Dampak kebijakan provisi sumberdaya hutan dan dana reboisasi terhadap kesejahteraan

(1)

DAMPAK KEBIJAKAN PROVISI SUMBERDAYA HUTAN

DAN DANA REBOISASI TERHADAP KESEJAHTERAAN

DISERTASI

ERWINSYAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

i

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “DAMPAK KEBIJAKAN PROVISI SUMBERDAYA HUTAN DAN DANA REBOISASI TERHADAP

KESEJAHTERAAN”, adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulisan lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftra Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

Erwinsyah Nrp. H361064174


(3)

(4)

iii

ABSTRACT

ERWINSYAH. Impact of Forest Royalty and Reforestation Fund on Welfare. (HARIANTO as Chairman, BONAR M. SINAGA and BINTANG C.H. SIMANGUNSONG as Members of the Advisory Committee)

In the last three decades the forestry sector has given important contribution to the government revenues, among others are recieved from forest royalty (PSDH) and reforestation fund (DR). To determine the impact of policy implementation of PSDH and DR on welfare then elasticity of supply and demand of roundwood input market and wood products output market using a computer statistical program RATS (Regression Analysis of Time Series) was estimated, and conducted a simulation aplication of 9 types of policy scenarios. The data used in this study was timeseries data taken from year 1995 to year 2009. Results of this study were included (1) on supply and demand side, the price of roundwood was inelastic, except of the construction wood plantation (HTI) was unit elastic. Price of plywood, sawn timber and pulp is inelastic, (2) increasing PSDH and DR separately will increase the price of roundwood, except the price of pulp wood HTI, and will also increase the price of wood products. An increased DR and PSDH at the sametime will increase the price of roundwood and wood products, (3) increased PSDH will produce higher production of roundwood and wood products, except for plywood which was not supported by increased market prices. Increased DR will increase the roundwood production, except the pulp wood HTI which was unaffected. Increased DR will produce the increased production of sawn timber. While increased DR and PSDH will simultaneously increase the production of natural forest roundwood, construction wood HTI and pulp wod HTI as well as sawntimber and pulp products, and (4) increased PSDH and DR will increase producer welfare and reduce consumer welfare of roundwood.


(5)

(6)

v

RINGKASAN

ERWINSYAH. Dampak Kebijakan Provisi Sumberdaya Hutan dan Dana Reboisasi Terhadap Kesejahteraan. (HARIANTO sebagai Ketua, BONAR M. SINAGA dan BINTANG C.H. SIMANGUNSONG sebagai Anggota Komisi Pembimbing)

Dalam tiga dasawarsa terakhir sektor kehutanan memberikan kontribusi penting bagi perekonomian Indonesia. Kontribusi penerimaan pemerintah dari sektor kehutanan diantaranya bersumber dari Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). PSDH dan DR dihitung atas dasar jumlah kayu bulat yang dihasilkan dari hutan alam dan hutan tanaman. Untuk mempertahankan keberlanjutan kontribusi tersebut maka diperlukan kepastian penyediaan bahan baku kayu bulat yang berkelanjutan bagi kebutuhan industri berbasis kayu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) menganalis model penawaran dan permintaan kayu bulat melalui estimasi elastisitas supply dan demand pada pasar input kayu bulat dan pasar output produk primer kayu olahan, (2) menganalisis dampak kebijakan PSDH dan DR terhadap produksi, dan harga kayu bulat serta kayu olahan, dan (3) menganalisis berbagai skenario kebijakan PSDH dan DR dan dampaknya terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen.

Model persamaan yang digunakan untuk mendapatkan parameter dugaan dalam penelitian ini adalah persamaan simultan atau Two Stage Least Squares (2SLS) dan persamaan tunggal atau Ordinary Least Squares (OLS), sehingga diperoleh nilai parameter terbaik, yang merupakan penduga elastisitas. Dalam penelitian ini akan dicari estimasi model pasar input, pasar kayu bulat, yaitu kayu bulat dari hutan alam, kayu bulat dari HTI perkakas dan kayu bulat dari HTI pulp sebagai bahan baku industri pimer dan pasar output, yaitu pasar kayu lapis, kayu gergajian dan pulp. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2009, diolah dengan menggunakan program statistik komputer RATS (Regression Analysis of Time Series).

Berdasarkan hasil pengolahan data, ternyata tidak semua nilai parameter dugaan dapat digunakan untuk menduga nilai elastisitas. Terhadap nilai parameter tersebut maka digunakan nilai elastisitas yang bersumber dari pustaka. Setelah nilai penduga elastisitas diperoleh, kemudian nilai elastisitas tersebut digunakan untuk melakukan simulasi penerapan kebijakan PSDH dan DR. Untuk mengetahui dampak penerapan kebijakan PSDH dan DR terhadap kesejahteraan produsen dan kesejahteraan konsumen kayu bulat maka digunakan sembilan (9) kemungkinan skenario kebijakan. Dari hasil penelitian ini kemudian diperoleh bahwa pada umumnya harga bahan baku kayu bulat dan harga kayu olahan bersifat inelastis, dimana kenaikan harga tidak langsung membuat industri pengolahan kayu mengurangi pasokan kayu bulat dari hutan alam maupun hutan tanaman. Hal ini disebabkan karena kebutuhan kayu bulat belum bisa digantikan oleh bahan baku lainnya.

Kenaikan PSDH akan menyebabkan terjadinya kenaikan harga di pasar input, yaitu harga kayu bulat dari hutan alam, kayu bulat dari HTI perkakas, kayu bulat dari HTI pulp, serta kenaikan harga produk olahan di pasar output, yaitu harga kayu lapis,


(7)

vi

kayu gergaji dan pulp. Kenaikan DR akan menyebabkan kenaikan harga di pasar input, yaitu kayu bulat dari hutan alam dan kayu bulat dari HTI perkakas. Kenaikan DR tidak berpengaruh terhadap harga kayu bulat yang berasal dari HTI pulp karena HTI pulp tidak dikenakan DR. Sedangkan HTI perkakas, walaupun tidak dikenakan DR namun produk kayu bulat dari HTI perkakas bersama-sama dengan produk kayu bulat dari hutan alam adalah bahan baku kayu lapis dan kayu gergaji. Kenaikan PSDH dan DR secara bersama-sama akan menyebabkan kenaikan harga kayu bulat yang berasal dari hutan alam, HTI perkakas dan HTI pulp, serta menyebabkan kenaikan harga produk olahan, yaitu harga produk kayu lapis, kayu gergaji dan pulp.

Kenaikan PSDH akan mendorong terjadinya peningkatan produksi kayu bulat dari hutan alam, dari HTI perkakas dan dari HTI pulp. Hal ini terjadi karena kenaikan PSDH akan menyebabkan peningkatan harga kayu bulat, sehingga produsen kayu bulat akan meningkatkan produksi. Kenaikan PSDH juga akan mendorong terjadinya peningkatan produksi produk olahan, yaitu kayu gergaji dan pulp. Kayu lapis tidak mengalami kenaikan produksi karena kenaikan harga kayu lapis lebih kecil dibandingkan kenaikan harga bahan baku. Kenaikan DR akan mendorong peningkatan produksi kayu bulat dari hutan alam dan dari HTI perkakas, karena kenaikan DR akan menaikan harga kayu bulat dari hutan alam sehingga produsen kayu bulat hutan alam akan meningkatkan produksinya. Produksi kayu bulat dari HTI perkakas ikut meningkat karena merupakan bahan baku yang sama dengan kayu bulat hutan alam untuk memproduksi kayu lapis dan kayu gergaji. Kenaikan DR akan meningkatan produksi kayu bulat dari hutan alam dan dari HTI perkakas, karena mendorong peningkatan harga kayu bulat sehingga produsen akan meningkatkan produksinya. Kenaikan DR sangat kecil pengaruhnya terhadap permintaan produk kayu lapis. Kenaikan PSDH dan DR secara bersama-sama akan menyebakan terjadinya kenaikan produksi kayu bulat dari hutan alam, HTI perkakas dan HTI pulp, serta kayu gergaji dan pulp.

Pemerintah sudah melakukan upaya percepatan pembangunan HTI namun masih dirasakan tidak cukup efektif untuk menyediakan kebutuhan penyediaan bahan baku. Mengurangi permintaan bahan bahan baku dimungkinkan apabila industri perkayuan bisa mengurangi install capacity industri perkayuan Selain itu biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi kayu bulat dari hutan alam dan HTI cukup tinggi sehingga perusahaan tidak termotivasi melakukan ekspansi produksi walau permintaan kayu bulat cukup tinggi (highly demanded). Penurunan produksi kayu bulat dari hutan alam umumnya disebabkan akibat kualitas hutan alam semakin menurun dan semakin sulitnya akses untuk menjangkau sumber bahan baku (remoted area), disamping persolan tingkat upah, dan faktor lain seperti praktik pungutan yang masih membebani perusahaan.


(8)

vii

@ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor


(9)

(10)

ix

DAMPAK KEBIJAKAN PROVISI SUMBERDAYA HUTAN DAN

DANA REBOISASI TERHADAP KESEJAHTERAAN

ERWINSYAH

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(11)

x

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:

1. Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MS

Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

2. Dr.Ir. M. Parulian Hutagaol, MS

Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka:

1. Dr. Ir. Bedjo Santosa, MSi

Direktur Bina Rehabilitasi Hutan dan Lahan, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia.

2. Dr. Ir. Agus Djoko Ismanto, MSi

Host-Country Liaison Coordinator, Center for International Forestry Research (CIFOR)


(12)

xi

Judul Disertasi : Dampak Kebijakan Provisi Sumberdaya Hutan dan Dana Reboisasi Terhadap Kesejahteraan

Nama : Erwinsyah

Nomor Pokok : H361064174

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui: 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Harianto, MS Ketua

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Bintang C.H. Simangunsong, MS

Anggota Anggota

Mengetahui:

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Ekonomi Pertanian,

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr Tanggal Ujian: 30 Januari 2012 Tanggal Lulus:


(13)

(14)

xiii

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Syukur kepada Allah SWT, penulis berhasil menyusun disertasi ini, dengan judul Dampak Kebijakan Provisi Sumberdaya Hutan dan Dana Reboisasi Terhadap Kesejahteraan.

Sektor kehutanan selama ini menjadi sorotan antara lain karena peran ganda yang dibebannya sebagai sumber ekonomi dan penyangga ekosistem dunia. Sebagai sumber ekonomi, sektor kehutanan telah menjadi modal dasar dalam sejarah panjang perjalanan pembangunan di Indonesia, khususnya untuk ekonomi riil Indonesia. Penelitian ini menjadi sangat menarik untuk mencermati perjalanan ekonomi kayu di Indonesia sebagai modal dasar bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan pembangunan di Indonesia, khsusnya dari sektor kehutanan. Topik penelitian dipilih untuk mengkaji sejauhmana sektor kehutanan masih berkontribusi bagi perekonomian Indonesia.

Penulis termotivasi mendalami ekonomi pertanian, khususnya menuliskan topik ini karena pengalaman penulis sendiri sebagai praktisi kehutanan dan lingkungan hidup yang menuntut tambahan pengetahuan ekonomi untuk mendukung pengetahuan kehutanan dan lingkungan.

Banyak pihak telah memberikan motivasi kepada penulis pada saat memutuskan mengambil program studi ekonomi pertanian, dari mulai pemberian rekomendasi oleh Prof. Cecep Kusmana dan Prof E. Gumbira Sa’id dari IPB kepada penulis sebagai calon mahasiswa S3 IPB. Dalam perjalanannya penulis menerima banyak pengetahuan mengenai ilmu pengetahun mengenai ekonomi dari para pengajar di Program Ekonomi Pertanian IPB, yang memberikan banyak pengetahuan kepada penulis yang sebelumnya tidak memiliki dasar pengetahuan ekonomi.

