Dominansi Jenis Tumbuhan pada setiap Tipe Tutupan Lahan

tutupan lahan hutan campuran dikategorikan sedang. Menurut Muller 1974 dikemukakan bahwa komposisi bervegetasi hutan alami yang telah terbentuk dalam jangka panjang akan memperlihatkan fisiognomi, fenologi dan gaya regenerasi yang lambat dan cenderung mantap, sehingga dinamika floristik komunitas hutan tidak terlalu nyata dan mencolok. Dalam konteks ini pergantian generasi atau regenerasi spesies seakan-akan tidak tampak, akibatnya jarang dijumpai spesies tertentu yang kemudian muncul dominan, karena semua spesies telah beradaptasi dalam jangka waktu yang lama. Jenis Tumbuhan Digitaria sanguinalis Digitaria sanguinalis adalah spesies rumput dikenal dengan rumput kepiting berbulu atau rumput kepiting besar. Jenis rumput ini adalah salah satu spesies yang dikenal hampir di seluruh dunia sebagai gulma pada umumnya. Jenis ini merupakan rumput tahunan dengan perbungaan hingga sembilan sangat panjang dan sangat tipis serta memiliki cabang beranting. Setiap cabang dilapisi dengan pasangan gabah yang sangat kecil dan perbungaan berwarna kemerahan atau keunguan Moody, 1984. Benih-benih dari jenis rumput tersebut dimakan dan telah digunakan sebagai gandum di Jerman dan terutama Polandia, serta seringkali dibudidayakan. Rumput ini juga sangat bergizi, terutama pasca tanaman memproduksi benih. Hal ini sering dipergunakan untuk memberikan pakan untuk hewan, atau dipotong dan dipaketkan sebagai jerami. Dibandingkan dengan rumput lain, rumput ini memiliki persentase protein yang relatif tinggi. Seringkali petani menggarap jenis rumput ini pada akhir musim semi, dengan maksud mendorong kualitas benih rumput kepiting. Rumput kepiting untuk konsumsi manusia tentu harus dipanen dengan tangan agar menghasilkan gandum sepanjang musim panas. Dengan menggunakan mesin panen akan membutuhkan waktu berbulan-bulan sehingga banyak benih yang akan terbuang sia-sia. Rumput ini menghasilkan biji-bijian dalam jumlah yang sangat banyak. Biji-bijian tersebut merupakan gulma halus berfungsi sebagai mulsa dan dapat bertahan baik pada cuaca panas dan kekeringan. Adaptasi membuatnya menjadi kandidat untuk lingkungan pertanian kecil. Kegunaan rumput ini untuk transmigran pada abad kesembilan belas sebagai rumput yang telah membuat benih, tetapi dengan berjalannya waktu dianggap sebagai gangguan yang tidak menarik. Rumput ini sering mengambil keuntungan dari kesuburan sehingga tanah menjadi tidak subur dan kekeringan, hal ini mengakibatkan melemahnya jenis rumput yang lain. Sulit untuk memusnahkan jenis rumput ini karena akan menumbuhkan, dan dengan menggunakan bahan kimia kemungkinan akan merugikan rumput di sekitarnya. Cara kontrol yang paling efisien adalah menarik sebagian rumput dan menjaga sisa rumput dengan disiram dan dipangkas pada ketinggian dua sampai tiga inci Luis, 1983. Jenis Tumbuhan Waltheria indica Waltheria indica merupakan semak yang memiliki tinggi mencapai 2 m dan 2 cm diameter batang. Jenis tumbuhan ini mempunyai akar tunggang yang lemah, akar kuat lateral, dan akar halus berlimpah. Akar berwarna coklat dan fleksibel. Semak ini biasanya tunggal, memiliki batang kuat yang muncul dari tanah, tapi sering juga tumbuh cabang dekat tanah. Biasanya memiliki ciri-ciri tegak dan agak bercabang. Batang muda dan daun ditutupi warna abu-abu, beludru. Daun alternatif sempit berbentuk bulat telur atau lonjong berbentuk hati, bergigi tepi beraturan dan Panjang tangkai antara 0,5-3,3 cm Moody, 1984. Waltheria indica tumbuh pada