BAB III PLURALISME AGAMA DALAM PERSPEKTIF AGAMA-AGAMA
Pada bab ini penulis akan menjelaskan pluralisme agama dalam perpektif agama-agama; Islam dalam al-Quran, Hindu di antaranya dalam Bhagawad-Ghita,
Buddha dalam ajaran dhammanya dan Kristen dalam wahyu Allah dalam Kristus, Matius, Yohanes dan metafora astronominya. Di bab ini pula penulis sedikit akan
menyinggung pembahasan mengenai alasan orang atau sekelompok orang yang tidak menyetujui pluralisme agama yang terdapat dalam beberapa agama-agama.
Namun untuk lebih jelasnya penulis akan menguraikan pembahasan-pembahasan tersebut sebagai berikut:
A. Pluralisme Agama dalam Perspektif Islam
Pluralisme agama dalam perspektif Islam tercantum dalam Q.S al- Baqarah2: 62
107
, Q.S. al-Maidah5: 69
108
dan Q.S. al-Hajj22: 17
109
. Teks-teks tersebut menjelaskan tentang pengakuan terhadap keanekaragaman agama-agama,
baik itu agama Yahudi, Sabi’in, Nasrani atau Najusi. Yang terpenting menurut
107
Terjemahannya: “Sungguh orang-orang yang beriman, Yahudi, Nasrani, Sabi’in, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir dan berbuat kebajikan, mereka
akan mendapatkan balasan mereka di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak pula mereka akan bersedih hati”.
108
Terjemahannya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, Yahudi, Sabi’in dan Nasrani, siapa saja yang benar-benar beriman, kepada Allah dan Hari Kemudian, dan beramal
saleh, maka tak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”
109
Terjemahannya: “Sesungguhnya orang-orang beriman, orang Yahudi, orang Sabiin, orang Nasrani, orang majusi, dan orang musyrik, Allah pasti memberi keputusan di antara mereka
pada hari kiamat. Sungguh, Allah menjadi saksi atas segala sesuatu”.
teks tersebut adalah beriman kepada Allah, Hari Akhir dan berbuat kebajikan, mereka akan mendapatkan balasan di sisi Tuhan. Oleh karena itu, mereka tidak
perlu khawatir dan bersedih hati.
110
Selain penjelasan tentang pengakuan terhadap keanekaragaman agama- agama, pesan ketuhanan yang disampaikan oleh para nabi, sejak Ibrahim sampai
Muhammad adalah sama, yakni berserah diri kepada Tuhan. Hal tersebut tercantum dalam Q.S. al-Anam6: 108
111
, Q.S. al-Syuro42: 13
112
, Q.S. al-Nisa4: 131
113
, Q.S. al-Baqarah 2: 132
114
dan Q.S. Ali Imran3: 85
115
, sedangkan Q.S al- Baqarah2: 256
116
menjelaskan legitimasi tidak ada paksaan dalam beragama.
117
Salah satu tokoh muslim Indonesia yang mendukung gagasan tersebut adalah Nurcholis Madjid 1939-2005, atau yang sering disapa Cak Nur.
Pluralisme menurutnya, adalah sistem nilai yang memandang secara positif-
110
Jalaluddin Rakhmat, “Menundukkan Makna Pluralisme Agama,” Buletin Kebebasan V, no. 3 Mei 2007, h. 22.
111
Terjemahannya: “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar
pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat mengangap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada tuhan tempat kembali mereka, lalu dia akan memberitahukan kepada mereka
apa yang trelah mereka kerjakan.
112
Terjemahannya: “Dia Allah telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu Muhammad dan apa
yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu tegakkanlah agama keimanan dan ketakwaan dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang
musyrik untuk mengikuti agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memiliah orang yang dia kehendaki kepada agama tauhid dan dan memberi petunjuk kapada agama-nya bagi orang
yang kembali kepada-Nya”.
113
Terjemahannya: “dan milik Allahlah apa yang ada di langit baik yang di bumi dan sungguh kami telah memerintahkan kepada orang yang diberi kitab sebelum kamu dan jiga
kepadamu gar bertaaqwa kepada Allah”.
114
Terjemahannya: “Dan Ibrahim mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yakub “wahai anak-anakku Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini
untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim”.
115
Terjemahannya: “Siapa saja yang mencari din selain Islam dia tidak akan diterima dan diakhirat ia temasuk orang yang rugi.
116
Terjemahnnya: “Tidak ada pakasaaan dalam din, sesunguhnya telah jelas perbedaan antar jalan yang benar dan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada tagut dan beriman kepada
Allah, maka sungguh ia telah berpengang kepada tali yang kuat yang tidak akan putus. Allah Maha mendengar, Maha mengetahui”.
