Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia, sebagai negara kepulauan, mempunyai ragam bahasa, suku, adat istiadat dan agama, dan hal ini merupakan fenomena kini, dulu dan akan datang yang tidak bisa dihindari dan dipungkiri. 1 Dengan kondisi semacam itu, Indonesia berada dalam situasi yang rawan bagi timbulnya pertentangan- pertentangan sosial. Apalagi jika sudah menyentuh persoalan agama. 2 Telah banyak disaksikan konflik dan kekerasan yang terjadi di bumi ini karena alasan agama. Kerusuhan yang terjadi di Ambon dan di Poso beberapa tahun lalu, atau pengeboman di Bali dan Hotel JW. Marriot di Kuningan adalah fakta, yang tidak bisa bisa dipungkiri, bahwa agama menjadi salah satu faktor pendukung terjadinya hal tersebut. 3 Bahkan peristiwa 11 September 2001 yang 1 Clive Gifford, “Indonesia,” dalam Henry P, dkk., ed., Ensiklopedi Geografi Dunia untuk Pelajar dan Umum, vol. IV. Penerjemah Dewi Susiloningtyas, dkk., Jakarta: Lentera Abadi., 2006, h. 328-333. 2 Azyumardi Azra, dkk., Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia Ciputat: INCIS, 2003, h. 25. 3 “Kerusuhan Ambon,” diakses pada 10 September 2007 dari www.hamline.eduapakabarbasis data199908260037.html , sedangkan kerusuhan poso adalah sebutan bagi serangkaian kerusuhan yang terjadi di Poso Sulawesi Tengah yang melibatkan kelompok Muslim dan Kristen. Peristiwa tersebut dibagi menjadi tiga bagian yaitu Poso I terjadi pada 25-29 Desember 1998, Poso II 17-21 April 2000, dan Poso III 16 Mei-15 Juni 2000. “Kerusuhan Poso,” diakses pada 10 september 2007 dari http:id.wikipedia.orgwikiKerusuhan_Poso . Peristiwa terakhir kerusuhan di Poso terjadi pada 28 Mei 2005. Pelaku kerusuhan adalah dari golongan Muslim yang membunuh pendeta dan mutilasi siswa Kristen. “Pengeboman Poso Divonis 18 Tahun,” Media Indonesia, 4 Desember 2007, h. 3. Kemudian peristiwa pengeboman di Bali terjadi pada malam hari 12 Oktober 2002 di Kuta Pulau Bali. “Bom Bali,” diakses pada 10 September 2007 dari http:id.wikipedia.orgwikiBom_Bali_2002 dan tahun 2005 terjadi tiga kali pengeboman di Jimbaran dua kali dan di Kuta satu kali. “Bom Bali,” diakses pada 10 September 2007 dari http:id.wikipedia.orgwikiBom_Bali_2005 . selanjutnya pengeboman JW. Marriot terjadi pada 5 meruntuhkan gedung WTC di New York telah mengubah pandangan dunia tentang agama karena pada saat peristiwa tersebut terjadi para pelakunya adalah dari golongan kaum beragama, yakni Islam. 4 Konflik dan kekerasan atas nama agama pun bisa terjadi dalam satu agama. Dahulu, pada perempat kedua abad ke-16 M Syaikh Siti Jenar dihukum mati di Masjid Demak oleh kelompok-kelompok Muslim bersenjata yang dipimpin oleh Jakfar Shadiq, Susuhunan Kudus, dengan tuduhan telah menyebarkan ajaran bid’ah yang, menurut mereka, ajarannya tersebut akan membahayakan kerajaan dan masyarakat Muslim lainnya. 5 Peristiwa serupa pun terjadi di Aceh, yakni menimpa pada para pengikut Syaikh Hamzah al-Fansuri dan Syamsudin Sumatrani w.1630. Mereka dihukum bunuh karena pemikiran mereka dianggap telah membahayakan syariat oleh al- Raniri w.1658. 6 Selain mereka dihukum bunuh, literatur yang mereka miliki dibakar. 7 agustus 2003 sekitar pukul 12.45. “Bom JW. Marriot,” diakses pada 10 September 2007 dari http:id.wikipedia.orgwikiBom_ Marriot _200 3 4 Karen Armstrong, Perang Suci: Dari Perang Salib hingga Perang Teluk. Penerjemah Hikmat Darmawan Jakarta: Serambi, 2003, h. 27. 