Secara khusus, dalam perjalanan penulisan disertasi, penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada para pembimbing yang telaten memberikan masukan kepada penulis, yaitu Dr.Ir. Harianto sebagai Ketua Komisi Pembimbing, disela-sela kesibukannya masih meluangkan waktu memberikan semangat dan bimbingan teknis kepada penulis, Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga sebagai


(15)

xiv

Anggota Komisi Pembimbing dan Ketua Program Studi EPN, selalu menyediakan waktu dan tidak pernah lelah dalam memberikan bimbingan dan memonitor kemajuan penulisan disertasi. Dr. Ir. Bintang. C.H. Simangunsong, sebagai pembimbing yang senantiasa selalu membimbing penulis dalam memecahkan persoalan pengolahan data dan mendiskusikan masalah ekonomi kehutanan, terlebih beliau menyediakan banyak waktunya dan ruang kerja beliau kepada penulis untuk membimbing menjawab berbagai kesulitan penyelesaian disertasi ini. Tanpa dukungan dan bimbingan para Dosen Pembimbing mustahil disertasi ini bisa penulis selesaikan dengan baik

Ucapan terimakasih dan penghargaan, penulis sampaikan kepada Dr. Ir. M Parulian Hutagaol, Dr.Ir. Nunung Nuryantono yang bertindak sebagai Penguji pada Ujian Tertutup, dan Dr. Ir. M. Firdaus sebagai pimpinan Sidang Ujian Tertutup, serta Dr. Ir. Lukytawati yang mewakili Program Studi EPN pada Ujian Tertutup, atas kritik dan saran perbaikannya sehingga disertasi ini menjadi lebih baik. Juga ucapan terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Bedjo Santosa dari Kementerian Kehutanan dan Dr. Ir. Agus Djoko Ismanto dari CIFOR sebagai penguji luar pada Ujian Terbuka, serta Dr. Ir. M. Firdaus mewakili Rektor IPB dan Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani mewakili Program Studi EPN pada Ujian Terbuka, atas segala kritik dan saran perbaikannya sehingga disertasi ini menjadi lebih baik. Juga terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua dosesn yang telah mengajar penulis selama mengikuti perkuliahan pada program studi S3-EPN IPB, sehingga penulis mampu mengikuti perkuliahan dengan baik.

Tidak lupa penulis ucapakan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Bapak Ir. Novindra, MS yang telah mendukung penulis baik siang dan malam mengalahkan kesulitan penggunaan program SAS dan Bapak Usman, diujung-ujung waktu penulisan disertasi berkesempatan memberikan masukan untuk program pengolahan data dengan program SAS. Juga kepada Bapak Iman Santosa dari Kementerian Kehutanan dan Bapak Budi Kristiar dari Apkindo atas dukungan konsultasi berkaitan dengan data.


(16)

xv

Terimakasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan satu kelas S3 di EPN-IPB atas doringan dan kerjasamanya. Tidak lupa kepada mba Ruby, mba Yani dan seluruh staff sekretariat Program S3 EPN-IPB yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas dukungan administrasinya.

Secara khusus, penulis mengucapkan terimakasih kepada istri tercinta (Sissa Aprilia) dan ketiga anak terkasih (Faiz Syahputra, Fadhil Akbar Syahputra dan Fikri Hakim Syahputra) atas kasih dan dukungannya selama penulis menjalani menjalani pendidikan, sehingga mengurangi waktu kebersamaan keluarga. Tanpa pengertian dan dukungan keluarga, mustahil disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik juga adalah karena dukungan dan dorongan dari sahabat-sahabat penulis dan banyak pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih yang sebesar-besarnya. Pada akhirnya, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan disertasi ini, maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya Allah SWT memberikan balasan dan berkah atas kebaikan semua pihak yang telah banyak membantu penulis.

Bogor, Januari 2012 Erwinsyah


(17)

(18)

xvii

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir pada tanggal 24 Oktober 1964, di Takengon, Nangroe Aceh Darussalam, dari pasangan Syahidin Hakim dan Nurmaliah (almarhumah). Penulis beristerikan Sissa Aprillia dan memiliki tiga orang putra, Faiz Syahputra, Fadhil Akbar Syahputra dan Fikri Hakim Syahputra.

Pendidikan menengah diselesaikan penulis di SMA Negeri 2 Banda aceh pada tahun 1984, dan pendidikan S1, Sarjana Kehutanan, diselesaikan di Institut Pertanian Bogor pada tahun 1990. Pada tahun 1993 mendapatkan beasiswa dari European Union untuk program pendidikan S2 di Department of Silviculture and Ecology of the Wageningen Agricultural University di Belanda, dan meraih gelar Master of Science pada January tahun 1995. Pada bulan Februari tahun 2007, penulis melanjutkan studi S3 pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor di Bogor, dan selesai tahun 2012.

Penulis menjalankan karirnya dalam bidang konsultansi, yang sudah dijalaninya selama lebih dari 20 tahun, khususnya dalam bidang sumberdaya alam, kehutanan, lingkungan hidup, governance dan REDD, dimulai dengan the Netherlands Tropenbos Project tahun 1990. Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) tahun 1995-1998. Program USAID antara tahun 1998 sampai 2007. Bekerja untuk beberapa kegiatan short term consultant untuk Bank Dunia antara tahun 2008 sampai tahun 2010, GEF-UNDP Program tahun 2008-2009, AUSAID/IAFCP tahun 2009 sampai tahun 2011. Juga beberapa shorterm consultan antara lain untuk Asian Development Bank (ADB), Chatham House Institute Inggris dan KFW/Germany Project.


(19)

(20)

xix

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……….………..……… xxi

DAFTAR GAMBAR………..……….…… xxiii

DAFTAR LAMPIRAN………..……….. xxv

I. PENDAHULUAN……….……….. 1

1.1. Latar Belakang……… 1

1.2. Perumusan Masalah……… 4

1.3. Tujuan Penelitian………... 7

1.4. Kegunaan Penelitian………... 7

1.5. Ruang Lingkup………... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA………...………..……... 9

2.1. Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat……….. 9

2.2. Provisi Sumberdaya Hutan dan Dana Reboisasi………... 19

2.3. Dampak Kebijakan terhadap Kesejahteraan………. 24

III. METODOLOGI PENELITIAN………...……… 27

3.1. Kerangka Pemikiran………...…………... 27

3.2. Hipotesis………...…….………... 30

3.3. Model Pasar Input dan pasar Output Kayu…………... 30

3.4. Simulasi Kebijakan………... 38

3.5. Sumber dan Jenis Data…………...………... 41

IV. GAMBARAN UMUM ………...…... 43

4.1. Produksi Kayu Bulat………... 43

4.2. Industri Pengolahan Berbasis Kayu………..………….. 46

4.3. Kebijakan Pengelolaan Hutan Produksi ………... 50

4.4. Peranan Sektor Kehutanan dalam Perekonomian………... 54


(21)

xx

V. ANALISIS PENAWARAN DAN PERMINTAAN KAYU BULAT UNTUK PEMENUHAN KEBUTUHAN INDUSTRI KAYU LAPIS,

KAYU GERGAJI DAN PULP DI INDONESIA……… 57

5.1. Pasar Input Kayu Bulat…………... 58

5.2. Pasar Output Produk Kayu Bulat….……….……….. 63

VI. DAMPAK KEBIJAKAN PROVISI SUMBERDAYA HUTAN DAN DANA REBOISASI TERHADAP KESEJAHTERAAN……… 69

6.1. Dampak PSDH dan DR Terhadap Perubahan Kesejahteraan…... 69

6.2. Dampak PSDH dan DR Terhadap Perubahan Harga………. 71

6.3. Dampak PSDH dan DR Terhadap Produksi dan Harga ………... 84

6.4. Dampak PSDH dan DR Terhadap Perubahan Kesejahteraan di Pasar Input dan Pasar Output ………... 91

VII. KESIMPULAN DAN SARAN……… 101

7.1 Kesimpulan………..……... 102

7.2 Saran………..………... 102

DAFTAR PUSTAKA………..………... 103


(22)

xxi

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Elastisitas Demand Jangka Panjang Hasil Hutan ………..…... 14 2. Jatah Produksi Tahunan Kayu Bulat Nasional Tahun 2005-2010…………. 15 3. Ekspektasi Tanda Parameter………... 37 4. Kontribusi Sub-Sektor Kehutanan Terhadap Produk Domestik Bruto

Atas Dasar Harga Berlaku Selama 13 Tahun Terakhir……….…... 56 5. Nilai Dugaan Parameter Pasar Input dan Pasar Output Kayu ………... 57 6. Dampak Skenario Kebijakan PSDH dan DR terhadap Perubahan

Kesejahteraan………. 80

7. Dampak Kebijakan PSDH dan DR terhadap Harga Kayu Bulat dan Kayu

Olahan ……….……….. 75

8. Dampak Skenario Kebijakan dan DR terhadap Perubahan harga di Pasar

Input dan Pasar Output………... 80

9. Perubahan Kesejahteraan di Pasar Input……… 81

10. Perubahan Kesejahteraan di Pasar Output….………. 90 11. Dampak Skenario Kebijakan dan DR terhadap Perubahan ………... 92


(23)

(24)

xxiii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1. Produksi Kayu Bulat Indonesia Tahun 1991-2009.………... 16 2. Penerapan Pajak………...………... 20 3. Keterkaitan Pasar Kayu Bulat dengan Hasil Olahan Industri Kayu Primer... 40

4. Produksi Kayu Bulat HPH……….………... 41

5. Produksi Kayu Bulat Non HPH………..……….. 42

6. Perkembangan Industri Pulp Indonesia Periode Tahun 2000-2009…………. 46 7. Pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto Sektor Kehutanan…….………… 53


(25)

(26)

xxv

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data Penelitian ………... 101 2. Program RATS untuk Estimasi Parameter ……….. 103 3. Ringkasan Hasil Pengolahan Estimasi Parameter Menggunakan RATS ... 113


(27)

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam tiga dasawarsa terakhir sektor kehutanan memberikan kontribusi penting bagi perekonomian Indonesia. Selama periode tahun 1980-2005 penerimaan dari sektor kehutanan cukup berfluktuasi, dan mencapai puncaknya pada tahun 1997, sebesar US$ 6.24 milyar. Penerimaan dari sektor kehutanan antara lain berasal dari Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH), Dana Reboisasi (DJR/DR) dan Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH/IHH). Penerimaan ini dikelompokan dalam penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Realisasi Penerimaan dari PSDH dan DR hingga semester I tahun 2009 mencapai Rp 1.1 triliun atau 40 persen dari target tahun yang sama1, atau sebesar Rp 2.1 triliun pada tahun 2010 (Kementerian Kehutanan, 2011). Penerimaan negara bukan pajak dari sektor kehutanan pada tahun 2010 mencapai Rp 3.1 triliun, dimana dari sektor PSDH dan DR memberikan kontribusi sebesar Rp 2.5 triliun. Penerimaan negara dari sektor kehutanan, khususnya atas dasar penerimaan dari produksi kayu yang dihitung dari Dana Reboisasi sangat berfluktuatif, dari tahun 2006 ke tahun 2007 mengalami penurunan, dari sebesar Rp 1.7 triliun menjadi Rp 1.3 triliun, kemudian kenaikan lagi menjadi Rp 1. 6 triliun, Rp 1.5 triliun dan Rp 1.7 triliun pada tahun 2008, 2009 dan 2010. Sedangkan penerimaan dari Provisi Sumberdaya Hutan relatif mengalami kenaikan dari tahun 2008 sampai 2010, berturut-turut

1

Bisnis Indonesia. 2009. Penerimaan DR & PSDH baru 40%. Selasa 8 September 2009. (http://www.pajakonline.com/engine/artikel/art.php?artid=6403).


