Tingginya harkat martabat anak laki-laki pertama di masyarakat Karo membuat bapak Darwis Sitepu harus menjaga harkat dan martabat keluarganya dalam hal ini yang tergabung dalam
daliken sitelu. Tidak dapat bisa dibayangkan apabila bapak Darwis Sitepu yang merupakan anak
pertama dan anak laki-laki yang memimpin keluarga besarnya masuk ke dalam bilik asmara. Tentu adik-adiknya yang masuk dalam kelompok senina akan merasa malu, karena perbuatan
Darwis tersebut sangat lah memalukan. Pihak adik-adik dari Darwis Sitepu juga harus melakukan yang sama, seorang adik juga harus menjaga kehormatan keluarganya.
Hal ini juga lah yang terjadi pada ibu Megaa dimana dirinya merupakan anak terkecil dari tiga bersaudara. Ibu Mega merupakan anak ketiga, dirinya memiliki abang dan juga kakak yang
juga sudah menikah. Rasa tanggungjawab untuk menjaga harkat dan martabat keluarga ditanamkan dalam-dalam oleh ibu Mega. Dirinya tidak mau masuk ke bilik asmara karena takut
akan membuat malu pihak keluarganya dalam hal ini Kalimbubu, Senina dan anakberu. Ibu Mega memiliki kewajiban yang sama dengan abang dan kakaknya untuk menjaga harga diri
keluarga dengan menjauhi bilik asmara tersebut.
BAB IV ADAPTASI KEHIDUPAN SEKSUAL PENGUNGSI SINABUNG
4.1. Dampak Stres Terhadap Hasrat Seksual Pasutri Di Pengungsian
Gangguan hasratkeinginan seksual SDD pada pria dapat diakibatkan oleh yang berhubungan dengan libido. Gangguan hasrat seksual ini dapat disebabkan karena faktor usia.
Universitas Sumatera Utara
Gangguan ini bisa jadi merupakan bagian dari gangguan psikologis, seperti depresi, gangguan ketakutan, dan efek samping narkoba. Memahami problem gangguan hasrat seksual pria dari sisi
ini sangatlah kompleks karena melibatkan aspek biologis, psikologis, dan antarpersonal Setiadji, 2006.
Stres merupakan suatu respon fisiologis, psikologis dan perilaku dari manusia yang mencoba untuk mengadaptasi dan mengatur baik tekanan internal maupun eksternal. Sedangkan
stresor adalah kejadian, situasi, seseorang atau suatu objek yang dilihat sebagai unsur yang menimbulkan stres dan menyebabkan reaksi stres sebagai hasilnya Suyono, 2002.
Smet dalam Umam 2010 menyimpulkan bahwa stres dapat bersumber dari: 1 Penilaian kognitif cognitive appraisal Stres adalah pengalaman subyektif yang
didasarkan atas persepsi terhadap situasi yang tidak semata-mata tampak di lingkungan. 2 Pengalaman experience Suatu situasi yang tergantung pada tingkat keakraban dengan
situasi, keterbukaan semula previous exposure, proses belajar, kemampuan nyata dan konsep reinforcement.
3 Tuntutan demand Tekanan, keinginan, atau rangsangan-rangsangan yang segera sifatnya yang mempengaruhi cara-cara tuntutan yang dapat diterima.
4 Pengaruh interpersonal interpersonal influence Ada tidaknya seseorang, faktor situasional dan latar belakang mempengaruhi pengalaman subjektif, respon dan perilaku coping.
Hal ini dapat menimbulkan akibat positif dan negatif. Kehadiran orang lain dapat menimbulkan sumber kekacauan dan kegalauan yang tidak diinginkan, tetapi bisa juga merupakan sesuatu
yang dapat memberikan dukungan, meningkatkan harga diri, memberikan konfirmasi nilai-nilai
Universitas Sumatera Utara
dan identitas personal. Melalui pengalaman belajar dapat dicapai peningkatan kesadaran dan pemahaman akibat stres yang potensial.
