semacam itu, yakni mereka mengetahui keberadaan Tuhan dan para rasul- Nya. Namun mereka memilih untuk menolak dan menutupinya.
258
Bahkan mereka
bertekad menghancurkan
misi-misinya dengan
cara membunuhnya.
259
Jadi, kafir adalah sesuatu yang disadari, sesuatu yang disengaja aktif bukan sekedar ketidakpedulian atau ketidaktahuan atas keberadaan
Tuhan, juga bukan merupakan label-label etnis tertentu, tapi lebih kepada menunjukan perbuatan-perbuatan yang mencerminkan sikap-sikap kafir,
sebagaimana yang telah digambarkan dalam al-Quran.
260
Esack menambahkan pengertian kafir yang dikutip dari Asad. Asad mengatakan bahwa kafir adalah penunjukan bagi orang-orang yang
menyangkal kebenaran dalam arti yang paling luas, dan spiritual, tidak terbatas pada pengertian orang yang tidak percaya atau tak beragama
karena menolak sistem doktrin dan hukum yang diajarkan al-Quran dan disampaikan oleh Nabi, tapi lebih dari itu, memiliki makna yang lebih luas
dan umum.
261
3. Status Iman dan Nilai Amal Saleh Penganut Agama Lain
Apabila iman bisa mencakup tindakan menyingkirkan duri dari jalanan, sebagaimana telah dikemukakan di muka, maka menurut Esack,
mengapa iman tidak bisa mencakup pula tindakan seorang individu yang sepanjang hidupnya merespon suara Tuhan. Terlebih lagi jika penganut agama
258
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 181.
259
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 188.
260
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 188.
261
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 179-180.
lain itu melakukan tindakan amal saleh. Menurutnya, sangat tidak mungkin bagi Tuhan untuk berlaku tidak adil dan zalim pada yang lainnya.
262
Dengan demikian, menurut Esack, status iman dan nilai amal saleh penganut agama lain akan diterima dan mendapat pahala dari Tuhan,
sebagaimana yang telah Ia janjikan dan tegaskan bahwa Ia akan memberi pahala bagi siapapun yang melakukan tindakan amal saleh walaupun mereka
tidak beriman seperti yang dibahas dalam teologi Islam, sedangkan ayat al- Quran yang menjelaskan hal itu adalah Q.S al-Baqarah2: 62.
263
Bagi Esack, iman adalah keyakinan kepada Tuhan yang sama sekali melampaui konsepsi kemanusiaan, suatu keyakinan yang diungkapkan dalam
kehidupan yang sesuai dengan etos al-Quran dan tuntutannya untuk beramal saleh.
264
Terlebih Ridha menyatakan, bahwa penggunaan kalimat siapa saja di antara orang yang beriman
adalah spesifikasi bagi tiga kelompok lain, yaitu orang-orang Yahudi, Nasrani dan Sabi’in yang percaya dengan keimanan yang
benar, benar-benar hanya berserah diri pada Tuhan semata.
265
Selanjutnya alasan lain yang menyatakan status iman komunitas lain diterima oleh Tuhan, menurut Esack, dapat dipetakan ke dalam beberapa
alasan: pertama, sebagaimana yang telah dijelaskan di muka bahwa penggunaan istilah-istilah iman, seperti mu’minûn dalam al-Quran dan para
pemikir, pengertiannya tidak merujuk pada komunitas Nabi Muhammad saja, tetapi juga di luar itu, mereka yang sepanjang hidupnya merespon suara
262
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 168.
263
Terjemahannya: “Sungguh orang-orang yang beriman, Yahudi, Nasrani, Sabi’in, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan berbuat kebajikan, mereka
akan mendapatkan balasan mereka di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak pula mereka akan bersedih hati”.
264
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 167.
265
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 211-212.
Tuhan. Kedua, sebagaimana yang dijelaskan dalam Q.S. al-Hujurat49: 14- 15
266
, yakni yang menjelaskan peringatan terhadap tindakan kaum Badui yang memeluk Islam secara formal berbeda dengan iman itu sendiri. Islam dalam
makna tunduk secara formal pada aturan baru yang dibawa Nabi Muhammad, adalah awal dari terbitnya keyakinan yang masih menumbuhkan akarnya di
dalam hati. Bergabungnya mereka dengan komunitas Muslim secara formal tidak lantas mencerminkan keyakinan personalnya karena kata Muslim bisa
saja merujuk pada identitas baru berdasarkan perjanjian itu, bukan karena keyakinan, dan makna yakin dan mengakui adalah tafsiran lebih akurat bagi
iman dari pada sekedar percaya. Makna iman merupakan suatu kualitas yang aktif yang membuat seseorang berada dalam hubungan yang dinamis dengan
penciptanya dan sesamanya, mencakup kemampuan untuk melihat yang transenden dan memberi respon kepadanya, mendengar bisikan Tuhan dan
bertindak, seperti yang diperintahkan-Nya.
