Kebijakan Pengelolaan Hutan Produksi
tahun yang sama. Ekspor kayu lapis pada saat itu bahkan melebihi ekspor kayu gergajian. Sejak tahun 1985 Departemen Kehutanan tidak melaporkan data ekspor
kayu bulat Simangunsong, 2004. Justianto 2005 menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan pembangunan
kehutanan, beberapa kebijakan pemerintah yang berdampak kepada kesejahteraan masyarakat, yaitu:
1. Pengurangan Jatah Produksi Tahunan dari Hutan Alam Soft landing; Kebijakan ini dilakukan dengan melakukan pengurangan Jatah Produksi
Tahunan Annual Allowable CutAAC pada hutan alam secara bertahap, sampai pengurangannya sekitar 50 persen dari tebangan pada tahun 2002.
Kebijakan ini mempunyai implikasi terhadap penurunan produksi kayu bulat dari hutan alam dan mengurangi pasokan kayu bagi industri pengolahan kayu.
Pengurangan AAC dimaksudkan agar industri pengolahan kayu dapat melakukan penyesuaian kapasitasnya, sehingga apabila terjadi pengurangan
pasokan bahan baku maka tidak mengakibatkan “shock landing” pada industri tersebut.
2. Pelarangan ekspor kayu bulat; Kebijakan ini dimaksudkan untuk memberikan nilai tambah terhadap kayu bulat dengan terlebih dulu diolah melalui industri-
industri pengolahan kayu domestik seperti industri kayu lapis, industri kayu gergajian, industri pulp dan industri kertas. Implikasi dari kebijakan ini adalah
meningkatnya pasokan kayu bulat untuk industri pengolahan kayu domestik. 3. Restrukturisasi sektor industri kehutanan; Restrukturisai industri kehutanan
ditujukan untuk meningkatkan efesisensi dan efektifitas pengelolaan sumberdaya hutan yang meliputi restrukturisasi sub-sistem sumberdaya seperti
sistem pengelolaan hutan alam dan hutan tanaman serta sub-sistem pemanfaatan yaitu industri pengolahan hasil hutan. Dalam kaitannya dengan
restrukturisai industri pengolahan kayu, penurunan kapasitas dan penutupan industri pengolahan kayu, dilakukan dalam kerangka meningkatkan dayasaing
industri kehutanan tersebut. 4. Pemberian insentif untuk pembangunan hutan tanaman; Kebijakan ini
ditujukan untuk mendorong pembangunan hutan tanaman yang produksi kayunya diharapkan dapat mengganti produksi kayu dari hutan alam melalui
pemanfaatan Dana Reboisasi DR untuk pembiayaan hutan tanaman. Setelah terjadi krisis ekonomi, pemerintah menurunkan pajak ekspor kayu
bulat menjadi maksimum 10 persen sebelum Desember 2000 dan 0 persen pada tahun 2003. Setelah pajak ekspor kayu bulat diturunkan, ekspor kayu bulat
berlangsung kembali namun volumenya sangat kecil Simangunsong, 2004 dan Sukmananto, 2007. Sementara itu, muncul keluhan dari pengusaha industri
pengolahan kayu mengenai kesulitan mendapatkan bahan baku kayu bulat untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku industri. Merespon keluhan tersebut,
pemerintah kembali melarang ekspor kayu bulat melalui Surat Keputusan Bersama SKB Menteri Kehutanan Nomor: 1132Kpts- II2001 dan Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Nomor: 292MPPKep102001, tertanggal 8 Oktober 2001 Simangunsong, 2004. Penerapan kebijakan cukup kontroversial
adalah kebijakan soft landing, kebijakan pengurangan jatah produksi tahunan sebesar 30 persen dari tahun sebelumnya pada tahun 2003, dan dilanjutkan
masing-masing sebesar 10 persen pada tahun 2004 dan 2005 Sukmananto, 2007.
Kebijakan Provisi Sumberdaya Hutan PSDH atau dulu dikenal sebagai Iuran Hasil Hutan IHH adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai
instriktik atas hasil hutan yang dipungut dari hutan negara. Sedangkan, Dana Reboisai DR adalah dana yang dipungut atas hasil hutan yang dipungut dari
hutan alam. Besarnya PSDH bervariasi tergantung jenis kayunya, ditetapkan
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan. Pada tahun 1968-1971 ditetapkan berdasarkan mata uang dollar Amerika per m
3
yaitu antara US 0.5 - US 3 per m
3
, kemudian pada tahun 1971-1976 ditetapkan dengan mata uang rupiah yaitu Rp 250 - 800 per m
3
, kemudian pada tahun 1976-1979 ditetapkan sebesar Rp 900 - Rp 5 000 per m
3
. Mulai Juni 1979 sampai sekarang besarnya PSDH ditetapkan berdasarkan persentase dari harga patokan kayu bulat dalam
negeri Sukmananto, 2007. Kebijakan Dana Reboisasi DR dikenakan mulai tahun 1968, dan sampai
tahun 1979 merupakan Dana Jaminan Reboisasi DJR yang dapat diminta kembali seluruhnya oleh pemegang HPH apabila HPH yang bersangkutan telah
melaksanakan kewajiban reboisasi dan rehabilitasi di areal kerjanya. Sejak tahun 1980 pelaksanaan reboisasi diambil alih oleh pemerintah dan DJR diganti dengan
DR, dimana besarnya DR yang harus dibayar tergantung jenis kayunya. Untuk kayu kelompok meranti pada tahun 1980-1988 ditetapkan sebesar US 4 per m
3
, pada tahun 1996-1999 sebesar US 15 per m
3
, dan mulai 1999, berdasarkan PP 51999 ditetapkan tarif DR sebesar US 13
– 16 untuk kelompok jenis meranti, tergantung wilayah produksinya.