5 Keadaan stres a state of stress Ini merupakan ketidakseimbangan antara tuntutan yang dirasakan dengan kemampuan yang dirasakan untuk menemukan tuntutan tersebut. Proses
yang mengikuti keadaan stres ini merupakan proses coping serta konsekuensi dari penerapan strategi coping. Coping sendiri diartikan sebagai usaha meningkatkan sumber daya pribadi dalam
mengendalikan dan mengurangi situasi yang menekan. Heiman et al., 2005. Bencana alam yang masih terjadi sampai tahun 2016 ini di Indonesia adalah letusan
Gunung Sinabung yang terletak di Kabupaten Karo, di Provinsi Sumatera Utara Muhammad, 2011. Salah satu permasalahan yang timbul di kalangan pengungsi adalah kebijakan pemerintah
dalam pembuatan “bilik asmara” bagi para pengungsi untuk memenuhi kebutuhan seksual suami istri Kurniawan, 2010.
Seringkali bencana datang secara mendadak danberkepanjangan sehingga hal tersebut menimbulkan situasi stres berat yang datang bersamaan, antara lain ketidakberdayaan individu,
hancurnya struktur kehidupan sehari-hari, kerusakan materi, dan kehilangan sanak keluarga. Tidak jarang orang-orang ini harus mengungsi dan beradaptasi dengan tempat yang baru.
Keadaan ini menimbulkan stres pada para pengungsi yang harus mengalami berbagai macam masalah Departemen Kesehatan RI, 2006.
Masyarakat yang menjadi korban letusan Gunung Sinabung akan menghadapi stressor sosioekonomi yang besar, seperti kehilangan tempat tinggal, keluarga, pekerjaan, dan
sebagainya. Kondisi tersebut yang berlangsung lama dapat menimbulkan stres kronis di kalangan korban bencana alam. Secara fisiologis, hampir semua jenis stres ditandai dengan adanya
Universitas Sumatera Utara
peningkatan hormon kortisol di dalam darah. Stres kronis akan memberikan dampak pada kesehatan dikarenakan adanyapeningkatan kadar kortisol sebagai hormon stres tubuh yang utama
dalam waktu lama Guyton dan Hall, 2007. Darwis Sitepu yang merupakan pengungsi di tempat pengungsian bekas kampus
Universitas Quality Karo menuturkan keadaan yang dialaminya. Walaupun dirinya telah beradaptasi dengan keadaan yang ada di tempat pengungsian. Namun, stress yang dialaminya
dan isterinya ternyata sangat mempengaruhi aktifitas hubungan seksualnya. Terkadang keinginan untuk melakukan hubungan seksual bisa menghilang seiring dengan keadaan yang dialami oleh
keluarganya di pengusngsian. Walaupun sebenarnya dirinya bisa saja menyewa penginapan, namun ketika dirinya memikirkan nasib anak-anaknya yang tinggal di pengungsian, maka hasrat
tersebut pun hilang. “ . . . keadaan saya dan isteri waktu pertama kali di pengungsian itu parah kali.
Karena waktu itu saya dan isteri sampai stress mikirin ini semua, rumah hilang, ladang hilang. Jadi dengan keadaan begitu hasrat untuk melakukan hubungan
seksual itu pun otomatisnya menghilang . . .”
Keadaan yang dialami oleh bapak Darwis tersebut merupakan satu diantara sekian banyak kasus yang membuat para pengungsi enggan untuk berhubungan seksual dengan
pasangannya, terlebih lagi bila harus pergi ke bilik asmara. Hal ini harus diantisipasi lebih lanjut oleh berbagai pihak untuk memberikan pelayanan psikis pasca terjadinya bencana pada para
pengungsi.
4.2. Adaptasi Pemenuhan Kebutuhan Seksual Akibat Bencana