35
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TEPUNG BEKATUL
Penggunaan bekatul sebagai bahan pangan terbatas karena sifatnya tidak stabil, yaitu terjadinya kerusakan hidrolitik dan oksidatif pada minyak bekatul
yang menyebabkan bau tengik. Stabilisasi bekatul sangat berhubungan dengan adanya enzim lipase yang terdapat pada lapisan biji dan lapisan melintang
pada beras. Untuk memperoleh bekatul bersifat food grade dengan mutu yang tinggi, seluruh komponen penyebab kerusakan harus dikeluarkan atau
dihambat. Stabilisasi bekatul untuk menghasilkan bekatul awet dilakukan dengan prinsip meniadakan aktivitas lipase. Proses penghilangan aktivitas
enzim lipase harus lengkap dan bersifat tidak dapat balik.
Gambar 2 . Proses pembuatan bekatul
Gabah
Pengupasan pertama
Beras pecah kulit 1 Sekam 1
Beras pecah kulit 2
Pengupasan kedua
Sekam 2
Beras sosoh 1 Dedak
Penyosohan pertama
Beras sosoh 2
Penyosohan kedua
Bekatul 1
Sekam dan menir Bekatul 2
Pengayakan 60 mesh
Mesin Huller
Mesin Polisher
36 Proses pengupasan gabah dilakukan sebanyak dua kali menggunakan
mesin huller yang bertujuan menghasilkan beras pecah kulit dengan cara memisahkan sekam dari gabah. Proses penyosohan dilakukan terhadap beras
pecah kulit yang dihasilkan pada proses pengupasan menggunakan mesin polisher
. Proses penyosohan dilakukan sebanyak dua kali, karena pada penyosohan pertama dihasilkan beras sosoh dan dedak, sedangkan bekatul
dihasilkan pada penyosohan kedua. Bekatul yang dihasilkan pada proses penyosohan, selanjutnya diayak.
Pengayakan dilakukan untuk memisahkan bekatul dari sekam dan menir, karena tercampurnya sekam dan menir dengan bekatul merupakan salah satu
masalah dalam penggunaan bekatul sebagai bahan pangan. Pengayakan dilakukan dengan menggunakan ayakan yang berukuran 60 mesh. Penetapan
kehalusan sebesar 60 mesh didasarkan pada kehalusan tepung terigu dan tepung beras yang banyak beredar di pasaran yang mempunyai kehalusan
sekitar 60 mesh Yuniarrahmani, 2001. Di dalam penelitian ini didapat rendemen bekatul sebesar 62.40 untuk pengayakan 60 mesh.
Terdapat tiga pendekatan dari segi teknik guna inaktivasi lipase bekatul. Pertama, pemanasan basah atau kering. Kedua, ekstraksi dengan pelarut
organik untuk mengeluarkan minyak. Ketiga, denaturasi etanolik dari lipase bekatul dan lipase dari bakteri dan kapang Champagne et al., 1992. Di dalam
penelitian ini stabilisasi bekatul dilakukan dengan cara pemanasan basah menggunakan otoklaf dengan suhu 121
O
C selama 3 menit. Proses ini dipilih berdasarkan penelitian Damayanthi 2002 yang menunjukkan bahwa lama
pemanasan 3 menit merupakan lama pemanasan yang optimal berdasarkan hasil analisa asam lemak bebas dan total tokoferol yang masih terkandung
dalam bekatul. Setelah diotoklaf, bekatul dibagi menjadi tiga untuk tiga perlakuan yang
berbeda. Perlakuan pertama, dilakukan pengeringan dengan oven bersuhu 105
O
C selama 1 jam. Pada perlakuan yang kedua dan ketiga, dilakukan penambahan natrium metabisulfit NaHSO
3
sebanyak 500 ppm untuk meminimalkan pembentukan warna coklat sebelum penstabilan dengan
otoklaf, yang dilanjutkan dengan penggunaan pengering drum bersuhu 120
O
C
37 dengan kecepatan 8 rpm pada proses pengeringannya. Pada perlakuan kedua,
dilakukan penambahan air dengan rasio 2:1 untuk membentuk konsistensi setengah pasta hingga dapat dikeringkan dengan pengering drum. Hasil
pengeringan drum ini kemudian diblender kering untuk mendapatkan tepung bekatul halus.