(28)

2

sebesar Rp 0.62 triliun, Rp 0.67 triliun dan Rp 0.8 triliun (Kementerian Kehutanan, 2011)

PSDH dikenakan kepada pemegang izin sebagai pengganti nilai instrinsik hasil hutan yang dipungut dari hutan negara. Kayu bulat yang dikenakan PSDH mencakup kayu bulat yang berasal dari hutan alam dan hutan tanaman. Besarnya PSDH yang harus dibayar sebesar tarif, 10 persen dikalikan harga patokan dan dikalikan dengan jumlah hasil hutan kayu dari Laporan Hasil Produksi (LHP) kayu bulat. LHP merupakan laporan dari ketersediaan stok sesungguhnya di hutan (standing stock) yang siap untuk ditebang.

Dana Reboisasi (DR) adalah dana yang dipungut dari kegiatan eksploitasi hutan, digunakan untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya. DR dikenakan kepada pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam, hasil penebangan (land clearing) areal hutan alam, hutan tanaman yang dibiayai negara, dari hasil sitaan, dari penjualan tegakan dan dari hutan desa. Besarnya DR yang dibayarkan oleh perusahaan dihitung atas dasar volume kayu yang diproduksi dikalikan dengan kewajiban yang harus dikeluarkan oleh perusahaan per satuan volume kayu (m3) berdasarkan LHP. Besarnya DR ditetapka antara US$ 13-16 per m3 untuk kelompok kayu jenis meranti dan US$ 10.5-13 per m3 untuk kelompok kayu jenis rimba campuran, tergantung wilayah perusahaan beroperasi. Pembayaran DR oleh perusahaan tidak dimaksudkan bahwa perusahaan bisa melepaskan kewajiban pemegang izin hak pengusahaan hutan untuk memelihara hutan dan melakukan regenerasi hutan.

USAID dan Bank Dunia mencatat masih intensifnya produksi kayu bulat untuk bahan baku kayu lapis, kayu gergaji dan pulp. Beberapa kebijakan


(29)

3

pemerintah telah menyebabkan industri perkayuan tumbuh cepat dan mengalami perubahan struktur selama periode tahun 1980-2005, peningkatan defisit bahan baku industri kayu gergajian dan kayu lapis (serta veneer) sejak tahun 1997, sementara kapasitas terpasang industri pulp terus meningkat. Persoalan kesenjangan penawaran dan permintaan kayu bulat merupakan persoalan jangka panjang keberlanjutan industri pengolahan kayu (Simangunsong, et al., 2007).

Produksi kayu bulat yang berasal dari hutan alam pada tahun 2009 berjumlah kurang dari 5 juta m3 per tahun, dan dari hutan tanaman berjumlah 22 juta m3 pada tahun 2008 serta 18 juta m3 pada tahun 2009 (Kementerian Kehutanan, 2010). Apabila dibandingkan dengan produksi kayu bulat dari hutan alam periode tahun 1997-2000, lebih dari 10 juta m3 per tahun. Produksi kayu bulat dari Hutan Tanaman Industri (HTI) meningkat dari 600 000 m3 pada Tahun 1997 menjadi 11 juta m3 pada tahun 2006. Konsumsi kayu oleh industri perkayuan meningkat tajam dari 11.7 juta m3 pada tahun 1980 menjadi 24.1 juta m3 pada tahun 1985, puncaknya 52.7 juta m3 pada tahun 2003, dan menurun dengan tajam menjadi 44.5 juta m3 pada tahun 2005. Produksi total kayu bulat pada tahun 2005 adalah 24.22 juta m3 yang berasal dari hutan alam sebesar 5.72 juta m3 dan hutan tanaman industri sebesar 12.82 juta m3 disamping sumber lainnya seperti dari hutan tanaman Perum Perhutani. Selisih dari kayu bulat yang dikonsumsi oleh industri kayu olahan dengan produksi kayu bulat resmi sering dipertanyakan, bahkan dianggap sebagai kayu bulat illegal (Simangunsong, et al., 2007). Menurut FAO produksi rata-rata kayu bulat Indonesia tahun 1995 sampai dengan 2009 masih mencapai lebih dari 30 juta m3 (Food Agriculture Organization, 2011). Dalam hal ini terdapat ketidak sesuaian data apabila


(30)

4

membandingkan data dari Kementerian Kehutanan dengan data yang dikeluarkan oleh FAO.

Indonesia menjadi salah satu negara penghasil terbesar pulp dunia, bersama Cina dan Brazil. Industri pulp Indonesia berada dalam kapasitas pemanfaatan yang sangat tinggi, dengan rata-rata pemanfaatan install capacity lebih dari 80 persen. Berdasarkan data dari Simangunsong et al., (2007) dalam Road Map Revitalisasi Kehutanan Indonesia, terdapat 10 pabrik pulp dan kertas yang terintegrasi dan 3 pabrik pulp tidak terintegrasi dengan total kapasitas terpasang 6.45 juta Adt (airdried ton) pada tahun 2005, dan 86% dari kapasitas terpasang tersebut berlokasi di Sumatera.

Berbeda dengan industri pulp, 90 persen anggota Indonesia Sawmill and Woodworking (ISWA) adalah perusahaan kecil menengah dan tidak mempunyai HPH, dari yang terdaftar sekitar 1 600 perusahaan dan berorientasi ekspor, dari tahun ke tahun mulai menurun menjadi 600an perusahaan saja pada tahun 2006. Asosiasi Panel Kayu Indonesia (APKINDO) mencatat jumlah anggotanya per Oktober 2006 ada 130 perusahaan, namun yang aktif hanya berjumlah 68 perusahaan dengan kapasitas produksi 6.1 juta m3/tahun dimana hanya 19 unit yang berproduksi normal (1.54 juta m3/tahun). Sedangkan produksi kayu lapis pada tahun 2009 sebesar 3 juta m3 dan produksi kayu gergaji pada tahun yang sama mencapai 0.7 juta m3 (Kementerian Kehutanan, 2010).

1.2. Perumusan Masalah

Sinaga (1989) menyebutkan intervensi kebijakan larangan ekspor kayu bulat periode penelitian tahun 1975-1982 berdampak kepada terjadinya penurunan


(31)

5

produksi kayu bulat dan penurunan harga kayu bulat domestik. Rusli (1999) menyebutkan ada keterkaitan penerapan kebijakan konservasi di Indonesia dengan pasar kayu lapis, dimana kebijakan konservasi akan terkait dengan pengurangan Jatah Penebangan Tahunan (Annual Allowable Cut/AAC) kayu bulat, yang mempengaruhi produksi industri kayu lapis. Di Barat Laut Pacific Amerika Serikat, peraturan konservasi berdampak kepada penurunan produksi kayu (Wear dan Park, 1994). Karena kualitas hutan semakin menurun, maka ketersediaan bahan baku kayu bulat terus menurun. Apabila memberlakukan kebijakan pembatasan produksi, maka akan mengakibatkan penawaran menurun, dibatasi oleh jumlah produksi yang lebih kecil dari sebelumnya, dengan jumlah permintaan yang konstan, akan terjadi kenaikan harga per satuan volume. Dengan keseimbangan baru ini, akan terjadi penurunan tingkat kesejahteraan produsen dan konsumen (Pindyck, 2005).

Penurunan ketersediaan sumber bahan baku kayu bulat merupakan masalah besar yang dihadapi industri pengolahan kayu. Kebijakan pembatasan produksi kayu bulat bisa menjadi kebijakan konservasi yang dapat digunakan untuk mengurangi tekanan terhadap hutan alam.

Dampak penerapan instrumen pajak per unit, dapat dilihat melalui perbedaan pajak yang dibayar oleh konsumen dan yang dibayar oleh produsen (Nicholson, 2000). Besarnya kehilangan penerimaan produsen dan konsumen akibat kebijakan pajak akan menjadi bagian penerimaan pemerintah. Beberapa hasil penelitian terkait menunjukkan bahwa kebijakan pajak akan mempengaruhi tingkat produksi kayu bulat. Kebijakan PSDH dan DR berturut-turut merupakan


(32)

6

royalti dan dana yang menjadi kewajiban dan yang harus dibayarkan oleh perusahaan kepada pemerintah.

Evaluasi dampak kebijakan terhadap kesejahteraan dapat dilakukan dengan melakukan analisis kesejahteraan. Nicholson (2000) menyebutkan bahwa kesejahteraan akan maksimum pada keseimbangan pasar kompetisi (competitive market equilibrium). Just et al. (1982) menyebutkan bahwa surplus konsumen sering digunakan untuk mengukur kesejahteraan konsumen, dan surplus produsen adalah paling umum digunakan untuk mengukur kesejahteraan produsen.

Pengelola hutan alam dan hutan tanaman merupakan produsen penghasil kayu bulat penyedia kebutuhan bahan baku utama industri pengolahan kayu primer. Kegiatan eksploitasi kayu bulat yang bearasal dari hutan alam pada masa lalu sangat tinggi, dimana penebangan kayu bulat dari hutan alam jauh melebihi dari kemampuan produksi secara lestari. Tingkat eksploitasi kayu bulat atas dasar kebutuhan bahan baku industri perkayuan belum dapat didukung oleh percepatan riap pertumbuhan kayu.

Kondisi sumber bahan baku yang semakin menurun menjadikan ketergantungan industri kayu terhadap sumberbahan baku semakin tinggi. Namun disisi lain kebutuhan untuk memenuhi kapasitas industri perkayuan semakin tinggi, khususnya industri pulp yang akhir-akhir ini semakin meningkat, bertolak belakang dengan industri kayu lapis dan kayu gergaji yang produksi kayu olahannya semakin menurun.

Bagaimanapun situasi perkayuan saat ini, perusahaan penyedia bahan baku kayu bulat diwajibkan untuk membayar PSDH dan DR, dan disetor ke kas negara. Dari pemaparan tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan:


(33)

7

1. Bagaimana ketersediaan kayu bulat dapat mendukung keberlangsungan industri pengolahan kayu primer?

2. Bagaimana implikasi penerapan kebijakan PSDH dan DR terhadap kesejahteraan produsen, konsumen?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalis model penawaran dan permintaan kayu bulat melalui estimasi elastisitas penawaran dan permintaan pada pasar input kayu bulat dan pasar output produk primer kayu olahan.

2. Menganalisis dampak kebijakan PSDH dan DR terhadap produksi, dan harga kayu bulat serta kayu olahan.

3. Menganalisi berbagai skenario kebijakan PSDH dan DR dan dampaknya terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen.

1.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk memberikan tambahan informasi mengenai elastisitas penawaran dan permintaan penelitian terkait yang sudah pernah dilakukan, khususnya untuk mendapatkan gambaran model penawaran dan permintaan kayu bulat di Indonesia. Selain itu diharapkan juga dapat digunakan untuk mengetahui dampak penerapan berbagai kebijakan sektor kehutanan, termasuk penerapan kebijakan PSDH dan DR terhadap kesejahteraan, atau kemungkinan kebijakan tarif lainnya di sektor industri kayu primer.


