Latar Belakang Intelektual Farid Esack

usia lima puluh dua tahun, tepat sebelum Hari Raya ‘Id. Pada saat ibunya meninggal, ibunya sedang bekerja sebagai tukang seterika di Parow. 61

B. Latar Belakang Intelektual Farid Esack

Esack dididik di sekolah berdasarkan Pendidikan Nasional Kristen yang mempunyai sebuah ideologi keagamaan konservatif. Tujuan pendidikan mereka adalah untuk membentuk warga apartheid yang patuh dan takut pada Tuhan. 62 Sebagaimana tradisi di Cape Town, sejak usia dini ia dikirim oleh ibunya ke madrasah dan berpindah-pindah dari satu madrasah ke madrasah yang lain. Sampai kemudian ketika usianya mencapai dua belas tahun ia bertemu dengan Boeta Samodin Friseslar, gurunya di sekolah baru. Di sekolah tersebut, Esack mendapat pengalaman yang melukai hatinya, yaitu ditertawakan oleh teman- temannya saat membaca al-Quran di depan kelas karena ia tidak bisa membedakan antara alif dan ba. Padahal menurut pendapatnya, ia sudah bisa membaca, meskipun surat-surat pendek di bagian akhir al-Quran. Bahkan di sekolah lamanya, ia adalah termasuk anak yang paling pandai di antara teman- temannya. Maka, setibanya di rumah, Esack menceritakan peristiwa tersebut kepada ibunya sambil memperlihatkan buku kaidah membaca al-Quran yang ia beli dari gurunya tersebut. Kemudian ibunya berkonsultasi dengan bibinya yang juga guru di sebuah madrasah. Namun menurut bibinya, buku tersebut tidak baik. Dengan alasan tersebut, keesokan harinya, Esack tidak kembali lagi ke sekolah sementara untuk laki-laki tidak ada prasarat “jika mampu” karena dengan gender laki-laki sudah cukup memenuhi persyaratan untuk jadi penguasa dalam pemerintahan tersebut. Esack, On Being A Muslim, h. 189. 61 Esack, On Being A Muslim, h. 219. 62 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 25. tersebut. Sebenarnya lebih jauh, menurut Esack karena buku tersebut adalah milik Ahmadiyah Qodaniyah 63 yang keberadaan mereka dianggap bid’ah oleh kebanyakan Muslim lainnya. 64 Sejak kanak-kanak sampai remaja Esack sudah dianggap alim oleh masyarakat Muslim sekitarnya. Saat masih sekolah, ia pernah menjadi guru madrasah, dan ketika dewasa, ia menjadi wakil masyarakat yang mengelola masjid. Bahkan, di saat usianya masih kecil, pada umur sembilan tahun, demi kecintaannya pada Islam ia sudah bergabung dengan Jama’ah Tabligh. Namun secara formal, ia bergabung dengan jama’ah tersebut pada usia sepuluh tahun. Semua hari libur dan akhir pekan ia habiskan dengan jama’ah tersebut selama sebelas tahun. Namun karena alasan absolutisme, akhirnya ia keluar, yakni yang menyatakan bahwa “hanya kita, dan kegiatan kita yang penting dan bermakna”. Sedangkan alasan lain adalah ia merasa bahwa selama bergabung dengan jama’ah tersebut, spiritualitasnya hanya merupakan upaya menghindar dari kenyataan- kenyataan yang tidak menyenangkan tentang dirinya. 65 Namun ia juga tidak menghindar untuk mengatakan bahwa ia merasa senang selama sepuluh tahun berada dalam jama’ah tersebut. 66 Ketika masih sekolah, Esack pernah ditahan oleh polisi keamanan karena bergabung dengan Aksi Pemuda Nasional National Youth Action dan Asosiasi Cendikiawan Kulit Hitam Afrika Selatan South African Black Scholars Association . Kedua organisasi ini menuntut adanya perubahan sosial politik 63 Ahmadiah Qodian adalah salah satu sekte yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad, yang menganggap bahwa ia adalah Nabi. Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, “Ahmad, Mirza Ghulam,” dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk., ed., Ensiklopedi Islam, vol. I Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve, 1997, h. 81. 64 Esack, On Being A Muslim, h. 83. 65 Esack, On Being A Muslim, h. 35. 66 Esack, On Being A Muslim, h. 216. radikal. Markas yang biasa mereka gunakan untuk berkumpul, adalah gedung Christian Institut , yang dipimpin oleh pendeta Theo Kotze. Pendeta Theo Kotze sangat baik. Dialah yang memberikan fasilitas beribadah bagi para Muslim, dan pendeta Theo jualah yang datang mengunjungi keluarganya setelah ia lepas dari tahanan untuk menghibur dan meyakinkan keluarganya bahwa berurusan dengan polisi sebenarnya merupakan suatu kehormatan. 67 Setelah menyelesaikan sekolah madrasahnya, pada umur lima belas tahun Esack mendapatkan beasiswa untuk belajar teologi selama delapan tahun 1974- 1982 68 di sebuah Institut Karachi, Pakistan, yang sebagian besar, menurutnya, teramat konservatif, yang memandang jelek sesuatu yang berbau duniawi. 69 Di sana, Esack belajar di dua tempat yang berbeda, yaitu di Jama’ah Al-Islamiyah dan Jama’ah ‘Alimiyah. Di Jama’ah Al-Islamiyah ia mendapat gelar BA dalam hukum Islam, dan di Jama’ah ‘Alimiyah Al-Islamiyah ia juga mendapat gelar BA dalam bidang teologi. Di sana juga ia mendapatkan gelar Maulana. 70 Selain belajar di Pakistan, Esack juga pernah belajar hermeneutik di Jerman dan teologi di Inggris selama beberapa tahun. 71 Ia mendapat gelar Ph.D- nya dari University of Birmingham, Inggris dalam bidang Tafsir al-Quran dan pernah tercatat sebagai associate professor dalam studi Islam di University of Western Cape, Afrika Selatan. 72 Selama belajar di Pakistan dan tetap aktif di Jama’ah Tabligh yang dipimpin oleh Haji Bhai Padia, ia juga aktif terlibat dalam gerakan Islam Ittihad 67 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 26. 68 The Helen Suzman Foundation, “Profile of Farid Esack.” 69 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 27. 70 Irwandi, “Reception Hermeneutik Maulana Farid Esack,” Skripsi S1 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2002, h. 16. 71 Esack, On Being A Muslim, h. 19-20. 72 Esack, On Being A Muslim, h. xiv. Al-Tulaba Al-Muslimin Persatuan Pelajar Muslim, 73 dan sering ikut dalam diskusi yang diadakan oleh kelompok pelajar Kristen yang bernama Breakthrough, 74 kemudian bergabung bersama mereka, melibatkan para medis di penjara pusat Karachi, dan mengajar di perkampungan kumuh Hindu dan Kriten, serta merawat anak-anak terlantar di sebuah rumah 75 hingga kemudian pada tahun 1970-an, dia diundang dan diminta oleh Norman Wray untuk mengajar Studi Islam di sekolah yang ia pimpin. 76 Selama delapan tahun tinggal di Pakistan dan bergaul dengan orang- orangnya. Esack telah banyak menyaksikan penderitaan yang disebabkan oleh agama, khususnya penderitaan yang dialami kaum minoritas Kristen oleh kaum Muslim. Mereka dilecehkan secara secara sosial maupun agama. 77 Padahal 73 Esack, On Being A Muslim, h. 19-20. 74 Breakthrough adalah kumpulan pemuda Kristen yang peduli dengan nasib kaum yang tertindas dan yang berjuang menegakkan keadilan di Pakistan dengan iman mereka. Para pendirinya adalah Norman Wray, Derrick Dean, Lucia Gomes, Kenny Fernandes. Esack, On Being A Muslim, h. 18. 75 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 27-28. 76 Esack diminta untuk mengajar di Sekolah Menengah Teknik St. Patrick, Karachi. Dia ditawari untuk mengelola studi Islam di Sekolah tersebut dan mentransformasikannya menjadi suatu program diskusi perkemahan dan kegiatan darmawisata. Lihat Esack, On Being A Muslim, h. 16. 77 Secara sosial, mereka dilarang makan di café-cafe pinggir jalan. Mereka juga dilarang minum dari sumber air kepunyaan kaum Muslim sehingga mereka, Kristen Punjab, harus berjalan bermil-mil jauhnya demi mendapatkan air, padahal sumber air yang dimiliki kaum Muslim lebih dekat. Alasan kaum Muslim melakukan hal itu adalah karena mereka beragama Kristen ketika peristiwa tersebut sampai ke telinga Jerman, maka Jerman membuatkan sumur untuk saudara mereka sesama Kristen di Pakistan. Namun setelah sumur itu selesai dibangun, ternyata perlakuan mereka sama persisnya seperti perlakuan kaum Muslim terhadap mereka. Bedanya yang mereka balas adalah orang Hindu yang dekil dan lemah. Tindakan chauvinisme yang dilakukan oleh kaum Muslim lainya adalah mereka menutup mata pada kebenaran. Anak seorang Kristen yang berusia delapan tahun diadili dan di hukum mati di depan regu penembak ketika umurnya mencapai empat belas tahun. Dia dituduh oleh teman sebayanya, seorang Muslim karena telah menulis kata-kata penghinaan kepada Nabi. Padahal jelas-jelas anak Kristen itu tidak bisa menulis dan membaca. Namun karena desakan dan kekuatan masa dari beratus-ratus tokoh agama serta pengikutnya, pengadilan tidak bisa menyelamatkan anak tersebut karena mereka mengepung pengadilan dan menuntut hukuman mati. Jika para hakim tidak mengikutinya, maka mereka akan mengirimkannya pula pada kematian. Alasan mereka menuntut hukuman mati adalah karena menurut mereka ada konspirasi Kristen untuk menjatuhkan Islam. Setelah pengadilan selesai, kemudian beberapa gereja dan sekolah yang dijalankan oleh penganut Kristen dibakar. Setelah itu sebuah perkampungan Krstiani termasuk sebuah gereja diratakan oleh Buldozer. Pada beberapa desa yang sebelumnya anak-anak Kristen diizinkan untuk bersekolah meskipun duduk secara terpisah di mereka pun, umat Islam Pakistan pernah mengalami perlakuan tidak adil selama berabad-abad oleh kaum Hindu kelas atas ketika mereka masih bersatu dengan India, dan menjadi kaum minoritas. 78 Namun pengalaman tersebut ternyata tidak menyadarkan mereka untuk tidak berlaku adil terhadap mereka, kaum minoritas Kristen. Perlakuan mereka sama buruknya, sebagaimana yang pernah dilakukan kaum Hindu kelas atas terhadap mereka saat itu. 79 Kasus serupa pun menurut Esack, pernah menimpa kaum minoritas beragama di Afrika Selatan, tapi kebalikannya. Di Afrika Selatan, kaum minoritas Muslimlah yang pernah mendapat perlakuan tidak adil oleh penguasa Kristiani yang mayoritas, dan akibat pemberlakuan apartheid yang dijalankan oleh mereka, hampir dua abad kaum minoritas Muslim mengalami penderitaan; perkawinan mereka dianggap tidak sah dan dihinakan; kewarganegaraannya ditolak; mereka juga tidak boleh memiliki tanah atau menetap di wilayah koloni, walaupun mereka dilahirkan di sana; mereka juga melakukan kerja paksa tanpa dibayar; dihukum sekehendak tuannya dengan cambuk dan dipenjara; mereka juga tidak bisa keluar dari kampung halamannya tanpa izin, dan rumah-rumah mereka dimasuki dan dijamah oleh polisi dengan sewenang-wenang. 80 Menurut Esack, tindakan-tindakan buruk tersebut yang dilakukan oleh kaum beragama karena ditopang oleh paham keagamaan mereka masing-masing karena tidak yakin orang Muslim melakukan hal itu karena mereka Muslim, belakang murid-murid Muslim dikeluarkan dari sejumlah sekolah. Lebih jauh lihat Esack, On Being A Muslim, h. 222-232. 78 Pemisahan kedua daerah tersebut terjadi pada tahun 1948. Para penganut Hindu mendirikan negara sendiri yaitu Republik India, sedangkan para penganut Islam mendirikan Republik Islam Pakistan. Esack, On Being A Muslim, h. 222. 79 Esack, On Being A Muslim, h. 222-223. 80 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 74. ataupun orang Kristen karena mereka Kristen, 81 maka sekembalinya dari Pakistan, tepatnya tahun 1982, untuk menyalurkan aspirasinya, ia bergabung dengan Gerakan Pemuda Muslim Muslim Youth Movement, 82 tapi hanya sebentar karena ternyata pemikiran Esack dengan organisasi tersebut, tidaklah cocok. Oleh karena itu, untuk melanjutkan aspirasinya, pada Juni 1984, ia bersama temannya Adli Jacobs, Ebrahim Rasool dan Syamiel Manie mendirikan Call of Islam. 83 Di sana mereka membangun kembali apresiasi yang baru terhadap al-Quran. Mereka melakukan pembacaan ulang terhadap ajaran Islam, seperti bagaimana seharusnya memaknai teks al-Quran dalam konteks perjuangan dan kebebasan dari eksploitasi ekonomi, penindasan rasial, atau penindasan terhadap kaum wanita, dan ketidakadilan politis yang dilakukan oleh rezim apartheid karena Esack percaya, bahwa Tuhan telah dan sedang ikut dalam sejarah. 84 Call , hanyalah satu dari sekian banyak organisasi berbasis agama yang terlibat dalam perjuangan dalam Front Demokasi Bersatu United Democratic Front . UDF adalah organisasi pergerakan Muslim terbesar untuk kemerdekaan yang berdiri pada tahun 1983. Organisasi ini paling aktif dalam memobilisasi aktivitas perjuangan dalam menentang apartheid, diskriminasi gender, dan pencemaran lingkungan, serta menggalang usaha antar iman. 85 Selanjutnya untuk mendukung perjuangan tersebut, Call mengajak kaum beriman dari semua golongan untuk bergabung membentuk solidaritas antar iman dan berjuang bersama melawan apartheid tanpa memandang apakah ia beragama 81 Esack, On Being A Muslim, h. 223. 82 MYM adalah gerakan pemuda Muslim yang didirikan pada 1670. 83 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 79. 84 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 31-32. 85 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 29. Islam atau bukan karena mereka pun, baik itu dari golongan Kristen, Yahudi atau Islam sama-sama mengalami penindasan dan telah menumpahkan darah yang disebabkan oleh kebrutalan apartheid, maka apa salahnya jika para penganut berbagai agama itu bergabung dan berjuang bersama menentang apartheid. 86 Oleh karena itu, peranan Call dalam konteks Afrika Selatan yang apartheid paling signifikan dalam membujuk kaum Muslim lainnya untuk berjuang bersama-sama dengan para penganut agama lain dalam menghancurkan apartheid karena apartheid pun dilarang oleh agama, dan menerima secara tanpa ragu mereka, kaum Kristen atau Yahudi sebagai saudara dan kaum beriman. 87 Apartheid menurut Esack jelas-jelas telah melanggar al-Quran karena telah dengan sengaja memilah-milah dan memecah orang secara etnis, yang berarti telah menolak kesatuan umat manusia yang merupakan refleksi tauhid, “manusia adalah bangsa yang satu” Q.S. al-Baqarah2: 213, sedangkan orang yang telah mempraktikannya menurut Esack termasuk syirk. 88 Namun sangat disayangkan ajakan Call tersebut ditentang oleh kaum konservatif Muslim lainnya. Ternyata hidup berdampingan dengan penganut agama lain meski sama-sama tertindas, menurut Esack, tidak cukup mengubah 86 Ketika sembilan belas pemimpin agama dijebloskan ke sel-sel di Pengadilan Tinggi Wynberg karena telah melanggar larangan memasuki kota Kulit Hitam Gugulethu, pengalaman tersebut telah menjadikan pengalaman penting bagi antar agama di Afrika Selatan. Pasalnya, di sana mereka dari berbagai penganut agama telah mengalami dialog pada tataran tertinggi, dan hanya dalam delapan jam, kecurigaan dan ketidakpercayaan di antara mereka selama bertahun- tahun pun luluh. Mereka sama-sama menemukan komitmen bersama pada dan kebutuhan akan Tuhan. Kemudian Allan Boesak pemimpin Kristen membacakan kitab suci, Pendeta Lionell Louw memimpin koor bersama, Hassan Solomon berdoa dan Esack sendiri berkhutbah dan selanjutnya mereka semua bersatu bahu-membahu mengupayakan masyarakat yang adil. Yakni di antaranya adalah dengan melakukan berbagai aksi jalanan dan kehadiran pendeta-pendeta di pertemuan Call dan ulama-ulama Islam di gereja-gereja, serta sejumlah besar layanan antar iman, memperkuat citra antar agama dalam menentang penindasan di Afsel. Sebagai simbol komitmen keterlibatan mereka, mereka membentuk World Conference Religion and Peace WCRP cabang Afrika Selatan pada Agustus 1984. Lihat Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 66. 87 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 66-67. 88 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 130. seseorang untuk hidup bersama dalam damai. Apalagi pengembangan rasa hormat pada keanekaragaman agama bisa dipastikan tidak akan terjadi. 89 Alasan mereka menentang dan menolak ajakan tersebut karena menurut mereka, keikutsertaan orang-orang yang bergabung dengan solidaritas semacam itu akan mengaburkan iman Islam seseorang. Bagi mereka, hanya pembebasan melalui jalan Islamlah yang dapat berhasil karena Islam mempunyai jawaban terhadap masalah-masalah di seluruh dunia, dan MYMlah menurut mereka, yang pantas mewarisi kepemimpinan untuk membebaskan manusia dari pengekangan manusia lain. Oleh karena itu, kaum Muslim punya hak untuk memimpin. Dengan demikian, menurut mereka, orang-orang yang bergabung dengan komunitas semacam, Call of Islam itu adalah kafir, arogan, penuh nafsu dan bathil. 90 Maka dengan alasan itulah dalam tulisannya, Esack merumuskan kembali isu-isu teologisnya yang mendasar mengenai istilah iman, islam dan kafir secara sistematis. Diharapkan dengan adanya pembacaaan ulang terhadap istilah-istilah tersebut, adalah mungkin untuk hidup dalam keimanan kepada al-Quran sekaligus dalam konteks kekinian bersama orang-orang yang berbeda agama, bekerja bersama mereka untuk membentuk masyarakat yang lebih manusiawi, terhindar dari segala macam diskriminasi dan eksploitasi, dan bisa jadi untuk alasan itu pula, Esack keluar dari MYM. 91 Perubahan pemikiran Esack ke arah yang liberal tersebut, selain dari pengalaman refleksi sosial dan pendidikannya, juga mendapat pengaruh yang 89 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 270-271. 90 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 68-79. 91 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 16. kukuh dari beberapa tokoh pemikir progresif. Di antaranya adalah Paul Knitter, 92 Gustavo Gutierrez, 93 Juan Luis Segundo, 94 Hassan Hanafi 95 Amina Wadud, 96 Abdullah Ahmed al-Na’im 97 dan Fatima Mernissi. 