4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kultivasi Porphyridium cruentum
Kultur Porphyridium cruentum berwarna merah terang. Warna ini terkait dengan keberadaan fikoeritrin sebagai pigmen dominan pada mikroalga
Porphyridium cruentum sebesar 8 bobot kering Vonshak 1988. Warna kultur akan semakin pekat seiring dengan lamanya waktu kultivasi. Kepekatan warna
kultur mengindikasikan terjadinya pertambahan sel pada kultur tersebut. Hasil kultivasi pada penelitian ini menunjukkan bahwa kultur hari ke-10 lebih pekat
dibandingkan dengan hari ke-1 dan hari ke-5. Hal ini membuktikan terjadinya pertumbuhan. Warna kultur Porphyridium cruentum dapat dilihat pada Gambar 8.
a b
c d
Gambar 8 Kultur mikroalga Porphyridium cruentum pada umur yang berbeda a 1 hari, b 5 hari, c 10 hari, dan d 12 hari
Kondisi lingkungan sangat berpengaruh dalam kultivasi mikroalga Porphyridium cruentum. Perubahan kondisi lingkungan dan nutrisi akan
berpengaruh pada pertumbuhan mikroalga Porphyridium cruentum. Kondisi lingkungan selama kultivasi dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Kondisi umum kultivasi Porphyridium cruentum Kontrol
Kondisi Suhu lingkungan
27-28,5
o
C Intensitas cahaya
500-2000 lux pH air laut
8,12 Nutrisi
Media Becker Kelembaban udara
76-82
Suhu optimum untuk pertumbuhan Porphyridium cruentum adalah 21-26
o
C, sedangkan pada suhu di bawah 13
o
C dan di atas 31
o
C pertumbuhannya lambat Golueke dan Oswald 1962 diacu dalam Vonshak 1988. Kultivasi pada
penelitian ini dilakukan pada rentang suhu 27-28,5
o
C dan mampu tumbuh dengan baik. Kultur yang ditumbuhkan di bawah cahaya secara kontinyu akan tumbuh
dengan cepat. Faktor lingkungan yang penting untuk kultur mikroalga adalah cahaya, yang merupakan faktor utama pada fotosintesis Arad dan Richmond
2004. Porphyridium cruentum juga toleran terhadap perubahan pH pada kisaran
antara 5,2-8,3. Menurut Colman dan Gehl 1983 diacu dalam Vonshak 1988 bahwa pH optimum fotosintesis Porphyridium cruentum adalah 7,5. Ramus
1972 diacu dalam Vonshak 1988 menyatakan bahwa jika Porphyridium cruentum ditumbuhkan dalam media dengan sumber nitrogen terbatas maka
produksi polisakaridanya lebih tinggi. 4.2 Kurva Pertumbuhan
Porphyridium cruentum
Pertumbuhan organisme didefinisikan sebagai suatu peningkatan massa atau ukuran sel yang disertai oleh sintesis makromolekul dan menghasilkan
struktur organisme baru. Pertumbuhan jaringan terjadi melalui peningkatan ukuran sel yang diikuti peningkatan jumlah sel Becker 1994. Penentuan pola
pertumbuhan pada Porphyridium cruentum dilakukan dengan cara sampling untuk menghitung jumlah sel mikroalga tersebut setiap hari menggunakan
haemasitometer yang kemudian diamati di bawah mikroskop. Nilai kepadatan sel yang diperoleh berasal dari perhitungan matematis yang kemudian diturunkan
dengan pendekatan logaritmik log dan diplotkan ke dalam grafik sehingga diperoleh kurva pertumbuhan.
Fase pertumbuhan setiap organisme tidak selalu tetap. Perbedaan panjang atau kemiringan kurva pertumbuhan ditentukan oleh kondisi umum kultur.
Keberagaman fase pertumbuhan menggambarkan perubahan kondisi lingkungan dan tergantung pada inokulum, metode kultivasi, konsentrasi nutrisi, intensitas
cahaya, dan suhu Becker 1994. Kurva pertumbuhan mikroalga Porphyridium cruentum dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9 Kurva pertumbuhan mikroalga Porphyridium cruentum a fase lag, b fase logaritmik, c fase stasioner, d fase
kematian
Fase pertumbuhan pada kultur Porphyridium cruentum meliputi fase lag, fase log, fase stasioner dan fase kematian. Fase lag terjadi sampai hari pertama.
Fase lag hanya berlangsung selama 1 hari diduga berkaitan dengan umur inokulum yang digunakan. Inokulum yang digunakan berumur 7 hari dan
berdasarkan kurva pertumbuhan termasuk dalam fase tengah stasioner. Umur fisiologis sel berpengaruh terhadap kemampuan sel dalam
melakukan multiplikasi. Sel yang diambil dari fase lag akhir, fase log dan fase stasioner awal akan membutuhkan waktu lag yang lebih pendek bila dibandingkan
dengan sel yang diambil dari fase stasioner akhir. Pada fase lag aktivitas fisiologi sel sangat tinggi, karena sel sangat sensitif terhadap temperatur atau perubahan
lingkungan lain daripada sel pada fase yang lebih dewasa Becker 1994. Fase pertumbuhan selanjutnya adalah fase logaritmik log. Fase log
terjadi pada hari ke-1 sampai hari ke-5. Fase ini ditandai dengan meningkatnya jumlah sel yang dapat dihitung di bawah mikroskop dengan menggunakan
haemasitometer. Peningkatan laju pertumbuhan didukung oleh ketersediaan nutrisi dan lingkungan yang baik sehingga pertumbuhannya optimal Fogg 1975.
Selain itu, sel telah terbiasa dengan lingkungan baru sehingga mulai tumbuh dan melipatgandakan diri pada akhir fase lag Lee dan Shen 2004.
Fase stasioner terjadi pada hari ke-5 sampai hari ke-9. Peningkatan ukuran populasi tidak terjadi, jumlah sel terlihat cenderung konstan, karena laju
pertumbuhan seimbang dengan laju kematian pada fase stasioner Fogg 1975.
6.3 6.4
6.5 6.6
6.7 6.8
6.9 7
2 4
6 8
10 12
Waktu hari Lo
g ju
m lah
s e
l s
e l
m L
a b
c
d
Fase stasioner terjadi akibat keterbatasan intensitas cahaya yang mampu diserap oleh mikroalga. Jumlah energi cahaya yang mampu diserap melalui fotosintesis
berkaitan dengan konsentrasi sel yang semakin melimpah hingga akhir fase log. Setelah konsentrasi sel mencapai maksimal, jumlah biomassa tetap sampai nutrisi
dalam medium dan inhibitor menjadi faktor pembatas Lee dan Shen 2004. Fase kematian dimulai pada hari ke-9. Kematian sel disebabkan oleh
nutrien dalam medium telah habis sedangkan sel yang masih hidup tidak mampu untuk tumbuh dan hanya dapat bertahan hidup Fogg 1975. Selain itu, fase ini
terjadi disebabkan oleh kondisi lingkungan yang kurang baik, umur kultur yang sudah tua, keterbatasan nutrisi dan absorbs cahaya, atau infeksi oleh
mikroorganisme lain Becker 1994. Berdasarkan penelitian Kusmiyati dan Agustini 2006 diperoleh kurva
pertumbuhan mikroalga Porphyridium cruentum yang tidak diawali dengan fase lag. Fase log terjadi mulai awal kultivasi hingga hari ke-8, fase stasioner terjadi
pada hari ke-8 hingga hari ke-10, dan fase kematian mulai terjadi pada hari ke-10. Kultivasi Porphyridium cruentum dilakukan dalam botol berisi 500 ml media
Becker. Setelah stok kultur mencapai optical density OD 1,6, sebanyak 250 ml kultur tersebut dipindahkan ke botol 2 L diencerkan dengan 750 ml media yang
sama sehingga OD sekitar 0,4. Perbedaan kualitas dan jumlah inokulum yang ditambahkan diduga menjadi penyebab perbedaan bentuk kurva pertumbuhan
yang didapatkan.
4.3 Produksi dan Pengendapan Polisakarida