Analisis Bivariat Karakteristik Penderita Rinosinusitis Kronis Di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2008

5.2 Analisis Bivariat

5.2.1 Proporsi penderita rinosinusitis kronis berdasarkan umur dan jenis kelamin tercatat yang berobat ke RSUP H Adam Malik tahun 2008 Gambar 5.2.1 Proporsi penderita rinosinusitis kronis berdasarkan umur dan jenis kelamin Dari gambar 5.2.1 diatas didapat bahwa proporsi tertinggi penderita rinosinusitis kronis terdapat pada kelompok umur 28 – 35 tahun 20,61 laki- laki 7,77 dan perempuan 12,84 dan terendah pada kelompok umur 68-75 tahun 2,36 laki-laki 0,68 dan perempuan 1,69 proporsi jenis kelamin adalah perempuan 57,09 dan laki-laki 42,91. Hal ini sesuai dengan penelitian case series Iriani dkk 1996 pada penelitiannya terhadap 118 penderita rinosinusitis kronis di Departemen THT- KL FK UNHAS Ujung Pandang menjumpai rinosinusitis kronis terbanyak pada kelompok umur 16-30 tahun atau sebesar 55,1. Penelitian cross sectional Muyassaroh dan Supriharti 1999 terhadap terhadap 52 pasien rinosinusitis kronis yang berobat ke SMF THT-KL RSUD Dr. Kariadi Semarang mendapatkan kelompok terbanyak pada umur 20-29 tahun sebesar 26,9. 7.09 4.39 7.77 7.09 7.09 7.43 1.35 0.68 7.77 8.45 12.84 8.11 9.46 6.08 2.7 1.69 10.00 5.00 0.00 5.00 10.00 15.00 12-19 20-27 28-35 36-43 44-51 52-59 Perempuan Laki-Laki 68-75 60-67 Universitas Sumatera Utara Penelitian case series Elfahmi 2001 terhadap 40 penderita rinosinusitis kronis, didapatkan kelompok umur terbanyak adalah 35-44 tahun sebanyak 30. Penelitian case series Kurnia 2002 terhadap 40 penderita rinosinusitis kronis di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan penderita terbanyak pada kelompok umur 25 -34 tahun sebanyak 14 penderita 40. Penelitian case series Yuhisdiarman 2004 terhadap 35 penderita rinosinusitis kronis mendapatkan kelompok umur terbanyak adalah 35-44 tahun sebesar 34,3. Penelitian cross sectional Triolit 2004 pada terhadap 30 penderita rinosinusitis kronis di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan kelompok umur terbanyak adalah 38-47 tahun sebanyak 36,6. Dari beberapa data diatas terlihat juga bahwa rinosinusitis kronis lebih banyak mengenai dewasa muda. Menurut Hellgren 2008, meningkat kejadian rinosinusitis kronis pada umur dewasa muda dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor lingkungan alergen, polutan, perubahan gaya hidup, pola makan serta infeksi. Dari gambar diatas juga didapatkan bahwa proporsi penderita rinosinusitis kronis lebih banyak dijumpai pada jenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 57,09 sedangkan laki-laki sebanyak 42,91. Beberapa penelitian lain sebelumnya terhadap rinosinusitis kronis, juga mendapatkan jumlah penderita lebih banyak perempuan. Hal ini sesuai dengan penelitian case series Nuutien 1993 terhadap 150 penderita rinosinusitis kronis Universitas Sumatera Utara didapatkan perempuan sebanyak 83 penderita 55,3 dan laki-laki sebanyak 67 penderita 44,7. Penelitian cross sectional Muyassaroh dan Suprihariharti 1999 terhadap terhadap 52 pasien rinosinusitis kronis yang berobat ke SMF THT-KL RSUD Dr. Kariadi Semarang mendapatkan jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki 29 penderita 55,8 dan perempuan sebanyak 23 penderita 44,2. Penelitian case series Elfahmi 2001 pada penelitiannya terhadap 40 penderita rinosinusitis kronis, didapatkan jenis kelamin perempuan sebanyak 19 penderita 47,5 dan laki-laki sebanyak 21 penderita 52,5. Penelitian case series Kurnia 2002 terhadap 40 penderita rinosinusitis kronis di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan perempuan lebih banyak daripada laki-laki, dimana perempuan 21 penderita 52,5 dan laki-laki 19 penderita 47,5. Penelitian case series Yuhisdiarman 2004 terhadap 35 penderita rinosinusitis kronis mendapatkan jenis kelamin terbanyak