun dan dimanapun. 120 M. Zahid al-Kautsari (w.1371 H) mencontohkan, bahwa ijmâ' sahabat tidak

disyaratkan suatu permasalahan itu harus diriwayatkan oleh seratus ribu sahabat yang hidup ketika Rasulullah wafat. Tetapi cukup diriwayatkan oleh sekitar sepuluh sahabat saja, sebab hanya merekalah di antara para sahabat yang mencapai derajat

ijtihâd. 121 Demikian juga ijmâ' terhadap suatu hukum permasalahan pada masa tâbi'in, tâbi'iy al-tâbi'in dan seterusnya.

Apabila seorang mujtahid pada masa sahabat berjumlah hanya sekitar sepuluh orang dari puluhan ribu sahabat Nabi, demikian juga pada masa-masa setelahnya, jumlah mereka sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah umat Islam secara keseluruhan. Meskipun pada masa sekarang banyak sekali orang yang mengaku sebagai mujtahid, tetapi pengakuan saja, tanpa dibekali oleh perangkat ijtihâd yang cukup dan tanpa ada pengakuan dari para ulama, maka pengakuan tersebut tertolak dan hasil ijtihâd mereka apabila berbeda dengan ijtihâd para mujtahid yang sebenarnya, tidak dianggap sebagai ada perbedaan.

Secara akal, pendapat yang dipegang oleh mayoritas memang tidak mesti menunjukkan kebenaran. Mayoritas umat manusia di dunia ini bukanlah seorang muslim, dan hal itu tidak menunjukkan bahwa Islam tidak benar. Akan tetapi dalam konteks ajaran agama Islam (bukan urusan duniawi) Allah ta'ala telah menjamin bahwa umat Islam tidak akan berkumpul dalam kesalahan dan kesesatan. 122 Ibnu

120 Muwaffiq al-Din Abd Allâh bin Ahmad bin Qudâmah al-Maqdîsiy, Raudah al-Nadzîr wa Jannah al-Munazir fi Usûl al-Fiqh, (Bairut: Dar al Kitab al-'Arabiy, t.t) h.116

121 Al-Kautsâri, al-Isyfaq 'ala Ahkam al-Talaq, h.73 122 Rasulullah bersabda: ﺔﻟﻼﻀ ﻟا ﻰﻠﻋ ﻲﺘﻣأ ﻊﻤﺘﺠﺗﻻ "umatku tidak akan berkumpul dalam kesesatan",

Diriwayatkan oleh al Tirmidzi dalam kitab Sunan al-Tirmidzi, kitab al-Fitan, bab fi ja`a fi Luzum al- Jama'ah. Hadits ini adalah hadits mutawatir ma'nawiy (dari segi lafaznya tidak mutawatir, tetapi maknanya mutawatir). Karena hadts yang semaknanya dengan hadits ini jumlahnya mencapai jumlah

mutawatir. Hadits-hadits tersebut bisa dibaca pada: Al-Khatîb al-Baghdâdi, al-Faqîh wa al- Mutafaqqih , juz 1, h.407-426. Lihat juga: Abu al-Wâlid al-Bâji, Ihkâm al-Fusûl fi Ahkâm al-Usûl, (Bairut: Dar al-Arab al-Islamiy, t.t) h.437

Mas'ud menegaskan bahwa Allah menjaga umat Muhammad dari berkumpul dalam kesesatan 123

Sedangkan perkataan yang dinisbatkan kepada Ahmad bin Hanbal (w.261 H) "barang siapa yang mengklaim ijmâ' maka ia telah berdusta" menurut al-Habasyi, tidaklah benar dari Ahmad. Terbukti dalam beberapa masalah, Ahmad bin Hanbal (w.261 H) menggunakan ijmâ' sebagai hujjah atas pendapatnya. Abu al-Fadl al- Tamimi –salah seorang pembesar madzhab Hanbali- mengutip ijmâ' dari Ahmad bin Hanbal bahwa Ahmad mengatakan: "Umat Islam telah bersepakat (ijma') bahwa apabila mereka melihat gempa dan hujan yang deras mereka mengatakan: "ini terjadi dengan qudrah Allah ta'ala". Tentang jual beli hutang dengan hutang, Ahmad bin Hanbal mengatakan:" dalam masalah ini tidak ada hadits yang sahih, akan tetapi

terdapat ijmâ' bahwa tidak boleh menjual hutang dengan hutang. 124 Apabila perkataan di atas benar berasal dari Ahmad bin Hanbal (w.261 H), tentu ia tidak menjadikan

