Penerapan Doktrin Business Judgment Rule Terhadap Direksi Dalam BUMN Persero Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Anoraga, Pandji, Bumn, Swasta, dan Koperasi (Tiga Pelaku Ekonomi). Jakarta: Pustaka Jaya,1995.

Block, Dennis J, et al.(Ed), The Business Judgment Rule; Fiduciary Duties of

Corporate Directors,Third Edition. United States: Prentice Hall law &

Business,1989.

C.Hax, Arnoldo and S.Maljuf, Nicolas, The Strategy Concept And Process-A

Pragmatic Approach. New Jersey: Prentice Hall,1991.

D.Davies, Paul, Gower’s Principles Of Modern Company Law. London: Sweet Maxwell, 1997.

Djayanto, Pandu, Sekilas tentang Peran, Fungsi dan Privatisasi Badan Usaha

Milik Negara (BUMN), Newsletter Hukum & perkembangannya, Nomor

70, September 2007.

Fuady, Munir, Doktrin–Doktrin Modern dalam Coorporate Law. Bandung:

Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2002.

Fuady, Munir, Perseroan Terbatas Paradigma Baru. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2003.

Gautama, Sudargo, Komentar Atas Undang-Undang Perseroan Terbatas (Baru)

Tahun 1995 No. 1 Perbandingan dengan Peraturan Lama. Bandung:

Citra Aditya Bakti, 1995.

Hartono, Sunaryati, Penelitian Hukum Indonesia pada Akhir Abad ke-20. Bandung: Alumni, 1994.


(2)

Harris, Freddy dan Anggorro, Teddy, Hukum Perseroan Terbatas Kewajiban

Pemberitahuan oleh Direksi. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.

Ibrahim, Johannes, Hukum Organisasi Perusahaan. Bandung: PT.Refika Aditama,2006.

Ibrahim, Johannes, Hukum Organisasi Perusahaan Pola Kemitraan dan Badan

Hukum. Bandung: PT.Refika Aditama, 2006.

Liptond, Philip and Herzberg, Abraham, Understanding Company Law. Brisbane : The Law Book Company, 1992.

Prayoko, Robert, Doktrin Business Judgment Rule Aplikasinya dalam Hukum

Perusahaan Modern. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2015.

Purba, Orinton, Petunjuk Praktis bagi RUPS, Komisaris dan Direksi Perseroan

Terbatas agar Terhindar dari Jerat Hukum. Jakarta: Raih Asa Sukses,

2011.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Pers, 1997.

Wicaksono, Frans Satrio,Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi dan

Komisaris Perseroan Terbatas (PT). Jakarta: Visimedia, 2009.

Widiyono, Tri, Direksi Perseroan Terbatas (Bank dan Persero). Bogor: Ghalia Indonesia, 2005.

Widjaya, I.G Rai, Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas. Jakarta: Megapoint, 1996.


(3)

Widjaja, Gunawan, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

Yani,Ahmad dan Widjaja, Gunawan, Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas. Jakarta: Raja Grafindo persada, 2000.

B. Peraturan Perundang–Undangan

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Keputusan menteri Badan Usaha Milik negara Nomor : KEP-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]

C. Makalah

Tumbuan, B.G Fred, Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris Serta Kedudukan

RUPS Perseroan Terbatas menurut UU No.1 tahun 1995, makalah kuliah

S2 FH-UI T/A 2001-2002.

Sjahdeini, Sutan Remy, Makalah Tugas, Wewenang, Dan Tanggung Jawab

Direksi Dan Komisaris BUMN Persero.

D. Website

http://madani-ri.com/web/?p=2970 (diakses pada tanggal 21 september 2015 pukul 22.27).


(4)

http://en.wikipedia.org/wiki/Business_judgment_rule (diakses pada tanggal 16 Oktober 2015).

http://www.legalakses.com/direksi (diakses pada tanggal 18 Oktober 2015 pukul 21.41).

http://ekonomisajalah.blogspot.co.id/2015/02/pengertian-tujuan-jenis-dan-peran-bumn.html (diakses pada tanggal 25 oktober 2015 pukul 22:08).

https://dukunhukum.wordpress.com/2012/04/17/bumn-persero-perjan-dan-perum/ (diakses pada tanggal 26 oktober 2015 pukul 8.54).

http://monumenkata.blogspot.co.id/2014/08/badan-hukum-dan-kedudukan-badan-hukum.html (diakses pada tanggal 9 November 2015 pukul 22.02).

http://www.meeb.com/articles/business_judgement_rule.htm>>>ANGLE (diakses pada tanggal l8 Januari 2016 pukul 15.59).

http://www.google.co.id/url?q=http://www.liputan6.com/tag/hotasi-nababan&sa=U&ved=0ahUKEwjp_tbzq7KAhUOBo4KHergC30QFggpM AY&sig2=yXSt0uQrRVSyJt3kORCTg&usg=AFQjCNEvZ4RQHqyFLr0x 7w9c2ZaHmI5HoQ (diakses pada tanggal 16 Januari 2016 pukul 22.11).


(5)

BAB III

PENGATURAN HUKUM DOKTRIN BUSINESS JUDGMENT RULE TERHADAP DIREKSI BUMN PERSERO

A. Pengertian BUMN Persero Secara Umum

Badan usaha milik negara (BUMN) adalah badan usaha yang seluruhnya atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.45 Badan usaha milik negara (BUMN) merupakan suatu badan hukum yang berbeda dengan badan hukum lainnya apabila dilihat dari definisi diatas. Hal-hal yang membedakan BUMN dengan badan hukum lainnya sebagaimana dikemukakan di atas, adalah:46 1. Seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara.

2. Melalui penyertaan secara langsung.

3. Berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.47

Sebagaimana layaknya badan hukum (perusahaan) lainnya, pendirian BUMN mempunyai maksud dan tujuan. Pasal 2 ayat 1 UU BUMN menyatakan:

“Maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah:

a. Memberikan sumbangan bagi perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya.

b. Mengejar keuntungan.

c. Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak.

d. Menjadi perintis kegiatan–kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi.

45 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Pasal 1 angka 1.

46 Johannes Ibrahim, Hukum Organisasi Perusahaan Pola Kemitraan dan Badan Hukum (Bandung:PT.Refika Aditama, 2006), hlm. 61.

47 Kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada persero dan/atau perum serta perseroan terbatas lainnya.


(6)

e. Turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat”.

Badan usaha milik negara (BUMN) merupakan salah satu pelaku ekonomi dalam sistem perekonomian nasional, di samping badan usaha swasta dan

koperasi. BUMN, swasta dan koperasi melaksanakan peran saling mendukung berdasarkan demokrasi ekonomi dalam menjalankan kegiatan usahanya.

Badan usaha milik negara (BUMN) terdiri dari dua jenis, yaitu badan usaha perseroan (persero) dan badan usaha umum (perum).48 Badan usaha perseroan (persero) adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh negara yang tujuan utamanya mengejar

keuntungan. Maksud dan tujuan pendirian persero adalah menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat, serta mengejar

keuntungan guna meningkatkan nilai badan usaha. Contoh persero antara lain PT Pertamina, PT Kimia Farma Tbk., PT Kereta Api Indonesia, PT Bank BNI Tbk., PT Jamsostek, dan PT Garuda Indonesia.49 Ciri-ciri dari BUMN Persero adalah sebagai berikut :

1. Bertujuan mencari keuntungan (non public utility). 2. Modal sebagian besar dimiliki oleh pemerintah. 3. Dipimpin oleh dewan direksi.

4. Tidak mendapat fasilitas negara.

5. Pemimpin dan karyawan berstatus karyawan swasta.50

Badan usaha umum (perum) adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham, yang betujuan untuk

kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan

48

Republik Indonesia, Undang-Undang nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, Pasal 1 angka 2 dan 4.

49 Pengertian, Tujuan, Jenis dan Peran BUMN,

http://ekonomisajalah.blogspot.co.id/2015/02/pengertian-tujuan-jenis-dan-pran-bumn.html, (diakses pada tanggal 25 oktober 2015 pukul 22:08)

50 Fahroja, BUMN (Persero, Perjan dan Perum),

https://dukunhukum.wordpress.com/2012/04/17/bumn-persero-perjan-dan-perum/ (diakses pada tanggal 26 oktober 2015 pukul 8.54).


(7)

perusahaan.51 Maksud dan tujuan perum adalah menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat berdasarkan prinsip pengelolaan badan usaha yang sehat. Untuk mendukung kegiatan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan tersebut, dengan persetujuan menteri, perum dapat melakukan penyertaan modal dalam badan usaha lain. Contoh perum antara lain perum damri, perum bulog, perum pegadaian, dan perum percetakan uang Republik Indonesia (Peruri).52

Peranan BUMN berkaitan erat dengan berbagai tujuan yang perlu dicapai BUMN, seperti yang telah dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum), dan Perusahaan Perseroan (Persero) menetapkan bahwa tujuan-tujuan BUMN adalah :

1. Memberikan sumbangan bagi perkembangan ekonomi negara pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya.

2. Mengadakan pemupukan keuntungan dan pendapatan.

3. Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa barang dan jasa bermutu dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak.

4. Menjadi perintis kegiatan–kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh sektor swasta dan koperasi.

5. Menyelenggarakan kegiatan–kegiatan usaha yang bersifat melengkapi kegiatan swasta dan koperasi dengan antara lain menyediakan kebutuhan masyarakat, baik dalam bentuk barang maupun bentuk jasa dengan memberikan pelayanan yang bermutu.

6. Turut aktif memberikan bimbingan kepada sektor swasta, khususnya pengusaha golongan ekonomi lemah dan sektor koperasi.

51 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN Pasal 1 angka 4.


(8)

7. Turut aktif melaksanakan dan menunjang pelaksanaan program dan kebijaksanaan pemerintah di bidang ekonomi dan pembangunan pada umumnya.53

Badan usaha milik negara yang berbentuk persero (BUMN Persero) adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh negara yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.54 Beberapa unsur yang menjadikan suatu perusahaan dapat dikategorikan sebagai BUMN Persero, yaitu :

1. Badan usaha atau perusahaan tersebut berbentuk perseroan terbatas.

2. Modal badan usaha tersebut seluruhnya atau sebagian besar dimiliki oleh negara. BUMN yang modal perusahaannya seluruhnya dikuasai negara, maka agar tetap dikategorikan sebagai BUMN Persero, negara minimum menguasai 51 % (lima puluh satu persen) modal tersebut.

3. Negara melakukan penyertaan secara langsung. Penyertaan modal negara pada BUMN Persero yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (untuk selanjutnya disebut APBN) ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

4. Modal penyertaan tersebut berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Kekayaan negara yang dipisahkan disini adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN, setelah itu pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun pembinaan dan pengelolaannya berdasarkan paradigma bisnis (Business

Judgment Rule).55

53 Pandji Anoraga, BUMN, SWASTA, dan KOPERASI (Tiga Pelaku Ekonomi) (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), hlm.5

54

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, Pasal 1 angka 2

55 Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Konstitusi No.62/PUU-XI/2013 tentang Keuangan Negara.


