Pengertian Ulang Kafir Argumentasi Pluralisme Agama

dalam komunitas-komunitas etno-sosiologis. 227 Sedangkan bagi Esack, din adalah sebuah pola, sebuah jalan Tuhan yang berlaku umum bagi seluruh kaum, sebagaimana tercantum dalam Q.S. al-Syura42: 13, yang menjelaskan bahwa ada kesatuan din yang sama yang telah diwasiatkan oleh al-Quran kepada Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa. Nabi-nabi tersebut datang membawa misi yang sama, yang mereka sampaikan dalam konteks situasi umat mereka yang bermacam- macam dan berbeda-beda. Namun tetap berada dalam kesatuan din yang sama, yakni jalan Tuhan. 228

f. Pengertian Ulang Kafir

Sebagaimana istilah iman dan islam, penggunaan istilah kafir pun dalam perspektif Esack, penggunaannya sangat kontekstual dan eksistensial dengan pluralisme agama. Adapun penggunaan istilah kafir sebagai penolak keyakinan, Menurut Esack, pertama kali dipakai adalah untuk menunjuk beberapa warga Makkah yang menghina Nabi Muhammad, sedangkan di Madinah menunjuk kepada berbagai unsur di kalangan Ahli Kitab. Selanjutnya setelah Nabi Muhammad wafat penggunaannya secara bebas diperluas oleh berbagai kelompok untuk mengeluarkan kelompok lain yang berbeda dengannya karena mereka telah mengidentifikasikan istilah tersebut dengan makna tak percaya. 229 227 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 170. 228 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 175-176. 229 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 179-180. Menurutnya, dari sanalah awal mula penggunaan istilah kafir dikaitkan sebagai pelabelan bagi kaum yang tertolak dari komunitas Muhammad dan menjadi orang yang tidak percaya atau tak beragama. Padahal menurutnya, sebagaimana yang telah dijelaskan, baik itu dalam al- Quran, literatur pra-Islam atau secara linguistik dan para pemikir, penggunaan maknanya tidaklah demikian. 230 Berdasarkan literatur pra-Islam, inti dari stuktur semantik dan makna kata asalnya adalah menutup atau tak tahu terimakasih, 231 , sedangkan secara linguistik artinya menutup asal kata dari k-f-r, bentuk kata bendanya masdar adalah kufr, sebagai pelaku failnya adalah kafir, dan bentuk jamaknya kuffar atau kafirun. 232 Kemudian, kata tersebut digunakan untuk penutupan sesuatu untuk menghancurkannya. Demikian juga yang telah disepakati oleh beberapa pemikir, mereka menyepakati arti kufr sebagai menutup karena secara linguistik kufr benar-benar merujuk pada perilaku penyangkalan atau penolakan yang disengaja atas suatu pemberian dari Tuhan. Namun, pemakaian awal yang paling lazim adalah penutupan perbuatan baik, yaitu tidak bersyukur. Kemudian ketika Islam diartikan sebagai tindakan karena kebaikan Tuhan, kufr menjadi sinonim penolakan. Seorang kafir berarti orang yang menerima kebaikan dari 230 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 179-180. 231 Menurut Izutsu kufr arti dasarnya adalah tidak bersyukur lawan kata dari syakira bersyukur, untuk menunjukan rasa tidak bersyukur terhadap perbuatan baik atau pertolongan yang ditujukan orang lain. Kemudian menyimpang menjadi makna tidak percaya. Perubahan tersebut menurutnya sepintas dipersiapkan untuk memainkan bagian terpenting dalam sejarah pemikiran Islam berikutnya baik secara teologis maupun politis. Lebih jauh ia menjelasakan tranformasi semantik kufr dari tidak bersyukur ke tidak percaya, lihat Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia Pendekatan Semantik terhadap Al-Quran. Penerjemah Agus Fahri Husein, dkk., Jogja : Tiara Wacana, 1994, h. 258-261. 