5 Pemikiran Syaikh Siti Jenar yang dianggap menyesatkan adalah ajaran tauhid yang bersifat universal khususnya tentang ajaran sasyahidan atau wahdatusyuhud. Lebih lanjut lihat Agus Sunyoto, Suluk Abdul Jalil Perjalanan Ruhani Syaikh Siti Jenar, Buku Satu Yogyakarta: LkiS, 2003, h. xxiii-xxiv. 6 Pemikiran yang dianggap menyesatkan kedua tokoh ini di antaranya adalah yang menyatakan bahwa: alam dan manusia sama saja dengan Tuhan; wujud alam dan manusia adalah wujud Tuhan; Tuhan itu imanen; alam itu qadim; dan ketika mereka mengatakan shatiyyat; menurut al-Raniri mereka tidak berada dalam keadaan fana; selain itu menurut al-Raniri, keilmuan mereka dalam pencapaian makrifat masih rendah. Lihat Abdul Hadi Widji Muthari, “Estetika Sastera Sufistik Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-Karya Shaikh Hamzah Fansuri,” Tesis S2 Universitas Sains Malaysia, 1996, h. 272-273. Lihat juga pemahaman lebih jauh mengenai pembahasan wahdat al-wujud Syamsuddin al-Sumatrani dan kontroversinya dengan al-Raniri, dalam Abdul Aziz Dahlan, Penilaian Teologis atas Paham Wahdat Al Wujud Kesatuan Wujud: Tuhan Alam Manusia dalam Tasawuf Syamsuddin Sumatrani Padang: IAIN IB-Press, 1999, h. 35-159. 7 Lihat, Dahlan, Penilaian Teologis atas Paham Wahdat Al Wujud Kesatuan Wujud, h. 24. Peristiwa-peristiwa tersebut cukup menjelaskan bahwa ketegangan yang terjadi di antara penganut agama yang sama dapat menimbulkan tindak kekerasan dan kekejaman, jika terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Walaupun misalnya, kematian Syekh Siti Jenar telah banyak menimbulkan kontroversi yang sangat membingungkan. 8 Demikian juga halnya, yang menimpa kepada para pendahulunya sufi, al-Hallaj w. 308 H. Pada usia 53 tahun, telah dibunuh dengan sangat kejam oleh pemerintahan Dinasti Abbasiyah tahun 922 M308 H. Selain ia dipenjara dan dipertontonkan di khalayak ramai, tubuhnya disalib, dicameti dan dilempari batu. Tangan, kaki dan lidahnya dipotong, dan matanya dicukil. Bahkan setelah meninggal, jasadnya dibakar dan abunya di buang ke sungai Tigris. 9 Sejak dulu, hingga sekarang sejarah terus berulang-ulang menyaksikan peristiwa tersebut. Tidak saja di negara kita, di negara lain pun sama. Hanya karena alasan agama, manusia saling membunuh, merusak, dan mencaci. Peperangan yang terjadi di Palestina antara umat Yahudi dan Muslim yang berlangsung sampai sekarang adalah peperangan atas nama agama. 10 Demikian 8 Pasalnya tokoh-tokoh yang menentukan hukum bunuh terhadap Syaikh Siti Jenar, seperti Sunan Giri, Sunan Bonang, Raden Fatah dan Sunan Ampel telah meninggal belasan, bahkan puluhan tahun sebelum peristiwa tersebut terjadi, dan dikabarkan bahwa susuhunan Kudus yang membunuh Syaikh Siti Jenar bersama bala tentaranya adalah orang yang sangat menghormati dan memuliakan Syaikh Siti Jenar. Lihat Sunyoto, Suluk Abdul Jalil, h, xvi-xx. 9 Tak jauh beda dengan pembunuhan sufi-sufi lainnya, ia pun dibunuh oleh penguasa karena ajarannya dipandang menyesatkan. Lebih jauh lihat, Fathimah Usman, Wahdat Al-Adyan: Dialog Pluralisme Agama Yogyakarta: LkiS, 2002, h. 27-30. 10 Mereka berperang memperebutkan tanah suci, Israel. Salah satu alasan umat Yahudi memerangi Palestina adalah karena secara religius mereka telah dijanjikan oleh Tuhan, bahwa satu-satunya tempat suci yang diperuntukan bagi mereka adalah Israel. Oleh karena itu, untuk mewujudkan cita-citanya tersebut, mereka harus mengusir dan mengosongkan tanah Palestina dari orang-orang yang bukan Yahudi. Sedangkan di daerah tersebut telah lebih dulu umat Muslim tinggal dan bermukim di sana. Oleh karena itu, mereka menolaknya karena mereka telah lebih dulu tinggal dan bermukim di sana selama beratus-ratus tahun, maka terjadilah peperangan di antara mereka sampai sekarang demi memperebutkan tanah suci Israel. Lihat, Huston Smith, Agama-Agama Manusia. Pengantar Djohan Effendi. Penerjemah Yayasan Obor Indonesia juga, pertentangan yang terjadi di Irlandia adalah pertentangan antara kaum Katolik dan Protestan. Kemudian konflik yang terjadi antara pemerintahan Iran dan Irak, juga didominasi oleh Islam Sunni dan Syii’. Demikian pula yang terjadi di Pakistan, adalah konflik antara Islam Sunni dengan Islam Syii’. 11 Sedangkan di Philipina, konflik antar Katolik dengan Hindu, dan di Thailand, adalah konflik antara Islam dengan Buddha. 12 Jauh sebelum itu, sejarah telah mencatat bahwa perang Salib yang dilakukan oleh umat Kristen terhadap umat Muslim dan Yahudi beberapa abad yang lalu, atau hukum bunuh yang dilakukan oleh golongan Mutakallimin adalah karena alasan agama. Di antara golongan Mutakalimin yang telah melakukan hukum bunuh adalah kaum Khawarij Muhakkimah dan Azariqah. Ketegangan ini bermula dari peristiwa arbitrase antara pihak Ali dan pihak Muawiyah. Bagi kaum Khawarij Muhakkimah, orang yang menerima arbitrase adalah kafir dan telah murtad, maka mereka wajib dibunuh. Selanjutnya permasalahan ini bagi Azariqah, berkembang menjadi faham yang sangat ekstrem. Selain mereka membunuh orang Islam yang tidak sefaham dengan mereka, mereka pun membunuh orang Islam yang telah masuk golongan mereka dan tidak tinggal di daerah kekuasaan mereka. Bahkan untuk menguji orang yang mengaku-ngaku Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985, h. 341-352. Untuk penjelasan mengenai sejarah Yahudi lihat juga Armstrong, Perang Suci, h. 29-65. 11 Kedua mazhab ini satu sama lain suka saling mencela. Celaan yang sering dilontarkan oleh siswa-siswa di Karachi, Pakistan yang bermazhab Syi’ah mengatakan, bahwa orang-orang Sunnah melipat tangan mereka ketika shalat karena mereka menyembunyikan berhala-berhala kecil di dalamnya. Sementara celaan yang dilontarkan oleh seorang Maulana yang bermazhab Sunnah ketika mengajar murid-muridnya di kelas tiga mengatakan, bahwa orang-orang Syi’ah tidak percaya terhadap al-Quran karena mereka percaya, bahwa kambing milik istri nabi memakan sepuluh surat. Lihat, Farid Esack, On Being A Muslim: Fajar Baru Spiritualitas Islam Liberal- Plural. Penerjemah Nuril Hidayah Yogyakarta: IRCiSoD, 2003, h. 232. 12 Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia Jakarta:Paramadina, 2003, h. 125. pengikutnya pun, terlebih dahulu mereka mengujinya dengan disuruh membunuh tawanan. Jika ternyata tidak membunuhnya, maka kepalanya orang tersebutlah yang akan mereka penggal. Tak hanya itu, mereka juga membunuh, menawan dan menjadikan budak, anak, istri dan keluarga mereka yang tidak sefaham dengan mereka, golongan Azariqah. 13 Tampaknya undang-undang kerukunan umat beragama 14 atau Pancasila bagi masyarakat Indosesia tidak bisa menahan kaum beragama untuk tidak saling melakukan tindak kekerasan. Padahal di setiap periode beberapa kepengurusan Menteri Agama sering diadakan dialog agama-agama, tentang pentingnya kerukunan hidup umat beragama. Di antara keputusan Menteri Agama pada kepengurusan Menteri Agama Prof. Dr. A. Mukti Ali adalah ditanamkannya prinsip agree with disagree setuju dalam perbedaan. 15 Namun tampakmya belum berhasil. 16 Bahkan dialog agama-agama tidak saja dilakukan di dalam Negeri, di tingkat dunia pun seringkali dilakukan. Namun sayang, pada tingkat itu 13 Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa dan Perbandingan Jakarta: UI-Press, 1986, h.5-15. 