117
Usman, Fatimah, Wahdat Al-Adyan: Dialog Pluralisme Agama Yogyakarta: LkiS, 2002, h. 36.
optimis terhadap kemajemukan dengan menerimanya sebagai kenyataaan dan berbuat baik sesuai dengan kenyataan itu,
118
dan tidak boleh hanya dipahami sebagai bentuk kemajemukan, beraneka ragam terdiri dari berbagai suku dan
agama, tapi hal tersebut harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan ia mengatakan, hal tersebut merupakan
keharusan bagi keselamatan umat manusia
119
karena merupakan sebuah aturan, sunatullah
120
yang tidak akan berubah sehingga tidak mungkin dilawan atau diingkari, dan Islam adalah agama yang kitab sucinya dengan tegas mengakui
hak-hak agama lain.
121
Bangunan epistemologi Cak Nur tentang pluralisme diawali dengan tafsiran al- Islam. Al-Islam menurutnya adalah sebagai sikap pasrah terhadap
kehadiran Tuhan. Kepasrahanlah yang menjadi karakteristik pokok semua agama yang benar. Karakter tersebut dalam al-Quran diistilahkan dengan kalimatun
saw â, titik temu, ajaran bersama yang menjadi titik pertemuan, common platform
antar berbagai kelompok manusia, dan hal tersebut menurutnya telah diisyaratkan dalam Q.S. Ali Imran3: 64.
122
118
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan
Jakarta: Paramadina, 2000, h. Ixxv.
119
Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman Jakarta: Paramida, 2001, h. 31.
120
Sunatullah adalah hukum Allah yang tidak pernah berubah dan bersifat pasti. Tercantum dalam Qs. Fathir35: 43: “Karena kesombongan mereka di muka bumi dan karena
rencana mereka yang jahat. Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri. Tiadalah yang mereka nanti-nantikan melainkan berlakunya kepada
orang-orang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapat penggantian bagi sunnah Allah dan sekali-kali tdak pula tidak akan menemui penyimpangan bagi sunnah Allah itu.”
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 176.
121
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. Ixxvii- Ixxviii.
122
Terjemahannya: Katakanlah Muhammad wahai Ahli Kitab marilah kita menuju kepada satu kalimat yang sama antara kami dan kamu bahwa kita tidak menyembah selain Allah
dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain Tuhan-Tuhan selain Allah. Lihat Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 184-188.
Dalam al-Islam terkandung dua makna yaitu al-Istislam sikap berserah diri dan al- Inqiyad tunduk patuh.
123
Kedua makna tersebut mengacu kepada sikap penuh pasrah dan berserah diri serta tunduk dan patuh kepada dzat yang
Maha Esa yaitu Allah dan tiada serikat bagi-Nya.
124
Hal tersebutlah menurut Cak Nur, intisari ajaran agama yang benar disisi Allah. Tanpa sikap tersebut, menurutnya, suatu keyakinan keagamaan akan tidak
memiliki kesejatian, sekalipun secara sosiologis dan formal kemasyarakatan seseorang beragama Islam. Ia tetap akan tertolak,
125
dan hal tersebut telah disampaikan oleh para nabi kepada umatnya, meskipun syariatnya berbeda-
beda.
126
Pendapat Cak Nur tersebut disambut baik oleh Romo Magnis.
127
Dalam tulisannya ia menyatakan dukungan atas dobrakan Cak Nur yang menyatakan
bahwa istilah Islam tidak ditujukan kepada orang yang secara formal menjadi anggota agama Islam, melainkan sikap orang yang menyerahkan hatinya dengan
tulus kepada yang Ilahi sesuai dengan keyakinan agamanya, itulah orang Islam, maka implikasinya, siapa saja yang menyerahkan hatinya dengan tulus kepada
123
Ia mengutip pernyataan Ibn Taymiyah 1263-1328 mengenai pengertian al-islam. Menurut bn Taymiyah, perkataan al-islam mengandung pengertian al-istislam sikap berserah diri
dan al-inqiyad tunduk patuh serta al-ikhlash tulus. Ia juga menyatakan bahwa “Pangkal agama yaitu al-islam, itu satu, meskipun syariatnya bermacam-macam, maka Nabi Muhammad bersabda
dalam hadis shahih, “kami, golongan para nabi, agama kami adalah satu, dan para nabi itu bersaudara tunggal, ayah dan lain ibu bersaudara”. Lebih jauh lihat Madjid, Islam Doktrin dan
Peradaban
, h. 181-182.
124
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 182.
125
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 182.
126
Nurcholish Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan Jakarta: Paramadina, 1999, h. 2-3.