(34)

8

Penelitian diharapkan juga dapat digunakan untuk mencari alternatif kebijakan melalui berbagai pilihan skenario kebijakan yang diterapkan, dan bisa digunakan sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam penyusunan kebijakan sektor kehutanan agar dapat mendorong industri perkayuan bisa bersaing di pasar dunia dengan cara memperkuat pondasi pengelolaan kehutanan di dalam negeri, serta bisa bermanfaat bagi perusahaan untuk penyusunan perencanaan bisnis perusahaan yang lebih baik.

1.5. Ruang Lingkup

Industri kayu primer yaitu industri kayu lapis, industri kayu gergaji dan industri pulp membutuhkan kayu bulat sebagai bahan baku utama. Kayu bulat diperoleh dari hutan alam dan hutan tanaman. Beberapa faktor yang mempengaruhi perusahaan dalam menyediaan kayu bulat antara lain sumber bahan baku di hutan (tegakan hutan), tingkat harga kayu bulat di pasaran dan kemampuan finansial perusahaan. Kewajiban perusahaan membayar royalti PSDH dan DR merupakan bagian penerimaan negara bukan pajak yang ikut mempengaruhi harga kayu bulat.

Ruang lingkup penelitian adalah secara nasional meliputi penelitian sumber bahan baku dari hutan alam dan Hutan Tanaman Industri (HTI). HTI terdiri dari HTI perkakas dan HTI pulp. Produk kayu olahan industri primer meliputi kayu lapis, kayu gergaji dan pulp. Penelitian ini tidak mencakup mengenai penerapan kebijakan Jatah Produksi Tahunan (JPT) yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan pengelola kayu bulat (HPH) dan tidak mencakup mengenai penerapan kebijakan tarif yang dibebankan oleh pemerintah kepada industri kayu primer.


(35)

9

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penawaran dan Permintaan Kayu Bulat

Kurva penawaran adalah hubungan antara jumlah barang yang perusahaan bersedia menjual dengan harga barang tersebut (Pindyck dan Rubinfeld, 2005). Konsep penawaran digunakan untuk menunjukan keinginan para penjual di suatu pasar. Kurva Penawaran memiliki kemiringan positif karena biaya marginal akan meningkat apabila kuantitas meningkat (Nicholson, 2000).

Kurva penawaran menunjukan hubungan antara kuantitas suatu barang yang ditawarkan pada berbagai tingkat harga, ceterus paribus (Arsyad, 1999). Berdasarkan ragam dari fungsi permintaan, untuk pemanfaatan utility maximization problem, dikenal individual demand function: permintaan kuantitas sebagai fungsi dari harga (the ordinary demand curve), dan permintaan kuantitas sebagai fungsi dari pendapatan (the Engle Curve), permintaan kuantitas fungsi dari harga dan barang lain (the cross-price demand function) (Binger dan Hoffman, 1988).

Menurut Pindyck dan Rubinfeld (2005), faktor diluar harga yang mempengaruhi penawaran yaitu biaya produksi yang terdiri dari faktor tenaga kerja (labor), modal (capital) dan bahan baku (raw material).

Sedangkan kurva permintaan adalah hubungan antara jumlah barang yang konsumen bersedia membeli dengan harga barang tersebut (Pindyck dan Rubinfeld, 2005). Faktor di luar harga yang mempengaruhi permintaan adalah pendapatan (income), selera (consumer tastes) dan harga barang lain (related goods) yaitu barang substitusi (substitutes) dan barang komplemen (complements)


(36)

10

(Pindyck dan Rubinfeld, 2005). Kurva permintaan memiliki kemiringan negatif karena nilai marginalnya turun apabila kuantitasnya meningkat (Nicholson, 2000). Model ekonomi yang paling umum digunakan yaitu model penawaran-permintaan, yang menggambarkan bagaimana harga berperan dalam biaya produksi dan keinginan pembeli untuk membayar pada tingkat biaya tersebut (Nicholson, 2000). Model penawaran-permintaan dapat digunakan untuk menganalisis dampak dari berbagai bentuk kebijakan yang ditetapkan pemerintah, termasuk digunakan untuk menganalisis bagaimana kebijakan pajak mempengaruhi konsumen dan produsen. Karakteristik keseimbangan pasar apabila kuantitas permintaan sama dengan kuantitas penawaran (QD = QS), tidak

terjadi kelebihan penawaran (no excess supply) atau kekurangan (no shortage)dan tidak ada tekanan terhadap harga untuk berubah (no pressure on the price to change) (Pindyck dan Rubinfeld, 2005).

Konsep permintaan digunakan untuk menunjukkan keinginan-keinginan seorang pembeli pada suatu pasar. Fungsi permintaan menunjukan hubungan antara kuantitas suatu barang yang diminta dengan semua faktor yang mempengaruhinya. Harga, pendapatan, selera dan harapan-harapan untuk masa datang merupakan variabel-variabel penting dalam fungsi permintaan. Para pembeli dianggap akan membeli barang dalam jumlah yang dapat memaksimumkan kepuasan mereka (Arsyad, 1999). Hubungan antara harga dan kuantitas yang diminta adalah berbanding terbalik. Jika harga naik, kuantitas yang

diminta turun. Hubungan ini disebut “hukum permintaan” (Arsyad, 1999).

Model penawaran-permintaan adalah model yang menggambarkan bagaimana harga suatu barang ditentukan oleh perilaku individu-individu yang


(37)

11

membeli barang tersebut dan perusahaan-perusahaan yang menjualnya (Nicholson, 2000). Beberapa hasil penelitan menyebutkan intervensi kebijakan yang dilakukan pemerintah akan berpengaruh terhadap penawaran dan permintaan kayu bulat.

Menurut Pindyck dan Rubinfeld (2005), elastisitas adalah persentase perubahan satu variabel yang menghasilkan perubahan satu persen kenaikan pada variabel lainnya. Elastisitas permintaan adalah persentase perubahan kuantitas permintaan dari produk akibat kenaikan satu persen harga. Sedangkan elastisitas penawaran adalah persentase perubahan kuantitas penawaran akibat kenaikan satu persen harga. Nicholson (2000) menyebutkan bahwa pada kurva yang memiliki elastisitas permintaan kurang dari -1 bersifat elastis, dan yang memiliki elastisitas permintaan sama dengan -1 bersifat unit elastis, serta yang memiliki elastisitas permintaan lebih dari -1 bersifat inelastis. Untuk kurva yang elastis, perubahan harga sepanjang kurva akan mempengaruhi terjadinya perubahan kuantitas permintaan produk secara nyata (significant). Pada kasus inelastis, adanya perubahan harga akan sangat kecil pengaruhnya terhadap kuantitas permintaan. Menurut Pindyck dan Rubinfeld (2005), elastisitas penawaran tergantung kepada suku bunga, upah, harga bahan baku, dan bahan lainnya (intermediate goods) yang digunakan untuk menghasilkan produk. Kenaikan biaya input akan menyebabkan meningkatkanya biaya perusahaan.

Apabila elastisitas permintaan bersifat elastis, maka konsumen akan membeli sebanyak mungkin yang bisa didapatkan pada harga keseimbangan, tetapi akan menguranginya apabila harga produk naik dan meningkatkan pembeliannya apabila harga produk turun (Pindyck dan Rubinfeld, 2005).


(38)

12

Sebaliknya apabila harga bersefat inelastis, maka diperlukan kenaikan harga yang cukup tinggi untuk untuk membuat konsumen mengurangi permintaan dan pindah ke barang substitusi Menurut McGuyan dan Moyer (1986) faktor yang mempengaruhi permintaan yaitu ketahanan penggunaan barang, derived permintaan, sebagai bahan baku produk lain dan (3) Nilai tukar. Harga produk yang memiliki barang substitusi lebih elastis. Produk tahan lama (durable) bersifat elastis, dan yang memiliki porsi terbesar anggaran (budget) lebih elastis. Beberapa nilai elastisitas permintaan jangka panjang dari beberapa komoditi hasil hutan dapat di lihat pada Tabel 1.

Dengan menggunakan data deret waktu (timeseries) 1967-1982, Sinaga (1989) membangun model ekonometrika industri produk kayu olahan dengan menggunakan berbagai simulasi yang menjelaskan hubungan penawaran, permintaan dan harga, menunjukan adanya pengaruh kebijakan intervensi pemerintah di setiap sub-sektor industri kayu Indonesia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan disebutkan bahwa penerapan kebijakan larangan ekspor kayu bulat akan mengakibatkan terjadinya penurunan produksi dan turunnya harga kayu bulat domestik.

Berdasarkan hasil penelitian Simangunsong (2001) terhadap model permintaan internasional berdasarkan data yang diambil dari 64 negara (data tahun 1973 sampai tahun 1997) terhadap tujuh kelompok hasil hutan, dimana persamaan penawaran diturunkan dari model harga internasional 18 negara (data tahun 1975 sampai tahun 1995), serta dilakukan ujicoba permintaan dinamis dan permintaan statis serta persamaan harga, maka secara umum model statis yang diduga dengan menggunakan Least Squares with Dummy Variables (LSDV)


(39)

13

sangat cocok untuk menduga model permintaan dan penawaran. Juga disebutkan bahwa terdapat kecenderungan elastisitas yang sama di semua negara. Berdasarkan penelitian ini ditemukan bahwa untuk permintaan hasil hutan akan memiliki harga yang inelastis.

Berkaitan dengan perkembangan penawaran kayu bulat, saat ini tidak ada data yang berkaitan dengan luas efektif areal tebang di dalam wilayah kerja HPH. Namun berdasarkan asumsi bahwa satu hektar hutan produksi menghasilkan rata-rata sebanyak 40 m3 (Timotius, 2000), maka luas areal tebang akan sangat ditentukan oleh volume kayu yang dikeluarkan dan sangat ditentukan oleh perubahan harga kayu bulat yang berlaku di pasaran.

Sejalan dengan semakin berkurangnya tutupan hutan, termasuk semakin turunnya kualitas hutan produksi, maka jumlah HPH dan produksi kayu bulat dari tahun ke tahun semakin menurun. Untuk melaksanakan praktik penebangan yang lebih baik, maka pemerintah melakukan pengendalian produksi kayu bulat. Praktik pengendalian produksi kayu bulat hutan alam yang dilakukan pemerintah melalui sistem pengaturan RKT selama ini dianggap tidak efektif (masih mengalami kebocoran), terbukti masih banyaknya produksi kayu ilegal di pasar dalam negeri maupun ekspor (Astana, Sabarudi dan Muttaqin, 2003). Pada Gambar 1, berdasarkan sumber data yang dari Departemen Kehutanan dan dari Food Agriculture Organizatio (FAO) dapat dilihat bahwa perkembangan produksi kayu bulat dari waktu ke waktu terus mengalami penurunan. Hal ini juga sejalan dengan keberadaan kualitas tutupan (forest cover) hutan alam yang semakin menurun serta jumlah perusahaan HPH yang melakukan kegiatan di kawasan hutan alam produksi juga semakin menurun.


