Produksi pulp meningkat dari sekitar 0.5 juta ton pada tahun 1989 menjadi 3.1 juta ton pada tahun 1997, dan menjadi 5.4 juta ton pada tahun 2005 APKI,
2005. Total produksi hasil hutan lainnya yaitu woodworking, blockboard, particleboard
dan chips berkisar antara 0.1 juta m
3
sampai 2.3 juta m
3
selama rentang tahun 1983-2005 Departemen Kehutanan, 2006b. Produksi pulp tahun
2009 mencapai 4.6 juta ton Kementerian Kehutanan, 2010. Data selengkapnya dari perkembangan industri pulp dapat dilihat pada Gambar 6.
Berdasarkan Simangunsong, at al. 2007 dalam Road Map Revitalisasi Kehutanan Indonesia,
terdapat 10 pabrik pulp dan kertas yang terintegrasi dan 3 pabrik pulp tidak terintegrasi dengan total kapasitas terpasang 6.4 juta Adt air-
dried ton pada tahun 2005, dan 86 persen dari kapasitas terpasang tersebut
berlokasi di Sumatera. Sementara itu, 53 persen dari pabrik pulp dan kertas merupakan perusahaan swasta PMA Private Company Foreign Investments.
Sumber: Food Agriculture Organization, 2011 Gambar 6.
Perkembangan Industri Pulp Indonesia Periode Tahun 2000-2009
Tahun
Total produksi pulp Indonesia pada tahun 2005 mencapai 5.4 juta Adt dengan jumlah ekspor sebesar 2.5 Adt. Sementara, jumlah impor pulp pada tahun
tersebut adalah 0.89 juta Adt. Pada tahun 2005 tersebut, Indonesia merupakan negara produsen pulp nomor 9 dan produsen kertas nomor 12 di dunia. Selama
periode tahun 2000-2005, kapasitas terpasang industri pulp meningkat dari 5.2 juta Adt pada tahun 2000 menjadi 6.4 juta Adt pada tahun 2005. Peningkatan
kapasitas terpasang juga diiringi dengan peningkatan pemanfaatan kapasitas tersebut installed capacity utilization rate sebesar 6.6 persen, sehingga produksi
pulp meningkat tajam pada periode tersebut, sebesar 33.8 persen. Lebih lanjut, meskipun konsumsi pulp meningkat dengan laju pertumbuhan
yang rendah 7.7 persen namun karena impor juga meningkat sebesar 15.8 persen, maka ekspor pada tahun 2005 sebesar hampir dua kali lipat daripada
ekspor tahun 2000. Pada periode tahun 2000 sampai tahun 2005 kapasitas terpasang industri pulp yang beroperasi di Indonesia sekitar 80 persen. Pada tahun
2005 kapasitas terpasang kemudian meningkat menjadi 84.8 persen. Pada tahun 2009 ekspor pulp dari Indonesia mencapai angkat 2.4 juta ton dengan nilai sebesar
US 0.9 Milyar. Negara importir utama pulp Indonesia adalah China sebanyak 44 persen,
diikuti Republic of Korea sebanyak 24 persen, Perancis sebanyak 7 persen, Italy sebanyak 6 persen, serta Jepang sebanyak 6 persen. Pada periode 1996-2003,
sebanyak 73 persen dari pertumbuhan kapasitas industri pulp dunia merupakan kontribusi dari tiga negara, yaitu Brazil, Indonesia, dan China, meskipun kapasitas
industri pulp dari tiga negara tersebut hanya 10 persen dari total kapasitas.
4.3. Kebijakan Pengelolaan Hutan Produksi
Sejak awal tahun 1970-an, Hak pengusahaan hutan HPH merupakan penopang utama yang digunakan untuk memproduksi kayu bulat guna pemenuhan
kebutuhan bahan baku kayu bulat bagi industri berbasis kayu. Sejak saat itu, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970, perusahaan diberikan
kewenangan untuk mengelola hak selama 20 tahun dan hak ini dapat diperbaharui kembali berdasarkan konsep hak pengusahaan utilization right Seve, 1999;
Gautam, et.al, 2000 dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan yang merevisi
ketentuan pemohon HPH yang selama ini banyak dikelola oleh perusahaan asing. Dengan konsep ini maka perusahaan diminta untuk mengelola areal
pengelolaannya berdasarkan rencana jangka panjang Rencana Karya Pengusahaan HutanRKPH selama 20 tahun, rencana jangka menengah Rencana
Karya Lima TahunRKL selama 5 tahun dan rencana jangka pendek Rencana TahunanRKT. Sistem pengelolaan hutan silvikultur pengelolaan hutan atau
dikenal dengan nama Tebang Pilih Tanam TPTI, diperkenalkan sejak tahun 1989, dan menjadi dasar didalam pelaksanaan penebangan kayu dari hutan alam
produksi. Atas dasar ini, maka perusahaan menggunakan rotasi penebangan selama 35 tahun, dengan melakukan penebangan pohon yang berdiameter setinggi
dada diameter breath height lebih dari 50 cm. Sistem TPTI ini menggantikan sistem penebangan yang digunakan sebelumnya, Tebang Pilih Indonesia TPI.
