BAB I PENDAHALUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara small open economy sehingga imbas dari krisis finansial global sangat mempengaruhi kondisi perekonomian
dalam negeri. Salah satu dampak dari krisis finansial global adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008. Hal ini
tampak dari menurunnya kinerja neraca pembayaran, dimana dikarenakan krisis global permintaan terhadap barang ekspor Indonesia mengalami
penurunan. Situasi seperti ini tentunya akan sangat berpengaruh buruk terhadap kinerja perusahaan-perusahaan di dalam negeri. Kesulitan ekonomi
bagi sebagian besar perusahaan hampir pasti meningkatkan risiko kegagalan dalam bisnis. Menurut Fakhrurozie 2007:16 kebangkrutan akan cepat
terjadi pada perusahaan yang berada di negara yang sedang mengalami kesulitan ekonomi, karena kesulitan ekonomi akan memicu semakin
cepatnya kebangkrutan perusahaan. Investor selaku pemilik modal tentunya mempunyai pilihan apakah
akan tetap mempertahankan investasinya pada perusahaan tertentu atau mengalihkannya ke bentuk investasi lain yang memiliki tingkat risiko yang
lebih rendah ataupun ke perusahaan lain yang mereka nilai akan memberikan tingkat pengembalian investasi yang lebih baik bahkan dalam
kondisi ekonomi yang buruk. Keadaan seperti ini cenderung mendorong
Universitas Sumatera Utara
pihak pengelola perusahaan untuk memanfaatkan asimetri informasi melalui tindakan manajemen laba.
Copeland 1968:10 mendefinisikan manajemen laba sebagai, “some ability to increase or decrease reported net income at will”. Ini
berarti bahwa manajemen laba mencakup usaha manajemen untuk memaksimumkan, atau meminimumkan laba, termasuk perataan laba sesuai
dengan keinginan manajemen. Hal ini dilakukan tentunya dengan maksud agar investor tidak menarik modalnya sehingga perusahaan dapat terus
beroperasi. Namun, dalam beberapa situasi, informasi yang cenderung tampak baik juga akan meningkatkan kehati-hatian investor dalam
berinvestasi. Penelitian terbaru yang menganalisis reaksi investor terhadap manajemen laba dilakukan oleh Gavious 2007. Gavious meneliti
kemampuan investor dalam mendeteksi manajemen laba pada saat pengumuman laporan keuangan dan masa setelah pengumuman dengan
dihubungkan pada informasi yang didapat oleh investor dari para analis. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa setelah 30 hari dari pengumuman
laporan keuangan dengan berbagai informasi yang dikeluarkan oleh analis, investor mulai menyadari adanya manajemen laba pada laporan keuangan.
Informasi seperti ini akan menyebabkan investor lebih berhati-hati dalam berinvestasi sehingga perusahaan akan sulit memperoleh modal. Pada
akhirnya kinerja perusahaan akan memburuk dan risiko kegagalan bisnisnya akan meningkat. Penelitian lain yang menganalisis reaksi investor terhadap
praktik manajemen laba dilakukan oleh Wahyuningsih 2007. Dalam
Universitas Sumatera Utara
tesisnya dijelaskan bahwa pasar akan bereaksi negatif terhadap praktik manajemen laba – income increasing discretionary accrual.
Tindakan manajemen laba telah memunculkan beberapa kasus skandal pelaporan akuntansi yang secara luas diketahui, antara lain Enron,
Merck, World Com dan mayoritas perusahaan lain di Amerika Serikat, Cornett et.al 2006. Beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, seperti PT.
Lippo Tbk dan PT. Kimia Farma Tbk juga melibatkan pelaporan keuangan financial reporting yang berawal dari terdeteksi adanya manipulasi,
Boediono 2005. Fenomena ini menunjukkan bahwa terjadinya skandal keuangan merupakan kegagalan laporan keuangan untuk memenuhi
kebutuhan informasi para pengguna laporan. Nelson et al. 2000 meneliti praktik manajemen laba yang
dilakukan oleh manajemen di Amerika Serikat dan mengidentifikasi penyebab auditor membiarkan manajemen laba tanpa dikoreksi. Dengan
memakai data 526 kasus manajemen laba yang diperoleh dengan cara survey pada kantor akuntan publik yang tergolong the big five disimpulkan
bahwa: 1 60 dari sampel melakukan usaha manajemen laba yang berdampak pada meningkatnya laba tahun berjalan, sisanya 40 berdampak
pada penurunan laba, 2 manajemen laba yang paling banyak dilakukan adalah yang berkaitan dengan cadangan reserve, kemudian berdasarkan
urutan frekuensi kejadian adalah : pengakuan pendapatan, penggabungan badan usaha, aktiva tidak berwujud, aktiva tetap, investasi, sewa guna usaha.
