Fase stasioner terjadi akibat keterbatasan intensitas cahaya yang mampu diserap oleh mikroalga. Jumlah energi cahaya yang mampu diserap melalui fotosintesis
berkaitan dengan konsentrasi sel yang semakin melimpah hingga akhir fase log. Setelah konsentrasi sel mencapai maksimal, jumlah biomassa tetap sampai nutrisi
dalam medium dan inhibitor menjadi faktor pembatas Lee dan Shen 2004. Fase kematian dimulai pada hari ke-9. Kematian sel disebabkan oleh
nutrien dalam medium telah habis sedangkan sel yang masih hidup tidak mampu untuk tumbuh dan hanya dapat bertahan hidup Fogg 1975. Selain itu, fase ini
terjadi disebabkan oleh kondisi lingkungan yang kurang baik, umur kultur yang sudah tua, keterbatasan nutrisi dan absorbs cahaya, atau infeksi oleh
mikroorganisme lain Becker 1994. Berdasarkan penelitian Kusmiyati dan Agustini 2006 diperoleh kurva
pertumbuhan mikroalga Porphyridium cruentum yang tidak diawali dengan fase lag. Fase log terjadi mulai awal kultivasi hingga hari ke-8, fase stasioner terjadi
pada hari ke-8 hingga hari ke-10, dan fase kematian mulai terjadi pada hari ke-10. Kultivasi Porphyridium cruentum dilakukan dalam botol berisi 500 ml media
Becker. Setelah stok kultur mencapai optical density OD 1,6, sebanyak 250 ml kultur tersebut dipindahkan ke botol 2 L diencerkan dengan 750 ml media yang
sama sehingga OD sekitar 0,4. Perbedaan kualitas dan jumlah inokulum yang ditambahkan diduga menjadi penyebab perbedaan bentuk kurva pertumbuhan
yang didapatkan.
4.3 Produksi dan Pengendapan Polisakarida
Menurut penelitian Kusumawarni 1998, secara umum produksi polisakarida terus meningkat dari waktu ke waktu. Selain faktor lingkungan, fase
pertumbuhan juga berpengaruh terhadap produksi polisakarida. Produksi polisakarida akan meningkat pada fase stasioner. Hal ini menunjukkan bahwa
kondisi lingkungan hingga akhir fase stasioner masih mendukung bagi pertumbuhan dan pembentukan polisakarida. Kondisi pertumbuhan yang baik
akan menentukan kandungan polisakarida sebagai hasil fotosintesis. Sehingga semakin tinggi tingkat fotosintesis, semakin banyak pula polisakarida yang akan
terbentuk. Kandungan polisakarida Porphyridium cruentum selama kultivasi dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Kurva polisakarida harian Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan polisakarida ekstraseluler
dari Porphyridium cruentum yang dikultivasi dengan media Becker meningkat setelah umur 6 hari. Polisakarida dari sel Porphyridium cruentum merupakan
suatu metabolit sekunder, yaitu senyawa yang tidak dibutuhkan sel untuk pertumbuhannya Said 1987 diacu dalam Kusumawarni 1998. Metabolit
sekunder biasanya disintesis pada akhir siklus pertumbuhannya, dan merupakan cadangan makanan untuk bertahan hidup. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa
polisakarida diproduksi pada fase stasioner dan bersifat untuk melindungi sel dari kondisi yang tidak menguntungkan Lee 2008. Pengendapan polisakarida dapat
dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11 Pengendapan polisakarida
0.00 0.05
0.10 0.15
0.20 0.25
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11 12
Waktu hari gr
am 10
m L
Berdasarkan penelitian Agustini et al. 2009, produksi ekstraseluler Porphyridium cruentum dipengaruhi oleh lamanya waktu penyinaran. Produksi
polisakarida ekstraseluler mencapai maksimum pada saat sel mengalami fase logaritmik akhir menuju ke fase stasioner. Berbeda halnya dengan penelitian
Kusumawarni 1998, produksi polisakarida ekstraseluler akan meningkat saat sel mulai memasuki fase stasioner hingga akhir fase stasioner.
Cahaya biru dan merah dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi fotosintesis dan meningkatkan produksi polisakarida ekstraseluler. Pertumbuhan
dan produksi polisakarida ekstraseluler Porphyridium cruentum dipengaruhi oleh intensitas dan panjang gelombang cahaya. Pertumbuhan Porphyridium cruentum
meningkat seiring dengan peningkatan intensitas cahaya, meskipun cahaya yang melebihi
titik jenuh
menjadi penghambat
pertumbuhan mikroalga
You dan Barnett 2004. Porphyridium cruentum menggunakan nitrat atau ammonium sebagai
sumber nitrogen. Arad et al. 1988 melakukan penelitian dengan menggunakan tiga tipe kultur yaitu batch mode pemberian nitrat pada awal kultivasi, continual
mode pemberian nitrat tiap hari, dan deficient mode tanpa pemberian nitrat menyatakan bahwa batch mode dan continual mode mengalami pertumbuhan
yang sama, sedangkan pertumbuhan pada deficient mode terhambat. Jumlah polisakarida yang dihasilkan pada continual mode dan deficient mode tiap sel
memiliki persamaan. Meskipun produksi polisakarida maksimal terjadi pada batch mode, tetapi jumlah polisakarida yang diekskresikan ke medium secara maksimal
terjadi pada deficient mode. Jumlah nitrogen yang ditambahkan pada medium kultivasi berpengaruh terhadap distribusi antara jumlah polisakarida terlarut pada
medium dan polisakarida yang terikat pada sel. Umur panen yang dipilih adalah umur 12 hari. Hal ini berkaitan dengan
kurva pertumbuhan mikroalga Porphyridium cruentum dan jumlah polisakarida yang dihasilkan. Pada umur 12 hari terjadi penurunan populasi tetapi warna kultur
masih dalam keadaan baik tidak pudar. Selama kultivasi, jumlah polisakarida paling tinggi pada umur 12 hari dengan jumlah 0,215 gram10 ml. Biomassa
kering dan polisakarida ekstraseluler Porphyridium cruentum dapat dilihat pada Gambar 12.
a b
Gambar 12 Produk dari Porphyridium cruentum a Biomassa kering b Polisakarida ekstraseluler
Untuk menentukan efektivitas jumlah penambahan etanol, maka dilakukan pengujian penambahan etanol dengan perbandingan filtrat hasil panen dengan
etanol, yaitu 1:2; 1:1; 1:0,75; 1:0,5; dan 1:0,25. Berdasarkan hasil uji, perbandingan filtrat dan etanol terpilih adalah perbandingan 1:0,75 dengan
kandungan polisakarida sebesar 0,110 gram5 ml. Grafik hasil uji dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13 Grafik kandungan polisakarida terhadap perbandingan filtrat : etanol A = 1 : 2, B = 1 : 1, C = 1 : 0,75, D = 1 : 0,5, dan E = 1 : 0,25
4.4 Komposisi Biokimia dari Biomassa Porphyridium cruentum