(40)

14

Tabel 1. Elastisitas Permintaan Jangka Panjang Hasil Hutan

Sumber: Simangunsong, 2001

Elasticity/ 2) 3) 4) 5) 6) 7) 9) 10) Median

Product a) b) a) b)

Price elasticity

Sawn -0.80 -0.22 -0.51

Sawn. c -0.21 -0.72 -0.24 -1.13 0.38 -0.46 -0.35

Sawn. nc -0.16 -0.90 -0.16 -0.53 -1.00 -0.07 -0.35

Panels -0.37 -0.37

Ply 0.15 -0.55 -0.18 -0.09 -0.25 -0.25 -0.21

Part -0.14 -0.09 -0.17 0.00 -0.69 -0.14

Fiber -0.17 0.08 -1.11 -0.26 -0.68 -0.26

News -0.75 -0.59 -1.15 -0.30 -0.05 -0.72 -0.76 -0.27 -0.13 -0.48 -0.18 -0.48 Print -0.74 -0.21 -0.78 0.00 0.00 -0.49 -0.70 -0.26 -0.09 -0.89 -0.27 -0.27 Opap -0.83 -0.29 -0.88 -0.01 -0.29 -0.72 -0.45 0.00 -0.69 -0.30 -0.10 -0.30

GDP elasticity

Sawn 0.91 0.50 0.71

Sawn. c 0.71 1.57 1.41 0.85 0.16 0.28 0.78

Sawn. nc 0.53 0.88 1.26 0.25 0.77 0.81 0.79

Panels 1.37 1.37

Ply 1.02 1.46 0.30 0.10 1.47 0.86 0.94

Part 2.32 3.08 0.60 0.97 1.02 1.02

Fiber 1.07 1.70 0.14 1.38 1.55 1.38

News 1.07 0.84 1.23 0.84 1.08 0.95 1.14 0.73 1.54 0.63 1.07 1.07

Print 1.20 1.56 1.24 1.52 1.31 1.03 1.29 1.52 1.47 1.07 1.55 1.31

Opap 1.65 1.41 1.24 0.62 1.59 0.98 1.00 1.61 1.02 0.41 1.30 1.24

1) Biongiono (1978). 43 countries. 1963-1973. a) hingh income. B) low income. 2) Biongiono (1979). 43 countries. 1963-1973.

3) Wibe (1984), 103 countries, 1970-1979. 4) Uutela (1987), 40 countries, 1965-1980.

5) Biongiono and Chang (1986). 10 OECD countries. 1961-1981, within-country estimates. 6) Baudin and Lundberg (1987), major consuming countries, 1961-1981.

7) Prestemon and Buongiono (1993), 24 countries, 1968-1988.

8) Brooks et al (1995), 8 countries, 1964-1991, a) high income, b) low income. 9) Ches-Amil and Buongiono (2000), 14 EU countries, 1969-1992

10) Simangunsong and Buongiono (2001), 62 countries, 1973-1997


(41)

15

NO PROVINSI TAHUN

2006 2007 2008 2009 2010 1 NAD 500 000 500 000 35000 35 000 2 Sumatera Utara 103 350 100 000 75 000 50 000 75 000 3 Sumatera Barat 204 400 106 000 125 000 200 000 180 000 4 Riau 300 700 185 000 150 000 150 000 175 000 5 Kep Riau

6 Jambi 74 130 70 000 50 000 50 000 7 Sumatera

Selatan

20 000 20 000 8 Bengkulu 36 630 35 000 0 20 000 20 000 9 Bangka Belitung

10 Lampung 11 DKI Jakarta 12 Jawa Barat 13 Banten 14 Jawa Tengah 15 D.I. Yogyakarta 16 Jawa Timur 17 Bali

18 NTB 33 800 19 NTT

20 Kalimantan

Barat 365 750 380 000

525 000 500 000 520 000 21 Kalimantan

Tengah 822 000 1 850 000

1 850 000 2 100 000 2 030 000 22 Kalimantan

Selatan 52 200 65 000

65 000 60 000 65 000 23 Kalimantan

Timur 2 440 700 2 350 000

2 425 000 2 450 000 2 450 000 24 Sulawesi Utara 25 200 20 000 30 000 35 000 40 000 25 Gorontalo 25 650 85 000 85 000 60 000 75 000 26 Sulawesi

Tengah 229 600 145 000

145 000 125 000 125 000 27 Sulawesi

Tenggara

90 000 80 000 75 000 28 Sulawesi

Selatan

29 Sulawesi Barat 149 160 180 000 125 000 50 000 90 000 30 Maluku 287 250 300 000 325 000 350 000 300 000 31 Maluku Utara 264 100 310 000 325 000 350 000 350 000 32 Papua Barat 1 412 280 1 439 000 1 435 000 1 225 000 1 200 000 33 Papua 825 350 980 000 1 230 000 1 225 000 1 225 000 JUMLAH/Total 8 152 250 9 100 000 9 100 000 9 100 000 9 100 000

Tabel 2. Jatah Produksi Tahunan Kayu Bulat Nasional Tahun 2005-2010


(42)

16

Penelitian mengenai peraturan dilakukan di Barat Laut Pacific Amerika Serikat, berkaitan dengan undang-undang species langka (endanger species) untuk melindungi sejenis burung hantu (Strix occidentalis caurina) dari kepunahan. Peraturan konservasi berdampak kepada penurunan produksi kayu dari wilayah penghasil sepertiga kayu softwood di Amerika Serikat. Dengan turunnya produksi kayu bulat di wilayah tersebut kemudian berdampak kepada keberlanjutan industri perkayuan dan penyerapan tenaga kerja (Wear dan Park, 1994).

Sumber: * Departemen Kehutanan, 2003 dan Kementerian Kehutanan, 2011 ** FAO, 2011

Gambar 1. Produksi Kayu Bulat Indonesia Tahun 1995-2009

Dari sisi permintaan, Sinaga (1989) menyebutkan bahwa permintaan kayu bulat dalam negeri tergatung kepada harga yang berlaku di pasaran dan harga yang yang berlaku untuk barang substitusinya. Menurut Wan (2009), industry pengolahan kayu di China sangat tergantung kepada penawaran bahan baku yang berasal dari impor. Kayu lapis adalah produk kayu olahan yang penting di China, dan China adalah salah satu negara pengekspor plywood, meskipun tergantung


(43)

17

kepada bahan baku dari impor. Walaupun pemerintah secara intensif melakukan program hutan tanaman, tetapi kebutuhan produksi kayu bulat domestik masih jauh dari mencukupi.

Samad, et al. (2009) mengemukakan bahwa permintaan kayu bulat dunia akan meningkat sejalan dengan peningkatan populasi dan peningkatan pembangunan ekonomi khsusunya di negara-negara berkembang. Dengan alasan tersebut Malaysia kemudian melakukan komitmen pengellaan hutan lestari,

diantaranya melaksanakan penebangan hutan dengan metoda “reduce impact logging”. Hal ini mengakibatkan berkurangnya penawaran kayu bulat untuk industri hilir perkayuan. Malaysia Barat telah mengalami defisit kayu bulat sejak tahun 1995 berdampak kepada produk utama perkayuan, berpindah dari yang tadinya surplus menjadi defisit kayu bulat. Dari hasil penelitian perilakuk pasar kayu bulat di Malaysia Barat berkaitan dengan kebijakan pengelolaan hutan lestari, menunjukan bahwa pelaksanaan sepenuhnya (full adoption) kebijakan pengelolaan hutan lestari akan menyebabkan pengurangan penawaran kayu bulat, yang berlanjut kepada peningkatan harga dalam jangka panjang, namun tidak berpengaruh kepada permintaan. Kemungkinan kebijakan ini akan mempengaruhi skema pembangunan hutan tanaman untuk mendukung kelestarian kehutanan di Malaysia Barat.

Hasil kajian yang diakukan oleh Prahasto dan Nurfatriani (2001) menunjukkan bahwa produksi kayu bulat yang dihasilkan dari hutan alam dalam rentang lima tahun terakhir sebelummya cenderung menurun sedangkan produksi dari hutan tanaman dari berbagai sumber belum menunjukkan kenaikan yang berarti. Menurut Surhandari (2008), untuk mengurangi permintaan kayu bulat di


(44)

18

Indonesia, alternatif yang mungkin dapat dilakukan dengan pengurangan kapasitas industri pengolahan kayu, khususnya mengurangi jumlah industri yang dianggap tidak efisien. Solusi lain yang dapat ditempuh adalah mempercepat pembangunan hutan tanaman industri (HTI) atau hutan tanaman sejenis seperti hutan tanaman rakyat (HTR).

Selain untuk pemenuhan bahan baku industri kayu lapis dan kayu gergaji, produksi kayu bulat Indonesia juga dibutuhkan untuk bahan baku industri pulp. Perkembangan industri pulp Indonesia selain memiliki peluang pengembangan yang cukup baik, juga dihadapkan kepada beberapa kendala, diantaranya persoalan bahan baku, dimana 93 persen kertas dunia berasal dari bahan baku kayu (Situmorang, 2009).

Upaya untuk melakukan konservasi di Finland akan meningkatkan harga bahan baku kayu bulat yang juga akan meningkatkan biaya produksi industri perkayuan. Hal ini telah menyebabkan produksi kayu gergaji turun, tetapi tidak akan mempengaruhi produksi kertas dan paperboard. Apabila konservasi meningkatkan impor kayu bulat maka pengaruh terhadap bahan baku terhadap industri kehutanan menjadi sangat kecil (Hänninen, et al., 2007)

Penelitian dampak kebijakan konservasi di Norwegia yang dilakukan menggunakan partial equilibrium model untuk sektor kehutanan terhadap harga kayu bulat dan hasil olahan, menunjukan bahwa harga kayu bulat akan meningkat rata-rata dengan peningkatan upaya konservasi secara lokal. Dampak terhadap harga kayu bulat akan menjadi sangat terasa apabila mitra dagang Norwegia juga melakukan kebijakan konservasi. Apabila pemilik hutan sukarela juga melakukan konservasi mengikuti kebijakan pemerintah di Norwegia, maka. produksi kayu


(45)

19

gergaji domestik diproyeksikan akan berkurang, sementara produksi pulp dan kertas hampir tidak terpengaruh dalam jangka pendek (short run). Akhirnya kenaikan permintaan hasil hutan untuk kepentingan lingkungan (environment good will) akan meningkatkan harga kayu bulat dan intensitas penebangan tidak berpengaruh terhadap luas kawasan hutan (Bolkesjø et al., 2005)

2.2. Provisi Sumberdaya Hutan dan Dana Reboisasi

Varian (1987) menyebutkan bahwa kebijakan ekonomi seperti pajak sering mempengaruhi anggaran konsumen yang terbatas. Secara teoritis, instrumen pajak ini akan mempengaruhi perubahan kemiringan (slope) garis anggaran (budget line) dengan merubah harga yang diterima oleh konsumen.

Nicholson (2000) menjelaskan bahwa untuk mengetahui dampak dari pajak per unit , perlu dilihat perbedaan pajak yang dibayar oleh pembeli dan pajak yang dibayar oleh penjual. Pajak per unit merupakan juga besaran harga yang dibebankan kepada konsumen harga dan produsen. Namun kehilangan yang mestinya diterima oleh konsumen dan produsen akan menjadi penerimaan bagi pemerintah.

Penerapan pajak akan membuat harga komoditi meningkat sehingga produsen akan mengurangi penawaran kayu bulat ke pasar. Dengan penerapan pajak maka akan terjadi harga keseimbangan baru, dimana harga yang diterima oleh konsumen adalah sebesar P2, dan harga yang diterima oleh produsen adalah sebesar P3. Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) atau Resources Royalty Provision adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik atas hasil yang dipungut dari


(46)

20

hutan negara. Dan DR adalah pungutan yang dibebankan terhadap kayu bulat hutan alam.