232 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 177. Tuhan, tapi tak bersyukur atau malah mengingkarinya. Jadi, kafir adalah orang yang tidak tahu terimakasih, tidak bersyukur atau malah mengingkari dan menutupi atas kebaikan dari Tuhan. 233 Demikian halnya dalam al-Quran, menurut Esack, penggunaan maknanya digambarkan sebagai tak bersyukur dan menutup yang bersifat aktif dan dinamis yang mengarah pada penolakan atas kebenaran Tuhan secara sengaja dan intrinsik, terkait dengan suatu tingkah laku yang arogan dan menindas. 234 Beberapa contoh penggunaan arti tersebut tercantum dalam Q.S. Azumar39: 7 235 takfurû, kufr, taskurû, Q.S. al-Baqarah2: 152 236 wasykurû lî walâ takfurûn, Q.S. Ibrahim14: 7 237 lain syakartum, walain kafartum; Q.S. al-Baqarah2: 42 taktumû, 159 dan 174 yaktumûna, 238 Q.S. al-‘Araf7: 45 239 kâfirûn sebagai sikap perilaku orang yang mengalangi orang di jalan Tuhan dan menghalangi karunia 233 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 178-179. 234 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 180. 235 Terjemahannya: “Jika kamu kafir ketahuilah sesungguhnya Allah tidak mengetahuimu, dan dia tidak meridai kekafiran hamba-hamba-Nya.. Jika kamu bersyukur, Dia meridai kesyukuranmu itu. Seseorang yang berdosa tidak memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kembalimu lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Sungguh Dia mengetahui apa yang tersimpan dalam dadamu.” 236 Terjemahannya: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan, “sesunguhnya jika kamu bersyukur, nscaya aku akan menambah nikmat kepadamu, tetapi jika kamu mengingakari, maka pasti azab-Ku sangat berat.” 237 “yaitu orang-orang yang menghalang-halangi orang lain dari jalan Allah dan ingin membelokkannya. Mereka itulah yang mengingkari kehidupan akhirat.” 238 Q.S. al-Baqarah2: 42 Terjemahannya berikut: “Dan janganlah kamu campuradukkan kebenaran dengan kebatilan dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran sedangkan kamu mengetahuinya. Q.S. al-Baqarah2: 159 Terjemahannya berikut: “Sungguh orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan dan petunjuk-petunjuk, setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab al-Quran, mereka itulah yang dilaknat Allah dan dilaknat pula oleh mereka yang melaknat.” Q.S. al-Baqarah2: 174 Terjemahannya berikut: “Sungguh orang yang telah menyembunyikan apa yang telah diturunkan oleh Allah, yaitu Kitab dan menjualnya dengan harga murah, mereka hanya menelan api neraka ke dalam perutnya dan Allah tidak akan menyapa mereka di hari kiamat, dan tidak akan mensucikan mereka. Mereka akan mendapat azab yang sangat pedih.” 239 Terjemahannya: “Yaitu orang-orang yang menghalang-halangi orang lain dari jalan Allah dan ingin membelokkannya. Mereka itulah yang mengingkari kehidupan akhirat.” Tuhan kepada manusia; Q.S. al-Baqarah2: 254 240 , Q.S. Fussilat41: 7 241 , Q.S. at-Taubah9: 34-35 242 kâfirûna sebagai orang yang menolak untuk memberi sedekah kepada orang miskin; Q.S. al-Anfal8: 36 243 kafarû sebagai orang yang menafkahkan hartanya demi menghalangi orang ke jalan Tuhan dan kebaikan; Q.S. al-A’raf7:48 244 , Maryam19: 77 245 , sebagai sikap kesombongan mereka dalam hal kekayaan dan status sosial. Dengan kekayaan mereka yang berlimpah-ruah dan status sosial yang tinggi mereka sama sekali tidak membutuhkan orang lain dan Tuhan. Mereka juga mengira bahwa kekayaan yang mereka miliki akan membebaskan mereka dari kewajiban moral apa pun terhadap kaum lain dan pertanggungjawaban dihadapan Tuhan; Q.S. al-Nisa4: 168 246 kafarû wa zalamû, sebagai orang yang menindas kaum lemah dan berbuat zalim; 240 Terjemahannya: “Wahai orang-orang yang beriman infakkanlah sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kapadamu sebelum datang hari ketikatidak ada lagi jual beli, tidak ada lagi persahabatan dan tidak ada lagi syafaat. Orang-orang yang kafir itulah orang-orang yang zalim.” 241 Terjemahannya: “yaitu orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka inkar terhadap kehidupan akhirat.” 242 Terjemahannya: “Wahai orang-orang yang beriman Sesungguhnya banyak dari orang- orang alim dan rahib-rahib mereka benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil, dan merka menghalang-halangi manusia dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, bahwa mereka akan mendapat azab yang pedih. Ingatlah pada hari ketika emas dan perak dipaskan dalam nereka Jahanam lalu dengan itu diseterika dahi, lambung dan punggung mereka, inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah akibat dari apa yang telah kamu simpan.” 243 Terjemahannya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menginfakan untu menghalangi-halangi orang dari jalan Allah. Mereka akan terus menginfakkan harta itu, kemudian mereka akan menyesal sendiri, dan mereaka akhirnya akan dikalahkan. Ke dalam neraka Jahanamlah orang-orang kafir itu akan dikumpulkan.” 244 Terjemahannya: “Dan orang-orang yang di atas A’raf tempat yang tertinggimenyeru orang-orang yang mereka kenal dengan tanda-tandanya sambil berkata, harta yang kamu kumpulkan dan apa yang kamu sombongkan, ternyata tidak ada manfaatnya buat kamu.” 245 Terjemahannya: “Lalu apakah engkau telah melihat orang yang telah mengingkari ayat-ayat Kami dan dia mengatakan, “pasti aku akan diberi harta dan anak.” 246 Terjemahannya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allah tidak akan mengampuni mereka, dan tidak pula akan menunjukkan kepada mereka jalan yang lurus.” Q.S. al-Maidah5:79 247 lâ yatanâhauna ‘an munkarin, sebagai orang yang berdiam diri dihadapan kejahatan dan penindasan. 248 Kemudian, pengertian lain dari menutup adalah petani karena biasanya para petani suka melakukan kegiatan menutup, yakni menutupi biji-bijiannya dengan tanah. 249 Pengunaan makna-makna tersebut, menurut Esack, mencerminkan adanya hubungan yang dinamis antara wahyu dan masyarakatnya 250 yang dilakukan dalam konteks sosio-historis yang real dan yakin bahwa kepercayaan yang tulus pada keesaan Tuhan dan pertanggungjawaban akhir kepada-Nya akan membawa pada terwujudnya masyarakat yang adil. 251 Sikap penolakan merekalah menurut Esack, yang menyebabkan mereka disebut kafir karena mereka telah menolak dan menutupi ajaran yang dibawa Nabi Muhammad kepada mereka. Alasan mereka melakukan hal tersebut adalah karena Tuhan yang disangkal oleh mereka saat itu adalah Tuhan yang menuntut tranformasi kongkret masyarakat dari eksploitasi ke keadilan, dari mementingkan diri ke sifat sebaliknya, dari arogan ke kerendahan hati, dari kesukuan yang sempit menuju persatuan, sedangkan Nabi Muhammad datang kepada mereka yang membawa ajaran yang sebaliknya, yakni Islam, yang mengajarkan nilai-nilai keadilan dalam hidup, baik secara ekonomi maupun sosial, mala dengan jelas mereka 247 Terjemahannya: “Mereka tidak saling mencegah perbuaan munkar yang selalu mereka perbuat. Sungguh sangat buruk apa yang telah mereka perbuat.” 248 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 179-181. 249 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 179. Lihat juga penggunaan predikat kafir dalam Muhammad Galib M, Ahl Al-Kitab Jakarta: Paramadina, 1998, h. 62. 250 Dalam konteks Makkah. 251 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 182. menolaknya mentah-mentah karena akan menggoyahkan tatanan sosial secara radikal yang selama ini mereka pertahankan. 252 Oleh karena itu, pemaknaan kufr dalam al-Quran menurut Esack adalah pencelaan kepada perilaku yang bermusuhan kepada orang yang memilih jalan Islam dan memperolok-olok Islam dan Muslim dalam pengertian sebagai tunduk kepada Tuhan dan orang-orang yang ingin mengorganisasikan keberadaan kolektif atas dasar ketundukan itu, termasuk didalamnya yang mengajarkan nilai-nilai keadilan dalam hidup, baik secara ekonomi maupun sosial. 253 Adapun gambaran olok-olokkan mereka tersebut, tercantum dalam Q.S. Yunus10: 79 254 , al-Hijr15: 11 255 , al-Kahfi18: 106 256 . 257 Dengan demikian, menurut Esack, ide tentang kafir jangan dicampuradukan dengan penolakan teologis, rasional, atau filosofis atas ketuhanan karena seorang kafir menurutnya, adalah sosok yang mengetahui kehadiran entitas 252 Karena pada saat Muhammad diutus, keadaan masyarakat Makkah saat itu sangat arogan dan suka menindas. Diharapkan dengan kedatangnan Islam, keadaan masyarakat bisa berubah ke arah keadilan, baik secara sosial maupun ekonomi. Esack, Membebaskan yang Tertindas , h. 181-183. Dalam bukunya, Dawam menulis salah satu gejala sosial yang menonjol dalam kalangan aristokrat pedagang Makkah zaman nabi adalah kecintaaan pada harta yang melebihi batas. Mereka telah menuhankan hartanya, sehingga mengakibatkan timbulnya gejala prilaku yang asosial, seperti kebiasaan memakan harta warisan dengan rakus, tidak memiliki rasa tanggungjawab terhadap kemiskinan, tidak menyantuni anak yatim, sebaliknya mereka malah melakukan akumulasi kekayaan. Menyimpan harta dan menumpuknya. Mereka mengira kekayaan akan menyebabkan mereka hidup abadi. Maka dengan kehadiran Islam diharapkan dapat memuai ajaran humanis yang mementingkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat Makkah saat itu. Bagi Dawam, makna Islam dalam konteks sosial adalah menyerahkan diri kepada Allah berarti pembebasan diri dari segala seauatu yang dipertuhankan. Baik itu berhala atau harta atau sesuatu yang bisa membuat kehidupan kearah yang tidak adil dan sejahtera. Lihat M. Dawam Rahardjo, Paradigma Al-Quran Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005, h. 204-205. 253 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 181-183. 254 Terjemahannya: “Dan Fir’aun berkata kepada pemuka kaumnya, “datangkanlah kepadaku semua pesihir yang ulung” 255 Terjemahannya: Dan setiap kali seorang rasul datang kepada mereka, mereka selalu memperolok-olokknya. 256 “Demikianlah, balasan mereka itu neraka Jahanam karena kekafiran mereka, dan karena mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai bahan olok-olok.” 257 Esack, Membebaskan yang Tertindas, h. 181-183. semacam itu, yakni mereka mengetahui keberadaan Tuhan dan para rasul- Nya. Namun mereka memilih untuk menolak dan menutupinya. 258 Bahkan mereka bertekad menghancurkan misi-misinya dengan cara membunuhnya. 259 Jadi, kafir adalah sesuatu yang disadari, sesuatu yang disengaja aktif bukan sekedar ketidakpedulian atau ketidaktahuan atas keberadaan Tuhan, juga bukan merupakan label-label etnis tertentu, tapi lebih kepada menunjukan perbuatan-perbuatan yang mencerminkan sikap-sikap kafir, sebagaimana yang telah digambarkan dalam al-Quran. 260 Esack menambahkan pengertian kafir yang dikutip dari Asad. Asad mengatakan bahwa kafir adalah penunjukan bagi orang-orang yang menyangkal kebenaran dalam arti yang paling luas, dan spiritual, tidak terbatas pada pengertian orang yang tidak percaya atau tak beragama karena menolak sistem doktrin dan hukum yang diajarkan al-Quran dan disampaikan oleh Nabi, tapi lebih dari itu, memiliki makna yang lebih luas dan umum. 261

3. Status Iman dan Nilai Amal Saleh Penganut Agama Lain