14 Hal tersebut tercantum dalam pasal 29 ayat I dan 2 UUD Undang-Undang Dasar 45 berikut, “Negara berdasarkan Tuhan yang maha Esa”, dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap- tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Lihat, Badan Litbang Agama Dan Diklat Keagamaan, Kompilasi Perundang-Undang Kerukunan Hidup Umat Beragama Departemaen Agama RI, Edisi Ketujuh Jakarta: Departemen Agama RI, 2003, h. 7. 15 MUI Majelis Ulama Indonesia Jakarta, Kerukunan Beragama dari Perspektif Negara, Ham, dan Agama-Agama. Pengantar Quraish Shihab Jakarta: MUI, 1996, h. xii-xiv. 16 Data yang dihasilkan dari penelitian yang diadakan oleh Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan di beberapa propinsi mengenai kerukunan hidup umat beragama di Indonesia, masih menunjukan adanya potensi konflik yang setiap saat bisa muncul. Konflik tersebut di antaranya adalah isu Kristenisasi dan Islamisasi yang diadakan oleh umat Kristen atau Islam; penolakan pendirian rumah ibadah oleh penganut yang berbeda agama; dendam karena pembakaran gereja atau masjid yang dilakukan oleh salah satu umat beragama tersebut; konflik antara Hindu Bali dengan Hindu yang berafiliasi ke India; Protestan dengan Katolik. Lihat, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Riuh di Beranda Satu Peta Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, Seri II Jakarta: Departemen Agama RI, 2003, h. 75-270. pun tampaknya dialog belum berhasil karena ironisnya ketika kegiatan tersebut berlangsung, ada sebagian peserta dialog yang menghina agama lain. 17 Ada dua hal penting, khususnya bagi Indonesia, yang menjadi alasan mengapa fenomena tersebut bisa terjadi. Pertama karena sebagian besar penduduknya masih percaya terhadap agama dan mengkaitkan hidup dalam aturan dan keyakinan agama. Kedua, terlebih lagi jika dalam setiap kelompok agama ada kelompok yang mempunyai klaim kebenaran, yang menyatakan bahwa ajarannya merupakan totalitas sistem makna yang berlaku bagi seluruh kehidupan, baik individual maupun sosial. Namun keyakinan tersebut ketika hadir dalam pluralitas keagamaan, maka akan membawa dampak yang berbahaya dalam hubungan beragama. 18 Pengaruhnya sangat dahsyat kepada kelangsungan hidup manusia. Sama dahsyatnya, seperti pengaruh narkotika kepada manusia. Namun bahayanya berbeda, tapi keduanya sama-sama akan mengancam kelangsungan daya tahan sebuah kehidupan. Jika narkotika memberi pengaruh kepada pribadi saja, maka klaim kebenaran, selain memberi pengaruh pada pribadi, juga akan mengasilkan gerakan sosial, yaitu suatu gerakan yang melahirkan sikap eksklusif dan intoleran bagi penganutnya. 19 Mereka memandang bahwa hanya pandangan mereka sajalah yang benar, keselamatan hanya ada pada diri mereka dan tidak ada keselamatan bagi orang lain. Oleh karena itu, untuk menyampaikan misi mereka, mereka melakukan ekspansi dan penetrasi, yang kemudian dikenal dengan konsep jihad dalam Islam, atau misionaris dalam Kristen. Mereka sama-sama membawa misi 17 Penganut Islam menghina penganut agama lain. Lebih lanjut lihat, MUI Majelis Ulama Indonesia Jakarta, Kerukunan Beragama, h. 91-96. 18 Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, h. xxi. 19 Nurcholis Madjid, “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang,” Ulumul Quran IV, no. 1 1993: h. 10-12. keselamatan, maka tak heran jika setiap penganut keyakinan saling memaksakan pandangannya. Mereka tak segan-segan mencaci, mengejar, dan membunuh orang yang tidak sepaham dengan mereka. 