Produksi Kayu Bulat GAMBARAN UMUM

menghasilkan produk kayu pada tahun 2009 dan tahun 2010. Berdasarkan data FAO, produksi rata-rata kayu bulat Indonesia dalam rentang tahun 1975 sampai tahun 2009 berjumlah 34 juta m 3 FAO, 2011. Sebagai penyedia kayu bulat untuk kebutuhan industri pengolahan berbasis kayu, kualitas hutan menjadi faktor kunci penentu penyediaan kayu bulat. Luas penutupan hutan forest cover Indonesia mencapai sekitar 133.6 juta Ha atau sebesar 71 persen luas daratan Indonesia, dimana 60.9 juta Ha merupakan hutan alam produksi, terdiri dari hutan alam produksi primer sebesar 14.8 juta Ha 24.3 persen, hutan alam produksi sekunder 21.6 juta Ha 35.5 persen dan hutan tanaman seluas 2.4 juta Ha 3.9 persen, dan wilayah bukan-hutan seluas 18.4 juta Ha 30.2 persen. Sampai Juni 2005, jumlah perusahaan pemilik izin HPHIUPHHK sebanyak 281 unit, mengelola hutan 27.1 juta Ha yang kemudian mengalami peningkatan menjadi 303 unit dengan luas wilayah kelola 28.1 juta Ha pada Agustus 2006. Namun dari jumlah itu, yang aktif hanya sekitar 149 unit dengan luas 14.6 juta Ha. Adapun jumlah HPH IUPHHK yang tidak aktif beroperasi sejumlah 154 unit dengan luas 17.3 juta ha. Produksi kayu bulat yang dihasilkan pada tahun 2006 berasal dari 16 provinsi, dimana produksi terbesar dihasilkan oleh Provinsi Kalimantan Timur, sebesar 3.9 juta m 3 , dengan komposisi dari HPH sebesar 1.9 juta m 3 , IPK sebesar 1.4 juta m3, HTI sebesar 535 305 m3. Daerah Penghasil terbesar kayu bulat dari HTI yaitu Provinsi Riau sebesar 6.7 juta m 3 . Jumlah HPHIUPHHK dari waktu ke waktu terus mengalami penurunan, dimana pada tahun 2008 jumlah HPH yang aktif beroperasi sebanyak 308 unit, mengelola areal seluas 26.1 Ha, kemudian pada tahun 2009 menurun jumlahnya menjadi 304 unit, mencakup luas areal kelola 25.7 Ha. Jumlah HTI mengalami peningkatan menjadi 165 unit pada tahun 2008 dan 206 unit pada tahun 2009. Dari 45 perusahaan Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu IUPHHK Hutan Tanaman Kayu Pulp, sebanyak 12 perusahaan berkontribusi 73 persen dari total produksi. Sementara, dari 166 perusahaan IUPHHK-Hutan Tanaman Kayu Perkakas, hanya 32 perusahaan dengan luas tanaman masing-masing sekitar 9 000 Ha, berkontribusi sekitar 61 persen dari total produksi. Produksi kayu perkakas yang berasal dari hutan tanaman yang dikelola Perum Perhutani menurun sangat tajam pada periode 1994-2005, dari produksi sebesar 1.87 juta m 3 pada tahun 1994 menjadi 0.76 juta m 3 pada tahun 2005.