98 Mereka adalah termasuk orang-orang yang memiliki kerangka acuan yang sama dengan Esack dalam 92 Paul F. Knitter adalah seorang ahli studi agama dari Xavier University, Cincinnati, Amerika Serikat. Ia banyak menulis dan melakukan riset tentang tema pluralisme dan dialog antar agama dibeberapa negara. “Paul F. Knitter,” diakses tanggal 11 dari 2007 November - om freed . www : http 224 = id diskusi = detail kegiatan = page ? php . index id org . institute Halaman Utama » Pelayanan Gereja 93 Gustavo Gutierrez adalah pastor dari Peru, lahir tahun 1928. Ia banyak menerbitkan buku di antaranya adalah buku Teologia de la Liberacion pada 1971. buku tersebut yang telah menginspirasi para uskup di Amerika Latin. “Gustavo Gutierrez,” diakses dari http:fppi.blogspot.com200707teologi-pembebasan.htmlPerihal Teologi Pembebasan 94 Juan Luis Segundo, S. J lahir di Montevideo, Uruguay 31 Maret 1925-meninggal 17 Januari 1996 adalah seorang imam Yesuit dan teolog pembebasan. Ia menulis banyak buku tentang teologi, ideologi, iman, hermeneutika, dan keadilan sosial. Ia juga merupakan teman Gustavo Gutiérrez selama belajar di seminari-seminari Yesuit di Argentina, di Louvain, Belgia dan di Sorbonne. “Luis Segundo,” diakses tanggal 11 November dari http:id.wikipedia.orgwikiJuan_Luis_Segundo 95 Hassan Hanafi lahir dari leluhur Berber dan Badui, Mesir pada 1935. Ia banyak terlibat dalam aksi kehidupan nasional Mesir daripada kehidupan pribadi dan keluarganya. Ia pernah masuk dalam organisasi al-Ikhwan al-MuslimunIM. Ia juga Pernah menjadi mahasiswa teladan pada jurusan Filsafat di Universitas Kairo, tapi dicabut statusnya karena dianggap telah melecehkan sejumlah guru besarnya. Ia menciptakan metodologi dan teologi baru Islam dengan pendekatan berdarkan rasionalias, yakni kontemporer filosofis yaitu suatu pendekatan fenomenologi. Hassan Hanafi, Dari Akidah ke Revolusi: Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama Jakarta: Paramadina, 2003, h. xvi-xvii. 96 Amina Wadud adalah profesor pada Universitas Commonwealth di Richmond, Virginia, lahir di Amerika Serikat tahun 1952. Ia adalah seorang Feminis Muslim Afrika-Amerika yang melakukan pendekatan historis terhadap al-Quran, yakni dengan cara mengkombinasikan bacaan- bacaan gender di dalam al-Quran dengan pengalaman kaum perempuan Afrika-Amerika. Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu Global. Penerjemah Bahrul Ulum dan Heri Junaedi. Penyunting E. Kusnadiningrat dan Din Wahid Jakarta: Paramadina, 2001, h. 185. 97 Abdullah Ahmed al-Na’im adalah seorang pemikir Muslim terkemuka asal Sudan- Amerika Serikat lahir tahun 1946, dan dikenal luas sebagai pakar Islam dan HAM dalam perspektif lintas budaya. Penelitiannya mencakup isu-isu ketatanegaraan di negeri-negeri Islam dan Afrika. Disamping isu-isu tentang Islam dan politik, dia juga menekuni riset-riset lain yang difokuskan pada advokasi strategi reformasi. Ia mendapat gelar doktor di bidang hukum dari Universitas Khartoum, Sudan dan dari Universitas Cambridge, Inggris serta dari Edinburgh, Skotlandia dalam bidang yang sama, hukum. Kurzman, Wacana Islam Liberal, h. 369. 98 Fatima Mernissi adalah seorang Feminis Arab-Muslim, lahir di Maroko tahun 1940. Dia merupakan generasi pertama perempuan Maroko yang mendapat kesempatan memperoleh pendidikan tinggi. Dia kuliah di Universitas Muhammad V di Rabat, kemudian mendapat gelar doktor dalam bidang sosiologi di Amerika Serikat tahun 1973. Kurzman, Wacana Islam Liberal, h. 156. pencarian, peninjauan dan pembentukan hakikat dan peran agama demi keadilan dan pluralisme keagamaan. 99

C. Karya-Karya Farid Esack