20 Jika pandangan seperti itu dibiarkan dan dipertahankan, maka konflik dan kekerasan yang terjadi di bumi ini akan terus berlangsung. Apalagi jika melihat perkembangan sejarah, Indonesia merupakan lahan subur untuk pertumbuhan dan perkembangan agama atau aliran kepercayaan, 21 maka untuk menopang kehidupan yang damai, dibutuhkan wawasan yang membawa masyarakat ke dalam suasana rukun, damai egaliter, toleran dan saling menghargai tanpa harus ada konflik dan kekerasan. Di antara beberapa pemikir yang telah berusaha keras untuk mengatasi hal itu adalah Wilfred Cantwell Smith. Ia adalah seorang teolog Kristen dan sejarawan yang telah menyusun teori-teori teologis dan meyakinkan secara akademis bahwa semua agama, baik itu dari golongan Islam, Kristen, Yahudi atau Buddha akan mengarah kepada tujuan akhir, yakni Allah. Allah adalah tujuan akhir dari semua agama. Kemudian pahamnya tersebut dikenal dengan paham pluralisme agama. Oleh karena itu, agama manapun menurutnya, tidak berhak mengklaim kebenaran agamanya atas agama lain, dan pada tataran itu, menurutnya, konsep agama berakhir. 22 Ia juga mengatakan bahwa kebenaran 20 M. Syafii Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru Jakarta: Paramadina, 995, h. 229. 21 Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, h. 229. 22 Mengenai pengertian agama, lihat juga Armstrong. Menurutnya, terlepas dari sifat non duniawinya, agama sesungguhnya bersifat pragmatik karena pada kenyataannya seringkali disaksikan bahwa sebuh ide tentang Tuhan tidak harus bersifat logis atau ilmiah yang penting bisa diterima. Lihat, Karen Armstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen dan Islam Selama 4000 Tahun. Penerjemah Zainul Am Bandung: Mizan, 2002, h. 22. agama bersifat relatif dan mempunyai nilai yang sama sehingga kita harus berusaha menghilangkan hambatan-hambatan, menjembatani perbedaan- perbedaan, dan mengakui semua orang sebagai sesama dan anak-anak Allah Bapa yang sedang berupaya menemukan Dia yang sedang dicari-cari oleh-Nya, dan mustahil jika orang Kristen mengatakan, kami diselamatkan, kalian orang Islam, Hindu atau Buddhis dihukum. Padahal mereka semua, orang Islam, Hindu atau Buddhis adalah orang-orang yang saleh dan cerdas. Baginya tidak logis jika mereka dihukum dengan alasan mereka bukan seorang Kristiani. 23 Smith mendasarkan pandangannya tersebut pada Allah yang diwahyukan melalui Kristus, yakni yang menyatakan bahwa Allah mengulurkan tangan kepada semua orang dalam cinta, dan sebagai makhluk Allah yang terbatas, menurutnya, kita tidak dibatasi oleh cinta itu. Kemudian wahyu Allah yang lain adalah yang menyatakan, bahwa Allah menghendaki rekonsiliasi dan rasa kebersamaan yang dalam, dan Hendaknya agama dipandang sebagai suatu perjumpaan yang penting dan berubah-ubah antara yang Ilahi dan manusia. 24 Selanjutnya salah satu tokoh muslim Indonesia yang mempopulerkan paham tersebut adalah Nurcholish Madjid 1939-2005. Ia menyatakan, bahwa pluralisme adalah suatu sistem nilai, yang bernilai positif-optimis terhadap kemajemukan, dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu, 25 dan tidak boleh hanya dipahami sebagai bentuk kemajemukan, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, 23 Coward, Pluralisme, h. 61-64. 24 Coward, Pluralisme, h. 62-63. 25 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan Jakarta: Paramadina, 2000, h. Ixxv. tetapi hal itu harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan- ikatan keadaban. Bahkan ia mengatakan, pluralisme merupakan keharusan bagi keselamatan umat manusia 26 yang tidak akan berubah sehingga tidak mungkin dilawan atau diingkari. 