(9)

Kekayaan negara yang dipisahkan dapat diinvestasikan kepada BUMN Persero. Direksi sebagai organ yang vital untuk melakukan pengurusan

bertanggung jawab penuh atas operasional perusahaan. Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pengelolaan perusahaan maka direksi wajib mempertanggungjawabkan melalui mekanisme RUPS. Direksi mempunyai

kewajiban untuk menyampaikan laporan tahunan yang memuat antara lain neraca, laporan laba rugi, laporan arus kas dan kegiatan persero lainnya kepada RUPS. Mekanisme pertanggungjawaban melalui RUPS ini adalah resiko bagi pemerintah yang memilih investasinya melakukan kegiatan usaha BUMN Persero oleh karena BUMN Persero adalah merupakan perseroan terbatas.

Peraturan pelaksanaan tentang perusahaan perseroan (persero) diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan. Peraturan tersebut menetapkan bahwa unsur pemilikan negara atas setiap usaha negara yang berbentuk persero disentralisasikan penata usahanya kepada menteri keuangan, atas pertimbangan bahwa pada hakekatnya fungsi utama persero ialah pemupukkan dana dari negara ataupun sebagai alat untuk mencari sumber keuangan negara. Sifat usaha dari persero ialah bertujuan memupuk keuntungan dan berusaha di bidang-bidang yang dapat mendorong perkembangan sektor swasta dan atau koperasi, di luar bidang usaha perjan dan perum.

Penyertaan modal oleh suatu persero ke dalam suatu perseroan terbatas lain dengan cara mendirikannya atau memiliki saham-sahamnya untuk seluruhnya atau sebagiannya dan dilakukan sesuai dengan ketentuan anggaran dasarnya, tidak menyebabkan perseroan terbatas yang belakangan ini memperoleh sebutan

persero, meskipun penyertaan modal tersebut menurut Pasal 12 Peraturan

Pemerintah Nomor 12 tahun 1969 tentang Perusahaan Perseroan penata usahanya harus diselenggarakan oleh departemen keuangan.

Badan usaha milik negara (BUMN) sebagai salah satu pelaku ekonomi, disamping swasta, memegang perananan yang penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat,56 khususnya BUMN yang berbentuk persero oleh karena tujuan utamanya adalah mengejar keuntungan.57

Badan usaha milik negara (BUMN) merupakan pelaku utama dalam perekonomian nasional. Badan usaha milik negara (BUMN) mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan

56 Pertimbangan latar belakang Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN. 57 Republik Indonesia,Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, Pasal 1 angka 2.


(10)

kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan hasil evaluasi pemerintah, apa yang telah dilakukan oleh BUMN selama ini masih dianggap belum memadai seperti tampak pada rendahnya laba yang diperoleh dibandingkan dengan modal yang

ditanam. Kendala-kendala yang dihadapi BUMN antara lain belum dapat menyediakan barang dan atau jasa yang bermutu tinggi bagi masyarakat dengan harga yang terjangkau, belum mampu berkompetisi dalam persaingan bisnis secara global, dan adanya keterbatasan sumber daya. Perkembangan ekonomi dunia yang berlangsung sangat cepat dan dinamis terutama berkaitan dengan globalisasi seperti kesepakatan World Trade Organization (WTO), ASEAN Free

Trade Area (AFTA), menuntut BUMN untuk lebih kompetitif dan profesional.

Sebagai usaha mengoptimalkan perannya dalam perkembangan perekonomian global, BUMN perlu menumbuhkan budaya korporasi dan profesionalisme, antara lain dengan membenahi pengelolaan dan pengawasan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola badan usaha yang baik (Good Corporate Governance).

B. Pengaturan Hukum Tentang BUMN Persero di Indonesia

Definisi BUMN Persero didalam Undang–Undang Nomor 9 tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1969 tentang Bentuk–Bentuk Usaha Negara menjadi Undang–Undang menyatakan bahwa :

“Persero adalah perusahaan dalam bentuk perseroan terbatas seperti diatur menurut ketentuan–ketentuan Kitab Undang–Undang Hukum Dagang (Stbl. 1874 : 23 sebagaimana yang telah beberapa kali diubah dan ditambah), baik yang saham–sahamnya untuk sebagiannya maupun seluruhnya dimiliki oleh Negara”

Kemudian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 1998 tentang Persero disebutkan :

“Persero adalah Badan Usaha Milik Negara yang dibentuk berdasarkan Undang–Undang Nomor 9 tahun 1969 yang berbentuk Perseroan Terbatas sebagaimana yang dimaksud dalam Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1995 yang seluruh atau paling sedikit 51% saham yang dikeluarkannya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan modal secara langsung.”

Dan terakhir, definisi yang tercantum dalam UU BUMN yang menyebutkan perseroan terbatas BUMN (Persero) sebagai :


(11)

“Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan”

Dari defenisi ketiga ketentuan yang mengatur tentang BUMN Persero yang telah dijabarkan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa BUMN Persero berbentuk perseroan terbatas. Ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban badan usaha yang berbadan hukum tersebut (BUMN Persero) harus tunduk pada

ketentuan UUPT.

Penegasan tentang tunduknya BUMN Persero kepada Undang–Undang Perseroan Terbatas tercantum dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan dan UU BUMN yang berbunyi:

“Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip–prinsip yang berlaku bagi Perseroan Terbatas sebagaimana diatur dalam Undang– Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.”

Hal ini berarti ketentuan–ketentuan yang mengatur tentang administrasi dan operasionalisasi perseroan terbatas sesuai UUPT maka juga berlaku bagi BUMN Persero sepanjang tidak ditentukan khusus. Inilah yang sering

disalahartikan bahwa keuangan BUMN Persero terlepas dari keuangan negara dan tunduk kepada UUPT.

Prinsip–prinsip perseroan terbatas yang menjadi pedoman dalam

operasionalisasi BUMN Persero sesuai UUPT melekat pada kegiatan pengurusan BUMN Persero yang dijabarkan oleh 3 (tiga) organ yaitu rapat umum pemegang saham (RUPS), direksi serta komisaris. Perbedaan antara organ perseroan terbatas dengan organ BUMN persero terletak pada pemegang sahamnya. Pada BUMN persero pemerintah dapat bertindak selaku RUPS apabila seluruh sahamnya dimiliki oleh negara, sementara apabila pemerintah terlibat dalam penyertaan modal negara (PMN) sebagian, maka kedudukan pemerintah adalah sebagai salah satu pemegang saham. Seberapa besar pengaruh pemerintah dalam mengendalikan BUMN Persero tentunya dipengaruhi oleh seberapa besar peran pemerintah dalam penyertaan modal negara (PMN) yang dibuktikan dengan jumlah kepemilikan saham. Semakin besar peran pemerintah dalam penyertaan modal negara (PMN), maka semakin berperan pula dalam mengendalikan perusahaan.


(12)

Pengurusan BUMN dilakukan oleh direksi. Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN serta

mewakili BUMN, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dalam melaksanakan tugasnya, anggota direksi harus mematuhi anggaran dasar BUMN dan perundang-undangan serta wajib melaksanakan prinsip–prinsip Good Corporate Governance. Pasal 2 Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor : KEP-117M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyebutkan bahwa :

Ayat (1) “BUMN wajib menerapkan Good Corporate Governance secara

konsisten dan atau menjadikan Good Corporate Governance sebagai landasan operasional.”

Ayat (2) “Penerapan Good Corporate Governance pada BUMN

dilaksanakan berdasarkan keputusan ini dengan tetap memperhatikan ketentuan dan norma yang berlaku dan anggaran dasar BUMN.”

Prinsip–prinsip Good Corporate Governance ini terdiri dari prinsip transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta kewajaran.58

Good Corporate Governance adalah suatu proses dan struktur yang digunakan

oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder.

Prinsip–prinsip yang dimaksud meliputi berikut ini59 :

1. Transparansi, yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai perusahaan.

2. Kemandirian, yaitu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip–prinsip korporasi yang sehat.

58

Republik Indonsia, Keputusan menteri Badan Usaha Milik negara Nomor : KEP-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Pasal 1 huruf a.


(13)

3. Akuntabilitas, yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.

4. Pertanggungjawaban, yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang–undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.

5. Kewajaran, yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang–undangan dan prinsip–prinsip korporasi yang sehat.

Sedangkan penerapan Good Corporate Governance pada BUMN, bertujuan untuk mencapai hal sebagai berikut60 :

1. Memaksimalkan nilai BUMN dengan cara meningkatkan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dapat dipercaya, bertanggungjawab, dan adil agar perusahaan memiliki daya saing yang kuat, baik secara nasional maupun internasional.

2. Mendorong pengelolaan BUMN secara profesional, transparan dan efisien, serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian organ.

3. Mendorong agar organ dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang–undangan yang berlaku, serta kesadaran akan adanya tanggung jawab sosial BUMN terhadap stakeholders maupun kelestarian lingkungan di sekitar BUMN.

4. Meningkatkan kontribusi BUMN dalam perekonomian nasional. 5. Meningkatkan iklim investasi nasional.

60 Republik Indonesia, Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor: KEP-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Pasal 4.


(14)

6. Mensukseskan program privatisasi.

Pengawasan BUMN dilakukan oleh komisaris dan dewan pengawas. Komisaris dan dewan pengawas bertanggung jawab penuh atas pengawasan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN. Komisaris dan dewan pengawas dalam melaksanakan tugasnya, harus mematuhi anggaran dasar BUMN dan ketentuan peraturan perundang–undangan serta wajib melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi, transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta kewajaran.

Persero merupakan badan usaha yang berbadan hukum, sesuai dengan definisi Persero adalah badan usaha milik negara (BUMN) yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Perseroan terbatas adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang–undang ini serta peraturan pelaksananya.

Badan hukum sendiri apabila dilihat dari segi materi, dapat dibagi atas61 : 1. Badan hukum publik (publiekrecht), yaitu badan hukum yang

mengatur hubungan antara negara dan atau aparatnya dengan warga negara yang menyangkut kepentingan umum/publik, seperti hukum pidana, hukum tatanegara, hukum tata usaha negara, hukum international dan lain sebagainya. Contoh: negara, pemerintah daerah, Bank Indonesia. Badan hukum privat (privaatrecht) yaitu, perkumpulan orang yang mengadakan kerja sama (membentuk badan usaha) dan merupakan satu kesatuan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum.

2. Badan hukum privat yang bertujuan Provit Oriented (contoh: perseroan terbatas) atau non material (contoh: yayasan). Di Indonesia bentuk-bentuk

61 Monumen kata, “Badan hukum dan kedudukan badan hukum”,

http://monumenkata.blogspot.co.id/2014/08/badan-hukum-dan-kedudukan-badan-hukum.html


(15)

badan usaha (Business organization) beranekaragam dan sebagian besar merupakan peninggalan pemerintah Belanda.