ijmâ' sebagai hujjah dalam menetapkan hukum. Sebagaimana al-Qur'an dan hadits, kebenaran ijmâ' juga bersifat absolut. Absolutitas ijmâ' disepakati oleh para ulama dari semua madzhab. Al-Khatîb al- Baghdâdi (w.463 H) mengatakan bahwa ijmâ' para mujtahidîn pada setiap masa

adalah hujjah syara' dan dalil hukum yang qat'iy (pasti) kebenarannya. 125 Ungkapan senada disampaikan oleh Abû al-Husain Muhammad bin Ali bin al-Tib al-mu'taziliy (

w.436 H) 126 dan al-Jasâs al-Hanafi (w.370 H). Al-Jasas (w.370 H) bahkan menegaskan bahwa dalam keadaan apapun terjadinya ijmâ' pada umat ini adalah

hujjah 127 yang tidak boleh bagi seseorang untuk meninggalkan atau keluar darinya. Atas dasar kesepakatan di atas, maka para ulama menkafirkan seseorang yang

menentang ijmâ'. Ijmâ' yang dimaksud di sini adalah ijmâ' al-khassah wa al-

123 Al-Khatîb al-Bagdâdi, al-Faqih wa al-mutafaqqih, (Dar Ihya` al-Sunnah al-Nabawiyyah, t.t) 1, 176

124 Ibn Hajar al-'Asqâlani, Talkhîs al-Habîr

 (Bairut: Dar al-Ma'rifah,t.t) juz 3, h.26 Al-Khatîb al-Baghdâdi, al-Faqih wa al-Mutafaqqih, juz 1, h.154 126 Abu al-Husain Muhammad bin 'Ali bin al-Tib al-Syafi'iy, al-Mu'tamad fi Usûl al-Fiqh,

(Bairut: Dar al-Kutub al-'Ilmiah, ,t.t) juz 2 h.4 127 Al-Jassâs, Ahkam al-Qur'an juz 1,h.124-127

'ammah , 128 seperti ijmâ' bahwa qiblat salat adalah ka'bah, puasa ramadan wajib, salat lima waktu hukumnya wajib, jumlah bilangan rekaat salat. 129 Karena ijmâ'

adakalanya hanya diketahui oleh sebagian orang saja, yakni para ulama'nya (al- ijmâ'al-khassah). Ijmâ' juga adakalanya yang dibangun diatas dalil yang qat'iy (ayat muhkamat dan tafsir Nabi) dan adakalanya dibangun di atas dalil yang zanniy (ayat- ayat al-Qur'an yang zanniy al-ma'na wa al-dilâlah).

Perincian hukum orang yang menentang ijma' dijelaskan oleh Taj al-Din al- Subki (w.771 H), ia menjelaskan bahwa seseorang yang menentang al-mujma' 'alahi al-ma'lûm min al-dîn al-darûrah , maka hukumnya kafir. Demikian juga ijmâ' yang telah masyhur, baik yang ada nas-nya atau tidak namun sering diulang-ulang. Sedangkan seseorang yang mengingkari ijmâ' yang khafi (samar) meskipun mansûs

(ada nasnya) tidak dihukumi sebagai kafir. 130 Meskipun menurut al-Zarkasyi (w.794

H) ia tetap dihukumi salah dan sesat. 131 Dalam Islam ijma' selain sebagai sumber ajaran Islam, ia juga berfungsi

menjaga ajaran Islam. Sebagian orang yang tidak memahami konsep ijma', ketika melihat banyaknya ikhtilâf tafsir (perbedaan penafsiran), baik pada ayat-ayat akidah maupun hukum meragukan kebenaran Islam. Padahal meskipun terdapat banyak ikhtilâf tafsir yang berujung pada perbedaan pendapat dalam ajaran Islam, tetapi masalah-masalah yang disepakati (mujma' 'alaihi) masih jauh lebih banyak dibandingkan dengan masalah-masalah yang diperselisihkan. Abû Ishâq al-Isfirâyini (w.471 H) menegaskan bahwa permasalahan-permasalahan usûl yang telah disepakati (mujma' 'alaihi) itu lebih dari dua puluh ribu masalah. Dari permasalahan usûl tersebut muncul permasalahan furû' yang lebih dari seratus ribu masalah yang juga telah disepakati. Siasanya tinggal sekitar seribu masalah yang menjadai wilayah khilâf dan ijtihâd. Dari seribu permasalahan tersebut sebagian telah ditetapkan bahwa

128 Ijmâ'al-Khassah wa 'Ammah adalah ijmâ' yang telah diketahui oleh umat Islam keseluruhan baik yang awam maupun ulama (ma'lum min al-din bi al-darurah)..