4.2. Industri Pengolahan Berbasis Kayu

Ekspor hasil hutan terbesar tahun 2006 adalah kayu lapis yang mencapai nilai US 1.5 milyar, dan kemudian disusul oleh ekspor pulp, sebesar US 1.1 milyar. Selain melakukan kegiatan ekspor hasil industri pengolahan kayu, Indonesia juga melakukan impor kayu bulat, dan impor terbesar mencapai sekitar US 542 juta. Pemerintah Indonesia sangat mendorong peningkatan pertumbuhan industri perkayuan. Data mengenai hasil industri perkayuan, menyebutkan bahwa produksi kayu gergaji sawn timber meningkat dari 4.8 juta m 3 pada tahun 1980 menjadi 7.1 juta m 3 pada tahun 1985. Hasil produksi kayu gergaji terbesar yaitu sejumlah 10.4 juta m 3 pada tahun 1989 dan kemudian produksi kayu gergaji menurun kembali menjadi 4.3 juta m 3 pada tahun 2005. Pada tahun 2008 produksi kayu gergaji 0.53 juta m 3 , dan pada tahun 2009 produksi kayu gergaji sebesar 0.71 juta m 3 , yang berasal dari IPHHK dengan kapasitas di atas 6 000 m 3 per tahun Kementerian Kehutanan, 2010. Hampir 90 anggota Indonesia Sawmill and Woodworking Association ISWA merupakan perusahaan Usaha Kecil Menengah UKM dan tidak mempunyai HPH. Jumlah perusahaan yang terdaftar di BRIK dan berorientasi ekspor saat ini berkisar 1 600 perusahaan, namun yang aktif dari tahun ke tahun menurun, dimana pada tahun 2006 hanya berjumlah 602 perusahaan. Total ekspor tahun 2006 berjumlah 2.3 juta m 3 dengan nilai US 1.29 milyar. Angka ini hampir sama dengana ekspor total tahun 2005 berjumlah 2.4 juta m 3 dengan nilai US 1,27 milyar. Negara tujuan utama ekspor woodworking adalah Jepang disusul China Kementerian Kehutanan, 2007. Produksi kayu lapis dan vinir juga mengalami peningkatan dari 1 juta m 3 pada tahun 1980 menjadi 8.3 juta m 3 pada tahun 1990. Puncaknya mencapai produksi sebesar 9.7 juta m 3 pada tahun 1997 yang kemudian turun menjadi hanya sebesar 4.7 juta m 3 pada tahun 2005. Asosiasi Panel Kayu Indonesia APKINDO mencatat bahwa jumlah anggotanya per 6 Oktober 2006 adalah 130 perusahaan, namun yang aktif hanya berjumlah 68 perusahaan dengan kapasitas produksi 6.1 juta m 3 tahun dimana hanya 19 unit yang berproduksi normal 1.54 juta m 3 tahun. Berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan 2010, total ekspor kayu lapis tahun 2009 berjumlah 1.5 juta ton atau setara dengan 2.4 juta m 3 dengan nilai US 1.31 milyar. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan total ekspor pada tahun 2005, yaitu sebesar 2.2 juta ton atau setara dengan 3.4 juta m 3 dengan nilai US 1.37 milyar. Negara tujuan utama ekspor kayu lapis adalah Jepang, Amerika Serikat dan Inggris. Produksi pulp meningkat dari sekitar 0.5 juta ton pada tahun 1989 menjadi 3.1 juta ton pada tahun 1997, dan menjadi 5.4 juta ton pada tahun 2005 APKI, 2005. Total produksi hasil hutan lainnya yaitu woodworking, blockboard, particleboard dan chips berkisar antara 0.1 juta m 3 sampai 2.3 juta m 3 selama rentang tahun 1983-2005 Departemen Kehutanan, 2006b. Produksi pulp tahun 2009 mencapai 4.6 juta ton Kementerian Kehutanan, 2010. Data selengkapnya dari perkembangan industri pulp dapat dilihat pada Gambar 6. Berdasarkan Simangunsong, at al. 2007 dalam Road Map Revitalisasi Kehutanan Indonesia, terdapat 10 pabrik pulp dan kertas yang terintegrasi dan 3 pabrik pulp tidak terintegrasi dengan total kapasitas terpasang 6.4 juta Adt air- dried ton pada tahun 2005, dan 86 persen dari kapasitas terpasang tersebut berlokasi di Sumatera. Sementara itu, 53 persen dari pabrik pulp dan kertas merupakan perusahaan swasta PMA Private Company Foreign Investments. Sumber: Food Agriculture Organization, 2011 Gambar 6. Perkembangan Industri Pulp Indonesia Periode Tahun 2000-2009 Tahun