lahan tropis dan sub tropis. Howard 1989 menunjukkan bahwa spesies ini asli dari Florida dan Texas. Jenis semak ini tumbuh di lahan kering, berdrainase baik dan habitat lembab. Spesies ini menempati daerah yang dapat menerima curah hujan tahunan dari 750-1800 mm dan lebih dari 400 m dari elevasi. Species ini dapat ditemukan di lapangan tua, lokasi kontruksi, pinggir jalan, hutan terbakar dan padang rumput. Jenis ini memiliki naungan toleran dan tidak akan bertahan dalam tajuk pohon tertutup dan tidak dapat bersaing dengan jenis rumput lain serta tahan pada keadaan kekeringan dan tanah sedikit mengandung garam. Jati adalah sejenis Jenis Tumbuhan Tectona grandis pohon penghasil kayu bermutu tinggi. Pohon besar, berbatang lurus, dapat tumbuh mencapai tinggi 30-40 m. Berdaun besar, yang luruh di musim kemarau. Jati dikenal dunia dengan nama teak bahasa Inggris. Nama ilmiah jati adalah Tectona grandis L.f. Jati memiliki batang bebas cabang clear bole dapat mencapai 18-20 m. Pada hutan-hutan alam yang tidak terkelola ada pula individu jati yang berbatang bengkok-bengkok. Sementara varian jati blimbing memiliki batang yang berlekuk atau beralur dalam; dan jati pring Jawa, bambu nampak seolah berbuku-buku seperti bambu. Kulit batang coklat kuning keabu- abuan, terpecah-pecah dangkal dalam alur memanjang batang.dan seringkali masyarakat indonesia salah mengartikan jati dengan tanaman jabon Antocephalus cadamba padahal mereka dari jenis yang berbeda. Pohon jati Tectona grandis sp. dapat tumbuh meraksasa selama ratusan tahun dengan ketinggian 40-45 meter dan diameter 1,8-2,4 meter. Namun, pohon jati rata-rata mencapai ketinggian 9-11 meter, dengan diameter 0,9-1,5 meter. Pohon jati yang dianggap baik adalah pohon yang bergaris lingkar besar, berbatang lurus, dan sedikit cabangnya. Kayu jati terbaik biasanya berasal dari pohon yang berumur lebih daripada 80 tahun. Daun umumnya besar, bulat telur terbalik, berhadapan, dengan tangkai yang sangat pendek. Daun pada anakan pohon berukuran besar, sekitar 60-70 cm × 80-100 cm; sedangkan pada pohon tua menyusut menjadi sekitar 15 × 20 cm. Berbulu halus dan mempunyai rambut kelenjar di permukaan bawahnya. Daun yang muda berwarna kemerahan dan mengeluarkan getah berwarna merah darah apabila diremas. Ranting yang muda berpenampang segi empat, dan berbonggol di buku-bukunya. Bunga majemuk terletak dalam malai besar, 40 cm × 40 cm atau lebih besar, berisi ratusan kuntum bunga tersusun dalam anak payung menggarpu dan terletak di ujung ranting; jauh di puncak tajuk pohon. Tajuk mahkota 6-7 buah, keputih-putihan, 8 mm. Berumah satu. Buah berbentuk bulat agak gepeng, 0,5 – 2,5 cm, berambut kasar dengan inti tebal, berbiji 2-4, tetapi umumnya hanya satu yang tumbuh. Buah tersungkup oleh perbesaran kelopak bunga yang melembung menyerupai balon kecil. Nilai Rf pada daun jati sendiri sebesar 0,58-0,63 Tsoumis, 1991. Jati menyebar luas mulai dari India, Myanmar, Laos, Kamboja, Thailand, Indochina, sampai ke Jawa. Jati tumbuh di hutan-hutan gugur, yang menggugurkan daun di musim kemarau. Menurut sejumlah ahli botani, jati merupakan spesies asli di Burma, yang kemudian menyebar ke Semenanjung India, Muangthai, Filipina, dan Jawa. Sebagian ahli botani lain menganggap jati adalah spesies asli di Burma, India, Muangthai, dan Laos. Kebutuhan jati dunia pada saat ini ± 70 dipasok oleh Burma. Sisa kebutuhan itu dipasok oleh India, Thailand, Jawa, Srilangka, dan Vietnam. Namun, pasokan dunia dari hutan jati alami satu-satunya berasal dari