ternyata hanya sembilan yang mencantumkan gaji direksi dengan empat di antaranya mencantumkan dengan detail berapa seorang direktur
utama, wakil direktur utama, direktur, komisaris utama, komisaris, dan sekretaris komisaris dibayar. Sisanya, kebanyakan hanya memberi
patokan kompensasi komisaris, dan melimpahkan wewenang pada komisaris dala m menentukan kompensasi direksi, Vidyatmoko 2010.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian mengenai latar belakang penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka penulis mencoba untuk merumuskan masalah
dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: “Apakah terdapat pengaruh kompensasi eksekutif dan manajemen laba terhadap risiko kebangkrutan,
baik secara parsial maupun simultan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia?”
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh kompensasi eksekutif dan manajemen laba terhadap
risiko kebangkrutan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat yaitu: a. Bagi Penulis
Sebagai penambah ilmu dan pengetahuan serta wawasan tentang pengaruh kompensasi eksekutif dan manajemen laba terhadap risiko
kebangkrutan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
b. Bagi Pihak Lain Sebagai informasi tambahan dan bahan rujukan bagi yang ingin
melakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan kompensasi eksekutif, manajemen laba dan risiko kebangkrutan pada perusahaan
Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teoritis
2.1.1. Teori Keagenan Agency Theory
Teori keagenan merupakan dasar yang digunakan untuk memahami corporate governance. Teori keagenan menyangkut
hubungan kontraktual antara anggota-anggota di perusahaan. Jensen dan Meckling 1976 menjelaskan bahwa hubungan agensi terjadi
ketika satu orang atau lebih principal mempekerjakan orang lain agent untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan
wewenang pengambilan keputusan. Yang disebut principal adalah pemegang saham atau investor dan yang dimaksud agent adalah
manajemen yang mengelola perusahaan. Inti dari hubungan keagenan adalah adanya pemisahan fungsi antara kepemilikan di
pihak investor dan pengendalian di pihak manajemen. Menurut Eisenhardt dalam Bayu 2010 teori agensi
menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu: 1 manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri self interest, 2 manusia
memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang bounded rationality, dan 3 manusia selalu menghindari resiko
risk averse. Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut, manusia akan bertindak opportunistic, yaitu mengutamakan
kepentingan pribadinya, Haris 2004. Pihak agent termotivasi untuk
Universitas Sumatera Utara
memaksimalkan fee kontraktual yang diterima sebagai sarana dalam pemenuhan kebutuhan ekonomis dan psikologisnya. Sebaliknya,
pihak principal termotivasi untuk mengadakan kontrak atau memaksimalkan returns dari sumber daya untuk menyejahterakan
dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Konflik kepentingan ini terus meningkat karena pihak principal tidak dapat
memonitor aktivitas agent sehari-hari untuk memastikan bahwa agent bekerja sesuai dengan keinginan para pemegang saham.
Sebaliknya, agent sendiri memiliki lebih banyak informasi penting mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja, dan perusahaan secara
keseluruhan. Hal inilah yang memicu timbulnya ketidakseimbangan informasi antara principal dan agent. Kondisi ini dinamakan dengan
asimetri informasi. Hak pengendalian yang dimiliki oleh manajer
memungkinkan untuk diselewengkan dan dapat menimbulkan masalah keagenan yang dapat diartikan dengan sulitnya investor
memperoleh keyakinan bahwa dana yang mereka investasikan dikelola dengan semestinya oleh manajer. Manajer memiliki
kewenangan untuk mengelola perusahaan dan dengan demikian manajer memiliki hak dalam mengelola dana investor, Ujiantho
2007.
Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang
akan datang dibandingkan pemilik pemegang saham. Manajer
Universitas Sumatera Utara
berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang diberikan dapat dilakukan melalui pengungkapan
informasi akuntansi seperti laporan keuangan. Laporan keuangan tersebut penting bagi pengguna eksternal terutama karena kelompok ini
berada dalam kondisi yang paling besar ketidakpastiannya, Ali 2002.
Adanya pemisahan antara pemilik perusahaan principal dan pengelolaan oleh manajemen agent cenderung menimbulkan
konflik keagenan di antara prinsipal dan agen. Konflik kepentingan antara pemilik dan agen terjadi karena kemungkinan agen tidak
selalu berbuat sesuai dengan keinginan prinsipal, sehingga menimbulkan biaya keagenan agency cost, Ujiyantho dan Pramuka
2007. Agency cost merupakan biaya yang dikeluarkan oleh prinsipal untuk biaya pengawasan terhadap agen, pengeluaran yang
mengikat oleh agen, dan adanya residual loss, Jensen dan Meckling 1976. Adanya penyimpangan antara keputusan yang diambil agen
dan keputusan yang akan meningkatkan kesejahteraan prinsipal akan menimbulkan kerugian atau pengurangan kesejahteraan prinsipal,
nilai uang yang timbul dari adanya penyimpangan tersebut disebut residual loss, Jensen dan Meckling 1976.
