Masyarakat Karo adalah masyarakat yang memandang tinggi harga dirinya. Untuk urusan pemenuhan kebutuhan seksual, di kalangan masyarakat Karo masih belum bisa menerima
sepenuhnya pembangunan bilik asmara. Walaupun pemenuhan kebutuhan seksual merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting, namun masyarakat Karo di tempat pengungsian lebih
memilih untuk tidak melakukan hubungan seksual daripada harus dilihat pengungsi lain masuk ke bilik asmara.
3.4. Tetangga Dan Saudara Di Pengungsian
Pengungsi yang tinggal di tempat pengungsian di bekas Universitas Quality Karo semuanya adalah tetangga di Kuta nya dulu dalam hal ini daerah Kuta Simacem. Tingginya rasa
saling menghargai dan saling menjaga harkat dan martabat masing-masing keluarga juga menjadi salah satu fakor mengapa banyak pasutri yang tidak mau menggunakan bilik asmara.
Ada faktor lain yang peneliti dapati di lapangan penelitian, bahwa salah satu faktor lain dari alasan mengapa pasutri di tempat pengungsian tidak mau menggunakan bilikasmara adalah,
karena di tempat pengungsian dimana mereka tinggal juga ditinggali oleh saudara-saudara mereka dan tetangga mereka di Kuta dulu. Orang Karo sangat menghormati saudaranya baik itu
pihak kalimbubu, sembuyaksenina, dan anakberu yang merupakan pihak-pihak yang terikat dalam konsep daliken si telu pada masyarakat Karo. Hal ini lah yang membuat Pasutri di
pengungsian Universitas Quality Karo tidak mau menggunakan bilik asmara yang disediakan pemerintah.
Bapak Darwis Sitepu menuturkan, bahwa jika di tempat pengungsian tersebut tidak tinggal saudara-saudaranya mungkin dirinya masih mau untuk memakai bilik asmara tersebut.
Namun, ternyata saudara-saudara nya juga ditempatkan di tempat pengungsian yang sama
Universitas Sumatera Utara
dengan dirinya. Hal itu tentu membuat dirinya menjadi enggan untuk memakai bilik asmara tersebut.
“ . . . di tempat kami mengungsi ini kan juga tinggal saudara-saudara kami yang dulunya satu kampung juga sama kami. Jadi kalau lah aku pigi ke bilik asmara itu
terus dilihat sama saudara-saudara ku, hilang lah uda harga diriku di mata saudaraku . . .”
Hal yang sama juga diucapakan oleh ibu Mega, dimana menurutnya kalau saja keluarganya tidak tinggal di tempat pengungsian yang sama dengan dirinya, mungkin ibu Mega
dan suaminya tidak perlu repot-repot untuk menyewa penginapan. Factor tetangga juga menjadi satu hal yang dipertimbangkan oleh ibu Mega, karena tetangganya di Kuta dulu juga ikut tinggal
di tempat pengungsian yang sama dengan dirinya. Sementara tetangga ibu Mega juga sudah menjadi seperti keluarga bagi dirinya, dan sangat menjunjung tinggi rasa saling menghargai.
“ . . . walaupun kami enggak terlalu memikirkan masalah seksual ini, tapi kalau kami enggak tinggal di tempat pengungsian sama saudara kami, mungkin aja
kami mau make bilik asmara itu. Tapi ini kan semua keluargaku ada di sini, jadi enggak mungkin aku berani pigi ke bilik asmara itu . . .”
Beberapa hal yang dikemukakan oleh bapak Darwis dan ibu Mega seharusnya bisa menjadi bahan kajian para pembuat kebijakan. Karena, ternyata apabila pengungsi tidak tinggal
dengan para saudara mereka, maka ada kemungkinan mereka akan mau menggunakan bilik asmara tersebut. Namun, bila hal tersebut pun dilakukan apakah tidak timbul masalah baru
nantinya ? karena tertentu para pengungsi akan lebih nyaman apabila tinggal bersama dengan keluarga dan sanak saudaranya.
3.5. Siwalu Jabu DanAktifitas Seks Penghuninya