Sejak tahun 1985 dilakukan ekspansi industri pengolahan kayu, dan untuk menyediakan kebutuhan bahan baku industri pengolahan kayu di dalam negeri,
pemerintah mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor kayu bulat. Sejak saat itu
pembangungan industri pengolahan kayu semakin meningkat. Surat Keputusan Tiga Menteri tanggal 8 Mei 1980 mengharuskan pemilik HPH untuk mengkaitkan
diri dengan industri pengolahan kayu. Kondisi ini kemudian menciptakan perdagangan log secara internal dari pemilik HPH ke industri pengolahnya dalam
satu kelompok group perusahaan. Kebijakan ini kemudian menyebabkan terjadinya penurunan ekspor kayu bulat secara bertahap dari tahun ke tahun
hingga tahun terakhir PELITA III, sebesar 1.5 juta m3, dan pada tahun 1985 ekspor kayu bulat tidak diperbolehkan. Walaupun bisa bebas menjual kayu bulat
ke perusahaan industri pengolah kayu, namun perusahaan HPH memprioritaskan kepada perusahaan industri kayu dalam satu perusahaan induk, dan apabila
terdapat kelebihan produksi kayu bulat baru dijual ke perusahaan lainnya. Pada saat itu, walaupun tidak ada harga dunia untuk kayu bulat Indonesia, tetapi
terdapat harga domistik yang belum sempurna Timotius, 2000. Untuk menghindari klaim internasional yang mengangap kebijakan
pelarangan ekspor kayu bulat dari Indonesia sebagai non-tariff barrier, pemerintah kemudian mencabut kebijakan tersebut pada tanggal 27 Mei 1992 dan
menggantinya dengan menerapkan pajak ekspor yang tinggi prohibitive export tax
sebesar USD 500 – USD 4 800 per m
3
kayu bulat, dan berlaku mulai Juni 1992 Simangunsong, 2004.
Food Association Organization FAO dan Departemen Kehutanan
melaporkan bahwa produksi hasil hutan utama Indonesia tahun 1980 adalah kayu bulat, diikuti kayu gergajian dan kayu lapis demikian pula dengan hasil hutan
yang diekspor. Produksi kayu bulat menurun drastis pada tahun 1985, sementara produksi dan ekspor kayu gergajian dan kayu lapis meningkat sangat tajam pada
tahun yang sama. Ekspor kayu lapis pada saat itu bahkan melebihi ekspor kayu gergajian. Sejak tahun 1985 Departemen Kehutanan tidak melaporkan data ekspor
kayu bulat Simangunsong, 2004. Justianto 2005 menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan pembangunan
kehutanan, beberapa kebijakan pemerintah yang berdampak kepada kesejahteraan masyarakat, yaitu:
1. Pengurangan Jatah Produksi Tahunan dari Hutan Alam Soft landing; Kebijakan ini dilakukan dengan melakukan pengurangan Jatah Produksi
Tahunan Annual Allowable CutAAC pada hutan alam secara bertahap, sampai pengurangannya sekitar 50 persen dari tebangan pada tahun 2002.
Kebijakan ini mempunyai implikasi terhadap penurunan produksi kayu bulat dari hutan alam dan mengurangi pasokan kayu bagi industri pengolahan kayu.
Pengurangan AAC dimaksudkan agar industri pengolahan kayu dapat melakukan penyesuaian kapasitasnya, sehingga apabila terjadi pengurangan
pasokan bahan baku maka tidak mengakibatkan “shock landing” pada industri tersebut.
2. Pelarangan ekspor kayu bulat; Kebijakan ini dimaksudkan untuk memberikan nilai tambah terhadap kayu bulat dengan terlebih dulu diolah melalui industri-
industri pengolahan kayu domestik seperti industri kayu lapis, industri kayu gergajian, industri pulp dan industri kertas. Implikasi dari kebijakan ini adalah
meningkatnya pasokan kayu bulat untuk industri pengolahan kayu domestik. 3. Restrukturisasi sektor industri kehutanan; Restrukturisai industri kehutanan
ditujukan untuk meningkatkan efesisensi dan efektifitas pengelolaan sumberdaya hutan yang meliputi restrukturisasi sub-sistem sumberdaya seperti