BAB 5 PEMBAHASAN
Pada penelitian yang dilakukan di Departemen THT-KL FK USU bagian Rekam Medik RSUP H. Adam Malik didapatkan data penderita rinosinusitis kronis pada Tahun
2008 sebanyak 296 penderita.
5.1 Analisis Univariat
5.1.1 Proporsi penderita rinosinusitis kronis berdasarkan kelompok umur tercatat yang berobat ke RSUP H Adam Malik tahun 2008
Gambar 5.1.1 Penderita rinosinusitis kronis berdasarkan kelompok umur Dari gambar 5.1.1 Proporsi tertinggi penderita rinosinusitis kronis
terdapat pada kelompok umur 28 – 35 tahun sebanyak 61 penderita 20,61 dan kelompok umur 44 – 51 tahun sebanyak 49 penderita 16,55.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini sesuai dengan penelitian case series Iriani dkk 1996 pada penelitiannya terhadap 118 penderita rinosinusitis kronis di Departemen THT-
KL FK UNHAS Ujung Pandang menjumpai rinosinusitis kronis terbanyak pada kelompok umur 16-30 tahun sebesar 55,1.
Penelitian cross sectional Muyassaroh dan Supriharti 1999 terhadap 52 pasien rinosinusitis kronis yang berobat ke SMF THT-KL RSUD Dr. Kariadi
Semarang mendapatkan kelompok terbanyak pada umur 20-29 tahun sebesar 26,9.
Penelitian case series Elfahmi 2001 terhadap 40 penderita rinosinusitis kronis, didapatkan kelompok umur terbanyak adalah 35-44 tahun sebanyak
30. Penelitian case series Kurnia 2002 terhadap 40 penderita rinosinusitis
kronis di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan penderita terbanyak pada kelompok umur 25-34 tahun sebanyak 14 penderita 40.
Penelitian case series Yuhisdiarman 2004 terhadap 35 penderita rinosinusitis kronis mendapatkan kelompok umur terbanyak adalah 35-44
tahun sebesar 34,3. Penelitian cross sectional Triolit 2004 terhadap 30 penderita
rinosinusitis kronis di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan kelompok umur terbanyak adalah 38-47 tahun sebanyak 36,6.
Dari beberapa data diatas terlihat bahwa rinosinusitis kronis lebih banyak mengenai dewasa muda. Menurut Hellgren 2008, meningkat kejadian
rinosinusitis kronis pada umur dewasa muda dipengaruhi oleh berbagai faktor,
Universitas Sumatera Utara
antara lain faktor lingkungan alergen, polutan, perubahan gaya hidup, pola makan serta infeksi.
5.1.2 Proporsi penderita rinosinusitis kronis berdasarkan umur tercatat yang berobat ke RSUP H. Adam Malik tahun 2008
Gambar 5.1.2 Penderita rinosinusitis kronis berdasarkan umur Dari gambar 5.1.2 diatas didapat bahwa proporsi tertinggi penderita
rinosinusitis kronis terdapat pada umur 18 tahun 88,18 dan terendah pada kelompok umur 18 tahun 11,82.
Universitas Sumatera Utara
5.1.3 Proporsi penderita rinosinusitis kronis berdasarkan jenis kelamin tercatat yang berobat ke RSUP H Adam Malik tahun 2008
Gambar 5.1.3 Penderita rinosinusitis kronis berdasarkan jenis kelamin Dari gambar diatas juga didapatkan bahwa proporsi penderita
rinosinusitis kronis lebih banyak dijumpai pada jenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 57,09 sedangkan laki-laki sebanyak 42,91.
Beberapa penelitian lain sebelumnya terhadap rinosinusitis kronis juga mendapatkan jumlah penderita lebih banyak perempuan. Hal ini sesuai dengan
penelitian case series Nuutien 1993 terhadap 150 penderita rinosinusitis kronis didapatkan perempuan sebanyak 83 penderita 55,3 dan laki-laki sebanyak 67
penderita 44,7. Penelitian cross sectional Muyassaroh dan Suprihariharti 1999 terhadap
terhadap 52 pasien rinosinusitis kronis yang berobat ke SMF THT-KL RSUD Dr. Kariadi Semarang mendapatkan jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki 29
penderita 55,8 dan perempuan sebanyak 23 penderita 44,2.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian case series Elfahmi 2001 pada penelitiannya terhadap 40 penderita rinosinusitis kronis, didapatkan jenis kelamin perempuan sebanyak 19
penderita 47,5 dan laki-laki sebanyak 21 penderita 52,5. Penelitian case series Kurnia 2002 terhadap 40 penderita rinosinusitis
kronis di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan perempuan lebih banyak daripada laki-laki, dimana perempuan 21 penderita 52,5 dan laki-laki 19
penderita 47,5. Penelitian case series Yuhisdiarman 2004 terhadap 35 penderita
rinosinusitis kronis mendapatkan jenis kelamin terbanyak adalah perempuan sebesar 20 penderita 57,2 dan laki-laki 15 penderita 42,8.
Penelitian cross sectional Triolit 2004 terhadap 30 penderita rinosinusitis kronis di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan penderita
perempuan sebanyak 16 penderita 53,3 dan laki-laki sebanyak 14 penderita 46,67.
Penelitian case series Andika 2007 terhadap 30 penderita rinosinusitis maksila kronis di RSUP H. Adam malik, Medan mendapatkan 12 penderita laki-
laki 40 dan 18 penderita perempuan 60. Penelitian case series Sujuthi dan Punagi 2008 di Makassar di Bagian
Ilmu Kesehatan THT-KL FK. Universitas Hasanuddin Makassar, jumlah kasus rinologi periode tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 yaitu sebanyak 12.557
kasus dengan perbandingan antara pria dan wanita hampir sama 46 : 54. Penelitian case series Bagja dan Lasminingrum 2008 Pada penelitian di
poliklinik THT-KL RS. Hasan Sadikin Bandung periode Januari 2007 sampai dengan Desember 2007 didapatkan 168 penderita rinosinusitis kronis dengan
Universitas Sumatera Utara
jenis kelamin laki-laki sebanyak 82 penderita 49,08 dan perempuan 86 penderita 50,92.
Penelitian case series Dewanti 2008 terhadap 118 penderita rinosinusitis kronis Dibagian THT-KL FK. UGMRS Dr. Sardjito Yogyakarta
tahun 2006 – 2007 didapatkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 68 penderita 57,6 dan perempuan 50 penderita 42,4.
Hal ini juga sesuai dengan studi yang dimuat dalam The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery menemukan bahwa infeksi
sinusitis lebih banyak dialami wanita daripada pria Jones R, 2004. Banyaknya penderita rinosinusitis kronis perempuan pada penelitian ini
dimungkinkan karena perempuan lebih peduli dengan keluhan sakit sehingga lebih cepat datang berobat.
5.1.4 Proporsi penderita rinosinusitis kronis berdasarkan pekerjaan yang tercatat yang berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2008
Gambar 5.1.4 Penderita rinosinusitis kronis berdasarkan pekerjaan
Universitas Sumatera Utara
Pada gambar diatas didapati proporsi penderita rinosinusitis kronis terbanyak dijumpai pada IRT Ibu Rumah Tangga sebesar 28,7 , diikuti oleh
PNS Pensiunan PNS sebesar 21,3. Hal ini sesuai dengan penelitian case series Pujiwati 2006 terhadap 80
orang pekerja, dimana yang menderita rinosinusitis kronis akibat kerja sebanyak 35 orang 43,8.
Tingginya kejadian rinosinusitis kronis akibat pekerjaan dikarenakan terpapar polutan atau zat-zat iritan yang berpotensi terhadap kepekaan
aeroallergens dan berbagai polutan tersebut menginduksi pembengkakan konka konka hiopertrofi yang dapat merusak sistem mukosiliar hidung Hellgren J;
2008. Ibu Rumah Tangga sering dihadapkan kepada pekerjaan-pekerjaan
rumah tangga, sering terpapar asap atau debu yang dapat memacu terjadinya aeroalergen yang akhirnya dapat meningkatkan kejadian rinosinusitis. Hal ini
sesuai dengan Hellgren J 2008 dimana lingkungan kerja mempuanyai resiko tinggi dalam terjadinya suatu rinosinusitis Occupational Rhinosinusitis.
