BAB III KEHIDUPAN SEKSUAL PENGUNGSI GUNUNG SINABUNG
3.1. Kehidupan Pengungsi
Darwis Sitepu 34 tahun merupakan pengungsi erupsi Gunung Sinabung yang sudah menjadi pengungsi selama kurang lebih 2 tahun atau tepatnya sejak tahun 2013 yang lalu.
Sebelumnya Darwis Sitepu tinggal di Kuta
6
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya Darwis Sitepu dan keluarganya mengandalkan makanan dan minuman yang dimasak dan dibagi-bagikan di kamp pengungsian.
Simacem, Kecamatan Namanteran, Kabupaten Tanah Karo. Saat ini Darwis Sitepu mengungsi di kamp pengungsian yang berada di Universitas
Quality yang terletak di Jl. Jamin Ginting No. 41 Kabanjahe, Kabupaten Karo. Darwis Sitepu mengungsi bersama isterinya yang bernama Fitri Sembiring Pelawi 31 tahun dan keempat
orang anaknya. Darwis Sitepu menceritakan kondisi rumahnya saat ini sudah tidak dapat ditempati lagi
karena kondisinya telah luluh lantah terkena lahar dingin dan juga awan panas. Bahkan ketika Darwis Sitepu pergi ke Kuta Simacem untuk melihat bagaimana kondisi rumahnya pasca terkena
erupsi Gunung Sinabung dia melihat sudah banyak rumah yang telah hilang terbawa banjir lahar dingin. Bahkan beberapa warga yang ikut dengannya pada saat itu mengaku sudah tidak bisa
mengenali lagi mana rumahnya.
6
Kuta merupakan istilah lokal untuk menyebut kata desa atau kampung.
Universitas Sumatera Utara
Sementara untuk menambah uang penghasilan di keluarganya Darwis Sitepu bekerja sebagai buruh di ladang-ladang pertanian milik warga yang berada di sekitar tempat pengungsian.
Sementara pengungsi lainnya ada yang menyewa ladang milik warga sekitar pengungsian untuk dikelola. Hal tersebut dilakukan para pengungsi karena masih banyak kebutuhan yang mereka
butuhkan, seperti membeli pakaian untuk anak dan isteri mereka ketika hari-hari besar seperti Natal dan Tahun Baru ataupun Hari Raya Idul Fitri bagi pengungsi muslimnya. Sementara itu
kebutuhan lainnya adalah untuk kegiatan pesta adat seperti pesta erjabu
7
7
Dalam masyarakat karo mengenal beberapa macam penyebutan untuk pesta perkawinan. Ada perkawinan yang berdasarkan hubungan saudara seperti Gancih Abu ada pula Cabur Bulung yaitu perkawinan yang melibatkan
sepasang laki-laki dan perempuan yang memiliki usia yang masih muda.
perkawinan, simate- mate kematian dan juga Kerja Tahun.
Lebih lanjut Darwis Sitepu menjelaskan : “. . . kegiaten sehari-hari adi aku, ngemo ku jama kalak. Lit kang ia si newa juma i
jenda. Adi arapken bantuen arah pemerintah saja labo bias. Bantuen perkepala keluarga berkisar 5,6 juta ngenca bere pemerintah . . .”
Diartikan ke bahasa Indonesia oleh peneliti yakni : “. . . Kegiatan sehari-hari kalau aku jadi buruh yang kerja di ladangsawah orang
lain. Ada juga yang menyewa ladang untuk dijadikan tempat bertani. Kalau Cuma mengharapkan bantuan pemerintah saja tidak agak cukup. Bantuan yang diberikan
pemerintah untuk perkepala keluarga yaitu berkisar 5,6 jutatahun . . .”
Foto 3: Lahan Pertanian Yang Digarap Oleh Beberapa Keluarga Pengungsi
Universitas Sumatera Utara
Sumber : Peneliti. Tahun 2016 Darwis Sitepu menceritakan kondisi pengungsian yang mereka tempati saat ini
sebenarnya sudah mencukupi. Tapi, menurutnya kondisi tempat pengungsian mereka masih kurang memadai bila dibandingkan dengan pengungsi yang ada di gedung serbaguna KNPI di Jl.
Pahlawan. Walaupun demikian Darwis Sitepu mengatakan sudah tidak ada lagi yang perlu ditingkatkan di tempat pengungsian, karena mereka merasa sudah sangat bersyukur dengan
keadaan yang ada saat ini. Untuk kehidupan anak-anaknya menurut penjelasan Darwis Sitepu tidak ada kendala.
Karena pengungsi yang berada di Universitas Quality semuanya adalah pengungsi yang sama- sama berasal dari Kuta Simacem. Maka secara otomatis anak-anak mereka bisa tetap bergaul
dengan teman-teman satu kampung mereka, bahkan menurutnya anak-anak memiliki tambahan teman baru dari anak-anak yang tinggal di sekitar pengungsian. Masyarakat sekitar juga
menerima mereka dengan baik.
Universitas Sumatera Utara
Lebih lanjut Darwis Sitepu mengatakan : “ . . . adi anak-anak jenda meriah nge ukurna. Temanna pe temanna si arah kuta
sange nge kerina. Saja ia skolah suari, guruna pe guru si mbarenda kang, teman main-maina pe lit kang ras anak lingkungan daerah pengungsiane . . .”
Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh peneliti yakni : “ . . . kalau anak-anak pengungsi yang disini senang-senang aja. Teman mereka
juga merupakan teman yang sekampung juga dengan mereka disini dan juga di sekolah dan ada juga teman main mereka dengan anak yang berada di lingkungan
sekitar tempat pengungsian penduduk setempat . . .”