adalah perempuan sebesar 20 penderita 57,2 dan laki-laki 15 penderita 42,8. Penelitian cross sectional Triolit 2004 terhadap 30 penderita rinosinusitis kronis di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan penderita perempuan sebanyak 16 penderita 53,3 dan laki-laki sebanyak 14 penderita 46,67. Penelitian case series Andika 2007 terhadap 30 penderita rinosinusitis maksila kronis di RSUP H. Adam malik, Medan mendapatkan 12 penderita laki- laki 40 dan 18 penderita perempuan 60. Universitas Sumatera Utara Penelitian case series Sujuthi dan Punagi 2008 di Makassar di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL FK. Universitas Hasanuddin Makassar, jumlah kasus rinologi periode tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 yaitu sebanyak 12.557 kasus dengan perbandingan antara pria dan wanita hampir sama 46 : 54. Penelitian case series Bagja dan Lasminingrum 2008 Pada penelitian di poliklinik THT-KL RS. Hasan Sadikin Bandung periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2007 didapatkan 168 penderita rinosinusitis kronis dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 82 penderita 49,08 dan perempuan 86 penderita 50,92. Penelitian case series Dewanti 2008 terhadap 118 penderita rinosinusitis kronis Dibagian THT-KL FK. UGMRS Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2006 – 2007 didapatkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 68 penderita 57,6 dan perempuan 50 penderita 42,4. Hal ini juga sesuai dengan studi yang dimuat dalam The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery menemukan bahwa infeksi sinusitis lebih banyak dialami wanita daripada pria Jones R, 2004. Banyaknya penderita rinosinusitis kronis perempuan pada penelitian ini dimungkinkan karena perempuan lebih peduli dengan keluhan sakit sehingga lebih cepat datang berobat. Universitas Sumatera Utara 5.2.2 Proporsi umur berdasarkan jumlah sinus yang terlibat melalui pemeriksaan foto polos SPN pada penderita rinosinusitis kronis Gambar 5.2.2 Proporsi umur berdasarkan sinus yang terlibat pada pemeriksaan foto polos SPN Dari gambar 5.2.2 diatas dapat diketahui proporsi penderita single rinosinusitis, lebih tinggi pada umur diatas 18 tahun 88,1 daripada umur ≤ 18 tahun 11,9. Proporsi penderita multisinusitis paling tinggi pada umur diatas 18 tahun 91,2 daripada umur ≤ 18 tahun 8,8 dan proporsi pansinusitis paling tinggi pada umur diatas 18 tahun yaitu 100. Analisis statistik dengan uji Chi-Square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 3 sel 50 expected count yang besarnya kurang dari 5. Universitas Sumatera Utara 5.2.3 Proporsi umur berdasarkan jumlah sinus yang terlibat melalui pemeriksaan CT Scan SPN pada penderita rinosinusitis kronis Gambar 5.2.3 Proporsi umur berdasarkan jumlah sinus yang terlibat melalui Pemeriksaan CT Scan SPN Dari gambar diatas dapat diketahui proporsi penderita single rinosinusitis, lebih tinggi pada umur diatas 18 tahun 88,2 daripada umur ≤ 18 tahun 11,8. Proporsi penderita multisinusitis paling tinggi pada umur diatas 18 tahun 93,7 daripada umur ≤ 18 tahun 6,3 dan proporsi pansinusitis paling tinggi pada umur diatas 18 tahun yaitu 91,3 daripada umur ≤ 18 tahun 8,7. Analisis statistik dengan uji Chi-Square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 3 sel 50 expected count yang besarnya kurang dari 5. Jumlah sinus yang terlibat pada rinosinusitis kronis baik itu single rinosinusitis, multisinusitis atau pansinusitis dapat terjadi pada semua umur, dari gambar 5.2.2 dan 5.2.3 diatas terlihat bahwa rinosinusitis kronis lebih banyak mengenai dewasa muda. Meningkat kejadian rinosinusitis kronis pada umur Universitas Sumatera Utara dewasa muda dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor lingkungan alergen, polutan, perubahan gaya hidup, pola makan serta infeksi Hellgren, 2008. 