27 Selain dalam Islam dan Krisrten, paham pluralisme agama pun terdapat dalam Hindu dan Buddha. Dalam Hindu dikatakan bahwa setiap konsep adalah benar dalam perpektifnya sendiri. Oleh karena itu, setiap pandangan merupakan suatu kesimpulan logis yang didasarkan pada praanggapan pada perspektifnya sendiri. Namun karena keterbatasan manusiawi, terpaksa manusia harus memilih salah satu bentuk dari sekian banyak bentuk untuk menyalurkan apresiasi kecintaanya pada Yang Ilahi, 28 dan dalam Bhagawad-Ghita dikatakan bahwa Yang Ilahi menerima orang-orang yang datang kepada-Nya melalui jalan agama yang berbeda-beda, dan Hindu menurutnya telah menyesuaikan dirinya dengan rahmat yang tak terbatas untuk setiap kebutuhan manusia tersebut. 29 Salah satu tokohnya adalah Radhakrishnan, sedangkan dalam Buddha dinyatakan terdapat pengakuan nilai-nilai yang terdapat dalam agama-agama lain, serta tidak perlu merubah label-labelnya, dan yang menyatakan hal tersebut adalah sang Buddha sendiri. 30 26 Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman Jakarta: Paramida, 2001, h. 31. 27 Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. Ixxvii- Ixxviii. 28 Coward, Pluralisme, h. 118. 29 Coward, Pluralisme, h. 138-139. 30 Fazlur Rahman, dkk., Agama untuk Manusia. Penerjemah Ali Noer Zaman Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, h. 129. Sebenarnya jauh sebelum itu pun, pendekatan esoteris yang dibawa oleh al-Hallaj dan pengikutnya, Ibnu Arabi 1165-1240 31 melalui konsep wahdatul wujudnya, 32 telah membawa mereka kepada konsep wahdatul al adyan, satunya semua agama. Menurut al-Hallaj, keanekaragaman agama di dunia ini hanya sekedar bentuk, hakekatnya sama, bertujuan sama, yakni mengabdi kepada Tuhan pencipta alam semesta. Bahkan Allahlah menurutnya, yang telah menetapkan dan memilihkan agama untuk masing-masing orang sehingga manusia tidak memiliki kemampuan untuk memilihnya. Oleh karena itu, manusia menurutnya, tidak boleh saling mencela dan menyalahkan agama yang dianut oleh orang lain, 33 sementara Ibnu Arabi mengatakan, bahwa yang ada di balik semua agama yang hanya merupakan bayangan itu adalah Al-Haqq, yang dipuja oleh orang Nasrani Yahudi, Hindu, Buddha dan lain-lain adalah sama, dengan yang dipuja oleh orang Islam, yaitu hakikat yang satu, Al-Haqq. Dia adalah Allah, Tuhan seluruh manusia rabb al-nas , Tuhan alam semesta rabb al-‘alamin, dan Tuhan seluruh langit dan bumi rabb al-samawat wal al-ard. 34 Oleh karena itu, menurutnya, hamba Tuhan merasakan ketentraman yang sama di dalam sinagog, kuil, gereja, atau masjid 31 Nama lengakap Ibnu Arabi Adalah Muhiddin Abu Abdullah Muhammad Bin Ali Bin Muhammad Bin Ahmad Bin Abdullah Hatimi Al-Thai. Dia adalah seorang sufi terbesar dalam dunia Islam, bahkan seorang pemikir mistik besar dalam dunia Islam. Untuk penjelasan ini, lihat Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, “Ibnu Arabi,” dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk., ed., Ensiklopedi Islam, vol. II Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve., 1997, h. 150. 32 Konsep wahdatul wujud Ibnu Arabi yaitu yang menyatakan bahwa hakikat segala sesuatu adalah Tuhan. Di sebalik benda, manusia, alam, langit atau bumi Ia-lah yang sebenarnya ada. Dia menampakan diri melalui alam. Alam adalah bayangan-Nya. Melalui bayangan-Nyalah Ia dikenal. Perumpamaannya, seperti pohon dan bayangannya. Pohonlah yang mempunyai wujud, bayangan pohon tidak mempunyai. Dengan demikian, yang ditangkap oleh sufisme adalah Al Haqq itu sendiri. Sedangkan bagi non sufi, yang ditangkap oleh mereka hanyalah bayangannya saja. Lihat Harun Nasution, dkk., Agama dalam Pergumulan Masyarakat Dunia, Penyunting Imran Rasyidi Jogja: Tiara Wacana, 1997, h. 252. Lihat juga Armstrong mengenai penjelasan wahdatul wujud Ibnu Arabi. Menurutnya Arabi mendasarkan pemikirannya tersebut kepada hadits Qudsi yang menyatakan, bahwa aku adalah perbendaharaan tersebunyi dan aku ingin dikenal kemudian aku diciptakan makhluk-makhluk agar dikenal oleh mereka. Armstrong, Sejarah Tuhan, h. 315. 