1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan diatas, dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu belum diketahuinya karakteristik penderita
rinosinusitis kronis di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera UtaraRSUP H. Adam Malik-Medan.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui karakteristik penderita rinosinusitis kronis di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP H. Adam
Malik-Medan pada periode 1 Januari 2008 sampai dengan 31 Desember 2008.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengetahui proporsi penderita rinosinusitis kronis berdasarkan umur. b. Mengetahui proporsi penderita rinosinusitis kronis berdasarkan jenis
kelamin. c. Mengetahui proporsi penderita rinosinusitis kronis berdasarkan pekerjaan.
d. Mengetahui proporsi penderita rinosinusitis kronis berdasarkan keluhan utama.
e. Mengetahui proporsi penderita rinosinusitis berdasarkan jumlah sinus yang terlibat melalui foto polos sinus paranasal.
f. Mengetahui proporsi penderita rinosinusitis berdasarkan jumlah sinus yang terlibat melalui CT–Scan hidung sinus paranasal.
Universitas Sumatera Utara
g. Mengetahui proporsi penderita rinosinusitis kronis berdasarkan penatalaksanaan di RSUP H. Adam Malik-Medan.
h. Mengetahui proporsi penderita rinosinusitis kronis berdasarkan tindakan operasi di RSUP H. Adam Malik-Medan.
i. Mengetahui proporsi umur berdasarkan jumlah sinus yang terlibat melalui pemeriksaan foto polos SPN pada penderita rinosinusitis kronis.
j. Mengetahui proporsi umur berdasarkan jumlah sinus yang terlibat melalui pemeriksaan CT Scan SPN pada penderita rinosinusitis kronis.
k. Mengetahui proporsi jenis kelamin berdasarkan jumlah sinus yang terlibat melalui pemeriksaan foto polos SPN pada penderita rinosinusitis kronis.
l. Mengetahui proporsi jenis kelamin berdasarkan jumlah sinus yang terlibat melalui pemeriksaan CT Scan SPN pada penderita rinosinusitis kronis.
m. Mengetahui proporsi pekerjaan berdasarkan jumlah sinus yang terlibat melalui pemeriksaan foto polos SPN pada penderita rinosinusitis kronis.
n. Mengetahui proporsi pekerjaan berdasarkan jumlah sinus yang terlibat melalui pemeriksaan CT Scan SPN pada penderita rinosinusitis kronis.
o. Mengetahui proporsi keluhan utama berdasarkan jumlah sinus yang terlibat melalui pemeriksaan foto polos SPN pada penderita rinosinusitis kronis.
p. Mengetahui proporsi keluhan utama berdasarkan jumlah sinus yang terlibat melalui pemeriksaan CT Scan SPN pada penderita rinosinusitis kronis.
q. Mengetahui proporsi jumlah sinus yang terlibat pada penderita rinosinusitis kronis yang sama-sama dilakukan pemeriksaan foto polos SPN dan CT Scan
SPN.
Universitas Sumatera Utara
1.4 Manfaat Penelitian
A. Memberikan informasi tentang gambaran tatalaksana penderita rinosinusitis kronis yang paling sering dilakukan di RSUP H. Adam Malik, Medan.
B. Sebagai bahan untuk pengembangan keilmuan dibidang Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok dan Bedah Kepala Leher.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi Rinosinusitis
Kronis
Rinosinusitis kronis adalah inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari
12 minggu, dan sesuai dengan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor ditambah 2 kriteria minor Stankiewicz, 2001; Busquets, 2006; Soetjipto, 2006; Setiadi M,
2009.
Gejala Mayor: nyeri sinus, hidung buntu, ingus purulen, post nasal drip, gangguan penghidu, Sedangkan Gejala Minor: nyeri kepala, nyeri geraham,
nyeri telinga, batuk, demam, halitosis. Judith, 1996; Becker 2003; Soetjipto, 2006; Setiadi M, 2009.
Sesuai anatomi sinus yang terkena, sinusitis dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid. Bila
mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis Mangunkusumo dan Rifki, 2000.
Sinusitis yang paling sering ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid lebih jarang
Mangunkusumo dan Rifki, 2000.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Anatomi Sinus Paranasal
2.2.1 Sinus Maksila
Pada waktu lahir sinus maksila hanya berupa celah kecil disebelah medial orbita. Mula-mula dasarnya lebih tinggi daripada dasar rongga hidung,
kemudian terus mengalami penurunan, sehingga pada usia 8 tahun menjadi sama tinggi Ballenger, 1994.
Perkembangannya berjalan kearah bawah, bentuk sempurna terjadi setelah erupsi gigi permanen. Perkembangan maksimum tercapai antara usia 15
dan 18 tahun. Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal yang terbesar, bentuk piramid ireguler dengan dasarnya menghadap ke fosa
nasalis dan puncaknya kearah apeks prosessus zygomaticus os maksila. Menurut Moris pada buku anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata pada bayi baru lahir
7–8 x 4–6 mm dan untuk usia 15 tahun 31–32 x 18–20 x 19–20 mm. Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6–8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa Ballenger, 1994; Soetjipto
dan Mangunkusumo, 2000. Perdarahan pada sinus maksila meliputi cabang arteri maksilaris
termasuk infraorbita, cabang lateral nasal dari arteri sfenopalatina, arteri greater palatine serta anterior superior dan posterior dari arteri alveolaris, sedangkan
vena yang mendarahinya adalah vena maksilaris yang berhubungan dengan plexus vena pterygoid Amedee, 1993.
Universitas Sumatera Utara
Sinus maksila ini mendapat persarafan dari nervus maksilaris V2 yang mempersarafi sensasi dari mukosa dibagian lateroposterior nasal dan cabang
superior alveolar dari nervus infraorbita Amedee, 1993.
Sinus maksila mempunyai beberapa dinding yaitu:
a. Dinding medial atau dasar antrum dibentuk oleh lamina vertikalis os
palatum, prosesus unsinatus os etmoid, prosesus maksilaris konka inferior dan sebagian kecil os maksilaris. Dinding medial sinus maksila
merupakan dinding lateral hidung dimana terdapat ostium sinus yang menghubungkan sinus maksila dengan infundibulum ethmoid. Ostium
ini terletak pada bagian superior dari dinding medial, biasanya pada pertengahan posterior dari infundibulum, sekitar 9 mm ke arah posterior
duktus nasolakrimalis. Ujung posterior dari ostium berlanjut ke lamina papyracea dari tulang etmoid Miller dan Amedee, 1998.
b. Dinding atas memisahkan rongga sinus dengan orbita terdiri dari tulang
yang tipis yang dilewati oleh kanalis infra orbitalis Ballenger, 1994. c.
Dinding posterior–inferior atau dasarnya biasanya paling tebal dan dibentuk oleh bagian alveolar os maksila atas dan bagian luar palatum
durum. Dinding posterior memisahkan sinus dari fossa infratemporal dan fossa pterigomaksila Ballenger, 1994.
d. Dinding anterior terbentuk dari fasia fasialis maksila yang berhadapan
dengan fossa kanina dan memisahkan sinus dari kulit pipi Ballenger, 1994.
Universitas Sumatera Utara
e. Dasar dari sinus dibentuk oleh prosesus alveolaris maksila. Pada anak
letaknya sekitar 4 mm diatas dasar cavum nasi , dan pada dewasa letaknya 4- 5 mm dibawah dasar cavum nasi Miller dan Amedee,
1998. Proses supuratif yang terjadi disekitar gigi ini dapat menjalar ke mukosa
sinus melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan ronggga sinus yang akan mengakibatkan
sinusitis Ballenger, 1994. Anomali fasial atau sinus yang besar dapat juga menyebabkan sinusitis kronis Medina, 1999.
2.2.2 Sinus Frontal
Perkembangan sinus frontal dimulai pada bulan keempat kehamilan kemudian berkembang kearah atas dari hidung pada bagian frontal reses
Amedee, 1993. Sinus ini jarang tampak pada pemeriksaan rontgen hingga tahun kedua
setelah kelahiran, kemudian sinus ini berkembang secara lambat kearah vertikal pada tulang frontal dan telah lengkap pada usia remaja Amedee, 1993.
Sekitar 5 dari populasi mengalami kegagalan pertumbuhan dari sinus ini. Ukuran sinus frontal pada orang dewasa sekitar 28 x 27 x 17 mm dengan
volume 6 sampai 7 ml. Amedee, 1993. Perdarahan pada sinus frontal meliputi cabang supra troklear dan
supraorbital dari arteri optalmikus dan melalui vena superior optalmikus yang mengalir kedalam sinus kavernosus Amedee, 1993; Marks, 2000.
Universitas Sumatera Utara
Sensasi mukosa sinus frontal ini mendapati persarafan dari percabangan supratroklear nervus frontal yang berasal dari nervus optalmikus V1 Amedee,
1993; Marks, 2000. Sinus frontal terletak pada tulang frontal dibatas atas supraorbital dan
akar hidung. Sinus ini dibagi dua oleh sekat secara vertikal dibatas midline dengan ukuran masing-masing yang bervariasi. Sinus frontal sangat
berhubungan erat dengan tulang etmoid anterior Amedee, 1993. Dinding posterior dari sinus ini melebar secara inferior obliq dan
posterior dimana nantinya akan bertemu dengan atap dari orbita. Ostium alami dari sinus ini terletak di anteromedial dari dasar sinus. Sel-sel infraorbita bisa
terobstruksi dan membentuk mukokel yang terisolasi dari ostium dan sinus etmoid Murray, 1989; Maran, 1990; Marks, 2000.
2.2.3 Sinus Etmoid
Sel-sel etmoid mulai terbentuk pada bulan ketiga dan keempat setelah kelahiran yang merupakan invaginasi dari dinding lateral hidung pada daerah
meatus medial etmoid anterior dan meatus superior etmoid posterior. Saat setelah lahir, biasanya tiga atau empat sel baru tampak Amedee, 1993; Marks,
2000. Secara embriologis, sinus etmoid ini terbentuk dari lima etmoturbinal.
Kelima bagian tersebut yakni unsinatus, bula etmoid basal lamella ground lamella, konka superior dan konka suprema Amedee, 1993; Marks, 2000.
Sel-sel sinus etmoid ini akan tumbuh secara cepat sehingga pada usia dewasa mencapai ukuran 20 x 22 x 10 mm pada kelompok sel anterior dan 20 x
Universitas Sumatera Utara
20 x 10 mm pada kelompok sel posterior. Sel-sel etmoid ini biasanya mengandung 10–15 sel persisi dengan total volume 14–15 ml Amedee, 1993;
Marks, 2000. Perdarahan pada sinus etmoid meliputi cabang arteri sfenopalatina, arteri
etmoidalis anterior dan posterior, cabang arteri optalmikus dari arteri karotis interna. Sedangkan aliran vena berasal dari vena maksilaris dan etmoidalis yang
mengalir kedalam sinus kavernosus Amedee, 1993. Inervasi persarafan dari sinus etmoid ini berasal dari cabang
posterolateral hidung dari nervus maksilaris V2 dan cabang nervus etmoidalis dari nervus optalmikus V1 Amedee, 1993.
Anatomi dari sinus etmoid ini cukup kompleks, bervariasi dan merupakan subjek penelitian yang baik. Sinus etmoid memiliki dinding yang
tipis dengan jumlah dan ukuran yang bervariasi. Pada bagian lateral berbatasan dengan dinding medial orbita lamina papyracea dan bagian medial dari kavum
nasi Murray, 1989; Maran, 1990; Marks, 2000. Sinus ini terletak di inferior dari fossa kranial anterior dekat dengan
midline. Beberapa sel melebar mengelilingi frontal sfenoid dan tulang maksila. Kelompok sel anterior kecil-kecil dan banyak, drainasenya melalui meatus
media, sedangkan sel-sel posterior drainasenya melalui meatus superior Murray, 1989; Maran, 1990; Marks, 2000.
2.2.4 Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid mulai berkembang saat bulan ketiga setelah kelahiran yang merupakan invaginasi dari mukosa bagian superior posterior dari kavum nasi,
yang juga dikenal sebagai sphenoethmoidal recess Amedee, 1993.
Universitas Sumatera Utara
Pneumatisasi sfenoid ini terjadi selama pertengahan usia kanak-kanak dan mengalami pertumbuhan yang cepat saat berusia 7 tahun. Sinus ini
mengalami pertumbuhan maksimal dan terhenti setelah berusia 12 sampai 15 tahun Amedee, 1993.
Sinus sfenoid kiri dan kanan yang asimetris tersebut dibagi oleh septum intersinus. Ukuran sinus ini sekitar 2,5 x 2,5 x 1,5 mm pada tahun pertama dan
14 x 14 x 12 mm saat berusia 15 tahun. Kapasitas sinus berkisar 7,5 ml Amedee, 1993.
Perdarahan sinus sfenoid meliputi cabang arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior, sedangkan aliran vena berasal dari vena maksilaris dan
pleksus pterigoid Amedee, 1993. Inervasi persarafan dari sinus sfenoid ini berasal dari cabang nervus
etmoidalis posterior dari nervus optalmikus V1, dan cabang nasal dan sfenopalatina dari nervus maksilaris Amedee, 1993.
Sinus sfenoid ini pada bagian dinding lateralnya berbatasan dengan arteri karotis interna, nervus optikus dan vena kavernosa serta sinus interkavernosus.
Pada daerah ini juga terdapat bagian ketiga, keempat opthalmikus dan maksilaris dari nervus kranialis kelima dan keenam Murray, 1989; Maran, 1990.
Dibagian superior terletak lobus frontalis dan bagian olfaktori. Dibagian posterior terdapat fosa pituitari. Nervus dan pembuluh darah sfenopalatina
terletak didepan dari sinus sfenoid ini, sedangkan nervus vidianus terletak dibagian inferiornya Murray, 1989; Maran, 1990.
Universitas Sumatera Utara
2.3 Fisiologi Sinus Paranasal
Fungsi dari sinus paranasal masih belum diketahui dengan pasti dan masih belum ada persesuaian pendapat. Ada yang berpendapat bahwa sinus
paranasal tidak mempunyai fungsi apa-apa karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka Ramalinggam dan Sreeramamoorthy, 1990;
Soetjipto dan mangunkusumo, 2000. Namun karena berhubungan langsung dengan hidung, maka sinus dapat
membantu resonansi suara, penciuman, membersihkan, menghangatkan, melembabkan udara inspirasi, dan merubah udara pernafasan. Kebanyakan
penulis masih ragu-ragu dan menyatakan bahwa sinus paranasal hanya berpengaruh sedikit, terutama hanya bila menderita sakit Soetjipto dan
Mangunkusumo, 2000; Karen dan Edmund, 2010. Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal:
2.3.1 Sebagai pengatur kondisi udara air coditioning
Sinus yang berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembapan udara inspirasi. Namun teori ini mendapat
sanggahan, sebab ternyata tidak didapati pertukaran udara yang defenitif antara sinus dan rongga hidung Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000.
Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 11000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan
beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus, lagi pula mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar sebanyak mukosa
hidung Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000.
Universitas Sumatera Utara
2.3.2 Sebagai penahan suhu thermal insulators
Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan buffer panas, melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang
berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak diantara hidung dan organ-organ yang dilindungi Soetjipto dan
Mangunkusumo, 2000. 2.3.3 Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang,
hanya akan memberikan penambahan berat sebesar 1 dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna Soetjipto dan
Mangunkusumo, 2000. 2.3.4 Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara, akan tetapi ada yang berpendapat,
posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif, lagipula tidak ada korelasi antara resonansi suara
dan besarnya sinus pada hewan tingkat rendah Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000.
Universitas Sumatera Utara
2.3.5 Sebagai peredam perubahan tekanan udara Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan
mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000.
2.3.6 Membantu produksi mukus Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya
kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi
karena mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis Soetjipto dan Mangunkusumo, 2000.
2.4 Patofisiologi Rinosinusitis Kronis
Pada umumnya penyebab rinosinusitis adalah rinogenik, yang merupakan perluasan infeksi dari hidung Hilger, 1997.
Walaupun gejala klinis yang dominan merupakan manifestasi gejala infeksi dari sinus frontal dan maksila, tetapi kelainan dasarnya tidak pada sinus-
sinus itu sendiri melainkan pada dinding lateral rongga hidung Mangunkusumo, 2000.
Kompleks ostiomeatal KOM atau celah sempit di etmoid anterior yang merupakan serambi muka bagi sinus maksila dan frontal memegang peranan
penting dalam terjadinya sinusitis. Bila terdapat gangguan didaerah KOM
Universitas Sumatera Utara
seperti peradangan, udema atau polip maka hal itu akan menyebabkan gangguan drainase sehingga terjadi sinusitis Mangunkusumo, 2000.
Bila ada kelainan anatomi seperti deviasi atau spina septum, konka bulosa atau hipertrofi konka media, maka celah yang sempit itu akan bertambah
sempit sehingga memperberat gangguan yang ditimbulkannya Mangunkusumo, 2000.
Infundibulum etmoid dan resesus frontal yang termasuk bagian dari KOM, berperan penting pada patofisiologi sinusitis. Permukaan mukosa
ditempat ini berdekatan satu sama lain dan transportasi lendir pada celah yang sempit ini dapat lebih efektif karena silia bekerja dari dua sisi atau lebih
Mangunkusumo, 1999; Nizar, 2000. Apabila terjadi udema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu
sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan, maka akan terjadi gangguan drainase dan ventilasi sinus maksila dan frontal. Karena
gangguan ventilasi, maka akan terjadi penurunan pH dalam sinus, silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi menjadi lebih kental sehingga
merupakan media yang baik untuk tumbuh kuman patogen Busquets, 2006; Mangunkusumo, 1999; Nizar, 2000; Wilma, 2007.
Menurut Sakakura 1997, Patogenesis dari rinosinusitis kronis berawal dari adanya suatu inflamasi dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya mediator
diantaranya vasoactive amine, proteases, arachidonic acid metabolit, imune complek, lipolisaccharide dan lain-lain Sakakura, 1997; Katsuhisa, 2001.
Universitas Sumatera Utara
Hal tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan mukosa hidung dan akhirnya menyebabkan disfungsi mukosiliar yang mengakibatkan stagnasi
mukos dan menyebabkan bakteri semakin mudah untuk berkolonisasi dan infeksi inflamasi akan kembali terjadi Sakakura, 1997; Katsuhisa, 2001.
Bakteri dapat berkembang menjadi kuman patogen bila lingkungannya sesuai. Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi lendir,
sehingga bakteri anaerob akan berkembang baik Mangunkusumo, 1999; Nizar, 2000.
Bakteri juga akan memproduksi toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi perubahan jaringan menjadi hipertropi, polipoid atau
terbentuk polip dan kista Mangunkusumo, 1999; Nizar, 2000. Kuman didalam sinus dapat berasal dari rongga hidung sebelum ostium
tertutup ataupun merupakan kuman komensal didalam rongga sinus Massudi, 1996.
Virus dan bakteri yang masuk kedalam mukosa akan menembus kedalam submukosa, yang diikuti adanya infiltrasi sel polimorfonuklear, sel
mast dan limfosit, kemudian akan diikuti lepasnya zat-zat kimia seperti histamin dan prostaglandin. Zat-zat kimia ini akan menyebabkan vasodilatasi kapiler,
sehingga permeabilitas pembuluh darah meningkat dan terjadilah udema di submukosa Massudi, 1996.
Selain virus dan bakteri sebagai penyebab infeksi pada peradangan rongga sinus juga dipengaruhi oleh faktor predisposisi lokal dan sistemik
Massudi, 1996.
Universitas Sumatera Utara
Faktor predisposisi lokal antara lain: septum deviasi, udemahipertrofi konka, rinitis alergirinitis vasomotor, barotrauma, korpus alienum, rinolit dan
sebagainya. Sedang faktor predisposisi sistemik yang mempengaruhi adalah: infeksi saluran nafas atas oleh karena virus, keadaan umum yang lemah,
malnutrisi, DM yang tidak terkontrol dan iritasi udara sekitar Massudi, 1996. Faktor yang lebih penting untuk diketahui dan merupakan dasar
patofisiologi terjadinya infeksi sinus adalah: adanya gangguan dari mukosa sinus, mukosa osteum sinus dan sekitarnya komplek ostiomeatal Massudi,
1996. Infeksi saluran nafas atas menyebabkan terjadinya reaksi peradangan
pada mukosa hidung, mukosa sinus termasuk juga mukosa ostium sinus. Keadaan ini akan mempersempit ostium sinus yang secara keseluruhan sudah
sempit dan letaknya tersembunyi atau bahkan menyebabkan obstruksi ostium Massudi, 1996.
Oksigen yang ada dalam rongga sinus akan diresorbsi oleh kapiler submukosa sehingga terjadi hipoksia dan tekanan oksigen yang rendah didalam
rongga sinus. Keadaan hipooksigen juga akan menyebabkan vasodilatasi kapiler di submukosa, permeabilitas pembuluh darah meningkat dan terjadilah proses
transudasi Facer dan Kern, 1993 ; Massudi, 1996. Transudat yang terbentuk sebagian diresorbsi oleh submukosa sehingga
akan menambah udema submukosa dan sebagian lagi akan terperangkap didalam rongga sinus. Tekanan oksigen yang rendah juga akan mengganggu
Universitas Sumatera Utara
fungsi sinus dimana kelumpuhan gerak silia ini akan menambah timbunan transudat didalam rongga sinus Facer dan Kern, 1993 ; Massudi, 1996.
Transudat yang tertimbun, kadar oksigen yang terendah, gerak silia yang berkurang dan sempitnya ostium merupakan kondisi yang baik untuk
pertumbuhan kuman Facer dan Kern, 1993 ; Massudi, 1996. Rinosinusitis kronis berbeda dari rinosinusitis akut dalam berbagai
aspek. Rinosinusitis kronis umumnya sukar disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa saja. Harus dicari faktor penyebab dan faktor predisposisinya.
Mangunkusumo dan Rifki, 2000. Polusi bahan kimia menyebabkan silia rusak, sehingga terjadi perubahan
mukosa hidung. Perubahan mukosa hidung juga dapat disebabkan alergi dan defisiensi imunologik. Perubahan mukosa hidung akan mempermudah
terjadinya infeksi dan infeksi menjadi kronis apabila pengobatan pada sinusitis akut tidak sempurna Mangunkusumo dan Rifki, 2000.
Adanya infeksi akan menyebabkan edema konka, sehingga drainase sekret akan terganggu. Drainase sekret yang terganggu dapat menyebabkan silia
rusak dan seterusnya Mangunkusumo dan Rifki, 2000.
2.5 Patologi Rinosinusitis