Adanya asimetri informasi dapat mendorong agen untuk menyembunyikan beberapa informasi yang tidak diketahui prinsipal
untuk memaksimalkan keuntungan bagi agen. Agen dapat termotivasi untuk melaporkan informasi yang tidak sebenarnya
Universitas Sumatera Utara
kepada prinsipal, terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja agen, Ujiantho 2007.
Ali dalam Bayu 2010 mengatakan bahwa manajer yang telah diberi wewenang untuk mengelola perusahaan bertanggung
jawab untuk memaksimalkan keuntungan prinsipal dan melaporkan tanggung jawabnya melalui media laporan keuangan. Atas kinerja
manajer tersebut, kompensasi manajemen diberikan sesuai dengan kontrak yang yang telah disepakati. Dengan demikian terdapat dua
kepentingan yang berbeda di dalam perusahaan untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendaki.
Jensen dan Meckling 1976 menyatakan bahwa laporan keuangan yang dibuat dengan angka-angka akuntansi diharapkan
dapat meminimalkan konflik di antara pihak-pihak yang berkepentingan. Dengan laporan keuangan yang dibuat manajemen,
prinsipal dapat menilai kinerja manajemen untuk melaporkan laba sesuai kepentingan pribadinya. Jika hal ini terjadi maka akan
mengakibatkan rendahnya kualitas laba. Standar Akuntansi Keuangan SAK memberikan
kelonggaran flexibility principles dalam memilih metode akuntansi yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan. Dengan
kelonggaran ini, perusahaan dapat menghasilkan nilai laba yang berbeda melalui pemilihan metode akuntansi yang berbeda. Praktik
seperti ini dapat memberikan dampak terhadap kualitas laba yang
Universitas Sumatera Utara
dilaporkan, Boediono 2005. Salah satu mekanisme yang diharapkan dapat mengontrol konflik keagenan adalah dengan
menerapkan monitoring melalui tata kelola perusahaan yang baik good corporate governance. Corporate governance merupakan
konsep yang diajukan demi peningkatan kinerja perusahaan melalui supervisi atau monitoring kinerja manajemen dan menjamin
akuntabilitas manajemen terhadap stakeholder dengan mendasarkan pada kerangka peraturan.
2.1.2. Kebangkrutan
2.1.2.1. Pengertian Kebangkrutan
Kebangkrutan Bankruptcy biasanya diartikan sebagai kegagalan perusahaan dalam menjalankan operasi
perusahaan untuk menghasilkan laba, Supardi dan Mastuti 2003:79. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 4
Tahun 1998, kebangkrutan adalah keadaan dimana suatu institusi dinyatakan oleh keputusan pengadilan bila debitur
memiliki dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat
ditagih. Kebangkrutan sebagai kegagalan didefinisikan dalam
beberapa arti, Martin et.al 1995 : 376: 1. Kegagalan ekonomi economic failure
Kegagalan dalam arti ekonomi biasanya berarti bahwa perusahaan kehilangan uang atau pendapatan
Universitas Sumatera Utara
perusahaan tidak menutup biayanya sendiri, ini berarti tingkat labanya lebih kecil dari biaya modal atau nilai
sekarang dari arus kas perusahaan lebih kecil dari kewajiban. Kegagalan terjadi bila arus kas sebenarnya
dari perusahaan tersebut jatuh di bawah arus kas yang diharapkan. Bahkan kegagalan dapat juga berarti bahwa
pendapatan atas biaya historis dari investasinya lebih kecil daripada biaya modal perusahaan.
2. Kegagalan keuangan financial failure Kegagalan keuangan bisa diartikan sebagai insolvensi
yang membedakan antara dasar arus kas dan dasar saham. Insolvensi atas dasar arus kas ada dua bentuk :
a. Insolvensi teknis technical insolvency Perusahaan dapat dianggap gagal jika perusahaan,
tidak dapat memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo. Walaupun total aktiva melebihi total utang
atau terjadi bila suatu perusahaan gagal memenuhi salah satu atau lebih kondisi dalam ketentuan
hutangnya seperti rasio aktiva lancar terhadap utang lancar yang telah ditetapkan atau rasio kekayaan
bersih terhadap total aktiva yang disyaratkan. Insolvensi teknis juga terjadi bila arus kas tidak
cukup untuk memenuhi pembayaran bunga pembayaran kembali pokok pada tangga tertentu.
b. Insolvensi dalam pengertian kebangkrutan Dalam pengertian ini kebangkrutan didefinisikan
dalam ukuran sebagai kekayaan bersih negatif dalam neraca konvensional atau nilai sekarang dari
arus kas yang diharapkan lebih kecil dari kewajiban.