33 Usman, Wahdat Al-Adyan, h. 11-14. 34 Nasution, Agama dalam Pergumulan Masyarakat Dunia, h. 253-253. karena semuanya menyediakan pemahaman yang sama tentang Tuhan. Ia juga mengecam sikap eksklusif karena sama artinya dengan mengingkari yang lain, dan telah gagal menemukan kebenaran sejati. Baginya, Tuhan yang Maha Berada tidak dibatasi oleh keyakinan apa pun, sebagaimana firman-Nya, “Kemanapun engkau memalingkan pandanganmu, maka di sanalah ada wajah Allah” Q.S. al- Baqarah2: 102.. 35 Namun dalam hal ini penulis akan meneliti paham pluralisme agama dalam perpektif Farid Esack. Adapun alasan penulis memilih Esack sebagai bahan kajian penulisan skripsi ini, pertama adalah karena ia mempunyai perspektif yang lebih progress dalam memahami pluralisme agama, yakni untuk mendukung pahamnya tersebut, selain ia membahas pluralisme agama melalui pembuktian al- Quran, ia juga meredifinisi pengertian iman, islam dan kafir dengan penggunaan dan pemaknaan yang kontekstual dan eksistensial dengan situasi sekarang, khususnya pluralitas agama. Alasan kedua, adalah latar belakang budaya Esack ada kemiripan dengan konteks Indonesia, yakni memiliki kekayaan budaya, agama, dan aliran kepercayaan yang beragam, 36 sedangkan alasan terakhir adalah karena konflik dan kekerasan yang terjadi di kedua negeri ini kebanyakan didominasi oleh faktor agama, dan Esack adalah salah satu sosok intelektual Muslim Afrika Selatan yang telah ikut andil besar dalam meruntuhkan sistem apartheid, 37 yakni dengan mengusung gagasan pluralisme agama berdasarkan 35 Armstrong, Sejarah Tuhan, h, 317. 36 Gifford, “Afrika Selatan,” dalam Henry P, dkk., ed., Ensiklopedi Geografi Dunia untuk Pelajar dan Umum, vol. IV. Penerjemah Dewi Susiloningtyas, dkk., Jakarta: Lentera Abadi., 2006, h. 380-383. 37 Apartheid secara harfiah artinya keterpisahan, yakni suatu politik pemisahan rasial antara golongan warna kulit yang dijalankan oleh pemerintah Afrika Selatan. Tujuannya adalah untuk memisahkan perkembangan dan pembangunan orang kulit berwarna dari orang kulit putih perspektif al-Quran, setidaknya pada waktu itu masyarakat Afrika Selatan dari berbagai agama telah sadar akan pentingnya bergabung bersama dan berjuang dalam meruntuhkan sistem apartheid di Afrika Selatan yang telah menyengsarakan kehidupan mereka semua. Pasalnya, ada juga sebagian kelompok agama yang tidak bersedia ikut bergabung karena takut terjerumus pada kekufuran, khususnya Islam. Bagi mereka agama yang diterima disisi Allah hanyalah Islam, dan kaum yang berada di luar diri mereka adalah kafir. Oleh karena itu, orang Muslim yang ikut bergabung dengan Call of Islam 38 adalah kafir. Padahal menurut Esack, mereka juga sama-sama telah mengalami penderitaan dan telah menumpahkan darah akibat kekejaman apartheid. 