Sumber: Pindyck, 2005 (diolah) Gambar 2. Penerapan Pajak

Iuran Hasil Hutan di Indonesia pertama kali dipungut tahun 1968, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1969 tentang Iuran HPH (IHPH) dan Iuran Hasil Hutan (IHH), Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 2/1/1968 Tahun 1968 tentang Penetapan Besarnya Jumlah IHPH dan IHH, dan pada waktu itu IHH sudah mencakup pembayaran PBB. Pada tahun 1998 kemudian menggunakan dasar hukum Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1998 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Besarnya ditetapkan sama sebesar 6 persen dari harga untuk seluruh jenis dan seluruh wilayah. Pada tahun 1999 dasar hukum yang digunakan adalah Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 220/kpts-II/1999 tentang Besarnya Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) per


(47)

21

satuan Hasil Hutan Kayu. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 1999 tentang Perubahan PP No 59 tahun 1998 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 06/Kep/I/1999 tentang Penetapan Harga Patokan untuk Perhitungan PSDH, yang kemudian diperbarui dengan keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 814/MPP/Kep/12/2002. Besarnya PSDH adalah 10 persen dari harga patokan (Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, 2005). Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), mengelompokan PSDH dalam penerimaan negara bukan pajak.

Pengaruh penerapan kebijakan PSDH dapat didekati dengan penerapan pajak yang menjelaskan pengaruh pajak terhadap kesejahteraan individu. Beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan pajak, menunjukkan bahwa kebijakan pajak akan mempengaruhi tingkat produksi kayu bulat.

Simangunsong (2001) menyebutkan bahwa model keseimbangan parsial perdagangan internasional terhadap kayu tropis dapat digunakan untuk mempelajari pengaruh liberalisasi perdagangan seperti penghilangan tarif produksi, konsumsi, ekspor, dan harga serta kesejahteraan negara pengekspor. Analisis model keseimbangan parsial untuk tujuan analisis, bahwa faktor-faktor lain tidak berubah (Arsyad, 1999). Hasilnya menunjukkan bahwa dengan penghapusan tarif akan meningkatkan produksi dan ekspor kayu lapis, kayu gergaji dan menurunkan harga untuk produk tersebut.


(48)

22

Conrad et al. (2005) melakukan penelitian penerapan pajak yang dikenakan pada kayu hasil produksi sistem tebang pilih pada hutan jenis campuran. Hasil penelitian ini memberikan insentif dan dampak yang berbeda di Indonesia, dibandingkan dengan dampaknya yang terjadi di Brazil atau Malaysia, oleh karena itu disarankan untuk tidak memberlakukan model kebijakan pajak yang seragam untuk semua negara atau semua jenis hutan.

Di Indonesia, koordinasi dan akuntabilitas yang kuat antara badan-badan yang mengurus pembayaran REDD+ dan badan-badan yang mengawasi DR akan sangat penting. Mengingat rencana Kementerian Kehutanan saat ini untuk mengalokasikan sekitar US$ 2.2 miliar dari DR untuk membiayai pengembangan hutan tanaman komersial melalui BLU-BPPH (Badan Layanan Umum-Badan Pembiayaan Pembangunan Hutan) (Barr et al., 2011). Pemberian subsidi untuk mendukung pembiayaan pembangunan hutan tanaman industry melalui pinjaman lunak menggunakan dana DR melalui BLU-BPPH sebagaimana sedang direncanakan pemerintah sangat beresiko, terutama berkaitan dengan transparansi penggunaan anggaran dan efektifitas penggunaan dana subsidi di lapangan (Obidzinski dan M. Chaudhury, 2009). Dana yang berasal dari sektor kehutanan termasuk royalty dari kegiatan eksploitasi hutan dan kesepakatan eksploitasi sumberdaya, biaya taman nasional, termasuk dana reboisasi serta beberapa iuran spesifik lainnya, dikelola oleh pemerintah pusat dan didistribusikan ke daerah-daerah. Hanya saja pada praktiknya persoalan distribusi dana ini masih menjadi persoalan, khususnya dalam hal keterbukaan porsi bagian pemerintah daerah dan berkaitan dengan ketepatan waktu pendistribusian (Larson, 2004). Hal yang sama juga terjadi di Kamerun, dimana persoalan yang berkaitan dengan pembagian


(49)

23

keuangan dari royalty sektor kehutanan merupakan persoalan yang sensitif, dimana masalah persoalan distribusi manfaat adalah persoalan yang utama. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Oyono et al.(2005) tersebut diusulkan untuk membagikan royalty secara adil dan langsung ke masyarakat. Menurut Alemagi, (2011), berdasarkan undang-undang di Kamerun, iuran (royalty) yang dipungut dari perusahaan digunakan bagi pembangunan masyarakat, dimana 50% dialokasikan untuk Negara, 40% untuk wilayah dimana perusahaan berada dan 10% untuk masyarakat desa tempat perusahaan tersebut beroperasi. Perusahaan juga diharuskan membayar pajak lingkungan (ecotax) kepada masyarakat yang nilainya US$1.5 per m3 kayu. Beberapa secara sukarela memberikan kontribusi antara US$1.2-1.6 per m3 dari setiap kayu yang ditebang dan dijual oleh perusahaan.

Penetapan harga dan pajak kayu bulat dari hutan alam telah menjadi isu yang tak kunjung selesai. Dalam jangka menengah hingga jangka panjang harga internasional berdasarkan FOB sebaiknya dijadikan acuan dalam penetapan pajak agar industri lebih kompetitif (Dwiprabowo et al., 2003). Dana Reboisasi (DR) adalah pungutan yang diberlakukan sejak 1989, merupakan dana hutan secara nasional berupa retribusi berbasis volume tebangan kayu yang dibayarkan oleh para pemegang konsesi hutan. Selama rentang waktu lebih dari 20 tahun tersebut, DR telah menghasilkan penerimaan (nominal) sekitar US$ 5.8 milyar, menjadikannya sumber pendapatan pemerintah terbesar dari sektor kehutanan (Barr et al., 2010).

Penelitian yang dilakukan Ginoga et al. (2001) menyimpulkan bahwa potensi penerimaan DR dan IHH/ PSDH sebetulnya akan bisa lebih besar lagi


(50)

24

dibandingkan dengan perkiraan potensi apabila kebijakan tarif dan harga patokan yang dikeluarkan oleh Pemerintah betul-betul dilakukan. Kebijakan tarif yang selalu berubah-ubah merupakan salah satu dari beberapa kendala dalam upaya memperoleh kepastian besarnya dan kelancaran penerimaan iuran.

2.3. Dampak Kebijakan terhadap Kesejahteraan

Kontribusi ekonomi kayu terhadap kesejahteraan sangat tergantung kepada dukungan kebijakan pemerintah terhadap praktik eksploitasi dan industri pengelolaan kayu. Kebijakan yang ikut berperan didalamnya termasuk kebijakan pungutan (iuran) kayu. Penerimaan pemerintah yang berasal dari pungutan bukan pajak termasuk izin perusahaan, Dana Reboisasi dan PSDH mencapai $682 juta pada tahun 1997 dan kemudian menurun menjadi $303 juta pada tahun 2002 akibat adanya krisis yang berkepanjangan (World Bank, 2006). Untuk melakukan evaluasi dampak kebijakan terhadap kesejahteraan dapat dilakukan dengan menggunakan analisis kesejahteraan.

Bagi negara yang masih memiliki hutan yang berkualitas baik, keberadaan industri pengolahan kayu akan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat sekitar . Hal ini juga terjadi di Nigeria, dimana industri kayu lapis didirikan yang di wilayah Sapele tersebut mampu menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat di desar Sapele, Nigeria. Keberadaan industri kayu lapis tersebut kemudian memunculkan industri hilir lainnya yang mengolah produk lanjutan dari industri hulu tersebut (Okunomo dan Achoja, 2010).

Gambar 2 menunjukan bahwa daerah diantara kurva permintaan dan kurva penawaran menggambarkan jumlah surplus produsen dan surplus konsumen,


(51)

25

dengan menghitung tambahan nilai yang diperoleh dari transaksi pasar. Besarnya kesejahteraan ini akan maksimum pada keseimbangan pasar persaingan sempurna (competitive market equilibrium) (Nicholson, 2000).

Menurut Pindyck (2005), surplus konsumen adalah keuntungan total atau nilai yang diterima konsumen atas biaya yang digunakan untuk membayar barang, sedangkan surplus produsen adalah keuntungan total atau penerimaan yang diterima produsen atas biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi barang tersebut. Surplus konsumen berada di atas harga dan dibawah permintaan, sedangkan surplus produsen berada di bawah harga dan di atas penawaran. Just et al. (1982) menyebutkan bahwa surplus produsen terletak di atas kurva penawaran dan di bawah garis harga dari perusahaan atau industri, sedangkan surplus konsumen terletak dibawah kurva permintaan dan di atas garis harga.

Fungsi Produksi Cobb-Douglas adalah fungsi produksi dimana q=AKαLβ, dimana q adalah tingkat output, K adalah kuantitas modal, dan L adalah kuantitas

tenaga kerja, dimana A, α dan β adalah konstata. Adapun surplus produsen sangat

erat kaitannya dengan keuntungan (profit). Untuk jangka pendek surplus produsen adalah sama dengan penerimaan (R) dikurangi dengan biaya variabel (VC), yaitu keuntungan variabel. Keuntungan total adalah penerimaan dikurangi dengan semua biaya, yaitu biaya variabel dan biaya tetap, dimana; Surplus produsen = PS = R – VC dan Keuntungan = π = R - VC - FC. Dalam jangka pendek apabila biaya tetap bernilai positif, maka surplus produsen adalah lebih besar dari keuntungan (Pindick, 2005)


(52)

(53)

27

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Kerangka Pemikiran

Hutan alam dan hutan tanaman industri adalah penawaran utama bahan baku industri pengolahan kayu primer, yaitu industri kayu lapis, industri kayu gergaji dan industri pulp.

Produksi kayu bulat yang berasal dari hutan alam dikelola melalui sistem HPH dan dilakukan dengan sistem tebang pilih (selective cutting). Hutan tanaman industri dipanen dengan sistem tebang habis, dimana jumlah produksi dari hutan tanaman akan tergantung kepada luas areal penebangan.

Secara teoritis kuantitas penawaran kayu bulat dipengaruhi produksi kayu bulat di dalam negeri, impor kayu bulat dan dikurangi ekspor kayu bulat. Sedangkan produksi kayu bulat ditentukan oleh harga kayu bulat, ketersediaan kayu bulat di hutan (stok) dan kemampuan keuangan perusahaan. Keterkaitan pasar kayu bulat dan industri kayu primer dapat dilihat pada Gambar 3.

Beberapa metodologi untuk penelitian terkait dengan industri kehutanan sudah dikembangkan oleh beberapa peneliti terdahulu. Menurut Timotius (2000), produksi kayu bulat Indonesia dipengaruhi oleh perubahan harga riil kayu bulat domestik, bunga riil Indonesia, jumlah maksimum tebangan kayu bulat dalam satu tahun yang diperbolehkan oleh pemerintah (Annual Allowable Cut/ AAC), nilai tukar rill rupiah terhadap US$, produksi log Indonesia tahun sebelumnya.

Turner (2006) menyebutkan bahwa pendugaan model yang digunakan disektor kehutanan menggambarkan penawaran kayu dalam berbagai bentuk, dan


(54)

28

secara umum mengandung satu atau beberapa unsur, yaitu kayu bulat yang dipanen, dinamika stok kayu, dan perubahan luas hutan.


(55)

29

Produksi kayu bulat di dalam negeri akan dipengaruhi oleh perubahan harga rill produksi industri berbasis kayu bulat. Sebagai contoh, apabila harga kayu lapis meningkat, diduga para eksportir Indonesia akan berusaha menambah penawaran volume ekspor kayu lapis sehingga akan meningkatkan produksi kayu lapis, sehingga kebutuhan bahan baku kayu bulat juga akan meningkat.