Berkaitan dengan pendirian perusahaan negara atau badan usaha milik negara (BUMN), maka harus dikaji terlebih dahulu apakah perusahaan negara tersebut merupakan badan hukum publik atau privat. Mengacu pada pengertian BUMN sendiri yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan dan badan usaha kegiatannya ditujukan untuk mencari keuntungan serta BUMN tidak memiliki kewenangan untuk

mengeluarkan kebijakan yang mengikat publik, maka jelas BUMN merupakan badan hukum privat.

Perseroan terbatas BUMN (untuk selanjutnya disebut PT BUMN)

merupakan suatu korporasi62, suatu badan usaha yang berbadan hukum, berbentuk perseroan terbatas dan bertujuan untuk mencari keuntungan. PT BUMN dalam menjalankan usaha tersebut, tunduk kepada UUPT dalam tata kelola

keuangannya. Hal ini tidak berarti bahwa keuangan PT BUMN terlepas dari keuangan negara karena karakteristik keuangan negara di dalam PT BUMN tidak akan hilang atau berubah dengan dipisahkannya keuangan negara tersebut.

Pemisahan kekayaan negara untuk dijadikan penyertaan negara dalam modal persero hanya dapat dilakukan melalui undang–undang APBN. Keputusan untuk melakukan setiap penyertaan modal negara dalam sesuatu perseroan

terbatas ditetapkan dengan peraturan pemerintah dan pelaksanaan dari pernyataan ini dilakukan menurut ketentuan-ketentuan tentang perseroan terbatas yang termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

C. Pengaturan Hukum Doktrin Business Judgment Rule Terhadap Direksi BUMN Persero

Pengaturan hukum doktrin Business Judgment Rule terhadap direksi BUMN Persero, sama dengan ketentuan yang berlaku bagi direksi perseroan terbatas. Hal ini merupakan ketentuan yang jelas dikarenakan BUMN Persero tunduk kepada peraturan yang berlaku bagi perseroan terbatas yaitu UUPT. Oleh

62

Korporasi adalah sekumpulan orang yang untuk hubungan–hubungan hukum tertentu demi mewujudkan tujuan memperoleh keuntungan tertentu bersepakat untuk bertindak sebagai suatu kesatuan, sebgaia subjek hukum mandiri. Misalnya perseroan terbatas, asuransi, perkapalan, koperasi dan lain sebagainya.


(16)

karena itu, segala ketentuan dan pengaturan hukum mengenai doktrin Business

Judgment Rule yang berlaku terhadap direksi perseroan terbatas berlaku juga bagi

direksi BUMN Persero.

Pemahaman mengenai pengaturan hukum doktrin Business Judgment Rule terhadap direksi BUMN Persero akan diperdalam melalui analisis Putusan Nomor 36/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST tentang perkara atas nama terdakwa Hotasi D.P Nababan selaku mantan direktur PT. Merpati Nusantara Airlines (untuk

selanjutnya disebut PT. MNA).

Hotasi DP Nababan adalah direktur PT. MNA dan Tony Sudjiarto adalah mantan General Manager PT. MNA. Keduanya didakwa melakukan tindak pidana korupsi dalam praktek penyewaan pesawat Boeing 737-400 dan Boeing 737-500 yang merugikan keuangan negara sebesar 1 juta US Dollar. Penyewaan dilakukan setelah melihat kondisi keuangan PT. MNA tahun 2006 sangat parah yang ditandai dengan kemampuan produksi yang rendah serta harus menanggung biaya operasional yang tinggi. Hal tersebut disebabkan jumlah pesawat yang sangat sedikit yaitu 25 unit yang tidak sebanding dengan jumlah sumber daya manusianya. Maka demi menyelamatkan perusahaan yang sudah kritis, Hotasi dan Tony kemudian melakukan penyewaan pesawat boeing.

Keinginan itu selalu kandas dikarenakan reputasi Merpati di dunia internasional sudah terpuruk. Kemudian PT. MNA mengadakan penyewaan dengan Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG). Akhirnya TALG bersedia menyewakan pesawat.

Di dalam perjanjian sewa, TALG mengharuskan PT. MNA mengirimkan uang jaminan (security deposit) sebesar USD 1 juta sebagai jaminan untuk dua pesawat. Masalah pun timbul setelah TALG ingkar janji tidak mengirimkan pesawat. PT. MNA juga sudah menempuh segala cara agar uang jaminan yang telah dibayarkan bisa dikembalikan oleh TALG.

Apabila dilihat dari putusan hakim, maka hakim telah menyatakan TALG tidak memenuhi itikad baik untuk memenuhi kewajibannya merupakan sengketa keperdataan. Hakim telah tepat menerapkan kerugian negara tidak dapat

diterapkan karena uang negara yang sudah ditempatkan di BUMN, merupakan uang milik BUMN.

Terhadap TALG yang tidak memenuhi kewajibannya, tidak dapat dibebankan kepada PT. MNA. Ini ditandai dengan PT MNA sudah memenuhi kewajibannya membayar security deposit dan PT. MNA sudah menempuh segala cara agar jaminan dapat dikembalikan, bahkan PT. MNA sudah menggugat di


(17)

Amerika Serikat dan putusan pengadilan District of Columbia Amerika Serikat tanggal 8 Juli 2007 yang memenangkan gugatan PT. MNA atas TALG dan Alan Messner menjadi bukti upaya PT. MNA mengembalikan dana deposit. Hakim memberikan istilah “merupakan tanggung jawab TALG dan itu di luar kendali PT MNA”. Sudah dilakukan dalam prinsip hati-hati dan demi kepentingan

perusahaan.Dengan demikian, maka tidak terdapat kesalahan/niat jahat (mens rea) terhadap Hotasi dan Tony. Pada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor. 417 K/Pid.Sus/2014, Hotasi Nababan dinyatakan bersalah dan divonis empat tahun penjara serta denda sebesar Rp 200.000.000,00 ( dua ratus juta rupiah).

Berdasarkan kasus tersebut, apabila dilihat dalam PT. MNA mengenai pengaturan tentang doktrin Business Judgment Rule terhadap direksi sebenarnya sudah berjalan dengan baik. Hal ini ditunjukan dari tindakan direktur tersebut yang sebenarnya sudah mengambil keputusan bisnis dengan itikad baik, prinsip kehati–hatian dan sesuai prosedur yang berlaku.

Dikatakan juga dalam perjanjian antara PT. MNA dengan TALG juga disebutkan kewajiban perusahaan penyedia pesawat dari Amerika Serikat itu untuk mengembalikan security deposit beserta bunganya. Akibat kegagalan TALG, PT. MNA pernah melayangkan gugatan ke sebuah pengadilan di

Colombia, Amerika Serikat. Hasilnya PT. MNA dimenangkan oleh hakim dengan putusan bahwa TALG terbukti bersalah melakukan wanprestasi. Atas dasar itu, CEO TALG, Alan Messner dan COO TALG, Jon Cooper dihukum untuk

mengembalikan security deposit kepada PT. MNA berikut bunganya. Hingga kini PT MNA masih mengupayakan pengembalian uangnya dan mempidanakan kedua orang tersebut.

Gugatan yang dilakukan PT. MNA terhadap TALG menunjukkan tidak adanya konflik kepentingan antara terdakwa (direktur PT. MNA) dengan TALG. Jadi apabila dikatakan bahwa ada unsur memperkaya korporasi hal itu sama sekali tidak terbukti, karena tidak ada keuntungan yang didapat direktur MNA dari hal tersebut dan juga PT .MNA telah melakukan upaya untuk mengembalikan uang

security deposit dengan melayangkan gugatan di pengadilan Amerika Serikat.

Artinya uang negara yang katanya dirugikan sebenarnya tidak ada, apabila dilihat lagi lebih dalam terhadap kasus ini, maka direktur PT MNA telah melakukan suatu pengambilan keputusan bisnis sesuai dengan prosedur yang berlaku, dengan itikad baik juga prinsip kehati–hatian semata mata hanya untuk kepentingan perusahaan.

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai perseroan terbatas, sudah selayaknya juga mendapatkan kewajiban dan hak yang berimbang dalam menjalankan doktrin Fiduciary Duty dan Business Judgement Rule. Jika tidak


(18)

berimbang, lebih besar kewajiban dalam melaksanakan amanah dibanding kewenangan dalam membuat kebijakan, maka tentu tidak akan ada terobosan untuk menggali peluang bisnis, karena selalu diliputi kekhawatiran dapat digugat sampai aset pribadi.

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, keuangan BUMN juga dinyatakan sebagai keuangan negara. Ini terlihat pada bunyi Pasal 2 huruf (g) yang menetapkan bahwa :

“Keuangan negara termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara dan atau perusahaan daerah.”

Selanjutnya, Pasal 2 huruf (i) menentukan:

“Keuangan negara meliputi kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan Pemerintah.”

Demikian pula menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, menyatakan bahwa:

“Perbendaharaan negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan.” Bahkan dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa:

“ Keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan.”

Di sisi lain, Pasal 4 angka 1 UU BUMN menyebutkan:

“Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.”

Disini terjadi pertentangan antar peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut, Pasal 2 huruf g dan i Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah membatasi pelaksanaan doktrin Business Judgement Rule

sebagaimana diamanatkan oleh UUPT.

Ditinjau dari hukum perseroan, pengambilan keputusan bisnis perseroan terbatas BUMN seharusnya mendasarkan pada doktrin Business Judgment Rule yang mengandung resiko komersial terbatas pada BUMN yang bersangkutan, namun dengan adanya Pasal 2 huruf g dan i Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, resiko tersebut menjadi resiko non-kommersial (public risk) yang ditanggung oleh masyarakat sebagaimana diterapkan dalam


(19)

pelaksanaan APBN. Negara sebagai pemegang saham seharusnya hanya menanggung kerugian perseroan sebatas saham yang disetor, namun dengan adanya public risk negara akan menanggung resiko melebihi saham yang disetor dan akan berdampak pada APBN.

Lebih lanjut BUMN persero perlu memastikan pelaksanaan Good

Corporate Governance secara konsisten. Pendekatan ini sesuai dengan formula

bahwa korupsi terjadi karena kewenangan tidak disertai dengan akuntabilitas atau lebih lengkap lagi tidak disertai pelaksanaan Good Corporate Governance yang sebanding.