Universitas Sumatera Utara
5.1.5 Proporsi penderita rinosinusitis kronis berdasarkan keluhan utama tercatat yang berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2008
Gambar 5.1.5 Penderita rinosinusitis kronis berdasarkan keluhan utama Pada gambar diatas proporsi keluhan utama terbanyak pada penderita
rinosinusitis kronis adalah hidung tersumbat sebesar 75,3 diikuti sakit kepala sebesar 18,2 .
Dari data diatas menunjukkan bahwa hasil yang didapatkan tidak berbeda jauh dari penelitian-penelitian sebelumnya seperti penelitian case series Kurnia
2002 terhadap 40 penderita rinosinusitis kronis di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan keluhan utama rinosinusitis kronis yang terbanyak adalah
hidung tersumbat 38 penderita 95. Penelitian cross sectional Triolit 2004 terhadap 30 penderita
rinosinusitis kronis di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan Keluhan utama terbanyak adalah hidung tersumbat sebanyak 18 penderita 60 diikuti
sakit kepala sebanyak 12 penderita 40.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian case series Andika 2007 terhadap 30 penderita rinosinusitis maksila mendapatkan keluhan utama terbanyak adalah hidung tersumbat
sebanyak 19 penderita 63,4. Penelitian case series Dewanti 2008 terhadap 118 penderita
rinosinusitis kronis Dibagian THT-KL FK. UGMRS Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2006 – 2007 didapatkan gejala klinis yang terbanyak ditemukan adalah
hidung tersumbat sebanyak 65 kasus 55,1. Hidung tersumbat merupakan salah satu faktor presdiposisi terjadinya
rinosinusitis kronis. Hidung tersumbat biasanya akibat edema selaput lendir konka yang disebabkan oleh alergi serta sekret yang mengental karena infeksi
sekunder sebelum terjadinya rinosinusitis. Penyebab lain hidung tersumbat bisa dikarenakan oleh deviasi septum, hipertrofi konka, polip kavum nasi, tumor
hidung. Ballenger, 1994; Higler, 1997. Keluhan yang paling sering dijumpai pada rinosinusitis kronis adalah
hidung tersumbat dan sakit kepala. Sakit kepala adalah tanda yang paling umum dan paling penting pada penderita sinusitis. Ballenger, 1994 dan Higler, 1997
Universitas Sumatera Utara
5.1.6 Proporsi jumlah sinus yang terlibat berdasarkan foto polos SPN pada penderita rinosinusitis kronis yang berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2008
Gambar 5.1.6 Jumlah sinus yang terlibat berdasarkan foto polos SPN Dari gambar 5.1.6 diatas dengan pemeriksaan foto polos SPN terlihat
bahwa yang paling banyak terlibat adalah single rinosinusitis sebesar 87,8 dan paling rendah adalah pansinusitis sebesar 0,4.
Single rinosinusitis berhubungan erat dengan keterlibatan sinus maksila. Keterlibatan sinus maksila juga cukup besar pada penderita rinosinusitis kronis,
sehingga dibeberapa penelitian juga mendapatkan hasil yang sama. Dewanti 2008 pada penelitiannya terhadap 118 penderita rinosinusitis kronis dibagian
THT-KL FK. UGMRS Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2006 – 2007 mendapatkan, sinus yang paling sering terlibat adalah maksila 68 kasus 57,6.
Hal ini juga sesuai dengan penelitian retrospectif Ogunleye et al 1999 di ENT. Department, University College Hospital, Ibadan Nigeria pada
penelitiannya terhadap 90 penderita rinosinusitis kronis dijumpai single
Universitas Sumatera Utara
rinosinusitis sebesar 56, multisinusitis 29 dan pansinusitis 15 dimana semua kasus single rinosinusitis rinosinusitis maksilaris.
Penelitian retrospectif analysis Sogebi et al 2008 di Olabisi Onabanjo University Teaching Hospital dari 110 pasien rinosinusitis kronis, 72,08
menderita single rinosinusitis, 22,79 multisinusitis, dan 5,13 menderita pansinusitis.
Sinus maksila merupakan sinus yang paling sering terinfeksi, oleh karena merupakan sinus paranasal yang terbesar dan letak ostiumnya lebih tinggi dari
dasar sinus. sehingga aliran sekret drainase dari sinus maksila sangat tergantung dari gerakan silia. Dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi
prosesus sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila dan ostium sinus maksila terletak di meatus medius, di sekitar hiatus semilunaris yang
sempit sehingga mudah tersumbat
.
Namun penelitian lain menemukan lokasi rinosinusitis terbanyak adalah sinus etmoidalis anterior 93.3 Gerek 1996;
Ballenger, 1997.
Universitas Sumatera Utara
5.1.7 Proporsi jumlah sinus yang terlibat berdasarkan CT Scan SPN pada penderita rinosinusitis kronis yang berobat ke RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2008
Gambar 5.1.7 Jumlah sinus yang terlibat berdasarkan CT Scan SPN sDari gambar 5.1.7 diatas dengan pemeriksaan CT Scan SPN terlihat
bahwa yang paling banyak terlibat adalah multisinusitis sebesar 44,4 dan paling rendah adalah single rinosinusitis sebesar 23,6.
Hal ini juga berkaitan dengan sensitifitas pemeriksaan radiologi, dimana CT-Scan SPN lebih sensitif dibandingkan dengan pemeriksaan foto polos SPN
sehingga keterlibatan sinus paranasal lebih jelas terlihat dibandingkan dengan foto polos SPN Kolawole, 2008.
Universitas Sumatera Utara
5.1.8 Proporsi Penatalaksanaan pada Penderita Rinosinusitis Kronis di RSUP H. Adam Malik-Medan Tahun 2008
Gambar 5.1.8 Penatalaksanaan rinosinusitis kronis di RSUP H. Adam Malik Dari gambar diatas penatalaksanaan pada penderita rinosinusitis kronis
yang terbanyak adalah dengan medikamentosa sebesar 77,36. Penatalaksaanaan rinosinusitis kronis dengan medika mentosa lebih dahulu
dilakukan karena sesuai dengan Perhimpunan Dokter spesialis THT-KL indonesia Guideline THT di Indonesia dimana penatalaksanaan rinosinusitis
kronis dengan medikamentosa diberikan selama 7 hari dengan pemberian antibiotik dan terapi tambahan dan jika ada perbaikan maka pemberian
antibiotik dapat diteruskan selama 7-14 hari, namun jika masih tidak ada perbaikan maka harus dievaluasi ulang faktor penyebab yang mendasari
terjadinya rinosinusitis kronis tersebut, jika terjadi suatu obstruksi KOM maka dilakukan tindakan operasi BSEF Bedah sinus Endoskopik Fungsional.
Universitas Sumatera Utara
5.1.9 Proporsi Operasi pada Penderita Rinosinusitis Kronis di RSUP H. Adam Malik- Medan Tahun 2008
Gambar 5.1.9 Penatalaksanaan rinosinusitis kronis di RSUP H. Adam Malik Pada gambar diatas juga terlihat bahwa operasi yang paling sering
dilakukan untuk penatalaksanaan Rinosinusitis Kronis adalah BSEF sebesar 80,6 dan terendah adalah trepanasi sinus frontal 1,49.
Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435
pasien, 69nya adalah rinosinusitis, dari jumlah tersebut 30 mempunyai indikasi operasi BSEF Soetjipto,2006.
BSEF merupakan tindakan operasi yang paling sering dilakukan dalam penatalaksanaan rinosinusitis kronis. Tujuan utama BSEF adalah memulihkan
aliran mukosiliar hidung dan mengembalikan aerasi dari sinus paranasal hingga akhirnya nanti akan mengembalikan drainase dan ventilasi yang normal
Kennedy, 2006.
Universitas Sumatera Utara
5.2 Analisis Bivariat