130 Al-Khatîb al-Baghdâdi, al-Faqih wa al-Mutafaqqih, juz 1, h.434 131 Taj al-Dîn al-Subki, Jam'u al-Jawâmi' fi Usûl al-Fiqh (Bairut: Dâr al-Fikr,t.t), h. 324

Al-Zarkasyi, Tasnif al-Masâmi' 'ala Jam'i al-Jawami', juz 3, h.94 Al-Zarkasyi, Tasnif al-Masâmi' 'ala Jam'i al-Jawami', juz 3, h.94

Pemahaman para mufassir sejak dahulu sampai sekarang tidak berbeda (mujma' 'alaihi) tentang bahwa Allah itu Esa, Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir, salat lima waktu, puasa Ramadan hukumnya wajib, zina, judi, riba, babi hukumnya haram dan seterusnya. Dalam buku tafsir apapun akan ditemukan pemahaman yang sama tentang masalah-masalah tersebut. Ketika sebuah ayat al-Qur'an telah disepakati penafsirannya dengan makna tertentu, maka penafsiran tersebut bersifat absolut kebenarannya. Setiap tafsir yang menyimpang dari penafsiran tersebut, maka tafsir tersebut berarti salah. Karena ijmâ' adalah hujjah dalam agama, Allah ta'ala menjaga ajaran yang dianut oleh mayoritas umat Islam sebagai ajaran yang benar, termasuk di sini adalah tafsir sebuah ayat al-Qur'an yang telah disepakati oleh para ulama (mujma' 'alaihi) .

Ikhtilâf al-tafsir (perbedaan penafsiran) terjadi karena tidak adanya kesepakatan para ulama al-Qur'an terhadap dilâlah ayat atau lafaz al-Qur'an terhadap maksud Allah, sehingga seorang mufassir sampai pada penafsiran yang berbeda. Perbedaan pendapat tersebut menyangkut penafsiran yang memang benar-benar zanniy al- dilâlah dan tidak ada sunnah yang menjelaskannya sama sekali. Selama ikhtilâf tafsir tidak bertentangan dengan tafsir yang mujma' 'alaihi, maka ikhtilâf tersebut masih dapat tolerir. Muhammad Quraisy Shihâb mengatakan bahwa redaksi ayat-ayat al- Qur'an merupakan salah satu penyebab tumbuhnya perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan umat Islam, apalagi ada ayat mutasy â bih yang bukan hanya artinya yang

diperselisihkan tetapi juga penetapan ayat-ayatnya. 133 Menurut al-Habasyi, ikhtilâf itu ada dua macam, pertama berbeda pendapat

dalam masalah yang mansûs, hukumnya tidak boleh. Kedua berbeda pendapat dalam masalah yang mengandung ta`wil atau menerima qiyas, boleh bagi seorang

133 Al-Kautsâri, al-Isyfaq 'ala Ahkam al-Talaq, h.73 M.Quraisy Sihab, Membumikan al-Qur'an, h.364 133 Al-Kautsâri, al-Isyfaq 'ala Ahkam al-Talaq, h.73 M.Quraisy Sihab, Membumikan al-Qur'an, h.364

ikhtilâf 135 (peluang untuk berbeda) dalam penafsiran ayat tersebut. Sedangkan perbedaan penafsiran yang mamdûh (terpuji) adalah ikhtilâf tanawwu' dan talâzum

(saling mendukung dan memperkuat) yaitu perbedaan penafsiran yang saling berkesesuaian. 136

Menurut al-Habasyi ikhtilâf (perbedaan pendapat) yang tercela adalah perbedaan pendapat dalam permasalahan yang telah ada nas-nya dalam al-Qur'an atau sunnah yang tsâbitah. Ikhtilaf yang tercela adalah ikhtilaf dalam masalah aqidah dan persalahan hukum dan furu' yang telah diketahui dalam agama dengan darurah

(seluruh umat Islam, yang alim maupun yang awam tahu). 137 Ijtihâd para ulama mujtahidin adalah dalam masalah furu' dan bukan dalam

masalah usûl aqidah seperti ma'rifatullah. Tidak diperkenankan ada ikhtilâf dalam perkara yang al-mansus 'alaihi seperti salat lima waktu dan keharamnan zina dan liwat (homoseksual). Sedangkan ikhtilâf dalam selain yang mansûs 'alaihi dan mujma' 'alaihi , maka seseorang dibolehkan untuk ber-ijtihâd, seperti ilkhtilâf sebagian sahabat pada beberapa permasalahan. Ijtihâd Abu Bakar (w.13 H) berbeda dengan ijtihâd Ali dan Zaid bin Tsâbit dalam masalah mewarisinya ikhwah bersama kakek. Demikian juga al-Syafi'i (w.204 H) berbeda pendapat dengan Abu Hanifah (w.150 H) dalam masalah membatalkannya menyentuh perempuan ajnabiyah dengan

hail 138 (penghalang).

134 Al-Habasyi, al-Maqâlat al-Sunniyah, h. 399-400 135 Al-Suyuti, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an, Juz 2 h.38 136 137 Al-Suyuti, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an, Juz 2 h.31 138 Al-Habasyi, al-Maqâlat al-Sunniyah, h. 399-400

Al-Habasyi, al-Syarh al-Qawîm, h. 469

Menurut al-Habasyi, tidak sah dan tidak benar klaim ijtihâd dari seseorang setelah ditemukannya nas al-Qur'an atau nas hadits yang tsâbit. Apabila ada seseorang yang berijtihad, padahal telah ada nas tentang hal itu dan ternyata hasilnya berbeda dengan ketetapan nas tersebut, maka ucapannya tertolak dan tidak boleh diikuti dalam masalah tersebut, meskipun dia seorang mujtahid yang nas tersebut

belum sampai kepadanya. 139 Al-Habasyi juga menegaskan:

"Tidak setiap khilaf (perbedaan pendapat) itu mu'tabar (dapat diterima), kecuali khilaf 140 yang yang memiliki nazar (argumen) yang kuat". Dengan demikian setiap

klaim terhadap sesuatu yang menyalahi ijma', maka tidak boleh dibenarkan. 141

Diantara ikhtilâf yang madzmûm adalah apabila seseorang meng-interpretasi- kan al-Qur'an dengan interpretasi yang bertentangan dengan tafsir yang mujma' 'alaihi. Setiap ada perbedaan penafsiran terhadap suatu ayat tentang permasalahan tertentu, padahal permasalahan tersebut sudah mujma' 'alahi, maka khilâf yang seperti ini tidak mu'tabar; tidak boleh dipakai dan tidak boleh disangka bahwa permasalahan tersebut khilâfiyah. Karena apabila semua bentuk khilâf dapat ditolerir, maka akan menghancurkan sendi-sendi ajaran Islam. Apabila setiap pendapat boleh diambil, maka pada bulan Ramadan seseorang boleh makan dan minum sampai terbitnya matahari, seseorang juga boleh menyetubuhi budak perempuan milik orang lain atas seizin pemiliknya. Karena kedua pendapat tersebut memang pernah dilontarkan oleh sebagian umat Islam dimasa yang lalu.

Dengan demikian, seorang mufassir juga dituntut untuk mengetahui tafsir-tafsir yang yang mujma' 'alaihi, agar hasil penafsirannya tidak bertentangan dengannya. Al- Syâfi'i (w.204 H) sebagaimana dikutip oleh al-Suyuti (w.991 H) menjelaskan bahwa

140 Al-Habasyi, Izhar al-'Aqidah al-Sunniyah, h. 317 141 Al-Habasyi, Sarîh al-Bayân, h. 206

Al-Habasyi, Izhar al-Aqidah al-Sunniyah h.312 Al-Habasyi, Izhar al-Aqidah al-Sunniyah h.312

Al-Habasyi mengatakan bahwa tidak boleh bagi seseorang untuk mengkiaskan sesuatu sehingga ia telah mengetahui pendapat-pendapat sebelumnya berupa sunnah, perkataan salaf, ijma', perbedaaan ulama dan lisân al-arab (bahasa arab), sehat

akalnya untuk membedakan ayat-ayat yang mutasyâbihât. 143 Setelah terjadi ijmâ' maka masalah-masalah tersebut berarti sudah masuk dalam kategori al-qat'iyât dalam

Islam. Sehingga tidak diperkenankan adanya penafsiran lain yang bertentangan dengannya, karena ijmâ' adalah hujjah dalam agama. Dan apabila hal-hal yang qat'iyât tersebut dibongkar kembali, maka sama halnya dengan membubarkan ajaran

agama Islam. 144 Apabila telah terjadi ijmâ' pada masa sahabat terhadap suatu hukum far'iy

