3.3. Bilik Asmara Yang Tidak Terpakai
Tampat pengungsian yang berada di bekas Universitas Quality Karo merupakan tempat pengungsian yang sedikit berbeda dengan tempat pengungsian lain di Tanah Karo. Biasanya
Tempat Pengungsian di Tanah Karo berbentuk seperti barak dan cukup luas sehingga mampu menampung sekaligus banyak masyarakat. Namun, di tempat pengungsian bekas Universitas
Karo bentuknya seperti kamar-kamar, mirip seperti rumah petak yang tersusun-susun. Hal ini terjadi karena tempat tersebut merupakan bekas tempat ruang perkuliahan. Pada salah satu
bagian di tempat pengungsian tersebut berdiri sebuah ruangan berdinding kayu dan beratapkan seng. Bangunan tersebut merupakan bekas tempat bilik asmara yang dibangun pemerintah untuk
mengakomodir Pasutri yang ingin melakukan hubungan seksual. Namun, saat ini tempat tersebut berubah fungsi menjadi tempat menyimpan sembako
para pengungsi. Sejak dibangunnya tempat tersebut, hampir tidak ada Pasutri yang pernah memakai bilik asmara tersebut untuk melakukan hubungan seksual. Bahkan menurut pengakuan
Darwis Sitepu, mendekat saja pun mereka Pasutri tidak berani. Hal ini terjadi karena, apabila ada orang dewasa yang mendekati atau bahkan masuk ke bilik asmara tersebut maka para
Pengungsi akan menggosipi orang tersebut. “ . . . Adi kita kalak Karo me tehndu, ban pe ingan mehargke kalak mekasa. Adi
kade-kade kap ndu karira. Ndeheri inganna ah pe segan nge kalak. Erago tergantung pribadi masing-masing lah uga ia memenuhi kebutuhan seksualna. Lit
ia ku pergirapen ntah sewana kamar inganna tading. Biaya sewa kamarna Rp.150.000 per bulan . . .”
Diterjemahkan oleh Peneliti kedalam bahasa Indonesia menjadi :
Universitas Sumatera Utara
“ . . .kalau kita orang Karo, dibuat pun tempat untuk pemenuhan kebutuhan seksualnya tersebut, orang masih malusegan memakainya. Karena pengungsi
yang ada disini memiliki hubungan kekeluargaan. Untuk pemenuhan kebutuhan seksualnya, sudah tergantung pada pribadi masing-masing. Ada juga mereka yang
pergi ke penginapan ataupun dia menyewa kamar tempatnya tinggal. Harga kamar tersebut yaitu 150.000 bulan . . .”
Sementara itu ibu Mega juga menuturkan bahwa dirinya dan suaminya tidak akan pernah masuk ke bilik asmara tersebut. Walaupun statusnya gratis dan boleh dipakai kapan pun, namun
ibu Mega tetap menolak untuk memakai bilik asmara tersebut. Hal ini karena ibu Mega dan suaminya merasa malu jika harus memakai bilik asmara tersebut dan takut jika dilihat orang lain
masuk ke bilik asmara tersebut, maka akan di gunjingkan oleh masyarakat pengungsi.
Foto 9. Bilik Asmara Yang Berada Di Tengah Tempat Pengungsian Yang Sudah Tidak Dipakai
Sumber : Peneliti. Tahun 2016 Masuk akal bila para pengungsi lain menggunjingkan pasutri yang memakai bilik asmara
tersebut. Hal ini karena adanya anggapan bahwa “pada saat bencana, bisa-bisanya masih sempat
Universitas Sumatera Utara
untuk melakukan hubungan seksual”. Menurut ibu Mega hal tersebut sangat lah pantang dilakukan oleh suami isteri yang sedang dalam keadaan kesusahan seperti saat ini. Masih banyak
lagi hal yang harus dipikirkan, jangan hanya ingin melakukan hubungan seksual saja. “ . . . wajar aja lah dek kalau tetangga lain menggunjingkan orang yang memakai
bilik asmara. Karena kan situasinya sekarang lagi dalam bencana, masa’ dia masih sempat-sempatnya mikirin untuk berhubungan seks. Jadi kalau ada yang
nekat make bilik asmara itu, udah gila la dia itu, udah putus urat malunya . . .”
Tingginya rasa segan di masyarakat Karo ini membuat bilik asmara sebagai tempat pemenuhan kebutuhan seksual menjadi tidak terpakai. Bahkan pasutri di pengungsian lebih
memilih menyewa kamar penginapan dengan uang pribadinya, daripada harus memakai bilik asmara di dekat pengungsian sekalipun gratis. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di
pengungsian korban gempa di Yogyakarta beberapa tahun lalu. Seperti dalam kutipan artikel berikut ini :
Bilik Asmara Untuk Pasutri Korban Gempa
Selain menyisakan luka dan duka, bencana gempa bumi dahsyat yang melanda Yogyakarta beberapa tahun lalu ternyata menyelipkan beberapa cerita lucu.