Sejak tahun 1969 sampai tahun 1980 an, Indonesia merupakan pengekspor kayu bulat jenis hardwood terbesar di dunia, setelah itu produksi kayu bulat mulai menurun karena kebijakan kuota ekspor. Tahun 1985 sampai 1988, Indonesia tidak mengekspor kayu bulat sama sekali. Pelarangan ini dimaksudkan untuk meningkatkan nilai tambah produk kayu melalui industri kayu lapis, kayu gergaji, industri pulp dan kertas. Kebijakan pelarangan ekspor kayu bulat ini berimplikasi kepada peningkatan pasokan kayu bulat untuk industri pengolahan kayu.

Adam, Brannlund, Daniels, Hyde dan Kuuluvainen dalam Turner (2006) menyebutkan bahwa model ekonometrika menggambarkan penawaran kayu sebagai fungsi harga kayu tegakan (stumpage price), stok hutan dan variabel lain. Penetapan harga kayu sebelum ditebang (Stumpage price)diharapkan berdampak positif terhadap penawaran kayu, dimana peningkatan harga akan meningkatkan luas hutan yang dapat dimanfaatkan secara ekonomis.

Permintaan industri pengolahan kayu terhadap kayu bulat sebagai bahan baku, diduga dipengaruhi oleh harga kayu bulat domestik, harga riil industri kayu olahan, kapasitas produksi terpasang kayu olahan dan permintaan kayu bulat oleh industri pengolahan kayu tahun sebelumnya. Jika harga kayu bulat domestik naik, diduga permintaan kayu bulat oleh pabrik pengolahan berbasis kayu akan


(56)

30

menurun dan sebaliknya. Apabila harga produksi olahan industri berbasis kayu naik maka permintaan bahan baku juga akan semakin meningkat.

Penerapan PSDH dan DR akan berdampak peningkatan biaya yang dibebankan kepada harga kayu bulat, sehingga akan menurunakan produksi kayu bulat. Turunnya produksi kayu bulat maka akan menurunkan sumber bahan baku bagi industri perkayuan sehingga menurunkan produksi kayu olahan di pasar output. Penerapan kebijakan PSDH dan DR ini juga akan berpengaruh terhadap kesejahteraan yang diterima oleh perusahaan yang memproduksi kayu bulat, industri pengelolaan kayu yang memanfaatkan kayu bulat dan pemerintah yang menerima kontribusi pungutan.

3.2. Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka beberapa hipotesis dari penelitian ini, yaitu:

1. Terdapat keterkaitan antara permintaan kayu bulat indutri pengolahan kayu lapis, kayu gergaji, dan pulp dengan penawaran kayu bulat.

2. Kebijakan PSDH dan DR akan mengurangi kesejahteraan yang diterima produsen dan konsumen.

3.3. Model Pasar Input dan Pasar Output Kayu

Dalam penelitian ini akan dicari model pasar input kayu bulat, yaitu kayu bulat dari hutan alam, kayu bulat dari HTI perkakas dan kayu bulat dari HTI pulp sebagai bahan baku industri pimer dan pasar output, yaitu pasar kayu lapis, kayu gergajian dan pulp.


(57)

31

Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model pasar dalam negeri menggunakan data time series, dikembangkan atas dasar penelitian Simangunsong (2001) yang berjudul “ International Demand and Supply for forest products, with application to the tropical timber products trade”di pasar dunia, menggunakan data panel.

Model pasar input dan pasar output yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

Pasar Input Kayu Bulat Hutan Alam

LnQT1 = lna0+a1lnPT1+a2lnI1+a3lnGDP+e1.1………... (1)

dimana:

LnQT1 = Penawaran kayu bulat berasal dari hutan alam (m3) Lna0 = Konstanta

LnPT1 = Harga riil kayu bulat hutan alam (Rp/m3) LnI1 = Inventarisasi stok kayu bulat hutan alam (m3) LnGDP = GDP Riil (Milliar Rupiah)

e1.1 = error

a1,,a3 = Parameter

LnQD1 = lnb0+b1lnQKL+b2lnQKG+b3LnPT1+e1.2……….. (2)

dimana:

LnQD1 = Permintaan kayu bulat berasal dari hutan alam (m3) Lnb0 = Konstanta

LnQKL = Produksi kayu lapis (m3) LnQKG = Produksi kayu gergaji (m3)


(58)

32

e1.2 = error

b1,.,b3 = Parameter

Keseimbangan: LnQT1 = LnQD1………...... (3) Pasar Input Kayu Bulat HTI Perkakas

LnQT2 = lnc0+c1lnPT2+c2lnI2+c3lnGDP+e2.1……...... (4)

dimana:

LnQT2 = Penawaran kayu bulat berasal dari HTI perkakas (m3) lnc0 = Konstanta

LnPT2 = Harga riil kayu bulat dari HTI perkakas (Rp/m3) LnI2 = Inventarisasi luas HTI perkakas (Ha)

LnGDP = GDP Riil (Milliar Rupiah) e2.1 = error

c1,.,c3 = Parameter

LnQD2 = lnd0+d1lnQKL+d2lnQKG+d3LnPT2 +e2.2…….... (5)

dimana:

lnd0 = Konstanta

LnQD2 = Permintaan kayu bulat yang berasal dari HTI perkakas (m3) LnQKL = Produksi kayu lapis (m3)

LnQKG = Produksi kayu gergaji (m3)

LnPT2 = Harga riil kayu bulat dari HTI perkakas (Rp/m3) e2.2 = error

d1,,d3 = Parameter


(59)

33

Pasar Input Kayu Bulat HTI Pulp

LnQT3 = lne0+e1lnPT3+e2lnI3+e3lnGDP+e3.1…………...... (7)

dimana:

lne0 = Konstanta

LnQT3 = Penawaran kayu bulat berasal dari HTI pulp (m3) LnPT3 = Harga riil kayu bulat dari HTI Pulp (Rp/m3) LnI3 = Inventarisasi luas HTI pulp (Ha)

LnGDP = GDP Riil (Milliar Rupiah) e3.1 = error

e1,,e3 = Parameter

LnQD3 = lnf0+f1lnQP+f2LnPT3+e3.2………... (8)

dimana:

LnQD3 = Permintaan kayu bulat berasal dari HTI pulp (m3) lnf0 = Konstanta

LnQP = Produksi pulp (ton)

LnPT3 = Harga riil kayu bulat dari HTI Pulp (Rp/m3) e3.2 = error

f1, f2 = Parameter

Keseimbangan: LnQT3 = LnQD3………...... (9) Pasar Ouput Kayu Lapis

LnQKL = lng0+g1lntrend+g2lnPQ1+g3lnPL+

g4lnPT1+g5lnPE + e4.1………...... (10)

dimana:

LnQKL = Permintaan kayu lapis (m3) lng0 = Konstanta


(60)

34

lntrend = Teknologi

lnPQ1 = Harga kayu lapis (Rp/m3) lnPL = Upah tenaga kerja (Rp/bulan)

lnPT1 = Harga riil kayu bulat hutan alam (Rp/m3) lnPE = Harga riil bahan bakar solar (Rp/liter) e4.1 = error

g1,.,g3 = Parameter

LnQ1 = lnh0+h1lnGDP+h2lnPQ1+e4.2….………. (11)

dimana:

LnQ1 = Permintaan Kayu lapis (m3) lnh0 = Konstanta

LnGDP = GDP Riil (Milyar Rupiah) LnPQ1 = Harga kayu lapis (Rp/m3) e4.2 = error

h1, h2 = Parameter

Keseimbangan: LnQKL = LnQ1………... (12) Pasar Output Kayu Gergaji

LnQKG=lni0+i1lntrend+i2lnPQ2+i3lnPL+i45lnPT1+

i5lnPE+e5.1………....... (13)

dimana:

LnQKG = Permintaan kayu gergaji (m3) lni0 = Konstanta

lntrend = Teknologi

lnPQ2 = Harga kayu gergaji (Rp/m3) lnPL = Upah tenaga kerja (Rp/bulan)


(61)

35

lnPT1 = Harga riil kayu bulat hutan alam (Rp/m3) lnPE = Harga riil bahan bakar solar (Rp/liter) e4.1 = error

i1,.,i5 = Parameter

LnQ2=lnj0+j1lnGDP+j2lnPQ1+e5.2………... (14)

dimana:

LnQ2 = Permintaan kayu gergaji (m3) lnj0 = Konstanta

LnGDP = GDP riil (Milyar Rupiah) LnPQ2 = Harga riil kayu gergaji (Rp/m3) e4.2 = error

j1, j2 = Parameter

Keseimbangan: LnQKG = LnQ2……….. (15) Pasar Output Pulp

LnQP = lnk0+k1lntrend+k2lnPQ3+k3lnPL+k4lnPT3+

k5lnPE+e6.1………. (16)

dimana:

LnQP = Permintaan pulp (ton) lnk0 = Konstanta

lntrend = Teknologi

lnPQ3 = Harga riil pulp (Rp/kg)

lnPL = Upah riil tenaga kerja (Rp/bulan)

lnPT3 = Harga riil kayu bulat hutan alam (Rp/m3) lnPE = Harga riil bahan bakar solar (Rp/liter) e6.1 = error


(62)

36

k1,.,k3 = Parameter

LnQ3 = ln l0+l1lnGDP+ l2lnPQ3+e6.2………...... (17)

dimana:

LnQ3 = Permintaan pulp (ton) lnl0 = Konstanta

LnGDP = GDP riil (Milyar Rupiah) LnPQ3 = Harga riil pulp (Rp/kg) e6.2 = error

a1,.,a3 = Parameter

Keseimbangan: LnQP = LnQ3……….. (18)

Pasar input (pasar kayu bulat) terdiri dari pasar kayu bulat hutan alam, pasar kayu bulat HTI perkakas, dan pasar kayu bulat HTI pulp. Sedangkan pasar output (pasar produk primer kayu) terdiri dari pasar kayu lapis, pasar kayu gergaji dan pasar pulp.

Model persamaan yang digunakan untuk mendapatkan nilai penduga parameter terbaik, yang penerapannya berurutan yaitu (1) 2SLS, (2) 2SLS+AR(1), (3) OLS, dan (4) OLS + AR(1). Sedangkan alternatif persamaan yang digunakan, berturut-turut, yaitu dari:

1. Persamaan logaritma natural: LnQt=ln α0+α1lnPt+α2lnIt+α3lnGDP+et,

2. Persamaan logaritma dengan rasio tanpa konstanta:

LnQt-LnQt-1=ln(Qt/Qt-1)=α1ln (Pt/Pt-1)+α2ln(It/It-1)+α3ln(GDPt/GDPt-1)+et

3. Persamaan logartima natural dengan rasio dan konstanta


(63)

37

Pada sistem persamaan simultan antar variabel saling berkaitan (Koutsoyiannis, 1977). Persamaan diolah menggunakan program pengolahan data RATS (Regression Analysis Time Series) untuk mendapatkan paramater. Parameter dugaan α dan β adalah nilai penduga elastisitas permintaan dan elastisitas penawaran. Nilai dugaan α dan β diperiksa kemungkinanan adanya autokorelasi. Autokorelasi biasanya muncul pada persamaan time series (Thomas, 1997). Pengujian adanya autokorelasi menggunakan Durbin-Watson (DW). Sekiranya masih ada autokorelasi maka harus diperbaki dengan pengujian autokorelasi tingkat 1 AR(1). Pada proses pengolahan data tersebut, tahapan yang digunakan untuk mendapatkan parameter model persamaan, yaitu:

1. Melakukan pengolahan data menggunakan program statistik RATS 2. Memeriksa apakah asumsi-asumsi penduga parameter terpenuhi.