(20)

BAB IV

PENERAPAN DOKTRIN BUSINESS JUDGMENT RULE PADA DIREKSI BUMN PERSERO DI INDONESIA

A. Pengaturan Kewenangan dan Tanggung jawab Direksi

Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.63 Direksi dalam

menjalankan tugasnya diberikan hak dan kekuasaan penuh, dengan konsekwensi bahwa setiap tindakan dan perbuatan yang diberlakukan sebagai tindakan dan perbuatan perseroan, sepanjang direksi bertindak sesuai dengan apa yang ditentukan dalam anggaran dasar perseroan. Direksi mempunyai tugas dan

tanggung jawab dalam hal pengurusan perseroan. Direksi berwenang menjalankan pengurusan sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar.64

Pasal 92 ayat 4 UUPT menyatakan perseroan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan menghimpun dan/atau mengelola dana masyarakat, perseroan yang menerbitkan surat pengakuan utang kepada masyarakat, atau perseroan terbuka wajib mempunyai paling sedikit 2 (dua) orang anggota direksi. Direksi yang terdiri atas 2 (dua) anggota direksi atau lebih, pembagian tugas dan

wewenang pengurusan di antara anggota direksi ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS.65

Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjabat sebagai anggota direksi, yaitu66 :

1. Bahwa direksi memang mampu melaksanakan perbuatan hukum. Artinya tidak berada dalam pengampuan atau curatele.

63

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbbatas, Pasal 1 angka 5.

64 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbbatas, Pasal 92 ayat 2.

65

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 92 ayat 5.

66 Sudargo Gautama, Komentar Atas Undang-Undang Perseroan Terbatas (Baru) tahun 1995 No.1 Perbandingan dengan Peraturan lama (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hlm. 82.


(21)

2. Tidak pernah dinyatakan pailit, dari dahulu sampai sekarang, tidak tercatat sebagai orang yang bangkrut dan telah dinyatakan pailit.

3. Tidak menjadi anggota direksi atau komisaris yang telah dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit.

4. Tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dalam waktu lima tahun sebelum pengangkatan.

Direksi sebagai organ perusahaan merupakan organ yang mewakili perusahaan baik di dalam maupun diluar pengadilan, oleh karenanya tugas direksi

adalah mengurus perusahaan secara menyeluruh. Kedudukan direksi dalam perusahaan adalah sebagai ujung tombak dari peruahaan itu. Direksi yang bertugas untuk menyusun dan juga menjalankan strategi bisnis sebagai usaha dalam mencapai keuntungan bagi perusahaan. Setelah mencapai keuntungan, direksi harus bisa mempertahankan keuntungan yang telah dicapai itu, agar tidak

berkurang tetapi agar terus bertambah. Tugas dan wewenang direksi sebagai pengurus perusahaan secara umum mencakup hal-hal sebagai berikut : 1. Direksi bertanggung jawab penuh atas kepengurusan perusahaan untuk

kepentingan perusahaan, sesuai dengan maksud dan tujuan perusahaan. Direksi juga bertugas untuk mewakili perusahaan baik di dalam maupun diluar pengadilan. Direksi berwenang menjalankan pengurusan sesuai dengan kebijakan yang dianggap tepat olehnya. Jika direksi terdiri atas dua anggota atau lebih, pembagian tugas dan wewenang pengurusan diantara anggota direksi ditetapkan berdasarkan RUPS. Jika RUPS tidak menetapkan,


(22)

pembagian tugas dan wewenang direksi ditetapkan atas keputusan anggota Direksi.

2. Tugas direksi yang utama adalah mengurus perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kewajiban direksi termuat dalam UU BUMN yaitu dalam Pasal 21 ayat 1 menyatakan bahwa direksi wajib menyiapkan rancangan jangka panjang yang

merupakan rencana strategis yang memuat sasaran dan tujuan persero yang hendak dicapai dalam jangka waktu 5 (lima) tahun. Ayat 2 menyatakan bahwa

rancangan rencana jangka panjang yang telah ditandatangani bersama dengan komisaris disampaikan kepada RUPS untuk mendapatkan pengesahan.

Pasal 22 ayat 1 UU BUMN menyatakan bahwa direksi wajib menyiapkan rancangan rencana kerja dan anggaran perusahaan yang merupakan penjabaran

tahunan dari rencana jangka panjang. Ayat 2 menyatakan bahwa direksi wajib menyampaikan rancangan rencana kerja dan anggaran perusahaan kepada RUPS

untuk memperoleh pengesahan.

Pasal 23 ayat 1 UU BUMN menyatakan bahwa dalam waktu 5 (lima) bulan setelah tahun buku persero ditutup, direksi wajib menyampaikan laporan tahunan kepada RUPS untuk memperoleh pengesahan. Ayat 2 menyatakan bahwa laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh semua anggota direksi dan komisaris. Ayat 3 menyatakan bahwa dalam hal ada anggota

direksi atau komisaris tidak menandatangani laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), harus disebutkan alasannya secara tertulis.


(23)

Selain kewajiban diatas, direksi juga berkewajiban untuk mendaftarkan perusahaan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 Tentang Wajib

Daftar Perusahaan :

1. Akta pendirian beserta surat pengesahan menteri kehakiman (setelah perusahaan memperoleh status badan hukum).

2. Akta perubahan anggaran dasar beserta surat persetujuan menteri kehakiman atas perubahan tertentu yang sifatnya mendasar seperti dimaksud dalam Pasal 15 UUPT.

3. Akta perubahan anggaran dasar beserta laporannya kepada menteri kehakiman atas perubahan selain yang dimaksud Pasal 15 ayat 2 UUPT.

Paling lambat 30 hari terhitung sejak pendaftaran, direksi melakukan permohonan pengumuman perusahaan dalam tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Selama pendaftaran dan pengumuman tersebut belum dilakukan, maka anggota direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas segala perbuatan

hukum yang dilakukan perusahaan.

Kewajiban lain direksi meliputi kepentingan kreditur juga kepentingan masyarakat banyak, diantaranya direksi wajib mengumumkan dalam dua surat kabar harian mengenai rencana penggabungan, peleburan dan pengambilalihan perusahaan paling lama 14 hari sebelum diadakannya pemanggilan terhadap RUPS, dan mengumumkan hasilnya tersebut dalam dua surat kabar harian paling

lama 30 hari sejak penggabungan, peleburan atau pengambilalihan selesai dilakukan. Hal itu seperti yang termuat dalam Pasal 105 dan Pasal 108 UUPT. Direksi juga berkewajiban memberikan semua keterangan yang dianggap perlu


(24)

tentang perusahaan kepada petugas pemeriksaan (Pasal 111 ayat 6 UUPT) membayar biaya pemeriksaan atas nama perusahaan (Pasal 113 ayat 2 UUPT), dan juga memberi rujukan pada semua krediturnya dengan surat tercatat mengenai

bubarnya perusahaan (Pasal 120 UUPT).

Tugas dan pertanggungjawaban direksi kepada perseroan dan pemegang saham perseroan telah dimulai sejak perseroan memperolah setatus badan hukum.

Suatu perseroan diwajibkan mempunyai paling sedikit dua orang anggota direksi apabila :67

1. Bidang usahanya mengerahkan dana masyarakat, seperti Bank, Asuransi. 2. Menerbitkan surat pengakuan utang seperti obligasi atau

3. Merupakan perseroan terbuka.

Direksi mempunyai tugas representatif dan kepengurusan manajemen.68 Tugas representatif merupakan tugas dari direksi untuk mewakili perseroan, baik di dalam maupun diluar pengadilan. Tugas mewakili perseroan diluar pengadilan

contohnya seperti mewakili perseroan dalam hal melakukan transaksi bisnis dengan pihak ketiga. Tugas mewakili perseroan di dalam maupun diluar

pengadilan dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:69 1. Dilakukan sendiri.

2. Dilakukan oleh pegawainya yang ditunjuk untuk itu.

3. Dilakukan komisaris jika Direksi berhalangan, sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.

67

I.G. Rai Widjaja, Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, (Jakarta:Megapoint, 1996), hlm. 64.

68 Munir Fuady, Op.Cit., hlm. 58-62 69 Ibid .


(25)

4. Dilakukan oleh pihak ketiga sebagai agen dari perseroan.

Tugas representasi diluar pengadilan adalah mewakili perseroan dalam menandatangani kontrak-kontrak, menghadap pejabat-pejabat negara untuk dan

atas nama perseroan, dan lain-lain. Tugas berikutnya yang dibebankan kepada direksi adalah tugas untuk mengurus perseroan atau menjalankan pengurusan

terhadap perseroan. Pasal 92 ayat 1 UUPT menyebutkan bahwa

“Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.”

Hal itu berarti bahwa dalam menjalankan pengurusan perseroan, direksi harus menjalankan pengurusan perseroan tersebut untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan. Hal itu sejalan dengan isi dari pasal 5 ayat 2 UU BUMN, dimana ditentukan direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan BUMN untuk kepentingan dan tujuan BUMN serta mewakili

BUMN, baik di dalam maupun di luar pengadilan.70 Frasa untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan sebagaimana tercantum

dalam Pasal 92 ayat 1 UUPT ini tidak boleh disikapi secara terpisah/diartikan secara sendiri-sendiri, artinya sekalipun direksi melaksanakan pengurusan untuk

kepentingan perseroan tetapi tidak sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan sebagaimana ditetapkan dalam anggaran dasar, perbuatan direksi tersebut tidak

mengikat perseroan tetapi mengikat dirinya pribadi.71

Tugas dan tanggung jawab direksi perseroan meliputi duty of loyality and

good faith, yakni segala macam tindakan hukum yang diambil semata-mata harus

70 Sutan Remy Sjahdeini, Makalah Tugas, Wewenang, Dan Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris BUMN Persero, hlm.14


(26)

dilakukan dengan itikad baik untuk mencapai tujuan dan kepentingan perseroan. Dalam hal ini, direksi tidak sendiri-sendiri bertanggung jawab kepada perseroan, yang berarti setiap tindakan yang diambil atau tindakan yang dilakukan oleh salah

satu atau lebih anggota direksi akan mengikat anggota direksi lainnya, namun ini tidak berarti tidak diperkenankan terjadinya pembagian tugas diantara anggota

direksi perseroan, demi pengurusan perseroan yang efisien.72

Philip Lipton dan Abraham Herzberg membagi duty of loyalty and good faith ke dalam :73

1. Duty To Act Bonafide In The Interest Of The Company

Ini mencerminkan kewajiban direksi untuk melakukan kepengurusan perseroan hanya untuk kepentingan perseroan semata-mata. Untuk menentukan sampai seberapa jauh suatu tindakan yang diambil oleh direksi

perseroan telah dilakukan untuk kepentingan perseroan, maka hal tersebut harus dipulangkan kembali kepada direksi perseroan. direksi perseroan harus

memiliki penilaian sendiri tentang tindakan yang menurut pertimbangannya adalah sesuatu yang harus atau tidak dilakukan untuk kepentingan perseroan. direksi harus semata-mata memperhatikan kepentingan dari perseroan sebagai

satu kesatuan dan bukan hanya untuk kepentingan masing-masing pemegang saham.74

72 Fred BG Tumbuan, Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris Serta Kedudukan RUPS Perseroan Terbatas menurut UU No.1 tahun 1995, makalah kuliah S2 FH-UI T/A 2001-2002, hlm. 11.

73 Philip Liptond and Abraham Herzberg, Understanding Company Law (Brisbane, The Law Book Company, Ltd.1992), hlm. 297.


(27)

Berkembangnya kegiatan dunia usaha yang ditandai dengan makin banyaknya chairman perusahaan-perusahaan terkemuka menyatakan bahwa :

“This company recognizes that it has duties to its members, employees, consumers of its product and nation”75

Maka nilai-nilai kepentingan perusahaan mulai bergeser menjadi lebih luas hingga meliputi seluruh pihak-pihak terkait dengan perseroan, yang antara lain

terdiri dari :76 a. Pemegang saham (shareholders), b. Karyawan atau pegawai (employees), c. Managers,

d. Pelanggan (customers), e. Pemasok (suppliers), f. Kreditor (debitholders), g. Masyarakat (communities), h. Pemerintah (government)

2. Duty To Exercise Power For Proper Purpose

Direksi adalah satu-satunya organ dalam perseroan yang diberikan hak dan wewenang untuk bertindak atas nama perseroan. Ini membawa konsekuensi

bahwa jalannya perseroan, termasuk pengelolaan harta kekayaan perseroan bergantung sepenuhnya pada direksi perseroan. Artinya tugas pengurusan

perseroan oleh direksi juga meliputi tugas pengelolaan harta kekayaan

75

Paul D.Davies, Gower’s Principles Of Modern Company Law (London: Sweet Maxwell, 1997), hlm. 602.

76Arnoldo C.Hax and Nicolas S.Maljuf, The Strategy Concept And Process-A Pragmatic Approach (New Jersey: Prentice Hall, 1991), hlm.5.


(28)

perseroan.77 Direksi harus melakukan secara benar dan tidak memihak untuk kepentingan manapun juga berkaitan dengan posisinya sebagai trustee perseroan. Direksi diberikan kepercayaan oleh seluruh pemegang saham melalui mekanisme RUPS untuk menjadi organ perseroan yang akan bekerja

untuk kepentingan perseroan, serta kepentingan seluruh pemegang saham yang mengangkat dan mempercayakannya sebagai satu-satunya organ yang

mengurus dan mengelola perseroan. 3. Duty To Retain Discretion

Direksi oleh perseroan, melalui RUPS telah diberikan Fiduciary untuk bertindak seluas-luasnya (dalam koridor Undang-Undang dan Anggaran Dasar) untuk kepentingan perseroan, maka tidak selayaknya jika direksi kemudian melakukan pembatasan dini, atau membuat suatu perjanjian yang akan mengekang kebebasan mereka untuk bertindak sesuai dengan tujuan dan

kepentingan perseroan. Tidak berarti direksi tidak boleh mengadakan, membuat atau menandatangani suatu perjanjian pendahuluan

(misal:perjanjian pengikatan jual-beli). Sebelum perjanjian tersebut diadakan, dibuat dan di tanda tangani, direksi harus memiliki suatu pandangan, sikap

dan kepastian bahwa tindakan yang dilakukan tersebut akan memberikan manfaat bagi kepentingan perseroan.78

4. Duty To Avoid Conflict Of Interest

Prinsip Fiduciary Duty pada dasarnya menjelaskan bahwa direksi memiliki kewajiban untuk menghindari diadakan, dibuat, atau di tandatanginya

77 Fred BG Tumbuan, Op.Cit hlm 9-10 78 Ibid., hlm. 314-315.


(29)

perjanjian atau dilakukannya perbuatan yang menempatkan direksi tersebut dalam suatu keadaan, yang tidak memungkinkan dirinya bertindak secara wajar demi tujuan dan kepentingan perseroan. Kewajiban ini bertujuan untuk

mencegah direksi secara tidak layak memperoleh keuntungan dari perseroan yang mengangkat dirinya menjadi direksi. Kewajiban ini sebenarnya melarang dengan mencegah direksi untuk menempatkan dirinya pada suatu

keadaan yang memungkinkan direksi bertindak untuk kepentingan mereka sendiri, pada saat yang bersamaan mereka harus bertindak mewakili untuk

dan atas nama perseroan.79

Direksi dalam melaksanakan tugasnya, selain bertanggung jawab terhadap perseroan dan terhadap para pemegang saham perseroan, juga bertanggungjawab

kepada setiap pihak (ketiga) yang berhubungan hukum, baik yang langsung maupun tidak langsung dengan perseroan.80 Tanggung jawab direksi secara umum

dapat dibedakan dalam :81

1. Tanggung jawab internal direksi yang meliputi tugas dan tanggung jawab direksi terhadap perseroan dan pemegang saham perseroan.

2. Tanggung jawab eksternal direksi, yang berhubungan dengan tugas dan tanggung jawab direksi kepada pihak ketiga yang berhubungan hukum langsung maupun tidak langsung dengan perseroan.

79 Ibid.

80

Ahmad Yani Dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas (Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 2000), hlm. 104-107.

81 Gunawan widjaja, Tanggung Jawab Direksi Atas Kepailitan Perseroan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 69-71.


(30)

B. Pembelaan Direksi Berdasarkan Doktrin Business Judgment Rule Business Judgment Rule merupakan sebuah doktrin yang telah lama

diterapkan untuk melindungi direksi dalam pertanggungjawaban hukum yang diambil dari keputusan-keputusan bisnis mereka. Business Judgment Rule telah lama diterapkan sebagai awan yang melindungi direksi dari tanggung jawab yang diambil dari keputusan-keputusan bisnis mereka. Direksi yang dalam pelaksanaan tanggung jawab dimandati atas perlindungan tersebut, maka pengadilan tidak boleh mencampuri hal tersebut atau memberikan pendapat lain atas keputusan direksi. Direksi yang tidak dimandati atas perlindungan Business Jugdment

Rule maka pengadilan wajib memeriksa keputusan-keputusan tersebut apakah

perilaku direksi memang untuk kepentingan perusahaan dan dengan itikad baik serta memperhatikan pemegang saham minoritas perusahaan.

Prinsip Business Judgment Rule merupakan ketentuan yang dapat

dikesampingkan jika direktur bertindak lebih baik daripada pengadilan yang akan mendalilkan Business Judgment Rule dan apabila direksi bertindak dalam

keputusan bisnis yang bebas dari self-dealing (atau untuk kepentingan pribadi) dan dapat menunjukan tindakan tersebut dilaksanakan berdasarkan alasan yang wajar serta itikad baik. Pihak yang menggugat keputusan dewan direksi

menghadapi resiko akan adanya ketentuan akan ditolaknya gugatan jika pada akhirnya dapat dibuktikan bahwa direksi membuat keputusan bisnis yang tepat.

Business Judgment Rule selain melindungi tanggung jawab pribadi

seorang direksi apabila terjadi pelanggaran, ia juga dapat diberlakukan terhadap pembenaran-pembenaran keputusan bisnis dimana perintah-perintah yang ditujukan kepada dewan direksi, atau terhadap keputusan-keputusan itu sendiri, terhadap kasus yang menitikberatkan kepada keputusan bisnis yang merupakan tanggung jawab dari pembuat keputusan. Business Judgment Rule yang diterapkan terhadap direksi/pembuat keputusan lazim disebut doktrin Business Judgment

Rule, dan Business Jugdment Rule yang diterapkan terhadap keputusannya

langsung disebut Business Judgment Rule.

Ditinjau dari kasus gugatan derivatif oleh pemegang saham terhadap keadilan dalam transaksi bisnis yang diajukan terhadap mayoritas direktur perusahaan, seorang direksi haruslah memenuhi syarat:

1. tidak terlibat; 2. independen;


(31)

Direktur yang gagal dalam memperoleh dukungan terhadap 3 persyaratan tadi, maka dia tidak akan dilindungi oleh Business Judgment Rule. Hal ini tidaklah berarti semua keputusan bisnis itu salah, hanya untuk mengalihkan perlindungan yang diberikan oleh Business Judgment Rule bila direktur tersebut tidak dapat membuktikannya. Business Judgment Rule tersebut apabila memang ternyata tidak dapat diterapkan terhadap seorang direksi maka pengadilan yang akan berperan di dalam menentukan kebenaran keputusan bisnis tersebut. Apabila hal ini terjadi, tidak berarti bahwa direktur tersebut bertanggungjawab secara pribadi. Dilihat dari segi kasus dimana dititikberatkan pada tanggung jawab pribadi direksi yang menimbulkan keputusan bisnis tersebut daripada keputusan bisnis itu

sendiri, maka direktur tersebut tidak dapat bertanggungjawab secara pribadi kecuali pengadilan telah membuktikan bahwa keputusan tersebut adalah tidak wajar dan merupakan kegagalan dari direktur tersebut.

Doktrin Business Judgment Rule ini merupakan suatu doktrin yang mengajarkan bahwa suatu putusan direksi mengenai aktivitas perseroan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun, meskipun putusan tersebut kemudian ternyata salah atau merugikan perseroan, sepanjang putusan tersebut memenuhi syarat sebagai berikut :82

1. Putusan sesuai dengan hukum yang berlaku. 2. Dilakukan dengan itikad baik.

3. Dilakukan dengan tujuan yang benar (proper purpose).

4. Putusan tersebut mempunyai dasar–dasar yang rasional (rational basis). 5. Dilakukan dengan kehati–hatian (due care) seperti yang dilakukan oleh orang

cukup hati-hati pada posisi yang serupa.

6. Dilakukan dengan cara yang secara layak dipercayai (reasonable belief) sebagai yang terbaik (best interest) bagi perseroan.

Berbeda (tetapi tidak bertentangan) dengan doktrin-doktrin lain yang lebih memberatkan direksi semisal doktrin fiduciary duty, due care, skill and prudence, gugatan derivatif, piercing the corporate vail, ultra vires dan lain–lain. Doktrin

Business Judgment Rule ini lebih memihak kepada direksi, tetapi masih dalam

koridor hukum perseroan yang umum bahwa pengadilan dapat melakukan

82 Dennis J. Block et al.(Ed), The Business Judgment Rule; Fiduciary Duties of Corporate Directors (United States:Prentice Hall law & Business, 1989), hlm. 4.


(32)

scrunity (penilaian) terhadap setiap putusan dari direksi, termasuk putusan bisnis

yang sudah disetujui oleh RUPS, sepanjang untuk memutuskan apakah putusan tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku atau tidak, akan tetapi, tidak untuk menilai sesuai atau tidaknya dengan kebijaksanaan bisnis.

Latar belakang dari diberlakukannya doktrin Business Judgment Rule ini adalah karena diantara semua pihak dalam perseroan, sesuai dengan

kedudukannya selaku direksi, maka pihak direksilah yang paling berwenang dan paling profesional, sampai batas–batas tertentu masih dapat ditoleransi mengingat tidak semua bisnis harus mendapat untung. Dengan perkataan lain, perseroan harus juga menanggung resiko bisnis, termasuk resiko kerugian. Karena itu, direksi tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya hanya karena alasan salah dalam memutuskan (mere error of judgment) atau hanya karena alasan kerugian perseroan. Direksi tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya hanya karena adanya tindakan yang termasuk ke dalam kategori miscalculation atau

mismanagement.