5.2.4 Proporsi jenis kelamin berdasarkan jumlah sinus yang terlibat melalui pemeriksaan foto polos SPN pada penderita rinosinusitis kronis Gambar 5.2.4 Proporsi jenis kelamin berdasarkan sinus yang terlibat pada pemeriksaan foto polos SPN Dari gambar 5.2.4 diatas dapat diketahui proporsi penderita single rinosinusitis, lebih tinggi pada perempuan 56,3 daripada laki-laki 43,7. Proporsi penderita multisinusitis paling tinggi pada perempuan 61,8 daripada laki-laki 38,2 dan proporsi pansinusitis paling tinggi pada laki-laki yaitu 100. Universitas Sumatera Utara Hal ini juga sesuai dengan studi yang dimuat dalam The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery menemukan bahwa infeksi sinusitis lebih banyak dialami wanita daripada pria Jones R, 2004. Banyaknya penderita rinosinusitis kronis perempuan pada penelitian ini dimungkinkan karena perempuan lebih peduli dengan keluhan sakit sehingga lebih cepat datang berobat. Analisis statistik dengan uji Chi-Square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 2 sel 33,3 expected count yang besarnya kurang dari 5. Universitas Sumatera Utara 5.2.5 Proporsi jenis kelamin berdasarkan jumlah sinus yang terlibat melalui pemeriksaan CT Scan SPN pada penderita rinosinusitis kronis Gambar 5.2.5 Proporsi jenis kelamin berdasarkan sinus yang terlibat pada pemeriksaan CT Scan SPN Dari gambar 5.2.5 diatas dapat diketahui proporsi penderita single rinosinusitis, lebih tinggi pada perempuan 58,8 daripada laki-laki 41,2. Proporsi penderita multisinusitis paling tinggi pada perempuan 59,4 daripada laki-laki 40,6 dan proporsi pansinusitis paling tinggi pada laki-laki yaitu 65,2 dan perempuan 34,8. Dari uji Chi-Square diperoleh nilai p = 0,155, hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara jenis kelamin berdasarkan jumlah sinus yang terlibat yang dilakukan dengan pemeriksaan CT Scan SPN. Universitas Sumatera Utara Jumlah sinus yang terlibat pada penderita rinosinusitis kronis tidak mempunyai perbedaan yang bermakna oleh adanya faktor gender, sehingga jenis kelamin laki-laki maupun perempuan dapat saja menderita single rinosinusitis, multisinusitis maupun pansinusitis. 5.2.6 Proporsi pekerjaan berdasarkan jumlah sinus yang terlibat melalui pemeriksaan foto polos SPN Gambar 5.2.6 Proporsi pekerjaan berdasarkan jumlah sinus yang terlibat pada pemeriksaan foto polos SPN. Dari gambar diatas dapat diketahui proporsi penderita single rinosinusitis, lebih tinggi pada profesi bukan IRT 70,2 daripada IRT 29,8. Proporsi penderita multisinusitis paling tinggi pada profesi bukan IRT 76,5 daripada IRT 23,5 dan proporsi pansinusitis paling tinggi pada profesi bukan IRT yaitu 100. Universitas Sumatera Utara Analisis statistik dengan uji Chi-Square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 2 sel 33,3 expected count yang besarnya kurang dari 5. 5.2.7 Proporsi pekerjaan berdasarkan jumlah sinus yang terlibat melalui pemeriksaan CT Scan SPN pada penderita rinosinusitis kronis Gambar 5.2.7 Proporsi pekerjaan berdasarkan jumlah sinus yang terlibat pada pemeriksaan CT Scan SPN. Dari gambar diatas dapat diketahui proporsi penderita single rinosinusitis, lebih tinggi pada profesi bukan IRT 88,2 daripada IRT 11,8. Proporsi penderita multisinusitis paling tinggi pada profesi bukan IRT 78,1 daripada IRT 21,9 dan proporsi pansinusitis paling tinggi pada profesi bukan IRT yaitu 60,9 daripada IRT 39,1. Universitas Sumatera Utara Dari uji Chi-Square diperoleh nilai p = 0,122, hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan proporsi yang bermakna antara jenis pekerjaan berdasarkan jumlah sinus yang terlibat yang dilakukan dengan pemeriksaan CT Scan SPN. Dari gambar 5.2.6 dan 2.5.7 terlihat bahwa lingkungan kerja berhubungkan dengan terjadinya rinosinusitis, terpapar asap atau debu dalam suatu lingkungan kerja dapat memacu terjadinya aeroalergen yang akhirnya dapat meningkatkan kejadian rinosinusitis. Hal ini sesuai dengan Hellgren J 2008 dimana lingkungan kerja mempuanyai resiko tinggi dalam terjadinya suatu rinosinusitis occupational Rhinosinusitis. 