Adapun proses pengeringan dilakukan untuk menghasilkan bekatul awet, yaitu bekatul yang memiliki umur simpan lebih panjang. Selain itu,
pengeringan juga dimaksudkan untuk meminimalkan kandungan air dalam bekatul sehingga memudahkan pengeluaran minyak pada saat ekstraksi dan
waktu ekstraksi menjadi lebih singkat Kao dan Luh, 1991. Dari hasil pengukuran kadar air terhadap tepung bekatul awet yang distabilkan dengan
metode ini didapat nilai rata-rata kadar air sebesar 4.79, dimana kadar air yang dikehendaki adalah sebesar 3-12 Juliano, 1985.
Tabel 4 . Perbandingan nilai L Lightness tepung bekatul
Konsentrasi NaHSO
3
ppm Nilai L
0 51.13
a
300 51.89
a,b
400 52.18
b
500 52.33
b
Keterangan :
Nilai rata-rata dalam kolom yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai
yang tidak berbeda nyata uji Duncan p=0.05
Penggunaan natrium metabisulfit sebanyak 500 ppm dilakukan berdasarkan penelitian pendahuluan yang menunjukkan bahwa konsentrasi
natrium metabisulfit berpengaruh nyata terhadap warna tepung bekatul yang dihasilkan. Nilai untuk masing-masing parameter warna terukur dapat dilihat
pada Lampiran 1-4. Dari hasil uji Anova diketahui bahwa konsentrasi natrium metabisulfit berpengaruh nyata terhadap semua parameter warna, yaitu nilai L,
b, dan h
o
, kecuali nilai a. Dengan mengetahui nilai kecerahan Lightness yang dihasilkan, konsentrasi natrium metabisulfit sebanyak 500 ppm digunakan
dalam penstabilan bekatul selanjutnya karena menghasilkan nilai L yang
38 paling besar. Menurut Winarno dan Betty 1974, penggunaan natrium
metabisulfit diperbolehkan hingga 500 ppm, sehingga penggunaan sulfit pada penelitian ini masih dianggap aman. Selain itu, menurut Chichester dan
Tenner 1978, penggunaan sulfit di atas 500 ppm menyebabkan terdeteksinya rasa belerang yang mengganggu rasa produk.
Tabel 5. Perbandingan nilai warna bekatul segar dan bekatul stabil
Parameter warna
Bekatul segar Bekatul stabil
L 56.34 53.58 a +4.18 +4.42
b +5.49 +6.91 h
o
50.2 58.1 Tabel 5 menunjukkan perbandingan nilai warna bekatul segar dan
bekatul yang telah distabilisasi dengan menggunakan pengering oven perlakuan 1. Dari hasil pengukuran dengan chromameter, didapat nilai a
intensitas warna merah dan b kuning meningkat setelah distabilisasi. Bekatul segar memiliki nilai a sebesar +4.18 dan b sebesar +5.49, sedangkan
bekatul yang distabilkan dengan otoklaf dan dikeringkan dengan oven memiliki nilai a sebesar +4.42 dan b sebesar +6.91. Hal ini membuktikan
bahwa setelah diotoklaf dan dikeringkan dengan oven, warna bekatul semakin coklat.
Penampakan fisik warna yang baik sangat diperlukan, terutama karena nantinya bekatul ini akan disuplementasi atau ditambahkan ke dalam susu
skim yang berwarna putih sehingga diharapkan tidak mempengaruhi preferensi konsumen saat mengkonsumsinya. Ditambah lagi, proses stabilisasi
yang digunakan, yaitu pemanasan basah menggunakan otoklaf, dapat meningkatkan pembentukan warna coklat. Hal ini terjadi karena terjadinya
reaksi browning non-enzymatic atau reaksi Maillard pada bekatul yang terjadi saat pemanasan dalam keadaan lembab Desrosier, 1988. Untuk itulah
dilakukan penambahan natrium metabisulfit, dimana sulfit akan berikatan dengan gugus aldehid dari gula sehingga tidak dapat bereaksi dengan asam
amino membentuk reaksi pencoklatan nonenzimatis Buckle et al., 1987.
39 Perlakuan pemanasan basah ini meningkatkan komponen warna merah dan
kuning serta menurunkan intensitas warna putih. Terdapat tiga faktor utama yang menentukan bekatul padi layak
digunakan sebagai bahan pangan, yaitu cita rasa dan warna, sifat fungsional, serta kandungan gizi. Seperti yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya,
kandungan gizi dan sifat fungsional bekatul sangat baik untuk kesehatan manusia. Dari segi rasa, sebenarnya bekatul memiliki cita rasa lembut dan
agak manis; jika telah distabilkan secara benar, selain rasa pahit yang cukup dominan. Warna bekatul padi bervariasi dari cokelat muda sampai cokelat tua.
Untuk menghasilkan respon penampakan yang lebih baik, maka dilakukan proses bleaching pada bekatul untuk meningkatkan warna putih atau tingkat
kecerahan. Tabel 6
. Perbandingan nilai L lightness bekatul segar dan bekatul yang distabilisasi
Bahan Nilai L
Rata-rata nilai L Ulangan 1
Ulangan 2 Bekatul segar
56.49 56.19
56.34
a
Perlakuan 1 53.50
53.66 53.58
b
Perlakuan 2 52.34
52.31 52.33
c
Perlakuan 3 56.18
56.22 56.20
a
Keterangan : Perlakuan 1 = tepung bekatul hasil pengering oven Perlakuan 2 = tepung bekatul hasil pengering drum
Perlakuan 3 = tepung bekatul hasil pengering drum dan mendapat perlakuan bleaching.
Nilai rata-rata dalam kolom yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata uji
Duncan p=0.05
Nilai L bekatul segar sebesar 56.34 merupakan nilai L tertinggi, sehingga dapat diketahui semua metode stabilisasi tidak dapat mengembalikan
warna secerah sebelum distabilkan, bahkan untuk perlakuan 3 yang telah mengalami proses bleaching. Pada perlakuan ketiga ini, setelah diotoklaf,
bekatul direndam dalam larutan H
2
O
2
3 selama 18 jam yang didasarkan atas penelitian Hidayati 2003 untuk mengoksidasi zat-zat warna atau pigmen
penyebab warna coklat pada bekatul. Namun, dari Tabel 6 diketahui nilai L yang dihasilkan cukup mendekati warna bekatul segar, namun belum cukup
40 memenuhi kebutuhan warna putih cerah yang diinginkan. Hal ini juga dapat
dilihat dari nilai L rata-rata kedua bahan yang tidak berbeda nyata dalam taraf kepercayaan 95.
Dua komponen pigmen utama dalam tepung yang dihasilkan dari serealia adalah karotenoid dan flavonoid. Karotenoid ditemukan dalam
endosperm dan memberikan warna kekuningan. Jumlah karotenoid ini sangat bervariasi tergantung jenis dan kultivar dari serealia tersebut. Karotenoid
dapat dengan mudah dibleaching dan dirusak oleh bleaching agent yang ditambahkan ke dalam tepung, seperti benzoyl peroksida Hoseney, 1998.
Menurut Bhattacharya dan Sowbhagya 2007, jenis pigmen ini lebih banyak terdapat di lapisan bagian luar. Semakin ke lapisan dalam biji, jumlahnya
semakin berkurang. Hal ini berarti warna beras endosperm dan tepung bekatul sangat dipengaruhi oleh tingkat penyosohan yang dilakukan pada
beras. Namun sebaliknya, pigmen flavonoid yang banyak terdapat pada bran
atau kulit bagian dalam biji, tidak dapat dibleaching oleh bleaching agent biasa. Jenis pigmen ini relatif stabil, dapat menjadi tidak berwarna pada pH
asam, namun akan menjadi berwarna kuning pada pH tinggi Hoseney, 1998. Hal inilah yang menyebabkan proses bleaching dengan hidrogen peroksida
yang dilakukan tidak berlangsung seperti yang diharapkan. Diperkirakan bleaching agent yang memiliki kekuatan pemutih yang
lebih baik jika diaplikasikan ke dalam tepung adalah benzoyl peroksida. Zat ini juga biasa digunakan sebagai agen pemutih pada tepung terigu yang baru
digiling Saiz et al., 2007. Namun karena bahan ini relatif sulit untuk didapat serta memiliki harga yang mahal, digunakan bahan peroksida yang lebih
mudah didapat yaitu hidrogen peroksida. Bahan lain yang juga dapat digunakan sebagai pemutih tepung adalah nitrogen peroksida, klorin, dan
nitrogen triklorida. Namun banyak negara yang melarang penggunaan bahan pemutih untuk makanan disebabkan oleh residu hidrokarbon terklorinasi yang
bersifat racun yang dapat disebabkan oleh bahan-bahan tersebut. Selain itu, proses bleaching ini juga dapat merusak banyak vitamin yang sebenarnya
tidak rusak akibat panas saat penggilingan Saiz et al., 2007. Oleh sebab itu,
41 tepung bekatul hasil proses bleaching perlakuan 3 tidak digunakan dalam
analisis dan formulasi produk pada tahap selanjutnya, karena lebih banyak kerugian yang ditimbulkan dibandingkan manfaat yang diperoleh.
Menurut Yawadio et al. 2007 bekatul mengandung komponen fenol yang terkandung dalam beras pecah kulit. Dua jenis fenol tersebut adalah
asam ferulat 85.7 dan tokol 14.3. Dari penelitian tersebut, diketahui bahwa kemungkinan juga terjadi pencoklatan enzimatis yang dikatalis oleh
polifenol-oksidase. Reaksi ini juga dapat memberi pengaruh warna pada bekatul sehingga warnanya menjadi semakin coklat, selain juga memberi
pengaruh pada rasa sepat astringent pada bekatul Ho, 1992. Namun reaksi ini dapat terjadi pada bekatul yang masih segar, karena bekatul yang telah
mengalami penstabilan kandungan polifenol-oksidasenya telah hilang akibat proses pemanasan.
Analisis kadar residu H
2
O
2
pada tepung bekatul hasil bleaching perlakuan 3 dilakukan secara kualitatif. Penambahan KI 25 secara
langsung pada sampel menunjukkan tidak terbentuknya warna ungu kehitaman. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan residu H
2
O
2
sudah hilang akibat pencucian dan perendaman dengan air, serta pengeringan dengan
pengering drum. Menurut Young et al. 1980, residu H
2
O
2
dapat dihilangkan antara lain dengan cara pencucian dengan air, penggunaan enzim katalase,
penggunaan Na
2
SO
3
, dan kombinasi antara perlakuan tersebut. Proses pencucian dan perendaman yang lama dapat menurunkan dan bahkan
menghilangkan residu H
2
O
2.
Penentuan karakteristik terhadap ketiga jenis tepung bekatul yang dihasilkan terdiri dari karakteristik fisik dan karakteristik fisik-fungsional.
Sifat fisik tepung yang diukur meliputi densitas kamba, densitas padat, kadar air, a
w
, dan warna. Sedangkan sifat fisik-fungsionalnya terdiri dari daya serap air dan kelarutan dalam air. Karakterisasi tepung ini dilakukan untuk
mengetahui sifat-sifat mutu tepung yang berhubungan dengan penyimpanan, transportasidistribusi, maupun penggunaannya.
42
Tabel 7 . Nilai densitas kamba tepung bekatul
Perlakuan Densitas kamba gml
Rata-rata Ulangan 1
Ulangan 2 1 0.46 0.47 0.47
a
2 0.41 0.45 0.43
a
3 0.30 0.32 0.31
b
Keterangan : Perlakuan 1 = tepung bekatul hasil pengering oven Perlakuan 2 = tepung bekatul hasil pengering drum
Perlakuan 3 = tepung bekatul hasil pengering drum dan mendapat perlakuan bleaching.
Nilai rata-rata dalam kolom yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata uji
Duncan p=0.05
Densitas kamba merupakan perbandingan antara berat bahan dengan volume ruang yang ditempatinya dan dinyatakan dalam satuan gml. Nilai
densitas kamba menunjukkan porositas dari suatu bahan Khalil, 1999. Tepung bekatul yang menggunakan pengering oven perlakuan 1 memiliki
densitas kamba terbesar yaitu 0.47 gml, diikuti oleh tepung bekatul yang dihasilkan dari pengering drum perlakuan 2 sebesar 0.43 gml, serta tepung
bekatul yang dihasilkan dari pengering drum dengan perlakuan bleaching sebesar 0.31 gml.
Nilai densitas kamba yang besar menunjukkan produk lebih ringkas Khalil, 1999. Tepung dari pengering oven dengan densitas kamba 0.47 gml
memiliki keringkasan tertinggi yang menggambarkan bahwa porositas yang dimiliki tepung ini paling kecil, yaitu rongga-rongga yang terdapat di antara
partikel lebih kecil ataupun lebih sedikit jumlahnya. Jumlah rongga yang banyak maupun besar ukurannya tidak sebesar partikelnya akan
menyebabkan banyak ruang kosong tersisa yang seharusnya terisi oleh partikel-partikel tersebut. Hal ini akan menyebabkan jumlah partikel yang
menempati suatu volume ruang akan menjadi lebih sedikit. Dengan mengetahui densitas kamba, kita dapat memperkirakan
keefektifan dan keefisienan volume ruang yang dibutuhkan suatu bahan pangan dengan berat tertentu. Tepung bekatul yang dihasilkan dari pengering
oven yang memiliki densitas kamba yang besar akan lebih efektif dan efisien dalam menempati suatu ruang, karena dengan jumlah bobot yang lebih
43 banyak dapat menempati ruang dengan volume yang sama daripada kedua
tepung lainnya. Hal ini dapat berperan penting seperti pada proses pengisian silo, alat pencampur, maupun konveyor. Oleh karena itu, nilai densitas kamba
juga dapat digunakan dalam perencanaan gudang penyimpanan, volume alat pengolahan ataupun sarana transportasinya.
Tabel 8
. Nilai densitas padat tepung bekatul Perlakuan
Densitas padat gml Rata-rata
Ulangan 1 Ulangan 2
1 0.64 0.68 0.66
a
2 0.63 0.64 0.64
a
3 0.49 0.54 0.52
b
Keterangan : Perlakuan 1 = tepung bekatul hasil pengering oven Perlakuan 2 = tepung bekatul hasil pengering drum
Perlakuan 3 = tepung bekatul hasil pengering drum dan mendapat perlakuan bleaching.
Nilai rata-rata dalam kolom yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata uji
Duncan p=0.05
Seperti halnya densitas kamba, densitas padat juga merupakan parameter penting bahan pangan tepung-tepungan. Densitas padat adalah perbandingan
antara berat bahan terhadap volume yang ditempati setelah melalui proses pemadatan seperti penggoyangan Khalil, 1999. Besarnya nilai densitas padat
dapat dipengaruhi oleh bentuk maupun ukuran partikel suatu bahan. Besarnya nilai densitas padat ketiga jenis tepung yang diuji sejalan
dengan nilai densitas kambanya. Secara umum tepung yang memiliki nilai densitas kamba yang besar akan memiliki nilai densitas padat yang besar pula.
Nilai densitas padat yang lebih besar dibanding densitas kamba terjadi karena densitas padat diukur dengan memadatkan sejumlah tepung yang dimasukkan
ke dalam wadah sampai volume tertentu. Hal ini menyebabkan terisinya ruang-ruang kosong di antara partikel-partikel tepung yang ada pada
pengukuran densitas kamba sehingga tepung yang dapat tertampung dalam volume ruang yang sama akan lebih banyak.
Nilai densitas padat sama halnya dengan densitas kamba yang berperan dalam penentuan keefektifan dan keefisienan volume ruang yang dibutuhkan
44 untuk ditempati tepung. Pengetahuan mengenai besarnya nilai densitas padat
dapat bermanfaat pada saat pengisian bahan ke dalam wadah yang diam dan bergetar terutama pada saat transportasi. Selain itu, kapasitas silo, kontainer,
maupun kemasan seperti karung dapat diperkirakan dengan mengetahui besarnya nilai densitas padat.
Tabel 9
. Nilai kadar air tepung bekatul Perlakuan
Kadar air Rata-rata
Ulangan 1 Ulangan 2
1 4.84 4.74 4.79
a
2 5.07 5.17 5.12
b
3 3.53 3.73 3.63
c
Keterangan : Perlakuan 1 = tepung bekatul hasil pengering oven Perlakuan 2 = tepung bekatul hasil pengering drum
Perlakuan 3 = tepung bekatul hasil pengering drum dan mendapat perlakuan bleaching.
Nilai rata-rata dalam kolom yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata uji
Duncan p=0.05
Air merupakan komponen penting dalam bahan pangan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta citarasa nahan pangan. Winarno
2002 menyatakan bahwa kandungan air dalam bahan pangan ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan tersebut.
Kadar air yang dihasilkan dari ketiga jenis tepung bervariasi tergantung pada jumlah air yang ditambahkan dan metode pengeringan yang dilakukan.
Pada perlakuan 1, bekatul segar yang telah diayak langsung diotoklaf dengan suhu 121
O
C selama 3 menit lalu dikeringkan dengan oven bersuhu 105
O
C selama 1 jam. Dari hasil pengukuran kadar air menunjukkan bahwa tepung ini
memiliki kandungan air yang paling kecil dibanding kedua jenis tepung lainnya. Hal ini disebabkan tidak adanya penambahan air dalam proses
stabilisasi yang dilakukan, serta adanya pengeringan suhu tinggi dalam waktu yang cukup lama, serta pemaparan bahan yang cukup terhadap udara pemanas
pada oven. Pemaparan tepung terhadap panas dilakukan dengan cara menempatkan tepung dalam loyang dan disebarkan merata dengan ketebalan
tidak lebih dari 2 cm sehingga pengeringan dapat dimaksimalkan.
45
Tabel 10 . Nilai a
w
tepung bekatul Perlakuan
Nilai a
w
Rata-rata Ulangan 1
Ulangan 2 1 0.37
0.37 0.37
a
2 0.58 0.59 0.58
b
3 0.55 0.55 0.55
c
Keterangan : Perlakuan 1 = tepung bekatul hasil pengering oven Perlakuan 2 = tepung bekatul hasil pengering drum
Perlakuan 3
= tepung bekatul hasil pengering
drum dan mendapat perlakuan bleaching
. Nilai rata-rata dalam kolom yang diikuti huruf
sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata uji Duncan p=0.05
Aktivitas air adalah jumlah air bebas yang dapat dimanfaatkan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Istilah aktivitas air digunakan untuk
menjabarkan air yang tidak terikat atau bebas dalam suatu sistem yang dapat menunjang reaksi biologis dan kimiawi. Air yang terkandung dalam bahan
pangan, apabila terikat kuat dengan komponen bukan air akan lebih sukar digunakan baik untuk aktivitas mikrobiologis maupun aktivitas kimia dan
hidrolitik Syarief dan Khalid, 1992. Peranan air dalam bahan pangan biasanya dinyatakan sebagai kadar air
dan aktivitas air. Peranan air di udara dinyatakan dalam kelembaban relatif RH dan kelembaban mutlak H. Dalam bahan pangan, air terutama berperan
sebagai pelarut yang digunakan selama proses metabolisme. Tingkat mobilitas dan peranan air bagi proses kehidupan biasanya dinyatakan dalam besaran
aktivitas air water activity = a
w
, yaitu perbandingan tekanan parsial uap air dalam bahan dengan tekanan uap air jenuh. Selain itu aktivitas air dapat pula
dinyatakan sebagai RH kesetimbangan dibagi 100. Semakin tinggi nilai a
w
suatu bahan, semakin tinggi pula kemungkinan tumbuhnya jasad renik dalam bahan pangan tersebut Syarief dan Khalid, 1992.
Kandungan air dalam bahan pangan mempunyai peranan besar dalam reaksi kimia yang terjadi, antara lain reaksi oksidasi lipida dan pencoklatan
non enzimatis Maillard. Adapun aktivitas air merupakan faktor penting dalam pengendali mikroba pada pangan semi basah Soekarto, 1979. Nilai a
w
46 yang dihasilkan sejalan dengan kadar airnya, dimana perlakuan kedua
memiliki nilai a
w
terbesar yaitu 0.58.
Tabel 11 . Nilai kelarutan dalam air tepung bekatul
Perlakuan Kelarutan dalam air
Rata-rata Ulangan 1
Ulangan 2 1 0.50
0.51 0.51
a
2 1.42 1.46 1.44
b
3 1.50 1.58 1.54
b
Keterangan : Perlakuan 1 = tepung bekatul hasil pengering oven Perlakuan 2 = tepung bekatul hasil pengering drum
Perlakuan 3 = tepung bekatul hasil pengering drum dan mendapat perlakuan bleaching.