127
Nama lengkapnya adalah Franz Magnis-Suseno. Ia adalah rohaniawan yang lahir tahun 1936 di Eckersdorf, Jerman, dan sejak tahun 1961 hidup di Indonesia. Ia adalah guru besar Filsafat
Driyarkara di Jakarta dan guru besar luar biasa di Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Ia juga adalah salah satu teman dekatnya Cak Nur almarhum. Selain ia seorang rohaniawan, ia juga
adalah seorang penulis yang sangat produktif. Telah banyak karangan ilmiah dan populer yang ia tulis, mulai dari etika, sosial, sampai filasafat. Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx dari
Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme
Jakarta: Gramedia, 1999, h. 283.
yang ilahi, dia akan masuk surga. Dengan demikian, menurut Romo Magnis, Cak Nur telah memperlihatkan bahwa paham keselamatan Islam bukan eksklusif,
seperti lazimnya anggapan umat Islam, melainkan inklusif sekaligus pluralis. Oleh karena itu, orang Kristiani, Yahudi, Budha, Hindu, Konghucu dan penganut
agama lain dapat masuk surga, asal mereka menyerahkan diri pada Yang Ilahi.
128
Adapun perbedaan pendapat yang terjadi kemudian antara sesama kaum beriman, menurut Muhammad Asad, adalah akibat dari kebanggaan sektarian dan
saling menolak karena pada mulanya, intisari yang terkandung dalam agama adalah paham kemahaesaan Tuhan. Bagi Asad, satu-satunya agama yang benar
dalam penglihatan Tuhan adalah sikap berserah diri manusia kepada-Nya.
129
Menurut Cak Nur, jika berselisih, maka harus selalu diusahakan ishlah karena kitab suci telah mengajarkan prinsip bahwa semua orang yang beriman
adalah bersaudara dan jika berselisih maka harus selalu diusahakan ishlah.
130
Terlebih lagi al-Quran menegaskan, bahwa siapa pun dapat memperoleh keselamatan asalkan dia beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berbuat
baik, akan mendapat keselamatan tanpa memandang apakah dia keturunan Ibrahim atau bukan.
131
Beriman kepada Allah adalah mempercayai
kualitas-Nya sebagai satu-satunya yang bersifat keilahian atau ketuhanan dan sama sekali tidak memandang adanya kualitas serupa kepada sesuatu apa pun
128
Franz Magnis-Suseno, “Terima Kasih, Cak Nur, Kesaksian Intelektual,” dalam Muhammad Wahyuni Nafis dan Ahmad Rifki, ed., Kesaksian Intelektual Mengiringi Kepergian
Sang Guru Bangsa Jakarta: Paramadina, 2005, h. 102-103.
129
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 183-184.
130
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. xii.
131
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 187-188.
yang lain sehingga konsekuensi dari percaya kepada Allah, adalah harus bersandar dan menggantungkan harapan hanya pada-Nya tawakal.
132
Iman menurut Cak Nur, tidak hanya sekedar percaya karena setan pun percaya kepada Tuhan. Bahkan iblis sempat berdialog dan berargumentasi
langsung dengan Tuhan. Sikap hidup yang memandang Tuhan sebagai tempat menyandarkan diri dan menggantungkan harapan yang menjadikan Tuhan satu-
satunya arah dan tujuan kegiatan hidup dengan jalan ridla dan lillahita’ala adalah wujud dari iman,
133
sedangkan yang dimaksud dengan kategori perbuatan baik adalah amal saleh dan budi luhur. Amal saleh adalah setiap tingkah laku pribadi
yang menunjang usaha mewujudkan tatanan hidup sosial yang teratur dan berkesopanan, dan budi luhur adalah konsekuensi nyata dari taqwa.
134
Taqwa adalah kesadaran ketuhanan yang bersifat monoteisik, yaitu kesadaran tentang adanya Tuhan yang Maha Hadir dalam hidup. Pengertian
mendasarnya adalah sejajar dengan pengertian rabbâniyyah semangat ketuhanan sehingga dengan kesadaran tersebut mendorong seseorang untuk berbuat sesuai
dengan hati nuraninya dan menempuh hidup mengikuti garis yang diridlai-Nya dan sesuai dengan ketentuan-Nya karena pada dasarnya takwa berasal dari
semangat ketuhanan. Dalam konteks sosial bentuknya, seperti zakat. Terlebih lagi Nabi Muhammad mengatakan bahwa yang paling banyak memasukkan seseorang
ke dalam surga adalah taqwa kepada Allah dan budi luhur.
135
132
Nurcholis Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan Jakarta: Paramadina, 1995, h. 4 -5.
133
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 94.
134
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 45.
135
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, h. 45.
Namun tentunya ada juga dari beberapa golongan kaum eksklusif
136
yang tidak sependapat dengan pemahaman Cak Nur tersebut. Menurut golongan ini,
pengertian Islam hanyalah untuk nama sebuah agama yakni agama Islam. Makna islam menurut golongan ini adalah sebatas bersaksi bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan Muhammad dalah utusan Allah, menegakkan shalat, zakat, sahaum ramadan, dan haji ke Baitullah jika mampu.
137
B. Pluralisme Agama dalam Perspektif Hindu