Menurut ajaran dari doktrin Business Judgment Rule ini, karena direksi yang paling berkompeten untuk menjalankan dan memutuskan terhadap bisnis perusahaan, maka tidak ada 1 (satu) orang lain pun yang berwenang memberikan keputusan tentang bisnis perseroan. Pengadilan sekalipun tidak boleh melakukan pendapat bandingan (second guess) terhadap putusan bisnis dari direksi tersebut. Karena itu, gugatan terhadap direksi dalam hubungan dengan putusan bisnisnya dengan berdalilkan kelirunya putusan direksi, sering kali ditolak oleh pengadilan berdasarkan doktrin Business Judgment Rule ini, meskipun kepada direksi dibebankan fiduciary duty, yang membebankan tanggung jawab yang besar kepada pundak direksi.

Sebenarnya inti dari pemberlakuan doktrin Business Judgment Rule adalah bahwa semua pihak, termasuk pengadilan harus menghormati putusan bisnis yang diambil oleh orang–orang yang memang mengerti dan berpengalaman di bidang bisnisnya, terutama sekali terhadap masalah-masalah bisnis yang kompleks. Karena itu, kepada mereka patut diberikan diskresi yang besar. Mereka yang berpengalaman dan mempunyai pengetahuan tentang bisnisnya tentunya adalah pihak direksi


(33)

C. Penerapan Doktrin Bussiness Judgment Rule Dalam Pembelaan Direksi BUMN Persero

Doktrin Business Judgment Rule ditetapkan untuk memutuskan apakah direksi dan atau dewan direksi telah melaksanakan tugasnya dengan benar dan memenuhi tugas dan kewenangannya sebagai organ perusahaan. Tidak semua putusan bisnis yang ditetapkan oleh direksi selalu menghasilkan keuntungan bagi perusahaan. Direksi atau dewan direksilah yang pada akhirnya akan

bertanggungjawab apabila unsur–unsur yang terkandung dalam doktrin Business

Judgment Rule tidak dapat dibuktikan seluruhnya.

Untuk dapat menggunakan doktrin Business Judgment Rule ini sebagai pembelaan bagi direksi dan atau dewan direksi, direksi atau dewan direksi harus bertindak dengan itikad baik dan dengan kepercayaan yang wajar dalam

melakukan tindakan yang secara sah dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di dalam mencapai tujuan–tujuan perusahaan. Direksi juga harus melaksanakan putusan bisnis yang jujur terhadap kebijakan–kebijakan yang telah

dipertimbangkan secara rasional dan berdasarkan faktor–faktor relevan yang ada.83

Doktrin Business Judgment Rule ini melindungi pembuat keputusan perusahaan dan keputusan–keputusan perusahaan yang sudah ditetapkan untuk kepentingan bisnis dari pendapat bandingan pengadilan (judicial second

guessing). Unsurunsur dari doktrin Business Judgment Rule adalah sebagai berikut :

1. Business Decision (Putusan Bisnis)

Hanya perbuatan–perbuatan yang dilakukan oleh direksi dan dewan direksi yang dilindungi oleh doktin ini sedangkan untuk perbuatan yang dilakukan oleh pihak selain direksi tidak akan dilindungi dalam pembelaan melalui doktrin putusan bisnis ini. Perbuatan–perbuatan yang dilakukan selain oleh direksi hanya dapat dilindungi oleh putusan bisnis ini apabila hasil dari perbuatan tersebut berhubungan dengan perbuatan yang dilakukan secara sadar oleh direksi

2. Disinterestednes

83 Business Judgment Rules,

http://www.meeb.com/articles/business_judgement_rule.htm>>>ANGLE (diakses pada tanggal 8 Januari 2016 pukul 15.59).


(34)

Unsur ini menjelaskan bahwa doktrin Business Judgment Rule melindungi direksi yang tidak memiliki kepentingan pribadi dalam pengambilan keputusan. Seorang direksi yang bertindak bukan berdasarkan kepentingan pribadi dalam melakukan transaksi–transaksi bisnis ataupun keuntungan-keuntungan finansial yang diperoleh dari pihak lain untuk kepentingan perusahaan dari pemegang saham pada umumnya akan dilindungi pada doktrin ini.84

3. Due Care (Prinsip kehati–hatian)

Doktrin Business Judgment Rule apabila dikaitkan dengan prinsip kehati– hatian, hanya akan melindungi direksi apabila direksi di dalam menjalankan tugas dan wewenangnya secara hati–hati sehingga terhindar dari perbuatan kelalaian yang merugikan pihak lain.

Menurut teori ilmu hukum perseroan, prinsip kepedulian (due care) dari direksi terhadap perseroan memiliki 2 (dua) persyaratan sebagai berikut:85 1. Syarat Prosedural

Syarat prosedural yang dipersyaratkan oleh hukum kepada direksi dari suatu perseroan adalah bahwa seorang direksi haruslah selalu menaruh perhatian dengan sungguh–sungguh kepada jalannya perseroan. Di samping itu, dia harus selalu mendapatkan informasi yang lengkap (well informed) terhadap perseroannya.

2. Syarat Substantif

Syarat substantif yang terbit dari prinsip kepedulian (due care) terhadap seorang direksi perusahaan adalah bahwa dalam mengambil keputusan perseroan, pihak direktur haruslah dilakukannya berdasarkan pertimbangan yang rasional. Pertimbangan yang rasional tersebut tidak berarti bahwa direksi harus mengambil keputusan yang benar–benar optimal. Hal yang

84http://www.meeb.com/articles/business_judgement_rule.htm>>>ANGLE (diakses pada tanggal 8 Januari 2016 pukul 15.59).


(35)

dibutuhkan bahwa munculnya (apperance) dari keputusan tersebut terlihat sebagai respon yang wajar terhadap situasi yang ada, yang oleh hukum dilarang adalah manakala pihak direksi bertindak begitu sangat tidak bijaksana, sangat tidak rasional, dan di luar diskresi direksi yang dibenarkan oleh hukum.

3. Good faith (Itikad Baik)

Doktrin Business Judgment Rule menghendaki direksi atau dewan direksi bertindak dalam putusan bisnisnya dengan itikad baik dan dengan kejujuran di dalam bertindak untuk kepentingan perusahaan. Kewajiban, tugas dan wewenang anggota direksi harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab yang nantinya akan mengarahkan perusahaan di dalam mencapai keuntungan dan tujuan akhir perusahaan, serta memberikan kekuasaan bisnis terhadap seluruh pemegang saham yang terkait.

4. Abuse Of Discretion or Waste (Bebas dari Penyalahgunaan Diskresi)

Direksi dalam menjalankan tugasnya selalu diwajibkan untuk menguasai dan mengetahui pengetahuan–pengetahuan bisnis yang wajar dan dengan sepenuhnya hatu bertanggungjawab terhadap semua tindakan yang telah diambil. Direksi atau dewan direksi sebagai organ pengurus perusahaan mempunyai wewenang mutlak dan diberikan kepercayaan penuh oleh perusahaan di dalam pengurusan dan pengelolaan suatu perusahaan selain putusan bisnis harus memenuhi kriteria sebagai putusan bisnis yang wajar, bebas dari unsur kepentingan pribadi, prinsip kehati–hatian dan itikad baik


(36)

putusan bisnis juga harus bebas dari penyalahgunaan kemandirian dan kemerdekaan dari seorang pembuat keputusan.

Dilihat dari kasus Hotasi DP Nababan yang telah dijabarkan pada bab 3 sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa penerapan Business

Judgment Rule terhadap direksi dalam BUMN Persero secara otomatis

diberlakukan kepada tiap anggota direksi sama halnya dengan direksi perseroan terbatas. Dilihat dari kasus yang telah diuraikan diatas, penerapan Business

Judgment Rule dapat dikatakan belum sepenuhnya berjalan dengan baik, karena

ada beberapa hal dari Putusan Pengadilan Negri Nomor 36/Pid.B/TPK/2012/PN.JKT.PST yang perlu diperhatikan.

Pertama, hakim telah menyatakan TALG tidak memenuhi itikad baik untuk memenuhi kewajibannya merupakan sengketa keperdataan. Hakim telah tepat menerapkan. Kerugian negara tidak dapat diterapkan, karena uang negara yang sudah ditempatkan di BUMN merupakan uang milik BUMN. Kedua, terhadap TALG yang tidak memenuhi kewajibannya, tidak dapat dibebankan kepada PT. MNA. Ini ditandai dengan PT. MNA sudah memenuhi kewajibannya membayar security deposit. PT. MNA sudah menempuh segala cara agar jaminan dapat dikembalikan TALG. PT. MNA bahkan sudah menggugat di Amerika Serikat dan putusan Pengadilan District of Columbia, Amerika Serikat tanggal 8 Juli 2007 yang memenangkan gugatan Merpati atas TALG dan Alan Messner menjadi bukti upaya Merpati mengembalikan dana deposit. Hakim memberikan istilah “merupakan tanggung jawab TALG dan itu di luar kendali PT MNA”. Sudah dilakukan dalam prinsip hati-hati dan demi kepentingan perusahaan. Dengan demikian, maka tidak terdapat kesalahan/niat jahat terhadap Hotasi dan Tony.

Apabila dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 417 K/Pid.Sus/2014, Hotasi Nababan dinyatakan bersalah dan divonis empat tahun penjara serta denda sebesar 200 juta Rupiah. JPU menggangap bahwa Hotasi bersalah berdasarkan dakwaan subsider, yaitu melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 Undang–Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke–1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang Perbuatan Merugikan Keuangan Negara.

Jaksa Penuntut Umum menyatakan bahwa terdakwa Hotasi Nababan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan dalam dakwaan primer dan meminta agar Hotasi dibebaskan dari dakwaan primer, tapi menyatakan terdakwa terbukti bersalah sebagaimana dakwaan subsider, sejumlah pertimbangan yang diungkap oleh jaksa adalah perbuatan Hotasi dalam pengadaan dua pesawat Boeing 737-400


(37)

dan Boeing 737-500, padahal tidak tercantum dalam rencana kerja anggaran perusahaan tahunan (RKAT). Terdakwa dengan sengaja melakukan penyewaan pesawat Boeing, walau tidak tercantum dalam RKAT 2006, terdakwa Hotasi Nababan juga tahu bahwa security deposit yang dikirim ke Hume digunakan untuk kepentingan lain selain sebagai jaminan.