2.1.2.2. Faktor-faktor penyebab kebangkrutan
Darsono dan Ashari 2005, menyatakan secara garis besar penyebab kebangkrutan bisa dibagi menjadi
dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor-faktor internal yang dapat
menyebabkan kebangkrutan perusahaan yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1. Manajemen yang tidak efisien akan mengakibatkan kerugian terus menerus
yang pada akhirnya menyebabkan perusahaan tidak dapat membayar
kewajibannya. Ketidakefisienan ini diakibatkan oleh pemborosan dalam biaya, kurangnya keterampilan dan
keahlian manajemen.
2. Ketidakseimbangan dalam modal yang dimiliki dengan jumlah piutang-hutang yang dimiliki. Hutang yang
terlalu besar akan mengakibatkan biaya bunga yang besar sehingga memperkecil laba bahkan bisa
menyebabkan kerugian. Piutang yang terlalu besar juga akan merugikan karena aktiva yang menganggur terlalu
banyak sehingga tidak menghasilkan pendapatan.
3. Moral hazard oleh manajemen. Kecurangan yang dilakukan oleh manajemen perusahaan bisa
mengakibatkan kebangkrutan. Kecurangan ini akan mengakibatkan kerugian bagi perusahaan yang pada
akhirnya membangkrutkan perusahaan. Kecurangan dapat berupa manajemen yang korup atau memberikan
informasi yang salah pada pemegang saham atau investor.
Sedangkan, faktor-faktor eksternal yang bisa mengakibatkan kebangkrutan adalah sebagai berikut :
1. Perubahan dalam keinginan pelanggan yang tidak diantisipasi oleh perusahaan yang mengakibatkan
pelanggan lari atau berpindah sehingga terjadi penurunan dalam pendapatan.
2. Kesulitan bahan baku karena supplier tidak dapat memasok lagi kebutuhan bahan baku yang
digunakan untuk produksi.
3. Faktor debitor juga harus diantisipasi untuk menjaga agar debitor tidak melakukan kecurangan. Terlalu
banyak piutang yang diberikan kepada debitor dengan jangka waktu pengembalian yang lama akan
mengakibatkan banyak aktiva menganggur yang tidak memberikan penghasilan sehingga
mengakibatkan kerugian yang besar bagi perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
4. Persaingan bisnis yang semakin ketat menuntut perusahaan agar selalu memperbaiki diri sehingga
bisa bersaing dengan perusahaan lain dalam memenuhi kebutuhan pelanggan. Semakin ketatnya
persaingan menuntut perusahaan agar selalu memperbaiki produk yang dihasilkan, memberikan
nilai tambah yang lebih baik lagi kepada pelanggan.
5. Kondisi perekonomian secara global juga harus selalu diantisipasi oleh perusahaan. Kasus
perkembangan pesat ekonomi Cina yang mengakibatkan tersedotnya kebutuhan bahan baku
ke Cina dan kemampuan Cina memproduksi barang dengan harga yang murah adalah contoh kasus
perekonomian global yang harus diantisipasi oleh perusahaan.
2.1.2.3. Risiko Kebangkrutan
Menurut Rifqi 2009:3 ada beberapa model yang dapat digunakan untuk memprediksi financial distress.
Model tersebut antara lain dikemukakan oleh Beaver 1966, Altman 1968, Springate 1978, Ohlson 1980,
dan Zmijewski 1983. Model Altman merupakan salah satu yang paling
popular dan telah banyak digunakan dalam penelitian tentang risiko kebangkrutan pada perusahaan-perusahaan di
Indonesia. Menurut Altman 1968 dalam Altman 1982:99-125, Altman Z-score adalah suatu alat yang
digunakan untuk meramalkan tingkat kebangkrutan suatu perusahaan dengan menghitung nilai dari beberapa rasio
lalu kemudian dimasukan dalam suatu persamaan
Universitas Sumatera Utara
diskriminan, maka berdasarkan analisis ini apabila nilai Z dari perusahaan yang diteliti lebih kecil dari 1,81 maka
dikatakan berisiko tinggi terhadap kebangkrutan, bila nilai Z berada diantara 1,81 sampai dengan 2,99 dikatakan
berpeluang besar untuk bangkrut, bila di atas nilai 2,99 atau Z 2,99 aman dari risiko kebangkrutan. Untuk menghitung
nilai Z, terlebih dahulu harus dihitung lima jenis rasio keuangan, yaitu:
1. Modal Kerja Total Aktiva Rasio ini mengukur likuiditas dengan membandingkan
aktiva lancar bersih dengan total aktiva. Aktiva lancar bersih atau modal kerja didefinisikan sebagai total
aktiva lancar dikurangi total kewajiban lancar. Umumnya, bila perusahaan mengalami kesulitan
keuangan, modal kerja akan turun lebih cepat daripada total aktiva menyebabkan rasio ini turun.