5.2.8 Proporsi jumlah sinus yang terlibat berdasarkan keluhan utama melalui pemeriksaan foto polos SPN pada penderita rinosinusitis kronis Gambar 5.2.8 Proporsi jumlah sinus yang terlibat berdasarkan keluhan utama melalui pemeriksaan foto polos SPN Universitas Sumatera Utara Dari gambar diatas dapat diketahui proporsi keluhan hidung tersumbat, lebih tinggi pada single rinosinusitis 88,5 daripada multisinusitis 11 dan pansinusitis 0,5. Keluhan bukan hidung tersumbat juga paling tinggi dijumpai pada single rinosinusitis 85,7 daripada multisinusitis 14,3 dan pansinusitis. Analisis statistik dengan uji Chi-Square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 2 sel 33,3 expected count yang besarnya kurang dari 5. 5.2.9 Proporsi jumlah sinus yang terlibat berdasarkan keluhan utama melalui pemeriksaan CT Scan SPN pada penderita rinosinusitis kronis Gambar 5.2.9 Proporsi jumlah sinus yang terlibat berdasarkan keluhan utama melalui pemeriksaan CT Scan SPN Dari gambar 5.2.9 diatas, proporsi keluhan hidung tersumbat, lebih tinggi pada multisinusitis 40,7 daripada pansinusitis 35,6 dan terendah adalah single rinosinusitis 23,7. Keluhan bukan hidung tersumbat juga paling tinggi Universitas Sumatera Utara dijumpai pada multisinusitis 61,5 daripada single rinosinusitis dan pansinusitis. Analisis statistik dengan uji Chi-Square tidak memenuhi syarat untuk dilakukan karena terdapat 2 sel 33,3 expected count yang besarnya kurang dari 5. Dari gambar 5.2.8 dan 5.2.9 keluhan hidung tersumbat merupakan salah satu faktor presdiposisi terjadinya rinosinusitis kronis. Hidung tersumbat biasanya akibat edema selaput lendir konka yang disebabkan oleh alergi serta infeksi sekunder sebelum terjadinya rinosinusitis. Penyebab lain hidung tersumbat bisa dikarenakan oleh deviasi septum, hipertrofi konka, polip kavum nasi, tumor hidung Ballenger, 1994; Higler, 1997. Keluhan yang paling sering dijumpai pada rinosinusitis kronis adalah hidung tersumbat dan sakit kepala. Sakit kepala adalah tanda yang paling umum dan paling penting pada penderita sinusitis Ballenger, 1994; Higler, 1997. Universitas Sumatera Utara 5.2.10 Proporsi jumlah sinus yang terlibat pada penderita rinosinusitis kronis yang sama-sama dilakukan pemeriksaan foto polos SPN dan CT Scan SPN Gambar 5.2.10 Proporsi jumlah sinus yang terlibat pada penderita rinosinusitis kronis yang sama-sama dilakukan pemeriksaan foto polos SPN dan CT Scan SPN Dari gambar diatas dapat diketahui proporsi penderita single rinosinusitis, lebih tinggi pada pemeriksaan foto polos SPN 79,4 daripada pemeriksaan CT Scan SPN 20,6. Proporsi penderita multisinusitis paling tinggi pada pemeriksaan CT Scan SPN 73,7 daripada foto polos SPN 26,3 dan proporsi pansinusitis paling tinggi pada pemeriksaan CT Scan SPN 95,8 daripada foto polos SPN 4,2. Dari gambar dijumpai perbedaan, dimana dengan menggunakan foto polos SPN penderita single rinosinusitis lebih banyak dijumpai, sedangkan dengan menggunakan pemeriksaan CT Scan SPN penderita pansinusitis dan multisinusitis lebih banyak dijumpai, hal ini berkaitan dengan sensitifitas pemeriksaan radiologi, dimana CT-Scan SPN lebih sensitif dibandingkan Universitas Sumatera Utara dengan pemeriksaan foto polos SPN sehingga keterlibatan sinus paranasal lebih jelas terlihat dibandingkan dengan foto polos SPN. Kolawole, 2008 Dari uji Chi-Square diperoleh nilai p = 0,00, hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna antara jumlah sinus yang terlibat pada penderita rinosinusitis kronis yang dilakukan pemeriksaan foto polos SPN dan CT Scan SPN. Universitas Sumatera Utara BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan