VI. SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Studi ini berhasil mengidentifikasi karakteristik lanskap habitat musim dingin Sikep Madu Asia SMA antara core dan edge habitat. Pada core habitat,
sebanyak tujuh komponen utama ditemukan dan dinilai sebagai karakteristik lanskap habitat musim dingin SMA. Pada edge habitat, sebanyak delapan
komponen utama ditemukan. Komponen pertama KU1 yaitu jarak terdekat ke elevasi lebih dari 300 meter
dan jarak terdekat ke hutan lahan kering, komponen kedua KU2 yaitu kemiringan lahan dari agak datar ke bergelombang, dan komponen kelima KU5
yaitu jarak terdekat ke hutan rawa gambut merupakan persamaan karakteristik yang menentukan lanskap habitat musim dingin SMA. Ketiga karakteristik utama
ini merupakan karakteristik dasar yang memiliki tingkat kepentingan yang sama dalam menyusun karakteristik baik pada core maupun edge habitat. Perbedaaan
karakteristik lanskap ditujukan pada perbedaan posisi dari KU, yang mana berhubungan erat dengan tingkat kepentingan dari masing-masing KU yang
menyusun karakteristik lanskap core dan edge habitat. Selain itu, core habitat memiliki variasi kelas penutupan lahan dan kemiringan lahan yang lebih rendah
daripada edge habitat. Hasil dari studi ini memberikan informasi dasar dalam rencana pengelolaan
lanskap habitat musim dingin SMA. Pengelolaan lanskap habitat musim dingin SMA perlu dilakukan dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Pengelolaan
lanskap jangka pendek dapat dilakukan melalui kegiatan pelestarian hutan lahan kering pada elevasi lebih dari 300 meter, penanaman pohon inang yang disukai
oleh lebah madu, konservasi bentuk lahan landform, dan budidaya lebah madu. Pengelolaan lanskap jangka panjang dapat diarahkan pada penetapan kebijakan
bagi core dan edge habitat sebagai satu kawasan khusus beserta program-program pendukung agar habitat musim dingin SMA dapat dilestarikan.
6.2 Saran
Karakteristik lanskap habitat musim dingin SMA ini perlu dijaga agar tidak terjadi perubahan sehingga SMA akan terus bermigrasi ke kawasan ini. Seiring
dengan perubahan struktur lanskap yang dipengaruhi oleh masyarakat setempat, maka tindakan pengelolaan lanskap perlu dilakukan. Pihak-pihak pengelola
seperti masyarakat lokal, pengelola kawasan dan pemangku kebijakan di Kalimantan Selatan dapat mengambil tindak lanjut dalam pengelolaan lanskap
berbasis burung pemangsa migrasi. Pengelolaan lanskap habitat musim dingin SMA dapat dilakukan dalam
jangka waktu jangka pendek dan jangka panjang dan lokasi core habitat dan edge habitat. Pengelolaan jangka pendek yang dapat dilakukan pada kedua
habitat, seperti pelestarian hutan lahan kering dengan elevasi lebih dari 300 meter, penanaman pohon inang yang disukai koloni lebah, konservasi bentuk lahan agak
datar hingga bergelombang, dan sosialisasi tentang keberadaan SMA. Pengelolaan jangka pendek yang dapat dilakukan pada core habitat, seperti konservasi badan
air, penetapan core habitat sebagai kawasan lindung. Pengelolaan jangka pendek yang dapat dilakukan pada edge habitat, pelestarian hutan mangrove dan
konservasi bentuk lahan berbukit hingga pegunungan. Pengelolaan jangka panjang yang dapat diarahkan kepada penetapan kebijakan bagi core dan edge habitat dan
program pendukung pelestarian habitat SMA, seperti pendidikan konservasi kepada pihak-pihak pengelola lanskap, program pemantauan biologis dan ekologis
terhadap burung pemangsa, dan program pengembangan ekowisata.
DAFTAR PUSTAKA
Addinnsoft. 2011. XLStat Version 2011.2.08. http:www.xlstat.com. Alikodra, H.S. 1990. Pengelolaan Satwa Liar Jilid 1. Pusat Antar Universitas.
Bogor : Ilmu Hayati, Institut Pertanian Bogor. Argos.
1996. User‟s
Manual, CLSService
Argos, Maryland.
http:www.cls.frmanuel Bildstein, Keith L. 2006. Migrating Raptor of the World. London : Cornell
University Press. [Biro Pusat Statistik]. 2010. Jumlah Penduduk Pulau Kalimantan per Tahun.
http:www.bps.go.id.[24 Desember 2010] [BPS Kalimantan Selatan]. 2011. Keadaan Ketenagakerjaan Kalimantan Selatan
Februari 2011.http:kalsel.bps.go.idfile20brsBRS_naker_5_Mei_2011_ kalsel.pdf
Cohn, J. P. 1999. Tracking Wildlife High-tech Devises Help Biologists Trace the Movement of Animals Through Sky and Sea. BioScience 49: 12-17.