(hukum cabang), maka haram bagi orang yang setelahnya untuk menentangnya. Demikian juga apabila telah terjadi ijmâ' pada masa tabi'in terhadap satu atau dua pendapat, sebagain imam tabi'in berpendapat dengan suatu pendapat dan sebagian lain berpendapat yang berbeda dengan pendapat mereka, maka ketika masa mereka telah habis tidak boleh bagi orang setelahnya untuk berpendapat dengan pendapat

yang bertentangan dengan pendapat yang telah ada. 145 Sebagai contoh, bahwa umat Islam telah bersepakat (ijma') bahwa surga dan

neraka akan abadi, tidak akan punah selamanya. Ijmâ' tersebut berdasarkan nas al- Qur'an yang berjumlah lebih dari 60 ayat, yang seluruhnya menegaskan bahwa neraka itu abadi. Dengan demikian, diketahui bahwa penafsiran Ibn Taimiyah terhadap Q.S

al-Naba`: 23 147 bahwa neraka pada suatu saat akan punah, adalah suatu kekeliruan. Karena tafsir tersebut telah menyalahi ijma'. 148

142 Al-Suyûti, al-Itqân fi 'Ulûm al-Qur'an, juz 2, h.365 143 Al-Habasyi, Sarih al-Bayân, h. 135 144 Al-Syarkasyi, Usûl al-Syarkasyi, juz I, h. 296 145 146 Al-Habasyi, Izhar al-Aqidah al-Sunniyah, h.313

Maknanya: "Mereka tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya". Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ahqâb berarti 80 tahun, satu harinya seperti seribu tahun. Penduduk dineraka itu abadi

Contoh yang lain adalah penafsiran Q.S al-Ahzab: 59 149 dengan bahwa seorang perempuan muslimah secara umum, wajib untuk menutup mukanya, karena muka adalah aurat bagi seorang perempuan. Menurut al-Habasyi, penafsiran seperti ini bertentangan dengan ijmâ' para ulama mujtahidin. Para ulama mujtahid telah menyepakati (ijma') bahwa seorang perempuan boleh keluar rumah dalam keadaan terbuka wajahnya dan bagi orang laki-laki tidak boleh memandangnya dengan syahwat, jika memang perempuan tersebut menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan kedua telapak tangannya.

Ibnu Hajar al-Haitami (w.974 H) dalam dua karyanya; al-Fatâwâ al-Kubra menyatakan bahwa Imam al-Haramain (w.478 H) telah mengutip ijmâ' tentang kebolehan keluarnya seorang perempuan dalam keadaan membuka wajah, dan bagi

kaum laki-laki hendaklah menahan pandangan. 150 Sedangkan pada kitab Hasyiyah Syarh al-Idah ‘Ala Manâsik al-Hajj wa al-Umrah (kitab penjelasan terhadap al-Idah

karya al-Nawawi (w.676 H), ia menegaskan bahwa diperbolehkan bagi seorang perempuan untuk membuka wajah dengan kesepakatan para ulama (ijma') dan bagi

kaum laki-laki hendaklah menahan pandangan. 151 Zakariya al-Ansari (w.952 H) dalam kitab Syarh al-Raud, menjelaskan bahwa

apa yang dikutip oleh imam al-Haramain tentang adanya kesepakatan bolehnya pemerintah mencegah perempuan ke luar rumah dalam keadaan membuka wajah, ini tidak bertentangan atau menafikan apa yang telah dikutip oleh al-Qadi ‘Iyadl dari para ulama tentang tidak wajibnya menutup wajah bagi perempuan di jalan, dan

selamanya setiap habis masa 80 tahun datang lagi 80 tahun berikutnya, begitu seterusnya sampai tidak ada akhirnya. Lihat: Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-'Azim, juz 4, h. 594

147 Ibn Taimiyah menyebutkan penegasan bahwa neraka akan punah dalam lima kitabnya dan dikutip juga oleh muridnya Ibn al-Qayyim al-Jauziyah dalam Hadi al-Arwah. 148

Al-Habasyi, Bughyah al-Tâlib,(Bairut: Dar al-Masyari', 2005 M) h. 24 149 Maknanya: "Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-

isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka".

151 Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra, (Bairut: Dar al-Fikr, t.t), juz 1, h.199 Ibnu Hajar al-Haitami, Hasyiat Syarh al-idâh fi Manâsik al-Hajj,(Bairut: Dar al-kutub al-

Ilmiyah, 1990 M), h.276 Ilmiyah, 1990 M), h.276