medium akan menghambat fotosintesis, namun terbatasnya jumlah nitrogen ini akan berdampak pada meningkatnya ekskresi polisakarida ke dalam medium.
Porphyridium cruentum menggunakan CO
2
sebagai sumber karbon. Pertumbuhan menjadi lebih cepat pada kultur yang diberi cahaya dan aerasi
dengan udara yang mengandung CO
2
Vonshak 1988. Sumber sulfur diperoleh dari MgSO
4
, Na
2
SO
3
, atau Na
2
S
2
O
3
dengan konsentrasi antara 5,4-27,0 mM akan menghasilkan pertumbuhan alga yang baik Vonshak 1988.
2.3 Pertumbuhan Mikroalga
Pertumbuhan mikroalga pada kultur dapat ditandai dengan bertambah besarnya ukuran sel atau bertambahnya jumlah sel. Perkembangan sel dalam
kultur mikroalga terdiri atas lima fase, yaitu fase lag adaptasi, fase eksponensial logaritmik, fase penurunan laju pertumbuhan deklinasi, fase stasioner dan fase
kematian Fogg 1975. Fase lag merupakan fase pertama dalam pertumbuhan mikroalga dan
mengalami penurunan tingkat metabolisme karena fase inokulum yang tidak merata dan terjadi proses adaptasi terhadap media kultur. Fase kedua adalah fase
eksponensial di mana percepatan pertumbuhan dan perbandingan konsentrasi komponen biokimia menjadi konstan Fogg 1975.
Fase ketiga merupakan fase penurunan laju pertumbuhan yang disebabkan populasi sel terus bertambah namun tidak ada penambahan nutrien sedangkan
pemanfaatan nutrien oleh mikroalga terus berlanjut, sehingga terjadi persaingan antar sel untuk mendapatkan nutrien yang semakin berkurang. Intensitas cahaya
yang diterima sel semakin berkurang akibat jumlah sel yang semakin tinggi sehingga terjadi pembentukan bayangan dari sel itu sendiri juga dapat
menyebabkan penurunan laju pertumbuhan Fogg 1975. Kurva pertumbuhan mulai berubah karakter dari eksponensial menjadi linier
pada saat faktor-faktor pertumbuhan mulai habis. Fase ini disebut fase stasioner. Peningkatan ukuran populasi tidak terjadi, jumlah sel terlihat cenderung konstan,
karena laju pertumbuhan seimbang dengan laju kematian pada fase stasioner. Pertumbuhan mikroalga yang dikultur mencapai tingkat maksimal pada fase
stasioner Fogg 1975. Fase kematian merupakan fase akhir yang ditandai dengan
penurunan produksi biomassa karena kematian sel. Karakteristik pertumbuhan sel alga dalam kultur disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Pola pertumbuhan sel alga 1 fase lag, 2 fase eksponensial, 3 fase deklinasi, 4 fase stasioner,
5 fase kematian Fogg 1975 2.4
Polisakarida
Polisakarida adalah polimer dari beberapa monosakarida yang berikatan satu sama lain. Polisakarida dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok
homopolisakarida dan heteropolisakarida. Homopolisakarida adalah polisakarida yang tersusun dari satu jenis monosakarida. Homopolisakarida terbanyak di alam
adalah pati, glikogen, selulosa dan kitin, sedangkan heteropolisakarida adalah polisakarida yang terdiri dari dua atau lebih monosakarida. Heteropolisakarida
terdiri dari dua jenis, yaitu glikosaminoglikan dan murein Roswiem 2006. Polisakarida telah digunakan sebagai pengental, flokulan, dan minyak
pelumas. Beberapa polisakarida dari alga menunjukkan potensi untuk dijadikan antikanker. Porphyridium cruentum merupakan salah satu penghasil polisakarida
ekstraseluler dalam jumlah besar. Polisakarida ekstraseluler yang dihasilkan terdiri dari D-xylose, D-glucose, D-galactose, L-galactose, 3-O-methylxylose,
3-O-metylgalactose, dan D-glucuronic acid Percival dan Foyle 1979. Sel-sel mikroalga merah dibungkus oleh polisakarida sulfat dalam bentuk
gel. Selama pertumbuhan dalam media cair, viskositas medium meningkat karena pengeluaran polisakarida dari permukaan sel ke dalam media polisakarida larut
air. Kapsul polisakarida paling tipis selama fase pertumbuhan dan tebal selama
Jumlah sel selml
Umur kultur
fase stasioner Ramus, 1972, 1986 diacu dalam Arad dan Richmond 2004. Letak polisakarida pada Porphyridium cruentum dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Polisakarida Porphyridium cruentum Arad dan Richmond 2004
Fungsi biologi dari polisakarida pada Porphyridium cruentum, yaitu melindungi sel, pertukaran atau penampungan ion, membentuk penghalang yang
sulit ditembus oleh gas dan air, serta sebagai tempat vitamin dan hormon. Polisakarida dari Porphyridium cruentum juga berfungsi untuk membentuk
thallus pseudoparenkim
yang dilakukan
bersama-sama dengan
sel Vonshak 1988.
Polisakarida terdiri atas 7-10 rantai sulfat ester dan dihubungkan oleh 5-7 protein. Bobot molekul rata-rata polisakarida Porphyridium cruentum
adalah 4x10
6
. Viskositas polisakarida Porphyridium cruentum cukup tinggi dibandingkan dengan xanthan gum komersial. Produksi rata-rata tiap hari
polisakarida Porphyridium cruentum sekitar 55 sampai 75 mg berat kering per liter Borowitzka 1988.
Kultur Porphyridium cruentum dapat mencapai densitas sel yang tinggi pada waktu yang relatif singkat dan mengeluarkan polisakarida ke medium dalam
jumlah besar. Polisakarida berbentuk kapsul yang mengelilingi sel dengan kekentalan yang bervariasi tergantung dengan fase pertumbuhan. Polisakarida
yang paling kental terjadi pada fase stasioner, yaitu jumlah sistesis polisakarida lebih besar dibandingkan dengan jumlah yang dikeluarkan ke dalam medium.
Selama pertumbuhan viskositas medium meningkat dikarenakan pengeluaran
polisakarida ke medium. Polisakarida disintesis dan disekresikan oleh badan golgi. Kondisi lingkungan yang berbeda berpengaruh terhadap jumlah produksi
polisakarida. Produksi polisakarida tertinggi ketika jumlah sumber nitrogen terbatas. Polisakarida dapat diisolasi melalui presipitasi menggunakan
cetylpiridinium chloride, diikuti dengan konversi menjadi kalsium dan dipresipitasi kembali dengan etanol. Prosedur ini akan menghasilkan polisakarida
murni dan menjaga viskositas terhadap perubahan pH dan suhu Vonshak 1988. Prosedur isolasi polisakarida dari mikroorganisme tergantung pada letak
biopolimer terikat pada dinding sel atau diekskresikan oleh sel sebagai pelindung atau pengotor. Isolasi dapat dilakukan dengan ekstraksi dari biomassa sel. Namun,
akhir-akhir ini isolasi polisakarida dilakukan dengan sentrifugasi maupun filtrasi untuk memisahkan produk dari sel Giavasis dan Biliaderis 2006.
Viskositas polisakarida Porphyridium sp.dalam larutan terkonsentrasi 1-2 gL, stabil pada berbagai nilai pH 2-9, suhu 30-120
o
C dan air garam. Ketergantungan dari viskositas intrinsik pada kekuatan ionik, diperkirakan bahwa
kekakuan dari rantai polisakarida Porphyridium sp. berada dalam kisaran yang sama seperti yang dari getah xanthan dan DNA Eteshola et al. 1996 diacu dalam
Arad dan Richmond 2004.
2.5 Diabetes Mellitus DM