3. Memeriksa apakah semua penduga parameter yang dihasilkan, tandanya sesuai dengan teori ekonomi, sebagaimana Tabel 3.

Tabel 3. Ekspektasi Tanda Parameter

PT1 PT2 PT3 I1 I2 I3 PQ1 PQ2 PQ3 PL PE QKL QKG QP GDP

S KBHA (QT1) + + +

D KBHA (QD1) - + +

S KBHTI PKK (QT2) + + +

D KBHTI PKK (QT2) - + +

S KBHTI PULP (QT3) + + +

D KBHTI PULP (QT3) - +

S Kayu Lapis (QKL) - + -

-D Kayu Lapis (Q1) - +

S Kayu Gergaji (QKG) - + -

-D Kayu Gergaji (Q2) - +

S PULP (QP) - + -

-D PULP (Q3)


(64)

38

3.4. Simulasi Kebijakan

Model persamaan untuk menduga elastisitas kemudian digunakan kembali untuk melakukan simulasi penerapan kebijakan PSDH dan DR, yaitu:

Pasar Input Kayu Bulat Hutan Alam

Penawaran: QT1= k01 PT1a1 I1a2 GDPa3……….. (1) Permintaan: QD1= k02 QKLb1 QKGb2 PT1b3……….………….. (2)

Keseimbangan: QT1 = QD1………... (3)

Persamaan harga setelah shok: PT1 = k03+Pt1+PSDH+DR………… (4)

Pasar Input Kayu Bulat HTI Perkakas

Penawaran: QT2 = k04 PT2c1 I2c2 GDPc3………. (5) Permintaan: QD2 = k05 QKLd1 QKGd2 PT2d3……… (6)

Keseimbangan: QT2 = QD2 ……… (7)

Persamaan harga setelah shock kebijakan : PT2 = k06+Pt2+PSDH… (8)

Pasar Input Kayu Bulat HTI Pulp

Penawaran: QT3 = k07 PT3e1 I3e2 GDPe3………. (9) Permintaan: QD3 = k08 QPf1 PT3f2……….…………. (10)

Keseimbangan: QT3 = QD3………... (11)

Persamaan Harga setelah shock kebijakan: PT3 = k09+Pt3+PSDH… (12)

Pasar Ouput Kayu Lapis

Penawaran: QKL = k10 еg1 PQ1g2 PLg3 PT1g4 PEg5………... (13)

Permintaan: Q1 = k11 GDPh1 PQ1h2………. (14)

Keseimbangan: QKL = Q1………... (15)


(65)

39

Pasar Output Kayu Gergaji

Penawaran: QKG = k13 еi1 PQ2i2 PLi3 PT1i4 PEi5………. (17)

Permintaan: Q2 = k14 GDPj1 PQ2j2……….. (18)

Keseimbangan: QKG = Q2………... (19)

Persamaan harga: PQ2 = k15+Pq2+tariff………... (20)

Pasar Output Pulp

Penawaran: QP = k16 еk1 PQ3k2 PLk3 PT3k4 PEk5………. (21)

Permintaan: Q3 = k17 GDPl1 PQ3l2……….. (22)

Keseimbangan: QP = Q3……….. (23)

Persamaan harga: PQ3 = k18+PQ3+tariff……… (24)

Kalibarasi k01, k02 sampai k18 diperoleh dari pembagian data faktual dengan pendugaan variabel. Nilai variabel endogen baru pada persamaan (1) sampai persamaan (24) didapat dengan mengalikan faktor kalibarasi dengan hasil pendugaan variabel. Nilai kalibrasi hasil perhitungan disajikan pada Lampiran 4.

Pada saat pasar dalam kondisi keseimbangan, sebagaimana persamaan (3), (7), (11), (15), (19) dan (23), maka akan diperoleh harga dan produksi keseimbangan baru. Dengan harga dan produksi keseimbangan baru kemudian dihitung nilai kesejahteraan, yaitu surplus produsen dan surplus konsumen.

Skenario yang digunakan untuk simulasi penerapan PSDH dan DR, yaitu: 1. Skenario Penerapan PSDH

Provisi Sumberdaya Hutan dikenakan pada kayu bulat dari hutan alam dan hutan tanaman, besarnya dapat berubah sesuai kebijakan pemerintah. Dalam simulasi dilakukan skenario menerapkan PSDH sesuai ketentuan, menghapus PSDH, menaikan PSDH sebesar 20 persen dan 25 persen dari kondisi saat ini.


(66)

40

2. Skenario Penerapan DR

Dana Reboisasi dikenakan atas produksi kayu bulat dari hutan alam. Dalam simulasi ini akan dilakukan skenario kebijakan DR sesuai ketentuan berlaku, menghapus DR, menaikan DR 20 persen dan 25 persen dari kondisi saat ini.

Kombinasi skenario simulasi kebijakan penerapan PSDH dan DR meliputi 9 skenario, yaitu (1) menghapus PSDH dan Penerapan DR aktual, (2) penerapan PSDH altual dan menghapus DR, (3) Menghapus PSDH dan DR, (4) penerapan PSDH 20 persen dan DR aktual, (5) penerapan PSDH aktual dan DR 20 persen, (6) penerapan PSDH 20 persen dan DR 20 persen, (7) penerapan PSDH 25 persen dam DR altual, (8) penerapan PSDH aktual dan DR 24 persen, (9) penerapan PSDH 25 persen dan DR 25 persen.

Prosedur simulasi perhitungan kesejahteraan dilakukan dengan model parsial equilibrium, nonlinear program optimalization menggunakan SOLVER yang disediakan program EXCEL. Kajian penerapan skenario kebijakan PSDH dan DR pada penelitian ini dilakukan melalui simulasi penerapan 9 skenario kebijakan. Untuk melihat bagaimana pengaruh simulasi, maka dibandingkan dengan dampak dari penerpaan kebijakan PSDH dan DR pada saat ini.

Perhitungan untuk mendapatkan kesejahteraan dihitung berdasarkan turunan rumus Marshalian, yaitu :

ΔPS = [1/(1+s)] [P1S1-P0S0] ………... (25)

dimana:

ΔPS = Perubahan surplus produsen

s = Elastisitas penawaran terhadap harga P0 = Harga awal


(67)

41

P1 = Harga baru (setelah penerapan kebijakan)

S0 = Kuantitas penawaran awal

S1 =Kuantitas penawaran baru (setelah penerapan kebijakan)

ΔCS = [1/(1+d)] [P1D1-P0D0] ……… (26)

dimana:

ΔCS = Perubahan surplus konsumen.

d = elastisitas permintaan terhadap harga P0 = Harga awal

P1 = Harga baru (setelah penerapan kebijakan)

D0 = Kuantitas permintaan awal

D1 =Kuantitas permintaan baru (setelah penerapan kebijakan)

3.5. Sumber dan Jenis Data

Data utama penelitian menggunakan data sekunder time series tahun 1995 sampai tahun 2009, dari statistik Kehutanan Indonesia, Badan Pusat Statistik dan laporan Food Association Organization (FAO). Data selengkapnya yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Lampiran 1.


(68)

(1)

(2)

(3)

Lampiran 3. Ringkasan Hasil Pengolahan Estimasi Parameter Menggunakan RATS


(4)

(5)

117

Lampiran 4. Faktor Kalibrasi

PLYWOOD; Calibrated constant terms

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002

Price equation 0 0 0 0 0 0 0 0

Supply equation 4.66 3.68 4.30 0.75 0.42 0.37 0.47 0.39

Demand equation 428816 394482 416488 188854 654606 1697735 507266 935582

SAWNWOOD; Calibrated constant terms

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002

Price equation 0 0 0 0 0 0 0 0

Supply equation 4.19E+08 5.09E+08 5.35E+08 6.71E+08 6.71E+08 7.93E+08 9.90E+08 1.16E+09

Demand equation 11.94 12.51 11.65 15.41 14.87 14.30 12.82 11.97

PULP; Calibrated constant terms

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002

Price equation 0 0 0 0 0 0 0 0

Supply equation 7.E+19 2.E+20 5.E+20 3.E+21 7.E+21 4.E+22 5.E+23 2.E+24

Demand equation 5.6778E-10 4.7304E-10 4.6901E-10 3.3672E-10 5.0871E-10 1.4122E-09 1.2287E-09 1.07198E-09 LOGS HA; Calibrated constant terms

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002

Price equation 0 0 0 0 0 0 0 0

Supply equation 9.9958E-32 7.7984E-32 1.6073E-31 1.0509E-31 1.5343E-31 2.8782E-31 1.775E-31 2.1891E-31 Demand equation 6.9635E-22 6.1535E-22 6.0564E-22 9.771E-22 1.148E-21 7.4874E-22 6.0433E-22 1.07199E-21 LOGS HTI PERKAKAS; Calibrated constant terms

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002

Price equation 0 0 0 0 0 0 0 0

Supply equation 1.9482E-39 3.9925E-40 7.0352E-40 5.0481E-39 9.0553E-38 6.2445E-36 1.2823E-34 1.13151E-36 Demand equation 1.1022E-17 9.4506E-18 8.7455E-18 1.8795E-17 4.2272E-17 1.4513E-16 2.9039E-16 2.15259E-16 LOGS HTI PULP; Calibrated constant terms

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002

Price equation 0 0 0 0 0 0 0 0

Supply equation 1.0136E-38 4.6811E-39 2.5553E-38 7.9602E-38 1.1086E-37 1.6409E-36 2.0954E-36 8.91268E-38 Demand equation 0.01611534 0.01147956 0.00860829 0.01724829 0.03625039 0.06330853 0.05735968 0.047330053


(6)

Lampiran 4. Lanjutan

PLYWOOD; Calibrated constant terms

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Price equation 0 0 0 0 0 0 0

Supply equation 0.15562139 0.10057702 0.0951939 0.09078369 0.05222597 0.03919331 0.03000291

Demand equation 606168.691 311657.079 715813.467 491323.325 505484.097 565796.938 561111.093

SAWNWOOD; Calibrated constant terms

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Price equation 0 0 0 0 0 0 0

Supply equation 1390969460 920554258 1276634076 1321113375 1216732917 1381557435 1518843846

Demand equation 13.701656 7.37777578 6.75110988 6.83071154 6.5176723 6.11479707 5.79607763

PULP; Calibrated constant terms

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Price equation 0 0 0 0 0 0 0

Supply equation 3.1915E+24 4.6496E+24 3.9847E+25 4.4685E+25 5.0395E+25 1.5241E+26 2.1026E+26

Demand equation 8.1594E-10 1.0224E-09 7.6201E-10 3.1434E-10 7.1075E-10 6.9572E-10 4.6431E-10

LOGS HA; Calibrated constant terms

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Price equation 0 0 0 0 0 0 0

Supply equation 2.0227E-31 2.0107E-31 4.4139E-32 1.3089E-32 1.2683E-32 1.9455E-32 8.4856E-33

Demand equation 9.2624E-22 7.0353E-21 7.0131E-21 3.7586E-21 3.4304E-21 6.8185E-21 4.0347E-21

LOGS HTI PERKAKAS; Calibrated constant terms

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Price equation 0 0 0 0 0 0 0

Supply equation 2.3587E-36 8.2283E-36 6.9627E-36 8.7727E-37 1.693E-37 5.9311E-40 4.0326E-41

Demand equation 4.4642E-16 1.9625E-15 3.146E-15 5.5778E-15 1.2253E-14 1.6292E-14 2.13E-14

LOGS HTI PULP; Calibrated constant terms

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Price equation 0 0 0 0 0 0 0

Supply equation 6.836E-38 3.2045E-38 9.0802E-39 2.0812E-39 3.5139E-38 2.0653E-38 1.9184E-38

Demand equation 0.05866089 0.08434384 0.12679772 0.23360565 0.25856939 0.27110329 0.28867102