[Komisi Kepolisian Indonesia]. 2010. Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing.http:komisi kepolisianindonesia.com.[23 Desember 2010]
De Jong, W. 2000. Micro-differences in Local Resource Management: The Case of Honey in West Kalimantan, Indonesia. Human Ecology Vol.84:631-639.
Disporbudpar Kalsel.2011.http:disporbudpar.kalselprov.go.idguidepeople-and- culturesistem-mata-pencaharian
. [27 Juli 2011]
Dunteman, George H. 1989. Principal Component Analysis. United States: Sage University Press.
ESRI. 2007. Undestanding Euclidean Distance. http:webhelp.esri.comarcgis desktop9.2index.cfm?TopicName=Understanding_Euclidean_distance_anal
ysis. [15 Agustus 2011] ESRI. 2008. ArcGIS versi 9.3. http:www.esri.com
Ferguson J, Christie DA. 2005. Raptors of the World. London : Black Publishers. Fujita G, G, Hong-Liang, M, Ueta, O, Goroshko, V, Krever, K, Ozaki, N, Mita, H,
Higuchi. 2004. Comparing Areas of Suitable Habitats Along Travelled and Possible Shortest Routes In Migration of White-naped Cranes Grus Vipio in
East Asia. Ibis 146: 461 –474.
Frasetiandy. 2006. http:www.walhikalsel.org.[28 September 2011] Gillespie. 2001. Remote Sensing Animals. Progress in Physical Geography 25,3 :
355-362. United States : University of South Florida. Harmonis, M. Sutisna, D. Mardji, E. Iskandar. 2006. Prospek Pengembangan
Usaha Perlebahan Dalam Peningkatan Hasil Hutan Non-kayu di Kalimantan Timur. Samarinda : Lembaga Penelitian Universitas Mulawarman.
Higuchi H, Shiu H, Nakamura H, Uematsu A, Kuno K, Saeki M, Hotta M, Tokita K, Moriya E, Morishita E, Tamura E. 2005. Migration of honeybuzzards
Pernis apivorus based on satellite tracking. Ornithol. Sci. 4: 109 –115.
Higuchi H, Pierre JP. 2005. Satellite Tracking and Avian Conservation in Asia. International Consortium of Landscape and Ecological Engineering and
Springer-Verlag Tokyo. 1 : 33-42 Kalimantan Selatan. 2007. Peta Penutupan Lahan. Bogor : Laboratorium Remote
Sensing, Fakultas Kehutanan IPB. 1 Lembar. Kalimantan Selatan. 2007. Peta Elevasi. Roma : DEM SRTM. 1 Lembar.
Jolliffe, I.T. 2002. Principal Component Analysis Second Edition. New York : Springer Verlag.
Kendeigh, Charles S. 1961. Animal Ecology. United States : University of Illinois. Kernohan BJ, Millspaugh JJ, Jenks JA, Naugle DE. 1998. Use of an Adaptive
Kernel Home-range Estimator in a GIS Environment to Calculate Habitat use. J. Environ. Manage. 53: 83
–89. Leica. 2006. Erdas Imagine 9.1. Leica Geosystems Geospatial Imaging LCC.
MacKinnon, John. 1990. Panduan Lapangan Pengenalan Burung-burung di Jawa dan Bali. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Mansor M, Manshor A. 2001. Structure and Biodiversity of Peat Swamp Forest. Malaysia : University Putra Malaysia.
Morimoto J, Kondo T, Miyauchi T. 2008. Satoyama-satoumi Sub-global Assesment in Japan and Involvement of the Hokkaido Cluster. Landscape
Ecol Eng 5:91-96. Nuvitasari, Eka. 2008. Eigenvalue. http:nuvie81.wordpress.com.[20 Agustus
2011] Ornithological Society of Japan. 2000. Check-list of Japanese birds, 6th ed.
Obihiro: The Ornithological Society of Japan. [Pemprovkalsel].2010. Letak Geografis. http:www.kalselprov.go.id.[15 Agustus
2011] Phillips, A. 2002. Management Guidelines for IUCN Category V Protected Areas
Protected LandscapesSeascapes. Switzerland – United States : IUCN.
[Portal Nasional
RI].2010. Provinsi
Kalimantan Selatan.
http:www.indonesia.go.id. [12 Agustus 2011] [Raptor Centre Indonesia].2008. About Raptor. http:raptorcenterindonesia.
wordpress.com. [30 November 2010]. Ramono et al. 2000. Rencana Pengelolaan 25 Tahun Taman Nasional Komodo.
Flores : Direktorat Jenderal Perlindungan Konservasi Alam. Rodewald, Paul G. 2008. Managing Habitats for Migrating Land Birds in the
Western Lake Erie Basin A Guide to Landscaping and Land Management. United States : The Ohio State University Ohio Bird Conservation
Initiative. Seegara WS, Henkeb MB, Schorc M, Stoned M. 1996. Next Generation Satellite-
Based Technology
for Conservation
and Bird
Strike Science.
http:www.birds.org.ilSIP_STORAGEFILES5785.pdf [7 Desember 2011] Semlitsch RD, Jensen JB. 2001. Core habitat, Not Buffer Zones. National
Wetlands Newsletter Vol.23 no.4. United States : Washington DC.
Syartinilia, Yamaguchi N, Higuchi H. 2010. Spatial Distribution and Habitat of Oriental Honey-Buzzards Wintering in Borneo Based on Satellite Tracking.
The 6
th
International Conference on Asian Raptor, 23-27 Juni 2010, Ulaanbaatar, Mongolia.
Syartinilia. 2008. GIS-based modelling of Javan Hawk Eagle Spizaetus bartelsi habitat distribution using multiscale approach in Java Island [Desertasi].
Tokyo : Program Doktor, Universitas Tokyo. Takeuchi K. Brown RD, Washitani I, Tsunekawa A, Yokohari M. 2003.
Satoyama – the traditional rural landscape of Japan, 2
nd
edn. Tokyo : Springer.
Thomas, 1979. Wildlife Habitats in Managed Forests the Blue Mountains of Oregon and Washington, United States : US Department of Agriculture.
Tietje, William. 2000. Land-Use Planning in Oak Woodland: Applying the Concepts of Landscape Ecology Using GIS Technology and the CDF Oak
Woodland Maps. Berkeley : University of California. Trochim, W.K. 2006. The T-Test. http:www.socialresearchmethods.net.[28
September 2011] Webster, M. S., P. P. Marra, S. M. Haig, S. Bensch and R. T. Holmes. 2002.
Links between worlds: unraveling migratory connectivity. Trends Ecol Evol 17: 76-78.
Wood, Megan E. 2002. Ecotourism : Principles, Pratices, and Policies For Sustainability. France : United Nation Publications.
[WWF]. 2010. Lowland dipterocarp forests. http:wwf.panda.org. [1 Oktober 2011]
Yamaguchi N, Tokita KI, Uematsu A, Kuno K, Saeki M, Hiraoka E, Uchida K, Hotta M, Nakayama F, Takahashi M, Nakamura H, Higuchi H.2008.The
large-scale detoured migration route and the shifting pattern of migration in Oriental honey-buzzards breeding in Japan. Journal of Zoology 276 : 54
–62.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Jarak Terdekat Euclidean Distance ke Elevasi 0-300 meter JTE1
Lampiran 2. Peta Jarak Terdekat Euclidean Distance ke Elevasi 300-500 meter JTE2
Lampiran 3. Peta Jarak Terdekat Euclidean Distance ke Elevasi 500-700 meter JTE3
Lampiran 4. Peta Jarak Terdekat Euclidean Distance ke Elevasi 700-1000 meter JTE4
Lampiran 5. Peta Jarak Terdekat Euclidean Distance ke Elevasi 1000 meter JTE5
Lampiran 6. Peta Jarak Terdekat Euclidean Distance ke Kemiringan lahan 0-3 JTK1
Lampiran 7. Peta Jarak Terdekat Euclidean Distance ke Kemiringan lahan 3-8 JTK2
Lampiran 8. Peta Jarak Terdekat Euclidean Distance ke Kemiringan lahan 8-15 JTK3
Lampiran 9. Peta Jarak Terdekat Euclidean Distance ke Kemiringan lahan 15- 25 JTK4
ampiran 10. Peta Jarak Terdekat Euclidean Distance ke Kemiringan lahan 25- 40
JTK5
Lampiran 11. Peta Jarak Terdekat Euclidean Distance ke Kemiringan lahan 40 JTK6
Lampiran 12. Peta Jarak Terdekat Euclidean Distance ke Hutan Lahan Kering JTHK
Lampiran 13. Peta Jarak Terdekat Euclidean Distance ke Hutan Rawa Gambut JTHR
Lampiran 14. Peta Jarak Terdekat Euclidean Distance ke Semak Belukar Rawa JTSB
Lampiran 15. Peta Jarak T erdekat Euclidean Distance ke Sawah JTSH
Lampiran 16. Peta Jarak Terdekat Euclidean Distance ke Perkebunan Sawit JTST
Lampiran 17. Peta Jarak Terdekat Euclidean Distance ke Pertanian Perkebunan Semak JTPS
Lampiran 18. Peta Jarak Terdekat Euclidean Distance ke Badan Air JTBA
Lampiran 19. Peta Jarak Terdekat Euclidean Distance ke Lahan Terbuka JTBK
Lampiran 20. Peta Jarak Terdekat Euclidean Distance ke Lahan Terbangun JTBG
Lampiran 21. Peta Jarak Terdekat Euclidean Distance ke Hutan Mangrove JTMG
I. PENDAHULUAN