Burma. Lainnya berasal dari hasil hutan tanaman jati. Jati paling banyak tersebar di Asia. Selain di keempat negara asal jati dan Indonesia, jati dikembangkan sebagai hutan tanaman di Srilangka sejak 1680, Tiongkok awal abad ke-19, Bangladesh 1871, Vietnam awal abad ke-20, dan Malaysia 1909. Iklim yang cocok adalah yang memiliki musim kering yang nyata, namun tidak terlalu panjang, dengan curah hujan antara 1200-3000 mm pertahun dan dengan intensitas cahaya yang cukup tinggi sepanjang tahun. Ketinggian tempat yang optimal adalah antara 0 – 700 m dpl; meski jati bisa tumbuh hingga 1300 m dpl. Tegakan jati sering terlihat seperti hutan sejenis, yaitu hutan yang seakan-akan hanya terdiri dari satu jenis pohon. Ini dapat terjadi di daerah beriklim muson yang begitu kering, kebakaran lahan mudah terjadi dan sebagian besar jenis pohon akan mati pada saat itu. Tidak demikian dengan jati. Pohon jati termasuk spesies pionir yang tahan kebakaran karena kulit kayunya tebal. Lagipula, buah jati mempunyai kulit tebal dan tempurung yang keras. Sampai batas-batas tertentu, jika terbakar, lembaga biji jati tidak rusak. Kerusakan tempurung biji jati justru memudahkan tunas jati untuk keluar pada saat musim hujan tiba. Guguran daun lebar dan rerantingan jati yang menutupi tanah melapuk secara lambat, sehingga menyulitkan tumbuhan lain berkembang. Guguran itu juga mendapat bahan bakar yang dapat memicu kebakaran yang dapat dilalui oleh jati tetapi tidak oleh banyak jenis pohon lain. Demikianlah, kebakaran hutan yang tidak terlalu besar justru mengakibatkan proses pemurnian tegakan jati: biji jati terdorong untuk berkecambah, pada saat jenis-jenis pohon lain mati Tsoumis, 1991. Pada masa lalu, jati sempat dianggap sebagai jenis asing yang dimasukkan diintroduksi ke Jawa dan ditanam oleh orang-orang Hindu ribuan tahun yang lalu. Namun pengujian variasi isozyme yang dilakukan oleh Kertadikara 1994 menunjukkan bahwa jati di Jawa telah berevolusi sejak puluhan hingga ratusan ribu tahun yang silam. Karena nilai kayunya, jati kini juga dikembangkan di luar daerah penyebaran alaminya. Di Afrika tropis, Amerika tengah, Australia, Selandia Baru, Pasifik dan Taiwan Daerah Gunung Kidul, Yogyakarta, yang gersang dan rusak parah sebelum 1978, ternyata berhasil diselamatkan dengan pola penanaman campuran jati dan jenis-jenis lain ini. Dalam selang waktu hampir 30 tahun, lebih dari 60 lahan rusak dapat diubah menjadi lahan yang menghasilkan. Penduduk setempat paling banyak memilih menanam jati di lahan mereka karena melihat nilai manfaatnya, cara tanamnya yang mudah, dan harga jual kayunya yang tinggi. Mereka mencampurkan penanaman jati di kebun dan pekarangan mereka dengan mahoni Swietenia mahogany, akasia Acacia villosa, dan sonokeling Dalbergia latifolia. Daerah Gunung Kidul kini berubah menjadi lahan hijau yang berhawa lebih sejuk dan memiliki keragaman hayati yang lebih tinggi. Perubahan lingkungan itu telah mengundang banyak satwa untuk singgah, terutama burung sebagai satwa yang kerap dijadikan penanda kesehatan suatu lingkungan. Selain itu, kekayaan lahan ini sekaligus menjadi cadangan sumberdaya untuk masa depan. Jenis Tumbuhan Mimosa pudica Putri malu atau Mimosa pudica adalah perdu pendek anggota suku polong- polongan yang mudah dikenal karena daun-daunnya yang dapat secara cepat menutuplayu dengan sendirinya saat disentuh. Walaupun sejumlah anggota polong-polongan dapat melakukan hal yang sama, putri malu bereaksi lebih cepat daripada jenis lainnya. Kelayuan ini bersifat sementara karena setelah beberapa menit keadaannya akan pulih seperti semula Luis, 1983. Tumbuhan ini memiliki banyak sekali nama lain sesuai sifatnya tersebut, seperti makahiya Filipina, berarti malu, mori vivi Hindia Barat, nidikumba Sinhala, berarti tidur, mate-loi Tonga, berarti pura-pura mati . Namanya dalam bahasa Tionghoa berarti rumput pemalu. Kata pudica sendiri dalam bahasa Latin berarti malu atau menciut. Keunikan dari tanaman ini adalah bila daunnya disentuh, ditiup, atau dipanaskan akan segera menutup. Hal ini disebabkan oleh terjadinya perubahan tekanan turgor pada tulang daun. Rangsang tersebut juga bisa dirasakan daun lain yang tidak ikut tersentuh. Gerak ini disebut seismonasti, yang walaupun dipengaruhi rangsang sentuhan tigmonasti, sebagai contoh, gerakan tigmonasti daun putri malu tidak peduli dari mana arah datangnya sentuhan.Tanaman ini juga menguncup saat matahari terbenam dan merekah kembali setelah matahari terbit. Tanaman putri malu menutup daunnya untuk melindungi diri dari hewan pemakan tumbuhan herbivora yang ingin memakannya. Warna daun bagian bawah tanaman putri malu berwarna lebih pucat, dengan menunjukkan warna yang pucat, hewan yang tadinya ingin memakan tumbuhan ini akan berpikir bahwa tumbuhan tersebut telah layu dan menjadi tidak berminat lagi untuk memakannya Moody, 1984. Jenis Tumbuhan Hopea bancana Pohon yang memiliki nama lokal hopea ini berukuran sedang dengan kulit kayu berlapis-lapis. Memiliki kayu keras dan ranting kelopak bunga yang keluar berwarna kekuning-kuningan, menempel di daun muda dan di dalam bagian daun bunga, yang keluar dalam pucuk daun. Pucuknya kecil, daun penunjangnya tidak kelihatan. Panjang daunnya 3,5-7,5 cm, bentuknya bulat telur dan berkulit semu, ujungnya runcing sampai 1,5 cm panjangnya. Tulang daunnya enam sampai delapan pasang dan tipis. Tangkai daun panjangnya 11-14 mm dan tipis. Sedangkan panjang malainya sampai 8 cm. berdahan tunggal panjangnya sampai 2 cm dan berbentuk bulat panjang oval, dua kelopak bunganya yang keluar berbentuk oval, runcing, pucuk bunganya tiga dengan panjang 2 mm, serta benangsari 15. Buah panjangnya 2 mm dan keras, berbentuk bulat telur dan bergetah. Bijinya sampai sembilan yang masing-masing 6 mm. Pohon ini biasanya tumbuh di dataran rendah, dengan penyebaran ke Malesiana, dipusatkan di pulau Sumatera Newman,1999. Jenis Tumbuhan Baccaurea racemosa Menteng, kepundung, atau kemundung terutama Baccaurea racemosa Reinw. Muell. Arg.; juga B. javanica dan B. dulcis adalah pohon penghasil buah dengan nama sama yang dapat dimakan. Sekilas buah menteng mirip dengan buah duku namun tajuk pohonnya berbeda. Rasa buahnya biasanya masam kecut meskipun ada pula yang manis. Menteng dulu biasa ditanam di pekarangan namun sekarang sudah sulit ditemui akibat desakan penduduk dan penanaman tanaman buah lain yang lebih disukai. Tumbuhan ini asli dari Pulau Jawa. Di sekitar Jakarta dan Bogor kadang-kadang masih ditemukan penjual buah menteng. Baccaurea racemosa memiliki ciri-ciri pohon mencapai setinggi 10-25 m. Batang tegak, berkayu, bulat, kasar, percabangan simpodial, putih kecoklatan. Daun tunggal, tersebar, lonjong, tepi bergerigi, ujung runcing,pangkal membulat, pertulangan menyirip, panjang 7-20 cm, lebar 3-7,5 cm, tangkai silindris, hijau muda, panjang ± 2 cm, dan hijau. Bunga majemuk, berkelamin satu, di batang atau di cabang, tangkai silindris, panjang ± 10 cm, kelopak bentuk mangkok, benang sari empat sampai enam, bunga betina lebih besar dari bunga jantan,mahkota terbagi lima, kuning. Buahnya buni, bulat, berdiameter ± 2 cm, masih muda hijau setelah tua kuning. Bijinya bulat, diameter ± 0,5 cm, putih kekuningan. Akar tunggang dan putih kotor Haegens, 2000. Daun Baccaurea racemosa berkhasiat sebagai obat mencret dan untuk peluruh haid. Daun dan kulit batang Baccaurea racemosa mengandung saponin, flavonoida dan tanin, di samping itu daunnya juga mengandung alkaloids. Jenis Tumbuhan Eugenia cymosa Eugenia cymosa merupakan tumbuhan yang dikenal sebagai kopo dan kisireum di Jawa Barat. Adapun di Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut manting. Tanaman ini tersebar di seluruh Jawa pada ketinggian 100-1200 m dpl, yakni di hutan campuran atau hutan jati. Eugenia cymosa memiliki ciri-ciri pohon bertumbuh besar dan kuat, tingginya antara 2-5 m, cabang-cabangnya berbentuk galah berwarna coklat kemerahan. Daunnya berukuran 3-10 cm x 12,5 37 cm. Bunganya terletak di ranting, tapi kadang tumbuh diketiak daun paling atas dan bunganya bercabang. Tabung kelopak tingginya 8-15 mm, berwarna merah, tajuknya putih agak merah, panjangnya 1,5-2 cm. Tangkai sari sebelah bawah berwarna merah dan sebelah atau berwarna putih. Tangkai putik panjangnya 3,5-4,5 cm. Bunganya muncul sepanjang tahun. Demikian pula buahnya. Buahnya tidak enak dimakan, berukuran 2,75-3,5 cm, dan berwarna ungu-merah. Tanaman ini potensial untuk batang bawah. Meski besar, batangnya tak beraturan, bengkok-bengkok sehingga tak dimanfaatkan untuk bahan bangunan. Namun batang ini dapat digunakan untuk kayu bakar. Dan kulit kayunya dapat digunakan sebagai bahan pewarna yaitu berwarna kecoklatan Heyne,1987.

5.1.4 Jenis dan Kelimpahan Cacing Tanah

Berdasar hasil identifikasi kasar morfologi ditemukan satu spesies cacing tanah pada ketiga tipe tutupan lahan sebagai lokasi penelitian yakni spesies Pheretima aspergillum. Cacing tanah spesies Pheretima aspergillum dapat dilihat pada Gambar 5.2. Spesies Pheretima aspergillum merupakan jenis cacing lokal yang penyebarannya meliputi Indo-Melayu, Asia Tenggara, dan Australia, letak klitelium pada segmen 14-16, pigmentasi dorsal sama dengan pigmentasi ventral merah kecoklatan. Ukuran tubuh lebih ramping dan panjang serta gerakannya lebih lincah dari jenis cacing lain, tubuh cacing tanah dewasa dapat mencapai 11 cm dan diameter 2 mm, jumlah segmen 122-153 dan setiap segmen mempunyai seta dan tipe Perichaetine. Letak klitelium cacing tanah spesies Pheretima aspergillum disajikan pada Gambar 5.1.2. Cacing tanah Pheretima merupakan genus yang diketahui mampu untuk mengimbangi keberadaan jenis Lumbricus Minnich, 1977 dalam Brata, 2009. Dari hasil penelitian Subowo 2011 di daerah Bogor dan Sukabumi, diketahui habitat utama dari cacing tanah Pheretima, yakni air, darat yang relatif agak kering, dan kotoran ternak. Pheretima aspergillum yang disebut juga sebagai cacing kalung, memiliki tubuh lebih besar dibandingkan cacing merah yaitu cacing tanah jenis Lumbricus. Jenis Pheretima umumnya hidup di daerah relatif lebih kering dengan lantai yang tertutup daun-daunan dan di daerah pinggir kotoran ternak. Anwar 2005 melaporkan bahwa kondisi lingkungan tempat hidup cacing tanah lokal dicirikan oleh temperatur antara 23 C-27 Populasi cacing tanah terbesar terdapat pada tipe tutupan lahan hutan campuran, cacing tanah spesies Pheretima aspergillum lebih melimpah. Pada tipe tutupan lahan tanah kosong dan rumput-rumputan tidak terdapat sama sekali cacing tanah. Spesies Pheretima aspergillum ditemukan hanya 18,75 indm C, kelembaban antara 70-90 dan pH antara 6,5-8,3. Pada umumnya pH yang disenangi berkisar antara pH 7,0 dan jarang dijumpai pada habitat yang langsung terkena cahaya matahari, serta lebih menyukai tempat-tempat yang tenang. 2 pada tipe tutupan lahan semak belukar. Pada tutupan lahan hutan tanaman ditemukan cacing tanah sebesar 231,25 indm 2 nilai ini lebih kecil dengan nilai rata-rata yang didapat di hutan campuran sebesar 512,5 indm 2 Faktor ekologi berpengaruh terhadap kehidupan cacing tanah baik terhadap perkembangbiakan maupun pertumbuhan. Faktor lingkungan juga berpengaruh terhadap kualitas kastingnya. Menurut Martin 1981 faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangbiakan dan pertumbuhan cacing adalah temperatur, kelembaban, derajat keasaman pH dan perlindungan cahaya. Temperatur sangat memengaruhi aktivitas metabolisme, pertumbuhan, reproduksi dan pertumbuhan cacing tanah. Perbedaan temperatur sangat memengaruhi kesuburan cacing tanah. Menurut Lee 1985 temperatur tanah bervariasi sesuai kedalaman tanah dan kondisi diurnal serta perubahan temperatur lingkungan. , sehingga cacing tanah lebih banyak hidup dan berkembangbiak pada tipe tutupan lahan campuran tersebut. Populasi cacing tanah spesies Pheretima aspergillum pada setiap tipe tutupan lahan disajikan pada Tabel 5.1.3. Kelembaban mempunyai peranan yang sangat penting didalam mendeteksi keaktifan cacing tanah, karena hal ini berhubungan dengan struktur fisik dan proses kehidupan cacing tanah yang serupa dengan hewan perairan dibandingkan dengan hewan terrestrial. Cacing tanah mengandung air sebanyak 70 – 95 dari bobot hidupnya, kehilangan air merupakan masalah utama cacing tanah untuk dapat mempertahankan fungsi-fungsi tubuhnya untuk bekerja secara normal. Cacing tanah sangat sensitif terhadap konsentrasi hidrogen, sehingga pH tanah merupakan faktor pembatas distribusi, jumlah, dam spesies cacing tanah. pH yang terlalu asam akan menyebabkan dormasi atau diapauses dan pada saat tersebut cacing tanah tidak dapat melakukan fungsinya untuk memperbaiki struktur tanah dan tidak dapat berproduksi, akhirnya cacing tanah akan mengalami kematian. pH yang terlalu asam juga menyebabkan keracunan, mengakibatkan konvulsi, paralisis dan akhirnya mengalami kematian Minnich, 1977. Edwards dan Lofty 1977, melaporkan hasil penelitian pada beberapa jenis tanah terhadap populasi cacing tanah yakni populasi cacing tanah lebih tinggi pada tanah yang kandungan liatnya rendah dan sedang, dibandingkan dengan jenis tanah yang kandungan liatnya tinggi atau tanah yang pasirnya tinggi dan tanah aluvial. Lee 1985 mengemukakan bahwa pada tanah yang berstruktur kasar, kandungan liatnya tinggi dan daerah-daerah yang bercurahan hujan yang tinggi jarang dijumpai cacing tanah, karena cacing tanah menghendaki tekstur tanah yang tidak kasar dan kandungan liatnya rendah. Menurut Gaddie dan Douglas 1975 pada tubuh cacing tanah, terutama bagian ujung depan anterior, terdapat banyak sel yang peka terhadap cahaya. Oleh karena itu, semua kegiatan seperti mencari makan dan kawin dilakukan pada malam hari, sedangkan siang hari cacing tanah bergerak di bawah permukaan tanah. Tabel 5.1.3 Analisis cacing tanah berdasarkan tipe tutupan lahan No. Tipe Tutupan Lahan Jenis Cacing Tanah K indha A Tanah Kosong - B Rumput-rumputan - C Semak Belukar Pheretima aspergillum 18,75 D Hutan Tanaman Pheretima aspergillum 231,25 E Hutan Campuran Pheretima aspergillum 512,5 Gambar 5.1.2 Cacing tanah Pheretima aspergillum a = foto cacing hidup dan b = foto letak klitelium a b