267
Alasan ketiga, bentuk aktualisasi keberimanan individu atau kelompok itu banyak dan berbeda-beda, namun penunjukan, seperti kata mu’minûn
terkadang hanya menunjuk pada komunitas kaum beriman yang sudah mapan, sebagaimana tercantum dalam Q.S. al-An’am6: 82, berbicara tentang orang
beriman dan tidak mencampuradukan imannya dengan ketidakadilan dan Q.S. al-Hujurat49: 9, menunjuk satu kelompok mu’minûn yang berbuat aniaya.
266
Terjemahannya: “Orang Badui ini berkata kami telah beriman katakanlah kepada mereka kamu belum beriman. Tetapi katakanlah kami telah tunduk karena iman itu belum masuk
kedalam hatimu dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasulnya dia tidak akan mengurangi sedikit pun amalanmu sesunguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya arang-
orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasulnya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa. Raga mereka pada jalan Allah
mereka itulah orang-orang yang beriman.”
267
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 166-168.
Alasan keempat, adalah ada yang disebut mu’minûn sekalipun perilaku individual mereka tidak sesuai dengan komitmen keimanannya, sebagaimana
dalam pandangan masyarakat Muslim, mereka yang dilahirkan di dalam keluarga Muslim cukup untuk memasukkan seseorang sebagai anggota
kalangan mu’minûn, selama orang itu tak pernah secara verbal mengingkari asal-usulnya sekalipun perilaku individual mereka tidak sesuai dengan
komitmen keimanannya. Ini berarti bahwa faktor pengakuan lewat mulut pun dalam praktiknya tidak diperlukan karena tidak ada mekanisme formal untuk
menguji keimanan seseorang ketika dia telah menginjak usia dewasa.
268
Alasan terakhir, adalah penggunaan kalimat orang-orang yang beriman sudah dipakai di Makkah, sekalipun tidak sering, pada periode
ketika Muslim secara sosial berada dalam posisi paling rentan dan tidak aman. Mereka membentuk kelompok mu’minûn dalam arti ketidakamanan, dan
mengapresiasikan komitmen tersebut dalam satu ikatan tanpa melihat komitmen keimanannya, yakni merujuk kepada mu’minûn berasal dari amn,
yang artinya menjadi aman atau memperoleh perlindungan yang digunakan untuk kaum yang berkelompok atas dasar ketidakamanan.
269
Kata tersebut digunakan bukan karena pilihan iman yang telah mereka ambil, tetapi karena
mereka berada pada posisi lemah dan rentan Q.S. Saba34: 32. Mereka juga tidak merasa aman karena pemihakkan mereka kepada kaum lemah dan telah
menyedekahkan hartanya kepada golongan itu.
270
268
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 165-166.
269
Lihat Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 166.
270
Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 181.
C. Kritik Terhadap Farid Esack
Jika dilihat dari pernyataan-pernyataannya mengenai paham pluralisme agama dan beberapa argumentasinya melalui penguatan al-Quran dan pemahaman
ulang istilah iman, islam dan kafir, serta pandangannya mengenai status iman dan
nilai amal saleh penganut agama lain, maka dalam perspektif Fahmi Zarkasi,
Esack dikelompokkan ke dalam penganut paham pluralisme religius filosofis atau dalam ungkapannya Siswanto, menganut prinsip azali banyak karena ia
mengungkapkan pernyataan-pernyataan yang menyatakan pengakuan dan penerimaan terhadap eksistensi agama-agama dan menyatakan prinsip yang
memberikan makna dan hukum kenyataan yang sesungguhnya yang berada di belakang gejala-gejala yang memberikan watak kenyataan yang sama pada semua
kenyataan yang ada adalah ilahi.
271
Adapun pernyataan-pernyataan yang menujukkan ia ke dalam paham tersebut, jika diuraikan adalah pertama, pernyataannya mengenai pengertian
pluralisme agama; ia menyatakan bahwa pluralisme agama bukan sekedar toleransi saja, tapi lebih dari itu adalah pengakuan dan penerimaan atas
keberbedaan dan keberagaman, baik di antara sesama maupun pada penganut agama lain; ia juga mengakui dan menerima apa pun yang ada dalam diri setiap
manusia ke arah yang transenden, dari yang terlihat maupun tidak. Lebih jelasnya pernyataan Esack yang menyatakan pengertian tersebut adalah sebagai berikut:
“Pluralisme dijabarkan sebagai pengakuan dan penerimaan, bukan sekedar toleransi, atas keberbedaan dan keberagaman, baik di antara
sesama maupun pada penganut agama lain, maka dalam konteks agama
271
Mengenai penjelasan tersebut, lihat hal. 57-60 pada bab ini, IV.