Kondisi tempat pengungsian juga menurutnya sudah cukup layak untuk anak-anak, walaupun sanitasi dan kualitas MCK semakin menurun. Adanya lapangan di depan kamp
pengungsian sudah cukup untuk menjadi tempat bermain anak-anak. Sebagian dari anak-anak tadi juga terkadang pergi ke ladang untuk membantu orang tua mereka mengelola ladang.
Sementara itu informan yang kedua yaitu ibu Mega Perangin-angin 40 tahun juga merupakan pengungsi erupsi Gunung Sinabung yang sudah menjadi pengungsi selama kurang
lebih 2 tahun atau tepatnya sejak tahun 2013 yang lalu. Sama seperti bapak Darwis Sitepu sebelumnya ibu Mega tinggal di Kuta Simacem, Kecamatan Namanteran, Kabupaten Tanah
Karo. Saat ini ibu Mega mengungsi di kamp pengungsian yang berada di Universitas Quality yang terletak di Jl. Jamin Ginting No. 41 Kabanjahe, Kabupaten Tanah Karo bersama dengan
suami anak-anak dan mertua perempuannya.
Foto 4: Sarana MCK Di Lokasi Pengungsian Yang Memperihatinkan
Universitas Sumatera Utara
Sumber : Peneliti. Tahun 2016 Ibu Mega menceritakan kondisi rumahnya saat ini sudah tidak dapat ditempati lagi karena
kondisinya telah hancur karena tertimbun material lahar dingin dan juga debu vulkanik. Bahkan ketika ibu Mega pergi ke Kuta Simacem untuk melihat bagaimana kondisi rumahnya pasca
terkena erupsi Gunung Sinabung dia melihat sudah banyak rumah yang berada satu desa dengan rumahnya telah hancur atau bahkan hilang terbawa banjir lahar dingin. Bahkan ibu Mega
mengaku sempat melihat beberapa ternak warga yang tidak terselamatkan mati berserakan di jalanan desa.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya ibu Mega dan keluarganya mengandalkan makanan dan minuman yang dimasak dan dibagi-bagikan di kamp pengungsian. Sementara
untuk menambah uang penghasilan di keluarganya, ibu Mega menanam sayuran di lahan pertanian milik warga yang disewanya. Sebelumnya ibu mega memiliki ladang yang sangat luas
di desa tempatnya tinggal. Namun, semua ladang miliknya tidak dapat digunakan lagi karena sudah tertutup debu vulkanik. Bekerja menggarap ladang milik orang lain, ataupun menjadi
Universitas Sumatera Utara
buruh di ladang milik orang lain harus dilakukan oleh para pengungsi. Karena menurut ibu Mega hal tersebut dilakukan para pengungsi karena masih banyak kebutuhan yang mereka butuhkan,
seperti membeli pakaian untuk anak dan isteri mereka ketika hari-hari besar seperti Natal dan Tahun Baru ataupun Hari Raya Idul Fitri bagi pengungsi muslimnya. Sementara itu kebutuhan
lainnya adalah untuk kegiatan pesta adat seperti pesta erjabu perkawinan, simate-mate kematian dan juga Kerja Tahun.
Lebih lanjut ibu Dewi menjelaskan : “. . .pengungsi ini pun kalau cuma diam aja di pengungsian bisa sakit dia karena
stress dan bosan. Sementara keperluan juga makin banyak, akhirnya satu per satu nyari kerja di luar. Ada yang jadi buruh di ladang orang, ada yang punya modal
disewanya ladang orang buat dikerjainya. . .”
Ibu Mega menceritakan kondisi pengungsian yang mereka tempati saat ini sebenarnya sudah mencukupi. Tapi, menurutnya kondisi tempat pengungsian mereka masih kurang memadai
bila dibandingkan dengan pengungsi yang ada di tempat pengungsian lainnya yang berada di Kabanjahe. Walaupun demikian ibu Mega berterimakasih dan merasa sudah sangat bersyukur
dengan keadaan yang ada saat ini. Untuk kehidupan anak-anaknya menurut penjelasan ibu Mega tidak ada kendala. Karena
pengungsi yang berada di Universitas Quality semuanya adalah pengungsi yang sama-sama berasal dari Kuta Simacem. Bisa dikatakan mereka sama sekali tidak merasa asing karena yang
ada di pengungsian ini juga merupakan teman bermain mereka di desa dulu. Maka secara otomatis anak-anak mereka bisa tetap bergaul dengan teman-teman satu kampung mereka.
Universitas Sumatera Utara
“ . . . kalau anak-anak ini kan enggak terlalu ngerti orang ini sama yang terjadi. Cuman main aja nya yang tahu orang ini, tapi kalau kami orangtua ya lebih bagus
begitu lah. Karena daripada mereka ikut-ikutan nangis, dan sedih bagusan orang ini main-main aja . . .”
Foto 5 : Barak Pengungsian Di Bekas Kampus Universitas Quality Karo
Sumber : Peneliti. Tahun 2016 Sama seperti penuturan bapak Darwis Sitepu, ibu Mega juga mengatakan bahwa kondisi
tempat pengungsian juga menurutnya sudah cukup layak untuk anak-anak, walaupun sanitasi dan kualitas MCK semakin menurun. Adanya lapangan di depan kamp pengungsian sudah cukup
untuk menjadi tempat bermain anak-anak. Sebagian dari anak-anak tadi juga terkadang pergi ke ladang untuk membantu orang tua mereka mengelola ladang.
3.2. Aktifitas Pemenuhan Seksual Pengungsi