TALG sendiri melakukan wanprestasi (mengingkari perjanjian) terhadap PT MNA karena uang sejuta Dollar AS itu disalahgunakan oleh John C. Cooper senilai 810.000 Dollar AS dari Hume dan Allan Messner dari TALG sebanyak 190.000 Dollar AS. Hotasi memberikan security deposit (uang jaminan) senilai satu juta dolar Amerika Serikat (AS) sebagai jaminan pembelian pesawat kepada perusahaan penyewaan pesawat Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG) melalui transfer langsung ke rekening kantor pengacara Hume and Associaties PC pada Bank Mandiri. Padahal, belum ada penandatangangan purchase agreement (perjanjian pembelian) antara TALG dengan East Dover Ltd selaku pemilik pesawat Boeing 737-500.

Selain itu, menurut Jaksa Penuntut Umum, pembuatan Lease Agreement

Summary of Term (LASOT) untuk security deposit hanya dilakukan sehari setelah

perjanjian TALG dengan East Dover, padahal belum ada security agreement antara TALG dan East Dover. Sehingga, terdakwa Hotasi Nababan sudah tahu seharusya tidak membayarkan kepada TALG dan Hume karena hanya

berdasarkan LASOT sebagai bentuk perjanjian jual beli dan bukan purchase

agreement sebelum membayar security deposit.

Menurut jaksa, Hotasi tidak berhati-hati dalam melakukan pembayaran dan tanpa mendapatkan gambaran perusahaan peminjam pesawat TALG meski sudah meminta Lawrence Siburian sebagai pengacara untuk melakukan

pengecekan. Terdakwa dalam bertindak di luar aturan yang berlaku sehingga terjadi abuse of power katanya. PT. MNA sendiri melakukan upaya hukum terhadap TALG dan berhasil mengembalikan 5.000 dolar AS, tapi menurut Jaksa penuntut umum, unsur kerugian negara tetap diberlakukan.

Jaksa penuntut umum juga menilai, unsur yang terbukti dalam tuntutan jaksa adalah unsur merugikan keuangan diri sendiri sebagaimana termuat dalam Pasal 3 dalam dakwaan subsider dan bukan unsur memperkaya diri sendiri dalam Pasal 2 dalam dakwaan primer. TALG sendiri melakukan wanprestasi terhadap PT. MNA karena uang sejuta dolar AS itu disalahgunakan oleh John C. Cooper senilai 810.000 dolar AS dari Hume dan Alan Messner dari TALG sebanyak 190.000 dolar AS.

Dari penjelasan diatas, terlihat bahwa hakim tidak konsisten dalam menjatuhkan putusan. Hal ini diperkuat oleh beberapa hal yaitu pertama, pada


(38)

putusan pengadilan negeri Hotasi D.P Nababan sudah dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari segala tuntutan namun pada tingkat kasasi, hakim

menjatuhkan putusan bersalah kepada Hotasi. Hal ini sangat tidak wajar.

Bagaimana mungkin putusan bebas murni dikasasi. Kedua, dalam kasus ini Hotasi Nababan tidak terbukti mengenai unsur memperkaya diri sendiri karena sudah berupaya untuk mengajukan upaya hukum di pengadilan Amerika Serikat dan berhasil mengembalikan 5000 dollar AS. Tetapi walaupun sudah melakukan upaya hukum tersebut jaksa di Indonesia tetap mengadili Hotasi dengan delik korupsi.

Selain itu juga, ada beberapa pertimbangan hakim yang keliru antara lain86 :

1. RUPS telah memberikan kewenangan direksi fleksibilitas untuk memilih tipe pesawat yang menguntungkan perusahaan.

2. Masalah penempatan security deposit itu dilakukan di Law Firm Hume di Washington sebagai custodian, dan tidak boleh diambil sepihak sesuai peraturan di AS.

3. Sudah ada letter of intent (LOI) antara Merpati dan TALG yang menjadi dasar penempatan security deposit yang mengikat.

4. LOI ini dianggap sebagai perjanjian yang mengikat yang menjadi dasar menangnya gugatan Merpati terhadap TALG di pengadilan Washington pada 2007.

5. Circular Board Of Director (BOD) merupakan keputusan kolektif direksi

Merpati bukan keputusan direksi sendiri.

86

Liputan 6, http://www.google.co.id/url?q=http://www.liputan6.com/tag/hotasi-

nababan&sa=U&ved=0ahUKEwjp_t-bzq7KAhUOBo4KHergC30QFggpMAY&sig2=-yXSt0uQrRVSyJt3kORCTg&usg=AFQjCNEvZ4RQHqyFLr0x7w9c2ZaHmI5HoQ (diakses pada tanggal 16 Januari 2016 pukul 22.11).


(39)

6. Legal opinion yang dibuat oleh biro hukum menjadi bukti yang tidak relevan

oleh hakim di pengadilan negeri karena tertanggal setelah penempatan

security deposit.

7. Kedua warga negara Amerika Serikat yang telah menipu Merpati mengambil

security deposit itu sedang diadili pengadilan Washington DC atas tuntutan

kejahatan tinggi.

Setelah membaca penjelasan yang telah dijabarkan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa penerapan Business Judgment Rule terhadap direksi dalam BUMN Persero secara otomatis diberlakukan kepada setiap anggota direksi sama halnya dengan direksi perseroan terbatas. Doktrin Business Judgment Rule berlaku bagi direksi yang beritikad baik, melakukan prinsip kehati-hatian, dan menetapkan keputusan untuk semata-mata kepentingan perseroan. Apabila dilihat dari kasus yang telah dijelaskan, maka penerapan Business Judgment Rule

terhadap direksi dalam BUMN Persero (dalam hal ini merupakan PT. MNA) belum sepenuhnya berjalan dengan baik karena dari fakta–fakta yang ada hakim tidak menerapkan doktrin Business Judgment Rule sebagai perlindungan terhadap direksi yang mengambil keputusan untuk kepentingan perusahaan. Padahal yang dilakukan direksi PT. MNA merupakan semata mata untuk kepentingan

perusahaan, dilakukan dengan prinsip kehati–hatian dan tidak ada unsur

memperkaya diri sendiri. Namun setiap kebijakan yang diambil direksi meskipun kelihatan nya sudah baik tetapi tetap saja bisa menimbulkan kesalahan yang tidak terduga diluar kewenangan direksi.


(40)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah membahas uraian–uraian yang telah diajabarkan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Pengaturan hukum doktrin Business Judgment Rule terdapat dalam Pasal 92 ayat 1 dan 2 serta Pasal 97 ayat 1, 2, 3 dan 5 Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Hal yang diatur mengenai Business Judgment Rule adalah perlindungan terhadap direksi dari setiap kebijakan atau keputusan bisnis atau transaksi bisnis yang dilakukan untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan, dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian, itikad baik, dan penuh tanggung jawab. Akibat hukum doktrin Business Judgment Rule baik terhadap direksi maupun para penegak hukum yang menetapkan suatu perkara Business Judgment Rule atau tidak ataupun pihak lain yang berkepentingan, belum ada ketentuan yang jelas yang mengatur tentang hal tersebut terutama dalam Undang–Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

2. Pengaturan hukum doktrin Business Judgment Rule terhadap direksi BUMN Persero merupakan suatu ketentuan yang sama dengan ketentuan yang berlaku bagi direksi perseroan terbatas. Hal ini karena BUMN Persero dan Perseroan Terbatas sama sama perusahaan perseroan. Direksi BUMN Persero tunduk kepada peraturan yang berlaku bagi direksi perseroan terbatas yaitu


(41)

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Segala ketentuan dan pengaturan hukum mengenai doktrin Business Judgment Rule yang berlaku terhadap direksi perseroan terbatas berlaku juga bagi direksi BUMN Persero.

3. Penerapan doktrin Business Judgment Rule terhadap direksi dalam BUMN Persero sudah berjalan dengan baik karena sebenarnya direksi BUMN Persero secara otomatis telah mendapat perlindungan Business Judgment Rule sama dengan direksi perseroan terbatas pada umumnya. Doktrin Business Judgment

Rule berlaku bagi direksi yang beritikad baik, melakukan prinsip

kehati-hatian, melakukan dengan penuh tanggung jawab, dan menetapkan keputusan semata-mata untuk kepentingan perseroan. Apabila dilihat dari kasus antara PT. Merpati Nusantara Airlines dan Thirdstone Aircraft Leasing Group yang telah dijelaskan dimuka, dari fakta–fakta yang ada hakim tidak menerapkan doktrin Business Judgment Rule sebagai perlindungan terhadap direksi yang mengambil keputusan untuk kepentingan perusahaan. Padahal apa yang dilakukan direksi PT. Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan merupakan semata mata untuk kepentingan perusahaan, dilakukan dengan prinsip kehati–hatian dan tidak ada unsur memperkaya diri sendiri. Namun hakim tetap tidak mempertimbangkan pembelaan berdasarkan doktrin

Business Judgment Rule yang seharusnya diberlakukan terhadap direksi PT.


(42)

B. Saran

Setelah memahami pembahasan penelitian yang telah dijabarkan diatas, maka dapat disarankan beberapa hal yaitu :

1. Sebaiknya pengaturan mengenai Business Judgment Rule di Indonesia lebih dikembangkan lagi dengan cara memperbaharui peraturan-peraturan yang telah ada dan lebih spesifik diatur dalam UUPT sehingga doktrin Business

Judgment Rule dapat lebih dipahami baik oleh direksi, penegak hukum, dan

masyarakat di Indonesia.

2. Sebaiknya organ–organ perusahaan khususnya direksi diharapkan lebih memahami dengan benar dalil–dalil hukum yang dianut dalam doktrin– doktrin corporate law. Hal ini berguna bagi direksi itu sendiri untuk mengetahui batasan–batasan dan prinsip–prinsip kemandirian seorang direktur dalam menjalankan perusahaan.

3. Sebaiknya doktrin Business Judgment Rule ini lebih diperhatikan dan diadopsi oleh para penegak hukum di Indonesia khususnya hukum korporasi dalam memutuskan bersalah atau tidaknya direksi dalam kasus–kasus perusahaan khususnya. Sehingga penerapan doktrin Business Judgment Rule dapat berjalan dengan baik.