Nilai rata-rata dalam kolom yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata uji
Duncan p=0.05
Kelarutan dalam air atau dispersibility adalah kemampuan tepung untuk didistribusikan dalam air, yang merupakan kemampuan gumpalan aglomerat
untuk jatuh dan menyebar dalam air Khalil, 1999. Nilai dispersibility menunjukkan indikasi tingkat kemudahan suatu tepung untuk dapat larut
dalam air. Nilai dispersibility yang tinggi mengindikasikan bahwa tepung lebih mudah larut dalam air dan sebaliknya. Hal ini disebabkan partikel-
partikel yang tidak larut dalam air akan lebih sedikit yang didispersikan. Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa tepung bekatul yang
dikeringkan dengan pengering drum dan mendapat perlakuan bleaching perlakuan 3 memiliki nilai kelarutan dalam air yang paling tinggi yaitu
sebesar 1.54, diikuti oleh tepung bekatul dengan pengering drum perlakuan 2 sebesar 1.44, serta tepung bekatul pengering oven perlakuan 1 sebesar
0.51. Menurut Damayanthi et al. 2001, tepung bekatul memiliki nilai kelarutan dalam air yang rendah bila dibandingkan dengan tepung terigu yang
memiliki nilai kelarutan dalam air sebesar 30.84. Hal ini disebabkan tingginya kandungan serat makanan tidak larut dalam tepung bekatul dan
kandungan protein yang relatif lebih rendah dibanding terigu.
47
Tabel 12 . Nilai daya serap air tepung bekatul
Perlakuan Daya serap air
Rata-rata Ulangan 1
Ulangan 2 1 248.94
255.18 252.06
a
2 299.71 302.95
301.33
b
3 374.09 366.21
370.15
c
Keterangan : Perlakuan 1 = tepung bekatul hasil pengering oven Perlakuan 2 = tepung bekatul hasil pengering drum
Perlakuan 3 = tepung bekatul hasil pengering drum dan mendapat perlakuan bleaching.
Nilai rata-rata dalam kolom yang diikuti huruf sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata uji
Duncan p=0.05
Daya serap air menunjukkan kemampuan produk untuk mengikat air. Nilai untuk masing-masing jenis tepung yang dihasilkan dapat dilihat pada
Tabel 12. Nilai daya serap air dan nilai kelarutan dalam air yang besar disebabkan oleh adanya perlakuan pemanasan awal yang dilakukan terhadap
tepung, terutama pemanasan yang cukup tinggi seperti penggunaan pengering drum.
Menurut Gomez dan Aguilera 1983, nilai daya serap air tergantung pada ketersediaan grup hidrofilik dan kapasitas pembentukan gel dari
makromolekul yaitu pati yang tergelatinisasi dan terdekstrinasi. Semakin banyak pati yang tergelatinisasi dan terdekstrinasi, semakin besar kemampuan
produk menyerap air. Nilai kelarutan dalam air sebanding jumlahnya dengan nilai daya serap air.
Eliason 1981 menyatakan bahwa granula pati dapat basah dan secara spontan dapat terdispersi dalam air atau minyak. Hal ini menunjukkan bahwa
granula dapat memberikan gugus hidrofilik dan atau hidrofobik. Daya absorbsi air dari pati perlu diketahui karena jumlah air yang ditambahkan pada
pati mempengaruhi sifat-sifat dari sistem pati. Granula pati yang utuh tidak larut dalam air dingin, akan tetapi granula dapat menyerap air dan
membengkak Fennema, 1985. Menurut Pontoh 1986, semakin besar nilai derajat gelatinisasi,
kelarutan dalam air akan semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa pati yang telah tergelatinisasi lebih mudah larut air. Tepung yang memiliki daya
48 serap dan kelarutan dalam air yang tinggi dapat digunakan untuk makanan
bayi, salad dressing, cake mixes, puding, dan lain-lain. Sedangkan tepung yang memiliki daya serap air yang rendah cocok dipakai sebagai bahan baku
dalam pembuatan produk yang tidak membutuhkan pengembangan. Hasil proses stabilisasi bekatul ini kemudian dipertimbangkan untuk
ditambahkan ke dalam minuman berbahan dasar susu skim. Pertimbangan yang digunakan adalah karakteristik fisik-fungsional tepung yang dihasilkan
dan kesesuaian dengan aplikasinya pada produk. Mengingat tepung terpilih kemudian akan ditambahkan ke minuman berbahan dasar susu skim, maka
dapat dipilih tepung dari perlakuan kedua dan ketiga dengan nilai daya serap air dan kelarutan dalam air yang cukup besar.
