Latar Belakang Keluarga PROFIL MUHAMMAD ‘ARIFUN

Ayah Muhammad „Arifun meninggal dunia tahun 1934, ketika „Arifun berumur 7 tahun. Sejak ditinggal ayahnya, Ia belajar al- Qur‟an kepada kakak kandungnya Baidhowi. Kemudian setelah berumur 10 tahun, ia belajar kepada Raden KH.Abdul Aziz, pengasuh Pesantren Bustanul Ulum al-Wafa Temporejo, Jember, Jawa Timur. Ketika berumur 19 tahun, „Arifun diperintahkan KH.Abdul Aziz untuk memgembala kerbau. Selain itu, ia juga diperintahkan untuk menjadi “Khadimul Bayt” Pembantu rumah. Ia membantu beberapa pekerjaan yang ada di pesantren seperti mengajar santri, dan jual beli kitab. Ia menghabiskan masa kecil sampai masa dewasanya selama 19 tahun di Pesantren Bustanul Ulum al- Wafa Temporejo, sejak tahun 1937 sampai tahun 1962. 4 Pada tahun 1963, „Arifun menikahi Nyai Shofiyah. Pertemuannya dengan Nyai Shofiyah berawal dari acara Maulid di Pesantren Darul Ulum Al-Ishaqi. Saat itu, „Arifun statusnya sebagai santri Pesantren al-Wafa Temporejo. Ia diperintahkan ayah Nyai Shofiyah yaitu Kiai Ishaq yang juga sebagai pengasuh Pesantren Darul Ulum Al-Ishaqi, untuk membaca kitab dardir dalam acara Maulid Nabi di Pesantren Darul Ulum al-Is aqi. Karena kepiawaian „Arifun dalam bacaan kitab Dardir, 5 ia diminta Kiai Ishaq untuk menikahi putrinya yaitu Nyai Shofiyah. Awalnya „Arifun menolak, karena merasa tidak pantas dengan putrinya. Namun, 4 Wawancara Pribadi dengan Muhammad „Arifun. 5 Martin van Bruennessen, mengelompokkan kitab Dardir ke dalam kitab sejarah hidup Nabi sirah dan karya penghormatan untuk Nabi Saw. Kitab tersebut Menurut Martin adalah kitab yang dijadikan bahan mata pelajaran di sejumlah pesantren di Indonesia. Menurut Martin, kitab Dardir merupakan syarh yang disusun oleh Ahmad al-Dardir atas kitab Mi’ j perjalanan Nabi ke langit versi Najm al-Din al-Ghaithi. Menurut Martin, kitab Dardir penggunaannya bersifat ritual. Penggunaan utama kitab tersebut bukanlah ditujukan untuk keperluan pendidikan, tetapi untuk tujuan pemujaan dan ibadah. Kitab tersebut biasanya dapat dibaca secara pribadi sebagai suatu perbuatan amal baik, dan biasanya kitab tersebut juga dibaca secara berjama‟ah di depan banyak orang dalam berbagai acara sebagaimana yang dijelaskan Martin dalam Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat. Lihat, Martin van Bruennessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Bandung: Penerbit Mizan, 1999, h.168. Kiai Ishaq menegaskan kepada Kiai „Arifun, bahwa ia tidak membutuhkan menantu yang kaya dengan harta, melainkan menantu yang kaya akan ilmu. Akhirnya „Arifun menikahi Nyai Shofiyah yang saat itu masih berumur 17 tahun. Hasil pernikahan Muhammad „Arifun dengan Nyai Shofiyah, dikaruniai empat anak, dua anak laki-laki dan dua anak perempuan. Anak pertama bernama Abdul Bari , ia sekarang ada bersama Kiai „Arifun di Pesantren al-Ishaqi. 6 Anak kedua bernama Kha iruddin, ia sekarang juga ada bersama Kiai „Arifun di Pesantren al- Ishaqi. Anak ketiga bernama Munirah, ia sekarang menjadi pengasuh di Pesantren Mambaul Ulum Jember. Anak keempat bernama Tuhfatul Mardiah, ia sekarang juga ada bersam a Kiai „Arifun di Pesantren al-Ishaqi. 7 Pada tahun 1990, istri Muhammad „Arifun meninggal dunia. Sejak ditinggal istrnya, ia belum menikah lagi, karena begitu besar rasa cintanya terhadap istri. Sejak tahun 1990, Muhammad „Arifun mulai berpuasa setiap hari sampai sekarang. Setiap hari, makanan sahurnya dengan nasi putih saja, dan berbuka puasa dengan pisang. 8 Muhammad „Arifun merupakan sosok yang sederhana. Selain itu, ia juga pekerja keras. Hal tersebut terlihat dari aktifitasnya selama di pesantren yaitu jual beli kitab atas perintah Kiainya. 9 Muhammad „Arifun juga dikenal sebagai seorang kiai dan da‟i Muballigh di Jember. Namun, saat ini ia sudah mulai mengurangi aktifitas dakwahnya di berbagai daerah, karena umurnya hampir menginjak satu abad. Sehingga kondisi badannya tidak boleh terlalu kelelahan. Aktifitasnya saat ini adalah mengajar santri setiap setelah shalat subuh. Selain itu, ia juga menjaga toko kitab miliknya dengan ditemani santrinya. 6 Wawancara Pribadi dengan Muhammad „Arifun. 7 Wawancara Pribadi dengan Abdul Bari, Jakarta, 5 Februari 2015. 8 Wawancara Pribadi dj engan Muhmmad „Arifun. 9 Wawancara Pribadi dengan Muhammad „Arifun. Alasan Kiai „Arifun menjaga toko kitab yaitu, agar anak-anaknya belajar mandiri dalam mengelola Pesantren Darul Ulum al-Is aqi. 10 Pesantren Darul Ulum al-Is aqi didirikan pada tahun 1946. Pengasuh pertamanya yaitu Kiai Ishaq, mertua dari Kiai „Arifun. Ia mengelola pesantren sejak tahun 1946-1951. Sedangkan pada tahun 1951-2004 Pesantren al-Ishaqi dikelola Kiai Umar. Kemudian tahun 2004-2014, pesantren tersebut dikelola oleh Kiai „Arifun. Pesantren Darul Ulum al-Is aqi, awalnya bercorak salafî 11 ketika dipimpin Kiai Ishaq dan Kiai Umar. Kemudian semenjak dipimpin Muhammad „Arifun, pesantren tersebut menggabungkan dua corak yaitu corak salafî dengan corak modern. 12 Pesantren tersebut saat ini tidak hanya mempelajari ilmu agama melalui kitab-kitab klasik, tetapi juga mempelajari pengetahuan umum dengan mendirikan sekolah Madrasah Ibtidaiyyah MI, sekolah Menengah Pertama 10 Wawancara Pribadi dengan Muhammad „Arifun. 11 Menurut Daniel Rabitha, pesantren salafiah dikategorikan sebagai awal atau tradisional selain karena kesederhanaannya juga karena penggunaan dari metode sorogan dan bandongan dalam mempelajari agama islam. Pondok pesantren tradisional atau salafiah adalah pesantren yang mengajarkan kitab yang ditulis dengan menggunakan bahasa Arab. Pola pengajarannnya dengan menerapkan sistem halaqah yang dilaksanakan di masjid atau surau. hakikat dari system halaqah adalah hafalan. Ilmu yang diperoleh santri sama dengan apa yang diberikan kyai. kurikulum tergantung sepenuhnya kepada para kyai pengasuh pondoknya. Ada santri yang menetap di dalam pondok santri mukim, dan yang tidak menetap[ di dalam pondok santri kalong. Lihat, Daniel Rabitha , “Pembelajaran Tuntas Pada Pondok Pesantren; Studi Keunggulan dan Kelemahan Metode Sorogan-Bandongan Pada Pondok Pesantren Al-Ittifaaqiah Sumatera Selatan ,” Jurnal Penamas XXIII, no-1 2010: h.35- 43. 12 Menurut Daniel Rabitha, dalam artikelnya “Pembelajaran Tuntas Pada Pondok Pesantren; Studi Keunggulan dan Kelemahan Metode Sorogan-Bandongan Pada Pondok Pesantren Al-Ittifaaqiah Sum atera Selatan,” Pesantren khalaf modern adalah pesantren yang ditunjang dengan fasilitas yang memadai, juga kaya akan penggunaan metode pembelajaran seperti kursus, klasikal dll. pondok pesantren modern menurutnya meruapakan pengembangan tipe pesantren karena orientasi belajarnya cenderung mengadopsi seluruh system belajar modern secara klasikal dan meninggalkan system belajar tradisional. penerapan system belajar modern ini terutama tampak pada bangunan kelas-kelas belajar, baik dalam bentuk madrasah maupun sekolah atau madrasah yang berlaku secara nasional. santrinya ada yang menetap da nada yang tersebar di sekitar desa itu. kyai berperan sebagai coordinator pelaksana proses belajar mengajar langsung di kelas. perbedaaannnya dengan sekolah dan madrasah terletak pada porsi pendidikan agama dan bahasa arab yang lebih menonjol sebagai kurikulum lokal. Lihat, Daniel Rabitha, “Pembelajaran Tuntas Pada Pondok Pesantren; Studi Keunggulan dan Kelemahan Metode Sorogan-Bandongan Pada Pondok Pesantren Al-Ittifaaq iah Sumatera Selatan,” h.35- 44. SMP, dan Sekolah Menengah Kejuruan SMK. 13 Di usia Muhammad „Arifun yang hampir satu abad, ia tetap produktif dalam penerjemahan kitab. Salah satu karyanya adalah terjemahan Tafsîr l-J l lain yang berjudul “ j m r l- J l lain litashîli al-Fikri Bahasa Madura.

B. Sejarah Sosial Intelektual

Pendidikan al- Qur‟an „Arifun diperoleh dari kakak kandungnya Baidowi di Pesantren Jeruk, Jombang, Jember, Jawa Timur. Setelah berusia 10 tahun, ia berguru kepada Kiai „Abdul „Aziz w. 1961. Kiai „Abdul „Aziz adalah pendiri dan Pengasuh Pesantren Bustanul Ulum al-Wafa 14 Temporejo Jember, ia adalah murid dari Kiai Kholil al-Bangkalani. 15 Kiai Abdul Aziz adalah anak keempat dari tujuh bersaudara dari Kiai Abdul Hamid bin Kiai Itsbat. Sedangkan Kiai Hamid Bata-Bata Pamekasan adalah putra kelima dari Kiai Itsbat Bani Itsbat, seorang pendiri Pesantren Mambaul Ulum Banyuanyar, Kecamatan Palengaan, Kabupaten Pamekasan Madura. 16 Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa Kiai Abdul „Aziz merupakan gurunya Kiai „Arifun dan Kiai Abdul „Aziz sendiri merupakan murid dari 13 Wawancara Pribadi dengan Muhammad „Arifun. 14 Nama pesantren “Al-Wafa” berasal dari nama asli Kiai Abd.Aziz yaitu Muhammad „Ali Wafa. Kemudian sepulangnya dari ibadah haji, namanya diganti dengan „Abdul „Aziz. Lihat Wawancara Pribadi dengan Muhsinin Bawazir, Bangkalan, 28 Oktober 2013. 15 Syaikhona Muhamnmad Kholil Bangkalan terlahir dari kalangan ulama yang alim dan kharismatik, yakni Kiai Abdul Lathif yang silsilahnya bersambung hingga Rasulullah Saw. Syaikhona Kholil dilahirkan di Bangkalan pada hari Ahad Pahing 11 Jumadil Akhir 1235 H. bertepatan dengan 14 Maret 1820 M. Adapun Wafatnya pada hari Kamis, 29 Ramadhan 1343 H atau 24 April 1925 M. Syaikhona Kholil juga meninggalkan karya intelektual di antaranya: 1 as- Silah fi Bayâni al-Nikah, 2 rangkaian sholawat dalam kitab I’ n l-râqibîn, 3 dzikir dan wirid dalam kitab l- aqibah yang dihimpun oleh K.H.Bisri Musthafa, 4 Tarjamah Alfiyyah dalam bentuk manuskrip, 5 kitab A m ’ul Hu n berbentuk n m dengan penjelasan Bahasa Jawa dan Madura juga dalam bentuk manuskrip, 6 ijazah berupa doa dan amalan-amalan atau hizib yang tersebar di sejumlah kiai. Selain kitab-kitab tersebut, Syaikhona Kholil juga menulis al- Qur‟an dengan tangannnya sendiri. Kemudian juga ada beberapa kerajinan tangan seperti pedang, dsb. Karya-karya tersebut sebagaian tersimpan di Museum Tjakraningrat. Lihat, Nico Ainul Yakin, ed., Syaikhona Kholil Bangkalan, Penentu Berdirinya Nahdlatul Ulama Surabaya: Khalista, 2012, h.62-75. 16 Wawancara Pribadi dengan Muhsinin Bawazir, Bangkalan, 28 Oktober 2013. Syaikhona Kholil Bangkalan Madura. 17 Menurut Abdurrahman Wahid, seperti dikutip Fuad Amin Imron Cicit Syaikhona Kholil Bangkalan, menyatakan bahwa Syaikhona Kholil adalah ulama besar yang menjadi guru dari hampir semua kiai terpandang di seluruh Jawa. 18 Pernyataan tersebut sependapat dengan Martin van Bruinessen, seperti dikutip Fuad Amin Imron, yang menilai bahwa Kiai Kholil adalah Kiai Madura paling awal yang masih dikenang dan dihormati oleh generasi sampai sekarang. Kemudian menurut Martin, Kiai Kholil juga dianggap sebagai nenek moyang spiritual dan intelektual oleh para kiai di Jawa Timur dan Madura. 19 Fuad Amin Imron, dalam bukunya berjudul Syaikhona Kholil Bangkalan, Penentu Berdirinya Nahdlatul Ulama, menyatakan bahwa selama belajar di Mekkah pada tahun 1959, Syaikhona Kholil Bangkalan berteman dengan Abdul Ra‟uf Singkel, 20 seorang penulis tafsir Tarjumân al-Mustafîd. 21 Fuad Amin Imron, menambahakan bahwa selama belajar di Mekkah, Syaikhona Kholil Bangkalan juga belajar kepada ulama berpengaruh berpaham ahlussunnah wal jamaah dan bermadzhab Syafi„i, salah satunya yaitu Muhammad Nawawi al- 17 Nama Ali Wafa, kemudian diaganti namanya dengan „Abdul „Aziz setelah sepulangnya ibadah haji dari Mekkah adalah murid dari Syaikhona Kholil Bangkalan. Lihat, Nico Ainul Yakin, ed., Syaikhona Kholil Bangkalan, Penentu Berdirinya Nahdlatul Ulama, h.173. 18 Fuad Amin Imron, seperti dikutip dari KH.Ali Bin Badri Azmatkhan, lebih lanjut menyebutkan sejumlah murid Syaikhona Kholil di antaranya, 1Kiai Ali Wafa Abdul „Aziz Temporejo, Jember, 2Kiai Abdul Majid Bata-Bata, Pamekasan, Kiai Munawwir Krapyak, Yogyakarta, 3 Kiai Hasyim Asy‟ari Tebu Ireng, 4Kiai Wahab Hasbullah Tambek Beras, 5K.H Abdul Hamid Itsbat Banyuanyar Pamekasan, 6 Soekarno Presiden Pertama RI, dan masih banyak nama-nama lainnya. Lihat, Nico Ainul Yakin, ed, Syaikhona Kholil Bangkalan, Penentu Berdirinya Nahdlatul Ulama, h.173-174. 19 Ibid., h.172. 20 Ibid., h.68. 21 Menurut Azyumardi Azra, nama lengkap Abdul al- Ra‟uf al-Sinkili 102411051615- 1693, adalah Abdul Ra‟uf Bin „Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkili, ia dilahirkan pada tahun 10241615. Abdul al- Ra‟uf adalah seorang Melayu dari Fansur, Sinkil modern:Singkel, di wilayah Pantai Barat Laut Aceh. Menurut Hasjmi, nenek moyang al-Sinkili berasal dari Persia yang datang ke Kesultanan Samudera Pasai pada akhir abad ke-13. Mereka kemudian menetap di Fansur Barus, sebuah kota pelabuhan tua yang penting di Pantai Sumatera Barat. Lihat dalam Azyumardi Azra, Jaringan Ulama:Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII XVIII Jakarta:Kencana, 2013, h.239-270.