(43)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TENTANG DOKTRIN BUSINESS JUDGMENT RULE DI INDONESIA

A. Sejarah Doktrin Business Judgment Rule

Lahirnya doktrin Business Judgment Rule diawali dari beberapa kasus yang terjadi di beberapa negara dimana dari kasus tersebut menimbulkan kesan bahwa direktur sering ditempatkan sebagai pihak yang selalu dipersalahkan dalam perseroan. Kesan tersebut tidak mencerminkan keadilan. Direktur bukanlah suatu obyek yang selalu dapat dipersalahkan sepenuhnya atas pengelolaan perusahaan atau dengan kata lain tanggung jawab tidak dapat dibebankan secara penuh

kepada direksi.22 Pembebanan tanggung jawab secara penuh terhadap direksi akan menghambat inovasi dan kreatifitas direksi dalam mengambil keputusan bisnis.23 Direksi harus tetap diberi otonomi yang dibatasi oleh asas kepantasan.24

Melihat kepada potensi penyalahgunaan posisi oleh direktur, maka perlu dilakukan pengawasan yang intensif terhadap direktur sebagai otak dalam perusahaan yang mengendalikan perusahaan sehari–hari. Salah satu cara untuk melakukan pengawasan kepada direktur adalah dengan membatasi

kewenangannya dalam mengambil sebuah keputusan bisnis yang dituangkan dalam sebuah standar keputusan bisnis yang di negara–negara anglo saxon dikenal dengan Business Judgment Rule.25

Doktrin Business Judgment Rule berasal dari Amerika Serikat yang didasarkan pada sistem hukum common law, dimana sumber hukum utama bagi negara Amerika Serikat ini menganut asas presedent. Konsep Business Judgment

Rule sudah diterapkan sejak 170 tahun yang lalu di Amerika Serikat dan telah

memainkan peranan yang sangat penting dalam perusahaan dan dalam

22 Robert Prayoko, Doktrin Business Judgment Rule ; Aplikasinya dalam Hukum Perusahaan Modern (Yogyakarta:Graha Ilmu, 2015), hlm. 2.

23 Ibid. 24 Ibid. 25 Ibid., hlm. 3.


(44)

kasus bisnis. Secara umum doktrin ini merupakan doktrin yang memberikan perlindungan bagi direksi terhadap keputusan bisnis yang diambilnya.

Dasar pemikiran dari aturan ini adalah pengakuan dari pengadilan bahwa sudah menjadi sifatnya dalam menjalankan bisnis yang bernuansa resiko, direksi harus terbebas dari rasa takut atas jeratan hukum yang mungkin menjerat direksi dalam hal direksi mengambil keputusan bisnis yang beresiko, rasa takut direksi dalam mengambil keputusan bisnis tersebut akan mempengaruhi keputusan bisnis direksi tersebut.26

Hakim merupakan ahli dalam bidang hukum, namun bukan merupakan ahli dalam mengelola perusahaan dan bisnis, oleh karena itu hakim harus menghormati keputusan bisnis direksi tanpa perlu campur tangan dan memberi pendapat bandingan atas kerputusan bisnis direksi. Pokok dari pemberlakuan doktrin ini adalah bahwa semua pihak, termasuk pengadilan harus menghormati putusan bisnis yang diambil oleh orang-orang yang memang mengerti dan berpengalaman di bidang bisnisnya, terutama sekali terhadap masalah-masalah bisnis yang kompleks.

Business Judgment Rule secara tradisional, juga dikonsep untuk

melindungi kepentingan anggota direksi dari pertanggungjawaban diambilnya keputusan usaha tertentu yang mengakibatkan kerugian bagi perseroan. Selanjutnya oleh Salomon dikutip pertimbangan hakim dalam perkara Gries Enterprises Inc V.Cleveland browns Football co, inc.496 NE 2nd 959 (ohio), dimana :

the business judgment rule is a principle of corporate governance that has been part of common law for at least one hundred fifty years. It has traditionally operated as ashield to protect directors from liability for the protection of the rule, then the courts should not intereferewith or second guess their decisions. If the directors are not entiled to the protection of the rule, then the court scrutinize the decisions as to its intrinsic fairness to

the coorporation and the coorporation’s minority shareholders. The rule is

rebutablle presumption that directors acted without self dealingor

personal interest and exercised reasonable diligence and acted with good faith. A party challenging a board of directors decisions was a proper exercise of the business judgment of the board.”27

26 Business Judgment Rule, http://en.wikipedia.org/wiki/Business_judgment_rule, (diakses pada tanggal 16 Oktober 2015 pukul 21.15).

27 Lewis D Salomon, Donald E Schwartz, Jeffry D Bauman and Eliot j Weiss, Coorporation Law and Policy Materials and Problems, 4th ed, west group, St paul, 1998, hlm. 685


(1)

6. Bapak Alm. Ramli Siregar, SH., M.Hum. selaku Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 7. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution SH., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I

yang telah memberikan bimbingan serta pengetahuan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

8. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar SH. CN. M.Hum selaku Dosen Pembimbing II, yang telah memberikan bimbingan dan saran kepada Penulis, serta ilmu pengetahuan baik dalam masa penulisan skripsi maupun dalam masa-masa

perkuliahan.

9. Semua Bapak dan Ibu Dosen, selaku staf pengajar dan seluruh pegawai administrasi Fakultas Hukum dan Perpustakaan Hukum serta Perpustakaan

Pusat Universitas Sumatera Utara.

10. Kedua orang tua Penulis yang sangat Penulis cintai dan hormati, Bapak Panangian Sitohang dan Ibu Risformalinda Nababan yang tidak pernah berhenti mendoakan Penulis serta memberi dukungan moral dan materil, serta

kakak dan abang yang Penulis kasihi, Early Alice Sitohang dan Erik Richie Sitohang.

11. Teman-teman yang Penulis sayangi Anita Nuzula Pohan, Reni Hardianti Tanjung, Febrina Mahyar Lubis yang selalu memberi dukungan, kebahagiaan, dan selalu memberi semangat baik dalam kehidupan Penulis


(2)

12. Teman-teman seperjuangan Emila Nasution dan Echo Sinana Law yang selalu mendukung Penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi dan yang selalu

bertanya mengenai perkembangan skripsi Penulis.

13. Teman-teman WAKGENG tersayang Azaria Tobing, Mikha Sidabutar, Yoana Bukit, Dessy Tobing, Angela Purba, Defani Sembiring, dan Minarni

Aritonang yang banyak memberikan motivasi bagi Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

14. Teman dari SMP Tanti Sembiring, Gita Damanik dan Anna Sihombing yang telah memberikan dukungan dan doa kepada Penulis.

15. Semua teman-teman Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara angkatan 2012.

16. Semua pihak yang telah memberi dukungan kepada Penulis dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu.

Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna akan tetapi Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bukan hanya

kepada Penulis, tetapi juga kepada masyarakat.

Medan, Maret 2016

Penulis Andreany Paola Mikalita Sitohang


(3)

ABSTRAK

PENERAPAN DOKTRIN BUSINESS JUDGMENT RULE TERHADAP DIREKSI DALAM BUMN PERSERO MENURUT UNDANG–UNDANG

NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

Andreany Paola Mikalita Sitohang* Bismar Nasution**

T. Keizerina Devi Azwar***

Business Judgment Rule merupakan salah satu dari beberapa doktrin dalam hukum perusahaan yang dalam pelaksanaannya adalah untuk melindungi seorang direksi perusahaan dalam mengambil keputusan. Direksi dalam mengambil keputusan tersebut harus disertai dengan tidak adanya unsur kepentingan pribadi, diputuskan berdasarkan informasi yang mereka percaya, oleh keadaan yang tepat dan secara rasional serta keputusan tersebut adalah yang terbaik untuk perusahaan, artinya tidak ada unsur-unsur kecurangan, benturan kepentingan, perbuatan melawan hukum, ataupun ada konsep kesalahan yang disengaja. Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini adalah tentang pengaturan hukum Business Judgment Rule di Indonesia, pengaturan hukum Business Judgment Rule terhadap direksi BUMN Persero dan penerapan doktrin Business Judgment Rule pada direksi BUMN Persero di Indonesia.

Metode Penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang dikumpulkan dengan cara studi kepustakaan dan dianalisis dengan metode kualitatif.

Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa pengaturan hukum Business Judgment Rule di Indonesia terdapat dalam Pasal 92 ayat 1 dan 2 serta Pasal 97 ayat 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pengaturan hukum doktrin Business Judgment Rule terhadap direksi dalam BUMN Persero menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Penerapan doktrin Business Judgment Rule terhadap direksi dalam BUMN Persero sudah berjalan dengan baik karena sebenarnya direksi BUMN Persero secara otomatis telah mendapat perlindungan Business Judgment Rule sama dengan direksi perseroan terbatas pada umumnya. Doktrin


(4)

prinsip kehati-hatian, melakukan dengan penuh tanggung jawab, dan menetapkan keputusan semata-mata untuk kepentingan perseroan.

Kata Kunci : Penerapan Business Judgment Rule, Direksi, BUMN Persero.

____________________

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara* Dosen Pembimbing I**


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... ... i

DAFTAR ISI... iv

ABSTRAK... ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah... 6

C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan... 6

D. Keaslian Penulisan... 8

E. Tinjauan Pustaka... 9

F. Metode Penelitian... 13

G. Sistematika Penulisan... 15

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG DOKTRIN BUSINESS JUDGMENT RULE DI INDONESIA A.Sejarah doktrin Business Judgment Rule... 17

B. Pemahaman doktrin Business Judgment Rule terhadap direksi... 21

C. Pengaturan doktrin Business Judgment Rule dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas... 30

D. Batasan-batasan Business Judgment Rule... 33


(6)

BAB III PENGATURAN HUKUM DOKTRIN BUSINESS JUDGEMENT RULE TERHADAP DIREKSI BUMN PERSERO

A.Pengertian BUMN Persero secara

umum... 38 B.Pengaturan hukum tentang BUMN Persero di

Indonesia... 45 C.Pengaturan hukum doktrin Business Judgement

Rule terhadap Direksi BUMN

Persero... 51

BAB IV PENERAPAN DOKTRIN BUSINESS

JUDGEMENT RULE PADA DIREKSI BUMN PERSERO DI INDONESIA

A.Pengaturan Kewenangan dan Tanggung jawab Direksi... 58 B.Pembelaan Direksi berdasarkan doktrin

Business Judgement

Rule... 68 C.Penerapan doktrin Bussiness Judgement

Rule dalam pembelaan Direksi BUMN

Persero... 72

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan... 82 B.Saran... 83


Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Business Judgement Rule Pada Dewan Komisaris Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

4 67 72

KAJIAN YURIDIS KEDUDUKAN HUKUM DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI PERSEROAN TERBATAS MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

0 5 16

TANGGUNG JAWAB DIREKSI DALAM PENGURUSAN PERSEROAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS

0 6 36

PENERAPAN DOKTRIN ULTRA VIRES TERHADAP DIREKSI DALAM KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DAN UNDANG-UNDANG NO 37 TAHUN 2004 TENTANG KE.

0 0 1

EKSISTENSI DOKTRIN PIERCING THE CORPORATE VEIL DI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS TERHADAP TANGGUNG JAWAB DIREKSI ATAS TERJADINYA KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS.

0 0 13

Penerapan Doktrin Business Judgment Rule Terhadap Direksi Dalam BUMN Persero Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

0 1 9

Penerapan Doktrin Business Judgment Rule Terhadap Direksi Dalam BUMN Persero Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

0 0 1

Penerapan Doktrin Business Judgment Rule Terhadap Direksi Dalam BUMN Persero Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

0 0 13

Penerapan Doktrin Business Judgment Rule Terhadap Direksi Dalam BUMN Persero Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

0 2 15

Penerapan Doktrin Business Judgment Rule Terhadap Direksi Dalam BUMN Persero Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

0 0 4