kehadiran Tuhan, tetapi lebih dari itu, perhatian pada kualitas dan kehadiran hati yang harus mewarnai ibadah seseorang.
207
Namun, persoalan yang paling penting mengenai iman, menurut Esack, adalah iman merupakan pengakuan pribadi akan, dan respon aktif
terhadap kehadiran Tuhan di alam semesta dan di dalam sejarah. Aspek aktif dan pribadi iman tersebut mengimplikasikan bahwa ia berfluktuasi
dan dinamis,
208
yakni tetap terkait dengan kesadaran terdalam manusia, sosok makhluk yang hingga tingkat tertentu senantiasa berubah oleh
berbagai pengalaman sosial maupun personalnya, meski sumber aslinya adalah karunia dari Tuhan.
209
Beberapa penafsir merujuk dua hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang menyatakan bahwa iman akan menyelamatkan
manusia di akhirat nanti, dan iman itu bermacam-macam dan punya tujuh puluh cabang. Yang paling tinggi adalah berikrar bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri di jalan. Kerendahan hati adalah salah satu cabangnya.
210
e. Pengertian Ulang Islam
207
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 163-164.
208
Esack memberi tiga alasan bagi iman bersifat dinamis dan senantiasa berubah. Pertama
, pengertian iman dalam al-Quran dan Muslim awal lebih dalam satu jenis dan dalam berbagai tingkatan. Kedua, ketika al-Qur’an menghimbau para pemeluk Islam awal sebagai “wahai
orang-orang yang beriman”, imbauan tersebut, mengajak mereka untuk membawa diri kearah tertentu, menjauh dari berbagai kesesatan di dalam masyarakat dan mendekat kepada Tuhan.
Mereka dituntut dengan cara tertentu, bukan untuk mengklaim diri sebagai pemilik substansi khusus yang disebut iman itu. Ketiga, pemahaman bahwa iman merupakan sebuah atribut karakter
yang aktif, juga didukung oleh fakta lawan katanya, yaitu kufr. Esack, Membebaskan yang Tertindas
, h. 162.
209
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 161.
210
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 161-162.
Sebagaimana dalam memahami pengertian iman, pengertian istilah islam pun dalam Esack sangat kontekstual dan eksistensial dengan paham
pluralisme agama. Oleh karena itu, dalam memaknai istilah tersebut Esack lebih menelusuri makna yang sebenarnya.
Adapun teks al-Quran yang biasa dijadikan klaim kaum Muslim sebagai satu-satunya ekspresi keagamaan yang diterima Tuhan sejak
kenabian Muhammad adalah Islam, menurut Esack, tercantum dalam Q.S. Ali Imron3: 19 adalah sebagai berikut:
“Sesungguhnya din di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi kitab kecuali telah datang
pengetahuan kepada mereka, karena dengki di antara mereka. Siapa saja yang menolak ayat-ayat Allah maka sesungguhnya
Allah amat cepat hisab-Nya.”
211
Padahal menurut Esack, penjelasan din tersebut menitikberatkan pada proses, pada din sebagai penyerahan diri kepada Tuhan. Bukan pada
bentuk ekspresi kehidupan agama yang sistematis dan terlembagakan. Smith menjelaskannya dengan ketundukan, kepatuhan, berbakti menuju
kebenaran dalam huda dan bayan-Nya, berbakti kepada Tuhan, respon total kepada Tuhan itu sendiri, bukan diartikan sebagai agama Tuhan.
212
Demikian juga dengan penggunaan istilah islam dalam teks tersebut, mengandung muatan universal. Istilah tersebut memberi
pemahaman bahwa teks tersebut ditujukan bagi siapa pun yang tunduk pada kehendak Tuhan, lebih untuk menyebut kepada tindakan pribadi
211
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 168.
212
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 168-176.
daripada untuk menyebut nama dari suatu sistem agama.
213
Cakupan tersebut menurut Esack, memasukkan agama lain serta beragam kewajiban
dan bentuk-bentuk praktik di dalamnya dan apa-apa yang telah menjadi bagian dari mereka, dan penjelasan tersebut bisa dilihat dengan merujuk
teks selanjutnya,
214
yang menjelaskan perintah kepada Nabi Muhammad untuk mengatakan kepada para penentangnya bahwa ajaran yang
dibawanya adalah penyerahan diri kepada Tuhan, dan ajaran tersebut ini juga ditujukan kepada mereka, orang Kristiani.
215
Lagi pula, menurut Esack, pada masa-masa awal pemikir Muslim dan istilah Arabnya arti islam adalah tunduk, menyerah memenuhi atau
melakukan , dan merupakan bentuk infinitif dari aslama, dan satu-satunya
orang yang membedakan secara eksplisit antara islam yang dilembagakan dengan yang tidak, adalah Ridha. Munurutnya, penggunaan al islam
dengan makna doktrin, tradisi, dan praktik yang dilakukan oleh sekelompok orang yang disebut muslim masih relatif baru, dan didasarkan
atas prinsip fenomenologi, yaitu agama sebagai apa yang dianut oleh para
213
Penjelasan tersebut tercantum dalam Q.S. al-Hujurat49: 17 dan al-Taubah9: 74. Q.S. al-Hujurat49: 17 Terjemahannya berikut: “Mereka merasa berjasa kepadamu dengan keislaman
mereka, katakanlah janganlah kamu merasa berjasa kepadaku dengan keislamanmu sebenarmya Allah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjukan kamu kepada keimanan jika
kamu orang yang benar.” Sedangkan Q.S. al-Taubah9: 74 berikut: “Mereka orang munafik itu bersumpah dengan nama Allah bahwa mereka tidak mengatakan sesuatu yang menyakiti
Muhammad. Sungguh mereka telah mengatakan kekafiran, dan telah menjadi kafir setelah Islam, dan menginginkan apa yang mereka tidak dapat mencapainya. Dan mereka tidak mencela Allah
dan rasulnya sekiranya Allah dan Rasulnya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat itu adalah lebih baik bagi mereka. Dan jika mereka berpaling, niscaya Allah
akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di Dunia dan Akhirat. Dan mereka tidak mempunyai pelindung dan tidak pula penolong di bumi.”
214
Q.S. Ali Imran3: 20 Terjemahannya berikut: “Kemudian jika mereka membantah engkau Muhammad katakanlah, “aku berserah diri kepada Allah dan demikian pula orang-
orang yang mengikuti.” Dan katakanlah orang-orang yang telah diberi Kitab dankepada orang- orang buta hurufsudahkah kamu berserah diri? jika mereka sudah berserah diri berarti mereka telah
mendapat petunjuk, tetapi jika mereka berpaling, maka kewajibanmu hanyalah menyapaikan. Dan Allah Maha melihat hamba-hamba-Nya.”
215
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 168-176.
pemeluknya. Yang demikian, menurutnya, adalah al din dalam arti komunitas jinsi atau kebiasaan urf etno-sosiologis, maka jika islam
dilakukan seperti itu, menurutnya, adalah penerimaan yang tidak kritis dan tidak ada hubungannya dengan Islam yang sebenarnya, sebaliknya ia
menyimpang dari iman yang sejati.
216
Bagi Ridha, muslim yang sejati adalah yang tak ternodai oleh dosa syirk, tulus dalam tindakannya dan memiliki iman, dari komunitas apa
pun, dalam periode kapan pun dan tempat asal mana pun inilah makna “Barang siapa yang mencari din selain Islam maka sekali-kali tidaklah
akan diterima pilihannya itu”. Q.S. Ali Imron3: 85.
217
Adapun penggunaan
istilah din
dalam al-Quran
tidak menggunakan kata adyan sebagai bentuk pluralnya, menurut Esack, hal
tersebut mencerminkan kenyataan bahwa kehidupan beragama pada saat itu tidak sepenuhnya terlembagakan, seperti yang terjadi kemudian,
218
dan hal tersebut menunjukkan bahwa al-Quran selalu berada dalam hubungan
yang dinamis dengan pendengarnya dan dapat dimengerti oleh komunitas atau individu sesuai dengan tahapan tertentu perkembangan mereka,
219
maka pengertian yang universal saat ini tentang din sebagai agama dan
216
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 172-174.
217
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 176.
218
Din mengalami perubahan makna dari komitmen pribadi menjadi komitmen kolektif
dan dipakai sebagai respon yang benar terjadi sejak akhir periode Makkah berlanjut hingga periode Madinah. lihat perubahan makna din disetiap periode yang dijelaskan oleh Yvonne
Haddad dalam Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 171.
219
Menurut Esack istilah din dalam bahasa Arab selama abad ke tujuh sudah dipakai dalam makna yang berbeda-beda dan selalu berubah. Ia memiliki beragam makna berbeda yang
bisa dimasukan ke dalam tiga kelompok utama: pertama, konsep agama sistematik; kedua, kata benda verbal, “menilai”, “melakukan penilaian”, “menetapkan keputusan”, dan, bersamaan dengan
ini, “penilaian”, “keputusan”; ketiga, kata benda verbal “mengarahkan diri”, “menjaga diri”, “menjalankan praktik tertentu”, “mengikuti tradisi”, dan setelah itu kata benda abtrak,
“kesesuaian”, “kepatutan”, “ketaatan”, “kebiasan” dan “perilaku standar”. Lihat Esack, Membebaskan yang Tertindas
, h. 170.
penghapusan pengertiannya sebagai respon pribadi kepada Tuhan, menurutnya, tidak memiliki dasar di dalam teks al-Quran dan tafsir-tafsir
tradisional.
220
Namun, menurut Esack, tafsir tradisional bukannya tidak memiliki benih pluralisme sama sekali, mengingat konteks ketika para pemikir
tradisional merumuskan karyanya tidak berada dalam konteks yang membangkitkan jenis persoalan-persoalan yang dimunculkan oleh
modernitas atau situasi apartheid Afrika Selatan.
221
Oleh karena itu, menurutnya, al-Quran memotret Muslim sebagai sosok yang tunduk pada
ketuhanan yang lebih dari sekedar Muslim dari sebuah agama reifikasi. Menurutnya, Tuhan adalah akbar lebih besar dari pada konsepsi apa pun
tentang diri-Nya atau dari segala bentuk ketaatan terlembaga ataupun tidak terlembaga kepada-Nya. Kepada Tuhanlah Islam yang dimaksud al-Quran
itu. Islam adalah untuk menyebut suatu tindakannya.
222
Para pemikir Islam pun membenarkan ide bahwa istilah Islam di dalam al-Quran bukan semata merujuk pada agama kaum Muslim. Mereka
juga membenarkan bahwa islam primordial dan universal, yaitu penyerahan diri pada yang absolut, dapat dengan jelas ditemukan dan
dikenali di dalam berbagai simbol dan pola keberimanan dan tindakan di dalam berbagai agama dan ideologi masa lalu maupun sekarang. Setiap
respon tulus terhadap panggilan dari sang misteri yang tersembunyi, sumber segala yang ada, membuktikan islam eksistensial dan personal.
220
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 171-172.
221
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 176.
222
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 177.
Islam adalah agama yang dibawa semua nabi dalam beragam ajaran mereka.
223
Selanjutnya mengenai penjelasan din, Esack juga mengutip dari beberapa pemikir Muslim, di antaranya adalah Ibn al-‘Arabi 1165-1240,
Ridha, dan al-Razi. Pengertian din menurut Ibn al-‘Arabi adalah sebagai berikut:
“Sesungguhnya din yang benar disisi Allah adalah tawhid, yang Dia telah tetapkan bagi Diri-Nya, maka din Allah adalah
ketundukan, keseluruhan wujud seseorang membebaskan diri dari ego dan mencapai peniadaaan diri dalam Diri-Nya.”
224
Sedangkan menurut al-Razi adalah sebagai berikut: “Asal bahasa din adalah balasan, din berarti ketundukan
yang mengakibatkan balasan itu. Islam memiliki tiga makna: masuk ke dalam Islam yaitu ke dalam penyerahan diri, dan
ketundukan, masuk dalam kedamaiaan, dan mensucikan segala tindakan hanya bagi Allah semata.”
225
Selanjutnya menurut Ridha, definisi din secara universal adalah yang tidak mencakup identifikasi formal dengan Islam sosiohistoris,
sembari secara terbuka mengakui keabsahan jalan agama-agama lain di luar Islam
226
karena baginya al din adalah perintah Tuhan dan respon yang diwajibkan hamba atas diri mereka sendiri, merupakan penyerahan diri
pribadi kepada Tuhan dan ruh universal yang ada di dalam semua komunitas beragama. Ketundukan tersebut menurutnya tidak ada
hubungannya dengan Islam konvensional yang terjebak dalam imitasi dan
223
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 157.
224
Esack, Membebaskan Yang Tertindas, h. 169.
225
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 170.
226
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 171.
dalam komunitas-komunitas etno-sosiologis.
227
Sedangkan bagi Esack, din adalah sebuah pola, sebuah jalan Tuhan yang berlaku umum bagi seluruh kaum, sebagaimana tercantum dalam
Q.S. al-Syura42: 13, yang menjelaskan bahwa ada kesatuan din yang sama yang telah diwasiatkan oleh al-Quran kepada Nuh, Ibrahim, Musa
dan Isa. Nabi-nabi tersebut datang membawa misi yang sama, yang mereka sampaikan dalam konteks situasi umat mereka yang bermacam-
macam dan berbeda-beda. Namun tetap berada dalam kesatuan din yang sama, yakni jalan Tuhan.
228
f. Pengertian Ulang Kafir