Kondisi tempat pengungsian yang serba terbatas membuat situasi jadi serba kikuk. Terlebih setelah menjalani hidup di tempat pengungsian selama beberapa
minggu, banyak pasangan suami istri yang mulai gelisah. Kegelisahan para pasutri ini akhirnya mendapat respon positif. Di sebuah desa di
daerah Kasongan Bantul, masyarakat sepakat untuk membuat tempat khusus bagi pasutri agar dapat melakukan hubungan intim. Tempat ini kemudian diberi nama
bilik asmara.
Bilik Asmara Persoalan bilik asmara ini menjadi topik hangat yang dibicarakan dalam rembug
warga. Sekalipun membicarakan isu yang panas, namun suasana rapat berlangsung dengan penuh tawa.
Rembug warga akhirnya memutuskan untuk menempatkan bilik-bilik asmara di tengah-tengah lapangan voli agar jika ada orang yang mengintip bisa diketahui
Universitas Sumatera Utara
warga lain.Warga pun bergotong-royong membangun 2 buah bilik asmara dengan bahan seadanya, gedeg anyaman bambu, triplek, dan terpal plastik.
Pendek kata, dalam waktu singkat, berdirilah bilik asmara tersebut. Masyarakat menjadi lega, setidaknya satu kebutuhan dasar mereka sebentar lagi bisa
terpenuhi.Di dalam bilik asmara, hanya ada kasur yang diletakkan di tanah beralas terpal plastik. Tidak ada fasilitas lain. Namun, itu saja sudah terasa sangat mewah
di tengah kondisi yang sangat terbatas. Pasutri yang akan menggunakan tempat ini harus membawa peralatan sendiri, termasuk ember berisi air.Radius lima meter
dari bilik, dibuat pagar dari bambu dan tali rafia. Ini dimaksudkan untuk mencegah orang yang tidak berkepentingan mendekati bilik asmara. Pasutri yang
sedang memadu kasih di dalamnya pun bisa merasa nyaman, tanpa takut ada yang mengintipnya.Pada mulanya, tidak ada masalah dengan keberadaan bilik asmara
ini. Tidak ada seorang pun yang berani mencuri kesempatan untuk mengintip keintiman para pasutri. Sempurnalah kemewahannya, stresdan kesedihan sebagai
akibat bencana, bisa sedikit terlupakan.Supporter untuk
Pasutri Lambat laun, area sekitar bilik asmara ini menjadi ramai. Banyak anakmuda yang
nongkrong di sekitarnya. Mereka duduk bergerombol bercengkerama dengan rekan sebayanya.
Awalnya, tidak ada yang peduli dengan keberadaan mereka. Toh, mereka berada cukup jauh dari lokasi bilik asmara itu. Tidak mungkin mereka dapat mengintip
aktivitas yang ada di dalam bilik asmara tersebut.Lama-kelamaan, keberadaan mereka agak mengganggu dan membuat pasangan pasutri yang hendak atau sudah
menggunakan bilik asmara jadi tersipu malu. Betapa tidak, mereka akan berteriak dan tepuk tanganmeriah saat melihat pasutri yang sedang berjalan memasuki bilik
asmara. Bahkan, teriakan dan tepuk tangan itu diselingi suitan kencang ketika ada pasutri keluar dari area bilik asmara.Suasana akan jadi semakin riuh dan gegap-
gempita ketika salah seorang dari mereka adalah anak dari pasutri yang sedang in action.
http:www.anneahira.com akses 15 Februari 2016
Dari artikel tersebut dapat terlihat bagaimana perbedaan masyarakat di Yogyakarta dalam hal menerima atau tidak bilik asmara yang dibangun di tempat pengungsian. Peneliti dalam hal
ini bukan ingin membandingkan secara langsung antara pengungsi di Yogyakarta dengan pengungsi di Karo. Namun, dalam satu kebijakan yang berhubungan dengan kebutuhan
pengungsi, tidak semua kebijakan dapat diterima oleh stiap pengungsi di berbagai daerah.
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat Karo adalah masyarakat yang memandang tinggi harga dirinya. Untuk urusan pemenuhan kebutuhan seksual, di kalangan masyarakat Karo masih belum bisa menerima
sepenuhnya pembangunan bilik asmara. Walaupun pemenuhan kebutuhan seksual merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting, namun masyarakat Karo di tempat pengungsian lebih
memilih untuk tidak melakukan hubungan seksual daripada harus dilihat pengungsi lain masuk ke bilik asmara.
3.4. Tetangga Dan Saudara Di Pengungsian