Namun dari hasil analisis warna sebelumnya, diketahui bahwa perlakuan bleaching
dengan H
2
O
2
perlakuan 3 tidak memberikan hasil peningkatan nilai kecerahan yang cukup signifikan. Perlakuan 3 ini juga menggunakan
bahan H
2
O
2
yang cukup berbahaya, meskipun dalam analisis residu kualitatif diketahui residu H
2
O
2
telah hilang akibat pencucian, perendaman, dan pengeringan. Selain itu, pertimbangan yang digunakan adalah tingkat
kemudahan proses pengolahan dan biaya, dimana perlakuan ketiga memiliki tahap pengerjaan yang lebih rumit dan membutuhkan biaya yang lebih besar.
Seperti yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya, proses bleaching juga dapat merusak banyak vitamin yang sebenarnya tidak rusak akibat panas saat
penggilingan Saiz et al., 2007. Oleh karena itu, tepung dari perlakuan kedua dipilih untuk diaplikasikan ke produk yang akan dibuat.
Tepung dari perlakuan kedua ini kemudian dianalisis sifat kimianya, berupa tingkat kenaikan asam lemak bebas ALB serta kandungan total
tokoferol. Kenaikan ALB perlu diketahui karena kadar ALB pada bekatul segar dapat meningkat dari 1-3 menjadi 70 dalam satu bulan. Kadar ALB
bergantung pada kerusakan permukaan, kadar air, dan suhu penyimpanan. Kecepatan pembentukan ALB meningkat di bawah kondisi kelembaban tinggi
Damayanthi et al., 2006. Kadar tokoferol bekatul setelah proses perlu diketahui karena tokoferol
merupakan salah satu komponen bioaktif berharga yang terkandung di dalam
49 bekatul. Damayanthi 2002 telah meneliti kadar total tokoferol pada bekatul
yaitu 264.71 pada bekatul segar dan 216.28 mg100 g minyak bekatul pada bekatul yang dikeringkan dengan oven. Perbandingan kenaikan nilai ALB dan
total tokoferol tepung terpilih yang dihasilkan dengan nilai dari hasil penelitian Damayanthi 2002 disajikan dalam Tabel 13 berikut.
Tabel 13
. Karakteristik kimia tepung bekatul Parameter
Bekatul segar
b
Bekatul pengering oven
b
Bekatul pengering drum
Kenaikan ALB
a
23 2.07 0.07
Kadar total tokoferol mg100 g minyak
264.71 216.28 217.61
a
Dihitung dengan membandingkan nilai asam lemak bebas sampel hari ke-0 dengan asam lemak bebas sampel yang telah diinkubasi selama 6 hari 144
jam pada suhu 35
O
C.
b
Damayanthi 2002 Kenaikan ALB sampel cukup rendah sehingga dapat disimpulkan proses
penstabilan bekatul yang dilakukan dapat menstabilkan bekatul dengan menghilangkan lipase penyebab aktivitas kerusakan. Kandungan tokoferol
yang dihasilkan juga cukup tinggi, yakni sebesar 217.61 mg100 g minyak. Diketahui bahwa kandungan tokoferol atau vitamin E pada bekatul
cukup tinggi, yaitu 217.61 mg per 100 g minyak bekatul. Kandungan vitamin E pada bekatul ini bahkan jauh melebihi kandungan vitamin E pada minyak
sawit 2-50 mg100 g minyak, minyak biji bunga matahari 70 mg100 g minyak, atau bahkan margarin 30-100 mg100 g minyak. Kandungan ini
dapat disetarakan dengan kandungan vitamin E pada minyak kedelai varietas tertentu 90-280 mg100 g atau minyak nutfah jagung 87-250 mg100 g
deMan, 1997. Menurut deMan 1997, tokoferol penting sebagai antioksidan dalam
makanan, terutama dalam minyak tumbuhan; dimana kecambah serealia yang merupakan sumber yang sangat baik karena dapat mengandung 150 hingga
500 mg100 g minyak. Dalam hal bekatul, sebagian besar dari vitamin -seperti halnya protein dan lemak- terletak pada bagian aleuron dan lembaga sehingga
bekatul merupakan bahan yang kaya akan vitamin. Grup vitamin B dan
50 tokoferol banyak terdapat di bekatul, sedangkan vitamin A dan C sedikit
sekali jumlahnya. Variasi kandungan vitamin merupakan akibat dari varietas padi, tingkat penyosohan, dan kemungkinan terjadinya kontaminasi sekam.
B. PENENTUAN VARIABEL MINUMAN FUNGSIONAL