Universitas Sumatera Utara
Tindakan manajemen laba tidak hanya dilakukan oleh manajemen untuk menarik investor tetapi juga untuk memaksimalkan keuntungan
pribadi melalui kompensasi yang diterimanya. Para eksekutif perusahaan umumnya dibayar berdasarkan kinerja mereka, sehingga menciptakan
informasi yang menunjukan kinerja perusahaan yang baik menjadi suatu hal yang sering dilakukan. Program opsi saham, seperti yang banyak dilakukan
di perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat tentunya merupakan suatu pendorong bagi eksekutif perusahaan untuk menjaga kesinambungan
pertumbuhan perusahaan dan tidak jarang dilakukan dengan menyampaikan informasi yang tidak benar pada pengguna laporan keuangan.
Di sisi lain, perencanaan kompensasi yang baik juga dapat meningkatkan kinerja eksekutif. Hal ini dikarenakan, melalui rencana
kompensasi yang baik dan jelas, para eksekutif perusahaan akan mendapat jaminan akan kesinambungan nilai arus kas yang akan diterimanya.
Sehingga rencana kompensasi yang baik akan meningkatkan kinerja perusahaan dan menurunkan risiko kebangkrutannya.
Kompensasi eksekutif merupakan topik yang banyak menjadi perhatian dalam perdebatan dan penelitian sejak tahun 1990an di negara-
negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris. Perdebatan tentang kompensasi eksekutif menjadi topik utama dalam kehidupan bisnis di
media masa seperti surat kabar dan majalah, Otten 2008. Sebagian besar perdebatan tersebut berfokus pada semakin tingginya kompensasi yang
diterima eksekutif tetapi kurang terkait dengan kinerja perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
Perdebatan tersebut muncul karena semakin meningkatnya upaya untuk menerapkan corporate governance pada perusahaan-perusahaan go
public di negara-negara maju melalui transparansi alasan penentuan kompensasi eksekutif, Hijati dan Bhatti 2007. Alasan lain karena
adanya opsi saham memungkinkan seorang eksekutif sebuah perusahaan mendapat insentif yang sangat besar dan hal ini menimbulkan anggapan
bahwa para eksekutif dibayar melebihi kinerjanya. Di Indonesia, sepengetahuan penulis, penelitian tentang pengaruh
kompensasi eksekutif masih jarang dilakukan, penelitian-penelitian sebelumnya juga lebih menekankan pada faktor-faktor yang mempengaruhi
kompensasi eksekutif, seperti misalnya penelitian yang dilakukan oleh Vidyatmoko, 2010. Hal ini dikarenakan sulitnya memperoleh informasi
yang lengkap terkait kompensasi eksekutif pada perusahaan publik di Indonesia. Tidak seperti di Amerika Serikat, dimana keterbukaan informasi
terkait berapa gaji yang dibayarkan pada seorang CEO dapat mudah diketahui, di Indonesia informasi seperti ini masih dianggap kurang pantas
diungkapkan. Sebagian besar perusahaan publik di Indonesia hanya mencantumkan total remunerasi yang diberikan pada dewan komisaris dan
dewan direksi. Dari hasil penelitian yang dilakukan Bisnis Indonesia 2006
menunjukkan bahwa hanya 33 perusahaan dari 181 sampel perusahaan publik yang secara spesifik mengumumkan kepada publik tentang
kompensasi eksekutif direksi dan komisaris. Dari 33 perusahaan tersebut
Universitas Sumatera Utara
ternyata hanya sembilan yang mencantumkan gaji direksi dengan empat di antaranya mencantumkan dengan detail berapa seorang direktur
utama, wakil direktur utama, direktur, komisaris utama, komisaris, dan sekretaris komisaris dibayar. Sisanya, kebanyakan hanya memberi
patokan kompensasi komisaris, dan melimpahkan wewenang pada komisaris dala m menentukan kompensasi direksi, Vidyatmoko 2010.
1.2. Perumusan Masalah