2. Laba Ditahan Total Aktiva Rasio ini mengukur kemampulabaan kumulatif dari
perusahaan. Pada beberapa tingkat, rasio ini juga mencerminkan umur perusahaan, karena semakin muda
perusahaan, semakin sedikit waktu yang dimilikinya untuk membangun laba kumulatif. Bila perusahaan
mulai merugi, tentu saja nilai dari total laba ditahan mulai turun.
3. EBIT Total Aktiva Rasio ini mengukur kemampulabaan yaitu tingkat
pengembalian dari aktiva, yang dihitung dengan membagi laba sebelum pajak EBIT tahunan
perusahaan dengan total aktiva pada neraca akhir tahun. Rasio ini juga dapat digunakan sebagai ukuran seberapa
besar produktivitas penggunaan dana yang dipinjam. Bila rasio ini lebih besar dari rata-rata tingkat bunga
yang dibayar, maka berarti perusahaan menghasilkan uang yang lebih banyak daripada bunga pinjaman.
Universitas Sumatera Utara
4. Modal Sendiri Total Utang Rasio ini merupakan kebalikan dari rasio hutang per
modal sendiri. Nilai modal sendiri yang dimaksud adalah nilai pasar modal sendiri, yaitu jumlah saham
perusahaan dikalikan dengan harga pasar per lembar sahamnya. Pada umumnya perusahaan - perusahaan
yang gagal, mengakumulasikan lebih banyak hutang dibandingkan modal sendiri.
5. Penjualan Total Aktiva Rasio perputaran modal adalah standar rasio keuangan
yang menggambarkan kemampuan peningkatan penjualan dari aktiva perusahaan yang merupakan suatu
ukuran dari kemampuan manajemen dalam menghadapi kondisi yang kompetitif.
2.1.3. Manajemen Laba
2.1.3.1. Definisi Manajemen Laba
Scott 1997 mendefinisikan manajemen laba sebagai berikut “Given that managers can choose
accounting policies from a set for example, GAAP, it is natural to expect that they will choose policies so as to
maximize their own utility andor the market value of the firm”.
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa manajemen laba merupakan pemilihan kebijakan akuntansi
oleh manajer dari standar akuntansi yang ada yang secara alamiah dapat memaksimumkan utilitas mereka dan atau
nilai pasar perusahaan. Scott 1997 membagi cara pemahaman atas manajemen laba menjadi dua. Pertama,
melihatnya sebagai perilaku oportunistik manajer untuk
Universitas Sumatera Utara
memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak utang, dan
political costs Opportunistic Earnings Management. Kedua, dengan
memandang manajemen laba dari prespektif efficient contracting Efficient Earnings Management, dimana
manajemen laba memberi manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan perusahaan dalam
mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak.
Fischer dan Rosenzweig 1995 mendefinisikan manajemen laba sebagai tindakan seorang manajer dengan
menyajikan laporan yang menaikan menurunkan laba periode berjalan dari unit usaha yang menjadi tanggung
jawabnya, tanpa menimbulkan kenaikan penurunan profitabilitas ekonomi unit tersebut dalam jangka panjang.
Sedangkan menurut Healy dan Wahlen 1999, manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan
pertimbangan judgment dalam pelaporan keuangan dan penyusunan transaksi untuk mengubah laporan keuangan,
dengan tujuan untuk memanipulasi besaran magnitude laba kepada beberapa stakeholders tentang kinerja ekonomi
perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
Dari definisi-definisi tersebut, dapat dipahami bahwa manajemen laba dianggap sebagai tindakan
opportunistic dari manager. Hal ini mengisyaratkan bahwa manajemen laba erat kaitannya dengan motivasi-motivasi
yang mendasari manajer dalam melakukan manajemen laba, sasaran-sasaran yang ingin dicapai manajer serta
penggunaan judgment-judgment dalam laporan keuangan yang dapat merugikan dan menyesatkan stakeholders.
2.1.3.2. Faktor-faktor yang Memotivasi Terjadinya Manajemen
Laba
Pada dasarnya manajer melakukan manajemen laba karena laba telah dijadikan sebagai target dalam
proses penilaian prestasi kerja departemen manajer secara khusus dan perusahaan organisasi secara umum.
Scott 2000:302 mengemukakan beberapa motivasi terjadinya manajemen laba:
1. Bonus Purposes Manajer yang memiliki informasi atas laba bersih
perusahaan akan bertindak secara opportunistik untuk melakukan manajemen laba dengan memaksimalkan
laba Healey, 1985.
2. Political Motivations Manajemen laba digunakan untuk mengurangi laba
yang dilaporkan pada perusahaan publik. Perusahaan cenderung mengurangi laba yang dilaporkan karena
adanya tekanan publik yang mengakibatkan pemerintah menetapkan peraturan yang lebih ketat.
Universitas Sumatera Utara
3. Taxation Motivation Motivasi penghematan pajak menjadi motivasi
manajemen laba yang paling nyata. Berbagai metode akuntansi digunakan dengan tujuan penghematan pajak
pendapatan.
4. Pergantian CEO
CEO yang mendekati masa pensiun akan cenderung menaikkan pendapatan untuk meningkatkan bonus
mereka. Dan jika kinerja perusahaan buruk, mereka akan berusaha memaksimalkan pendapatan agar tidak
diberhentikan.
Motivasi lain manajemen laba dilihat dari sudut pandang akuntansi adalah karena ada dua keterbatasan para
pengguna dalam menginterpretasi pelaporan keuangan. Pertama, kriteria penyajian elemen pelaporan keuangan
rentan terhadap kebijakan manajemen, yaitu pihak manajemen memiliki peluang dan kebebasan untuk
menerapkan kebijakan manajemen yang berhubungan dengan pencatatan dan metode akuntansi yang akan
digunakan untuk pelaporan keuangannya. Kedua, tidak ada observasi sempurna mengingat tidak semua kebijakan
manajemen dapat diobservasi oleh para pengguna laporan keuangan. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya asimetri
informasi antara investor dengan manajemen perusahaan yang berpeluang untuk melakukan manipulasi laba
sehingga mempengaruhi kualitas laba yang dilaporkan ke publik.
Universitas Sumatera Utara
Teknik dan Pola Manajemen Laba Teknik manajemen laba menurut Setiawati dan Na’im
2000 dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu: 1. Memanfaatkan peluang untuk membuat estimasi
akuntansi. Cara manajemen mempengaruhi laba melalui judgment
perkiraan terhadap estimasi akuntansi antara lain estimasi tingkat piutang tak tertagih, estimasi kurun
waktu depresiasi aktiva tetap atau amortisasi aktiva tak berwujud, estimasi biaya garansi dan lain-lain.
2. Mengubah metode akuntansi. Perubahan metode akuntansi yang digunakan untuk
mencatat suatu transaksi. Contoh : mengubah metode depresiasi aktiva tetap, dari metode depresiasi angka
tahun ke metode depresiasi garis lurus.
3. Menggeser periode biaya atau pendapatan. Contohnya adalah mempercepat atau menunda
pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan sampai pada periode akuntansi berikutnya,
mempercepat atau menunda pengeluaran promosi sampai periode berikutnya, mempercepat atau menunda
pengiriman produk ke pelanggan, mengatur saat penjualan aktiva tetap yang sudah tak dipakai lagi.
Menurut scott 2000 pola manajemen laba dapat dilakukan dengan cara :
1. Taking a bath Pola ini terjadi pada saat reorganisasi termasuk
pengangkatan CEO baru dengan melaporkan kerugian dalam jumlah besar untuk meningkatkan laba di masa
yang akan datang.
2. Income Minimization Dilakukan pada saat perusahaan mengalami tingkat
profitabilitas yang tinggi sehingga jika laba pada periode mendatang diperkirakan turun drastis dapat
diatasi dengan mengambil laba periode sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara
3. Income Maximization Dilakukan pada saat laba menurun. Tindakan atas
income maximization bertujuan untuk melaporkan net income yang tinggi untuk bonus yang lebih besar.
4. Income Smoothing Dilakukan perusahaan dengan cara meratakan laba yang
dilaporkan sehingga dapat mengurangi fluktuasi laba yang terlalu besar karena pada umumnya investor lebih
menyukai laba yang relatif stabil.
2.1.3.3. Metode Deteksi Manajemen Laba
Menurut McNichols 2000 ada tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk proksi manajemen laba
yaitu: 1 pendekatan yang mendasarkan pada model agregat akrual, misalnya Healy 1985,
model Jones
dan modified Jones, 2 pendekatan yang mendasarkan pada model spesifik akrual, misal Beneish 1997
serta Beaver dan McNichols 1998, dan 3 pendekatan berdasarkan distribusi frekuensi, fokusnya adalah perilaku
laba yang dikaitkan dengan spesifik benchmark dimana praktik manajemen laba dapat dilihat dari banyaknya
frekuensi perusahan yang melaporkan laba di atas atau di bawah benchmark, misal Burgstahler dan Dichev 1997
serta Myers dan Skinner 1999. Untuk mendeteksi ada tidaknya manajamen laba,
maka pengukuran atas akrual adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Total akrual adalah selisih antara laba
Universitas Sumatera Utara
dan arus kas yang berasal dari aktivitas operasi. Total akrual dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: 1 bagian
akrual yang memang sewajarnya ada dalam proses penyusunan laporan keuangan, disebut normal accruals atau
non discretionary accruals, dan 2 bagian akrual yang merupakan manipulasi data akuntansi yang disebut dengan
abnormal accruals atau discretionary accruals, Utami 2005.
2.1.4. Kompensasi Eksekutif
Kerangka teori dalam kompensasi eksekutif pada umumnya membahas dua pertanyaan umum yaitu pertama,
bagaimana teori ekonomi menjelaskan kompensasi eksekutif dan kedua, apakah teori non ekonomi dapat memberikan penjelasan
kompensasi eksekutif. Berkaitan dengan pertanyaan pertama, penelitian kompensasi eksekutif didasarkan atas teori keagenan, teori
human capital dan teori turnamen, Hallock dan Murphy 1999. Teori non ekonomi yang menjelaskan kompensasi eksekutif pada
umumnya didasarkan atas teori perbandingan sosial, teori informasi dan teori kekuatan, Tosi dan Greckhamer 2004.
Otten 2008 melakukan ulasan terhadap 16 teori yang berkaitan dengan kompensasi eksekutif dan membagi teori-teori
tersebut menjadi tiga pendekatan yaitu pendekatan nilai value approach, pendekatan keagenan agency approach dan pendekatan
Universitas Sumatera Utara
simbolik symbolic approach. Menurut Otten 2008 pendekatan nilai untuk menjawab pertanyaan berapa banyak membayar how
much to pay dan didasarkan atas mekanisme pasar dan kekuatan pasar. Teori yang mendukung pendekatan ini adalah marginal
productivity theory, efficiency wage theory, human capital theory, opportunity cost theory dan superstar theory. Pendekatan keagenan
untuk menjawab pertanyaan bagaimana cara membayar how to pay dan berdasarkan atas pentingnya pengaturan tata kelola pada tingkat
perusahaan. Pendukung pendekatan ini adalah complete contract theory, prospect theory, managerial theory, dan class hegemony
theory. Pendekatan ini paling banyak digunakan dalam menjelaskan kompensasi eksekutif, Otten 2008. Pendekatan simbolik digunakan
untuk menjawab pertanyaan kompensasi apa yang seharusnya diberikan what pay ought to represent or reflect. Pendekatan ini
memberikan tambahan pemahaman konsep kompensasi eksekutif sebagai suatu fenomena sosial. Teori yang termasuk dalam
pendekatan ini adalah tournament theory, figurehead theory, stewardship theory, crowding-out theory, socially enacted
proportionality theory, social comparison theory dan implicit psychological contract theory, Otten 2008.
Finkelstein dan Hambrick 1988 dan Gomez-Mejia dan Balkin 1992 membuat analisis penelitian tentang kompensasi
eksekutif berdasarkan pendekatan teori keagenan dengan
Universitas Sumatera Utara
mengajukan usulan kerangka pikir untuk mengkaji kompensasi eksekutif. Kerangka pikir tersebut berdasarkan determinan, dimensi
dan dampak dari kompensasi eksekutif. Pendekatan Finkelstein dan Hambrick mengasumsikan bahwa kompensasi dipengaruhi oleh tiga
determinan utama yaitu faktor pasar, sosial dan politik. Dimensi kompensasi terdiri dari bonus, benefit dan nilai kontingen
kompensasi seperti opsi saham atau hak saham. Dampak kompensasi eksekutif dapat dijelaskan dalam bentuk perilaku CEO,
pemegang saham dan akhirnya kinerja perusahaan. Kompensasi memberikan dampak terhadap motivasi, keputusan untuk
bergabungtetap bekerja CEO dan bahkan terhadap level dan arah usaha CEO dan akhirnya mempengaruhi kinerja perusahaan.
Lebih lanjut, Barkema dan Gomez-Mejia 1998 menyatakan secara teoritis bahwa determinan dari kompensasi
eksekutif dapat dibagi menjadi tiga kategori umum yaitu kriteria criteria, tata kelola governance dan kontingensi contingencies.
Kriteria criteria menyangkut penentuan kompensasi eksekutif dipengaruhi oleh kinerja, skala usaha, Tosi et al., 2000, pasar
tenaga kerja Finkelstein dan Hambrick, 1989, human capital Gomez-Mejia dan Wiseman, 1997. Barkema dan Mejia 1997
menyatakan kompensasi eksekutif juga dipengaruhi oleh kriteria lainnya seperti pasar, kompensasi peer, perilaku, karakteristik
individu dan peranan atau posisi. Tata kelola governance
Universitas Sumatera Utara
menyangkut keputusan sampai berapa banyak eksekutif seharusnya dibayar didasarkan tidak hanya pada kriteria di atas, tetapi juga
tergantung pada individu yang membuat keputusan seperti Komite kompensasi Ezzamel dan Watson, 1998, struktur dan komposisi
kepemilikan Tosi dan Gomez-Mejia, 1989, pasar bagi kontrol korporat Jensen, 1983, dan skala tim eksekutif Eriksson, 1999.
Struktur dan komposisi kepemilikan meliputi keberadaan pemegang saham yang besar, pemegang saham institusi, pemegang saham
keluarga atau pemilikan manajer. Struktur dan komposisi dewan direksi yang meliputi duality CEO CEO sebagai anggota dewan
komisaris dan presiden direktur, persentase direksi yang berasal dari luar dan asal daerah dari dewan komisaris. Kontingensi
contingencies berkaitan efektivitas sistem kompensasi tergantung
apakah praktik kompensasi konsisten dengan kondisi internal dan eksternal yang dihadapi suatu perusahaan. Oleh karena itu,
faktor seperti strategi organisasi Finkelstein dan Boyd, 1998, industri, tingkat RD Gomez-Mejia, 2001, dan strategi bisnis
Sander dan Carpenter, 1998 memainkan peranan penting dalam kompensasi eksekutif.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Tinjauan Penelitian Terdahuhulu
Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian Wei Ting et al 2009. Beberapa perbedaan dengan penelitian tersebut yaitu: Pertama,
model deteksi risiko kebangkrutan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Altman Z-Score, karena model ini cukup populer dan banyak
digunakan dalam penelitian tentang risiko kebangkrutan di Indonesia, sehingga diharapkan lebih mudah dalam interpretasi hasilnya. Kedua,
populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di bursa efek Indonesia untuk periode 2008 sampai dengan
2010. Pemilihan perusahaan manufaktur sebagai populasi dimaksudkan untuk menghindari efek perbedaan industri yang signifikan, dan juga
dikarenakan jumlah perusahaan dalam industri manufaktur cukup besar. Ketiga, pengukuran kompensasi eksekutif menggunakan total remunerasi
dewan komisaris dan dewan direksi, dikarenakan data terkait rincian kompensasi eksekutif belum banyak diungkapkan dalam laporan keuangan
perusahaan publik di Indonesia. Keempat, metode analisis yang dilakukan adalah analisis regresi berganda, dimana data terlebih dahulu diuji untuk
memenuhi asumsi-asumsi dasar kriteria ekonometrika melalui uji Asumsi Klasik. Sementara persamaan dengan penelitian tersebut yaitu penggunaan
model Jones yang dimodifikasi Modified Jones Model untuk mengukur manajemen laba.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Perbedaan dan Persamaan dengan Penelitian Terdahulu
No.
Kriteria Penelitian Ini
Penelitian Wei Ting et al.
1
Pengukuran risiko
kebangkrutan Model Altman Z-Score
Model KMV
2
Pengukuran manajemen
laba Model Jones yang
dimodifikasi Modified Jones Model
Model Jones yang dimodifikasi
Modified Jones Model
3
Pengukuran kompensasi
eksekutif Total kompensasi yang
diterima dewan direksi dan komisaris
Kompensasi yang diterima oleh tiga orang eksekutif
yang dibayar paling tinggi
4
Populasi Perusahaan manufaktur
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia untuk
periode 2008 sd 2010 Seluruh perusahaan yang
terdaftar di Bursa Efek China untuk periode 2001
sd 2005
5
Metode analisis
Regresi linear berganda Regresi data panel
Studi tentang kompensasi eksekutif CEO banyak dilakukan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris dan Jepang. Studi ini
pada umumnya membahas kompensasi eksekutif dari berbagai disiplin ilmu ekonomi, keuangan, akuntasi dan manajemen. Sebagian besar studi empiris
yang dilakukan sebelumnya pada umumnya dilakukan di AS dan Inggris karena ketersediaan data kompensasi CEO yang lebih baik.
Kompensasi Eksekutif dan Risiko kebangkrutan
Penelitian kompensasi eksekutif dalam bidang ekonomi sebagian besar membahas hubungan antara kompensasi eksekutif
dengan kinerja perusahaan. Berdasarkan bukti empiris, variabel kinerja memberikan pengaruh yang beragam terhadap kompensasi eksekutif pada
berbagai industry, Barkema dan Gomez-Mejia 1998. Mengistae dan Xu
Universitas Sumatera Utara
2004 meneliti hubungan teori keagenan dan kompensasi eksekutif dengan mengambil kasus perusahaan milik negara di China. Hasil kajian
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang berlawanan antara kompensasi eksekutif dengan kinerja. Sementara itu, Geiger dan Cashen
2007 menyimpulkan bahwa hasil penelitian telah gagal membuktikan hubungan yang kuat antara kompensasi eksekutif dengan kinerja
perusahaan. Mitchell 2002 dalam disertasinya melakukan kajian terhadap 88
perusahaan dan 88 CEO di Amerika Serikat. Variabel yang digunakan adalah variabel dependen berupa variabel kompensasi CEO yang diukur dari
gaji, bonus, bentuk lain kompensasi seperti mobil, saham dan variabel kinerja perusahaan yang diukur dari Return on Asset ROA. Variabel lain
yang digunakan adalah variabel independen dengan indikator pengukuran adalah tenure, umur, persentase pemilikan saham, pendidikan dan dualiti.
Dengan menggunakan Pearson Product Moment Correlation dan analisis regresi, hasil penelitian Mitchell menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
antara kompensasi CEO dengan variabel independen.
Gamayuni 2007 meneliti praktik manajemen laba pada perusahaan yang mengalami kebangkrutan di Indonesia. Dengan
menggunakan uji beds non parametric yaitu Mann Whitney Test penelitian ini membukt ikan bahwa terdapat manajemen laba dengan cara menaikkan
laba discretionary accrual positive yang lebih tinggi secara signifikan pada
Manajemen Laba dan Risiko Kebangkrutan
Universitas Sumatera Utara
perusahaan bangkrut dibandingkan dengan perusahaan tidak bangkrut pada empat tahun sebeium terjadinya kebangkrutan. Pada tiga tahun sebelum
kebangkrutan ditemukan manajemen laba dengan cara menurunkan laba discretionary accruals negative yang lebih kuat pada perusahaan bangkrut
dibandingkan dengan perusahaan tidak bangkrut, namun tidak signifikan. Pada dua tahun sebelum kebangkrutan terdapat manajemen laba dengan cara
menaikkan laba yang lebih tinggi pada perusahaan bangkrut dibandingkan pada perusahaan tidak bangkrut, tetapi tidak signifikan.
Sriwedari 2007 dalam tesisnya tentang mekanisme good corporate governance, manajemen laba dan kinerja keuangan perusahaan
manufaktur di Indonesia membuktikan bahwa manajemen laba memberikan pengaruh negatif tidak signifikan terhadap kinerja keuangan.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.2 Review Penelitian Terdahulu
No Nama Peneliti
Judul Penelitian Variabel Penelitian
Hasil Penelitian 1
Wei Ting et.al.
2009 Top
Management Compensation,
Earnings Management
And Default Risk
Independen : Top Management
Compensation, Earnings
Management Dependen :
Default Risk Manajemen laba dan
kompensasi manajemen puncak berpengaruh
signifikan terhadap risiko kebangkrutan
2 Ozkan
2007 CEO
Compensation And Firm
Performance Independen :
CEO Compensation
Dependen : Firm Performance
Terdapat hubungan positif dan pengaruh
signifikan kompensasi kas terhadap kinerja
perusahaan. Sementara total
kompensasi mempunyai hubungan positif tetapi
tidak signifikan terhadap kinerja
perusahaan.
3 Sriwedari
2009 Mekanisme
Good Corporate
Governance, Manajemen
Laba dan Kinerja
Keuangan Independen :
kepemilikan institusional,
kepemilikan manajerial,
proporsi dewan komisaris
independen dan komite audit.
Manajemen Laba Dependen :
Manajemen laba. Kinerja Keuangan
Secara simultan kepemilikan
institusional, kepemilikan manajerial,
proporsi dewan komisaris independen
dan komite audit memberikan pengaruh
positif tidak signifikan terhadap
manajemen laba, dan manajemen laba
memberi
pengaruh negatif tetapi tidak
signifikan terhadap kinerja
keuangan.
4 Gamayuni
2007 Manajemen
Laba pada Perusahaan
yang Mengalami
Kebangkrutan di Indonesia
Studi kasus pada
perusahaan delisting di
BEI Manajemen Laba,
Kebangkrutan Terdapat tindakan
manajemen laba baik
discretionary accrual positif maupun
discretionary accrual negatif pada
perusahaan beberapa tahun
sebelum mengalami
kebangkrutan.
Universitas Sumatera Utara
2.3. Kerangka Konseptual