39 Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim yang punya tanggungjawab moral terhadap umatnya, maka dalam bukunya yang pertama, 40 sebagaimana yang telah dikemukakan di muka, selain ia membahas pluralisme agama melalui pembuktian al-Quran, termasuk juga di dalamnya ia banyak membahas penggunaan dan pemaknaan istilah iman, islam dan kafir, namun dengan terutama dalam bidang politik dan ekonomi, misalnya secara politik orang kulit hitam yang mayoritas tidak diperbolehkan duduk di pemerintahan; secara ekonomi tidak diperbolehkan mempunyai pekerjaan, sebagaimana yang diperuntukan untuk orang kulit putih; dan dilarang tinggal di lokasi yang tidak ditentukan untuk mereka. Sistem aparteid telah dipraktikkan sebelum tahun 1948 diberlakukan. Lihat, Tim Penyusun Ensiklopedi Nasional Indonesia, “Apartheid,” dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, vol. II Jakarta: Delta Pamungkas., 2004, h. 187-188. 38 Call of Islam adalah nama kelompok yang didirikan oleh Adli Jacobs, Ebrahim Rasool, Shamiel Manie dan Farid Esack sendiri pada Juni 1984. Sebenarnya nama The Call of Islam adalah nama yang dipakai pada lembar beritanya, sedangkan pertama kali kelompok tersebut dinamakan Muslims Against Oppression. Nama tersebut dipakai untuk keperluan resmi publikasi pamflet. Komunitas tersebut sangat berperan penting dalam membujuk kaum Muslim untuk menerima keharusan politik dan legitimasi teologis bagi solidaraitas antar iman dan menerima tanpa ragu kaum Kristen dan Yahudi sebagai saudara dan kaum beriman, dan hal tersebut merupakan babak baru bagi kehidupan agama-agama di Afrika Selatan, yakni ketika dari berbagai penganut agama ikut bersedia bergabung bersama dalam meruntuhkan aparteid di Afrika Selatan. Farid Esack, Membebaskan yang Tertindas: Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme. Penerjemah Watung A. Budiman Badung: Mizan, 2000, h.h. 66-79. 39 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 66. 40 Qur’an Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligous Solidarity Against Oppression, Oxford: Oneworld Publications, 1997. penggunaan dan pemaknaan yang kontekstual dan eksistensial dengan situasi sekarang, khususnya dengan konteks pluralisme agama. Terlebih lagi al-Quran bagi umat Islam adalah satu-satunya kitab suci yang dipercaya sebagai yang betul- betul otentik, 41 maka diharapkan dengan adanya penelusuran makna tersebut, menurut Esack orang atau sekelompok orang tidak sembarang untuk mengatakan orang lain sebagai kawan dan lawan, juga agar kaum lain dari agama apa pun tidak akan menderita akibat ketidakberimanan oleh golongan lain karena ia yakin, bahwa al-Quran memperhatikan dan menampilkan Tuhan sebagai yang memperhatikan apa yang dilakukan manusia, yang artinya Tuhan telah ikut campur dalam sejarah manusia. 42 Ia tidak berbicara pada ruang yang hampa. Terlebih manusia itu lebih banyak dibentuk oleh konteks dari pada teks. 43 Selain itu, ia juga ingin memperlihatkan bahwa adalah mungkin kaum beriman dari berbagai agama hidup berdampingan dalam keimanan kepada al-Quran dalam konteks kekinian dan bekerja bersama mereka untuk membentuk masyarakat yang lebih manusiawi. 44 Maka dengan sosok dan pemikirannya tersebut, penulis tertarik untuk menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan judul, “Farid Esack dan Paham Pluralisme Agama”. Diharapkan dengan pengalaman dan keberhasilan Esack, khususnya dalam menghadapi pluralitas agama di Afrika Selatan dapat menjadi kontribusi pemikiran dan alternatif pembacaan, juga rujukan bagi khasanah pemikiran intelektual Indonesia, dan masyarakat umumnya dalam mewujudkan proses demokrasi yang rukun, aman dan damai, serta berkeadaban. 41 Esack, Membebaskan yang Tertindas. h. 39-40. 42 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 34. 43 Esack, Membebaskan Yang Tertindas, h. 131. 44 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 38.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah