Model Terjemahan lokal TINJAUAN UMUM PENERJEMAHAN AL-

Sedangkan contoh model kedua, adalah terjemah karya tafsir selain Tarjumân al- Mustafîd yaitu tafsir era modern, seperti Tafsîr al-Bayân karya Hasbi as- Shiddiqy. 42 Berbicara tentang penerjemahan buku berbahasa Arab di Indonesia, Abdul Munip, 43 mengklasifkasikan jenis terjemahan kitab Bahasa Arab ke dalam dua bentuk: 1Terjemahan yang berpihak kepada teks bahasa sumber 2Terjemahan yang berpihak kepada bahasa sasaran. Berikut uraian masing-masing terjemahan tersebut: 44 Terjemahan yang berpihak kepada teks sumber terdiri dari dua bentuk yaitu: 1Terjemah harfiah gandul tanpa penjelasan dan 2Terjemah harfiah gandul disertai penjelasan. Terjemah harfiah gandul tanpa penjelasan adalah suatu bentuk atau model terjemahan harfiah gandul ditandai dengan dicantumkannya naskah Arab asli yang lengkap dengan syakalnya. Sedangkan naskah terjemahannya ditulis menggantung dibawahnya dengan pola kemiringan 30-45 derajat ke arah kiri. Naskah terjemahan juga ditulis dengan huruf Arab pegon, ada yang dilengkapi dengan syakal dan ada pula yang tidak disertai dengan syakal. Sedangkan terjemah harfiah gandul disertai penjelasan adalah jenis terjemahan harfiah gandul yang banyak ditemui di Jawa yang disertai dengan penjelasan penerjemah mengenai murâd. Terjemahan tersebut, bentuknya bisa berupa catatan kaki, dan komentar penerjemah. 45 Sedangkan terjemahan yang berpihak kepada teks bahasa sasaran 42 Ibid., h.24-27. 43 Abdul Munip adalah dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Lihat, Abdul Munip, Problematika Bahasa Arab Ke Bahasa Indonesia; Suatu Pendekatan Error Analysis. Artikel ini diakses pada tanggal 19 November 2013 dari www.digilib.uin-suka.ac.id8008. 44 Abdul Munip, Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia;Studi Tentang Penerjemahan Buku Berbahasa Arab di Indonesia 1950-2004 Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, 2010, h.294-308. 45 Ibid.,h.295-308. terdiri dari dua bentuk: 1Terjemah harfiah non gandul dan 2terjemahan harfiah tanpa menyertakan teks aslinya. Terjemah harfiah non gandul, adalah model penerjemahan yang masih menyertakan teks asli. Naskah terjemahannya ditulis terpisah, ada dibawah garis yang memisahkan antara teks asli dan teks terjemahan. Seperti yang ada pada kitab Lubâb al- M ’ ni fî Tarjamah al-Lujjan al- ani fî Manâqib Sayyid Syaikh Abd al-Qadîr al-Jailani Karya Ja‟far al-Barzanji yang diterjemahkan oleh Abu Muhammad Menara Kudus, 1953. Sedangkan terjemahan harfiah tanpa menyertakan teks aslinya adalah corak penerjemahan harfiah yang tidak menyertakan teks aslinya, seperti terjemahan al-Hikam karya Kiai Shaleh Darat tahun 1298. 46 Ada perbedaan pendapat tentang istilah karakteristik terjemahan model gandul. Martin van Bruinnessen menyebut format umum kitab kuning 47 yang dipelajari di pesantren adalah “Format jenggotan.” Karena terjemahan sela baris yang ditulis moncong dengan tulisan lebih kecil dibawah teks Arab. Selain itu, menurutnya ada tambahan terjemahan dan atau komentar yang lebih bebas, dan secara umum karakter fisik lain dari kitab klasik adalah mengandung makna simbolik. 48 Berbeda dengan Azyumardi Azra, ia menyebut model terjemahan kitab kuning dengan “Terjemahan antar baris,” karena bahasa sumbernya Arab tetap ditulis seutuhnya. Kemudian bahasa lokalnya ditempatkan dibawah baris- baris teks yang berbahasa Arab. Terjemahan antar baris tersebut, menurutnya mempunyai dua aktifitas dalam penerjemahannya. Pertama, menerjemahkan teks 46 Ibid., h.293-309. 47 Penamaan istilah kitab kuning dikarenakan kertas buku yang berwarna kuning dibawah yang dibawa dari Timur Tengah pada awal abad kedua puluh. Lihat, Martin van Bruennessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Bandung: Penerbit Mizan, 1999, h.132. 48 Ibid., h.141-12. Arab yang bersifat harfiyyah. Kedua, menuliskan komentar-komentar atau tafsir singkat atas pembahasan teks di halaman yang bersangkutan. 49 Lanjut Azyumardi Azra, model terjemah harfiah model gandhul mempunyai beberapa karakteristik di antaranya. Pertama, penggunaan huruf Arab yang disesuaikan dengan bahasa daerah masing-masing. Suku Sunda dan Jawa menamakan istilah tersebut dengan pegon. 50 Banyuangi disebut peggu. 51 Sedangkan di Madura tulisan Arab yang menggunakan Bahasa Madura disebut peggu. 52 Kedua, pencantuman simbol- simbol posisi kata. ketiga, Istilah-istilah kunci dalam terjemahan harfiahnya. Menurut Titik Pudjiastuti, istilah pegon berasal dari Bahasa Jawa ”Pego” yang artinya tidak lazim dalam mengucapkan bahasa Jawa yang ditulis dengan aksara Arab, sehingga menjadi aneh ketika diucapkan. Kemudian menurutnya teks Jawa yang ditulis dengan huruf Arab disebut “Teks pego” sesuatu yang menyimpang. Sedangakan pegon mempunyai dua macam variasi tulisan, yaitu pegon tanpa harokat dan pegon berharakat. 53 Menurut Titik Pudjiastuti, istilah kata pegon berasal dari pesantren, yaitu ketika seorang murid belajar membaca 49 Azyumardi Azra, “Naskah Terjemahan Antarbaris Kontribusi Kreatif Dunia Islam Melayu Indonesia, dalam Hendri Chamber Loir,ed., Sadur Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia Jakarta:Kepustakaan Populer Gramedia, 2009, h.440-441. 50 Mafri Amir dan Lilik Ummi Kaltsum, Literatur Tafsîr Indonesia Jakarta:Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, h.85. 51 Titik Pudjiastuti, Seri Kajian Filologi; Naskah dan Studi Naskah Akademia:Bogor, 2006, h.44-45. 52 Edi Sedyawati, dkk., ed., Sastra Jawa: Suatu Tinjauan Umum Jakarta: Pusat Bahasa Balai Pustaka, 2001, h.84; Berdasarkan penelitian Fahrurrazi dalam “Cara memanggil nama panggilan orang di Madura,” di bagian pembahasan karakteristik Tata Bahasa Madura,bahwa di Madura sama halnya dengan di Jawa, ditemukan prasasti yang beraksara Pallawa. Serta menggunakan bahasa Sansekerta dan Jawa kuno. dapatlah dimengerti jika kemudian bahasa madura juga dituliskan dengan aksara Anacaraka yang disebut dengan Carakan Madura. Aksara tersebut menurut Fahrurrazi semula diajarkan pada anak-anak sekolah di akhir xix di Madura. Kemudian lambat laun digantikan dengan huruf latin. Berdasarkan penelitian Fahrurrazi juga dijelaskan bahwa di kalangan pesantren juga ada pengembangan penggunaan huruf Arab untuk menuliskan Bahasa Madura yang disebut dengan peghu. Lihat, Fahrurrazi, “Cara memanggil nama panggilan orang di Madura,” Linguistic Akademika I, no.3 2012, h.264. Artikel ini diakses pada 27 Oktober 2014 dari www.linguistikademia.files.wordpress.com. 53 Titik Pudjiastuti, Seri Kajian Filologi; Naskah dan Studi Naskah, h.44-45. kitab kepada gurunya, kemudian seorang murid mencatat dan memberikan terjemahan dan penjelasan dari teks Arab yang dipelajarinya. 54 Menurut Islah Gusmian, penggunaan huruf pegon dalam bahasa Melayu, Jawa, dan Sunda digunakan pada abad ke-16 M. Pada masa itu, dimungkinan terjadi pembahasa-lokalan Islam di wilayah Nusantara misalnya huruf Arab yang digunakan dalam tafsir Tarjumân al-Mustafîd, dan naskah anonim seperti kitab Farâid al- Qu ’ n, dan naskah surah al-Kahfi dan naskah anonim lainnya. 55 Di Madura, sama halnya dengan di daerah Sunda dan Jawa, yaitu mempunyai istilah khusus untuk tulisan yang beraksara Arab dalam bahasa Madura yaitu peggu. Menurut Moch.Ali, Peggu adalah tulisan aksara Arab bahasa Madura, karena teksnya ditulis dengan mengadaptasi aksara pegon Arab- Jawa yang kemudian dilengkapi dengan tanda diakrtik yang disesuaikan dengan lafad Madura, khususnya diksi-diksi Madura. Berdasarkan hasil penelitian Moch.Ali, menyatakan bahwa dibalik istilah peggu ada semacam “Penciptaan budaya baru” yang sekaligus sebagai refleksi “Identitas lokal” yang menyiratkan beberapa hal di antaranya Pertama, penegasan eksistensi aksara Arab-Madura sebagai symbol of identity yang banyak diapakai di pesantren Madura yang justru berkoeksistensi dengan aksara Arab-Jawa. Ketiga, penegasan identitas kesusastraan Madura yang sejajar dengan kesusastraan Jawa. Keempat, penegasan ideology kultural Madura yang berkoeksisitensi dengan ideology kultural Jawa. 54 Ibid., h.44-45. 55 Islah Gusmian, Khazanah Tafsîr Indonesia; dari Hermenetika hingga Ideologi Jakarta: Teraju, 2003, h.61. Meskipun pola ini berak ar pada konsep “Peniruan kebudayaan Jawa” tetapi dalam ranah budaya hali ini sifatnya natural. 56 Berkenaan dengan istilah peggu yang diadaptasi dari pegon Arab-Jawa erat kaitannya dengan sejarah masuknya Islam ke pulau Madura. Titik Pudjiastuti dalam artikelnya “Madura” sebagaimana dikutip dari Pigeaud dan De Graff, Madura telah menjadi Islam sejak abad ke 16, ketika putra mahkota kerajaan Madura Barat yang bernama Pratanu yang kemudian terkenal sebagai Panembahan Lemah Duwur dari Arosbaya Bangkalan yang masuk Islam dan mengakui Sultan Demak sebagai maharaja. Pada masa penyebaran kebudayaan pesisir pada abad ke-16 dan ke-17, Madura di perintah oleh dinasti yang diduga mempunyai keturunan darah Jawa yang mempunyai peran penting dalam kancah politik Jawa. Maka dari itu menurut Titik Pudjiastuti, pengaruh Jawa cukup besar bagi Madura khususnya dalam hal sastra. Berdasarkan penelitian Titik Pudjiastutik, menyatakan bahwa kebanyakan naskah Madura adalah terjemahan atau adaptasi dari karya sastra Jawa. 57 Berdasarkan sejarah dan legenda, sebagaimana hasil penelitian Titik Pudjiastutik, para penyiar agama Islam di pulau Madura umumnya berasal dari Jawa. Hal ini menurutnya menjadi salah satu faktor pengaruh Jawa terhadap Madura cukup besar. Misalnya dapat dilihat bahwa untuk pendidikan formal, hampir di sepanjang jalan dari Kabupaten Bangkalan sampai ke ujung Kabupaten Sumenep terdapat pesantren-pesantren yang mengajarkan aktivitas tulis menulis. 58 56 Moch Ali, “Bahasa Jawa-Kitabi Dialek Madura dalam Naskah “Careta Qiyamat.” Artikel ini diakses pada tanggal 19 November 2013 www.httpeprints.uny.ac.idid 57 Edi Sedyawati, dkk., ed., Sastra Jawa: Suatu Tinjauan Umum, h.83. 58 Ibid., h.84. Menurut Fahrurrazi, islam masuk ke Madura dimulai sejak paruh abad ke- 15, pertama kali di daerah sekitar Pantai Selatan Sumenep. Penyebaran agama Islam berlangsung sejalan dengan perluasan perdagangan. Menurut Fahrurrazi, seperti dikutip dari Schrieke 1955, penyebar Islam yang pertama ialah pedagang yang berasal dari India Gujarat, Malaka, dan Sumatera Palembang. Kemudian sebagaimana dikutip Fahrurrazi dari De Graaff dan Pigeaud 1974, bahwa setelah penyebar agama Islam tersebut, disusul oleh pengikut Sunan Ampel dan Sunan Giri, para wali suci Islam yang berkedudukan di dekat kerajaan-kerajaan dagang kecil Surabaya dan Grersik. Kemudian sebagaimana dikutip Fahrurrazi dari Abdurrahman 1971, bahwa menurut cerita turun menurun, seorang anak lelaki dari saudaranya Ampel menetap di Desa Pasudan dekat Ibukota Sumenep. Oleh karena itu, pengislaman penduduk di Madura meluas setelah raja-raja dan diperkirakan pada pertenghan abad-16, memeluk agama Islam dan mendorong penyebarannya. 59 Berdasarkan hasil penelitian Titik Pudjiastutik, dalam naskah Madura yang teksnya berisi ajaran Islam biasa ditemukan naskah tulisan dengan tiga bahasa, yaitu teks asli dalam Bahasa Arab, terjemahannya dalam bahasa Jawa, dan penjelasannya Bahasa Madura. Menurutnya Bahasa Jawa bukan saja menjadi sarana untuk memahami ajaran Islam melainkan juga merupakan alat untuk menuangkan rasa keindahan para santri di pesantren Madura. 60 59 Pada pertengahan abad lalu, sebagaimana dikutip Fahrurrrazi dari Hegeman 1858, di Sumenep terdapat 2.120 ulama Islam yang jumlahnya lebih banyak dari pada Madura Barat dan Pamekasan. Hal tersebut menurut Fahrurrazi dikarenakan Sumenep menjadi kawasan perdagangan yang paling ramai, sehingga menjadi daerah Islam yang penting. Lihat, Fahrurrazi, “Cara memanggil nama panggilan orang di Madura,” Linguistic Akademika I, no.3 2012: h.264. Artikel ini diakses pada 27 Oktober 2014 dari www.linguistikademia.files.wordpress.com 60 Edi Sedyawati, dkk., ed., Sastra Jawa: Suatu Tinjauan Umum, h.84. Di Madura tradisi penerjemahan kitab berbahasa Arab sama halnya dengan penerjemahan kitab di Jawa, yaitu ada kosa kata yang digunakan untuk menerjemahkan struktur sintaksis Bahasa Arab. Istilah khusus yang disimbolkan satu huruf Arab seperti mubt d ’ diistilahkan dengan kata dining, simbolnya “M m”; khabar diistilahkan dengan kata panika simbolnya “K ”; fa il diistilahkan dengan kata pasirah simbolnya fa` panjang, dan ponapah simbolnya ’ pendek. Berkenaan dengan model terjemahan lokal, ada beberapa peneliti tentang naskah pegon model terjemahan jenggotan atau antarbaris, memberikan istilah atas huruf-huruf yang biasa dicantumkan untuk menunjukkan posisi kata di antaranya Muhammad Mujtabi Thaifur, dalam Kaifiyah al-Rumzi al- M ’ ni li al- Madâris wa al- M ’ id l-Islâmiyyah, menyebut huruf tersebut dengan al-rumzu atau rumus. 61 Abdul Khaliq, dalam M t n l-Ju miyy li l-Im m l- on ji dan Terjemahannya dan Penjelasannya, juga menyebut huruf tersebut dengan kata “Rumus.” 62 Iip Dzulkifli yahya, dalam “Ngalogat di Pesantren Sunda Menghadirkan yang dimangkirkan, menyebut dengan “Huruf,” Sedangkan Ali Abu Bakar Basmalah, dalam “Memahami Kitab Kuning melalui Terjemahan Tradisional Suatu Pendekatan Tradisional Terjemahan Pondok Pesantren,” menyebut huruf tersebut dengan simbol bacaan. 63 61 Muhammad Mujtabi Thaifur, Kaifiyatu Rumzi al- M ’ ni li l-Madâris wa al-M ’ id al-Islâmiyyah Kediri:T.pn., t.t., h.1-2; Dalam kamus al-Munawwir, lafaz al-ramzu meruapakan masdar dari lafaz ramaza bermakna “Tanda, isyarat”. Bentuk mufrad atau tunggalnya al-ramzu yaitu al-rumzu atau al-ramazu, jamaknya rumûzun. Sedangkan lafaz al-ramziyyu bermkna simbolik sebagai lambang. Lihat, Munawwir, al-Munawwir; Kamus Arab-Indonesia Surabaya:Pustaka Progressif, 1997, h.532. 62 Abdul Khaliq, Matan al-Jurûmiyyah li al-Imâm l- on ji d n e jem nny d n Penjelasannya Pamekasan: Pondok Pesantren Darussalam, t.t., h.28. 63 Ali Abu Bakar Basmalah, “Memahami Kitab Kuning melalui Terjemahan Tradisional Suatu Pendekata n Tradisional Terjemahan Pondok Pesantren,” Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta, 2008, h.66-67. Artikel ini diakses pada tanggal 5 Maret 2013 dari Berikut ini daftar simbol dan bahasa simbolik dalam Bahasa Madura yang diidentifikasi dari sejumlah sumber: 64 Tabel 2: 2 Daftar Simbol dan Istilah Simbolik Terjemahan Madura Simbol Maksud I’rab Tempat Variasi Tata Bahasa Penempatan struktur Bahasa simbolik Madura Indonesia م tamyîz N as ab di atas tanda tamyîz ديز رثك م املع dari ara-ara apanya اح âl N a ab di atas tanda l بلاطلاأرق اح اسلاج hale dalam keadaan رظ m n N a ab di atas tanda ورمع موصي رظ سيم ا edal ĕm pada مظ m k n N a ab di atas tanda تسلج مظ ةرجشلا ت edal ĕm di فم m l bi N a ab di atas tanda m ȗl bih تبرض فم اًذيز ىفخأو رسلا ملعي ها d ’ kepada خ khabar ’ di atas tanda khabar ةاي ا خ تاذب ةمدق ةفص panika adalah اف il qil ’ di atas tanda ’il untuk makhluk berakal ماق اف ديز pasirah siapa ف il g i u qil ’ di atas tanda il untuk makhluk tidak berakal dan benda رسيت ف ةرايسلا ponapah apa م mubt d ’ ’ di atas tanda mubt d ’ م ها ةردقب ةعفاددابعلا لاعفأ عيم Dining adapun ج jawâb Mukhtalif di atas tanda jawâb ده نإ ج ححتت Maka maka ص il Mukhtalif di atas tanda i ةفص نع ز ا هدم ا ص ثود ا Se yang ب badal mukhtalif di bawah tanda badal فيغرلا تلكأ ب فصن Ropanah yakni مج j m ’ j m ’ di atas tanda j m ’ تملعت مج مولعلا ba ny ’-banynya’ pan barampan beberapa www.digilib.uin-suka.ac.id441 ; Kata simbol secara etimologi bermakna ikon, karakter, kiasan,, lambang, logo, representasi, sinyal, tanda, atribut, cap dan emblem. Lihat, Tim Penyusun Depdiknas, Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia Bandung: Mizan Pustaka, 2009, h.543. 64 Ali Abu Bakar Basmalah, “Memahami Kitab Kuning melalui Terjemahan Tradisional Suatu Pendekatan Tradisional Terjemahan Pondok Pesantren,” Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta, 2008, h.61-62. Artikel ini diakses pada tanggal 5 Maret 2013 dari www.digilib.uin-suka.ac.id441 ; Iip Dzulkifli yahya, “Ngalogat di Pesantren Sunda Menghadirkan yang dimangkirkan, dalam Hendri Chamber Loir, ed., Sadur Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia Jakarta:Kepustakaan Populer Gramedia,November 2009, h.373-374; Abdul Hannan Tibyan, al-Iktisyâf fi Tadrîbi Qir ȃ ’ Kutubi l-Salaf li al-Mubt di’ ȋ n Pamekasan:Puncak Daru Salam, t.t., h.17; Muhammad Mujtabi Thaifur, Kaifiyatu Rumzi al- M ’ ni li l-Madâris wa al- M ’ id l-Islâmiyyah Kediri:T.pn., t.t., h.1-2; Lihat, Abdul Khaliq, Matan al-Jurûmiyyah li al- Imâm l- on ji d n e jem nnya dan Penjelasannya Pamekasan: Pondok Pesantren Darussalam, t.t., h.28; Syaikh Abdul Hamid Ahmad Mahfudz Ziyadi Tim Penyusun, dkk, Nubdah al- B y n i l li M i Q w ’id Siy qi K l m A l I n; P og m Ak ele i B c Kitab Kuning Bagi Pemula dan Santri Kecil Pamekasan:Tim Penyusun “Nuba” Palduding Pamekasan, h.6. Berdasarkan tabel di atas, ada beberapa daftar simbol dan istilah linguistik yang digunakan penerjemah Madura. Tabel tersebut diadaptasi dari tabel simbol dan istilah linguistik bahasa Jawa disesuaikan dengan bahasa simbolik Madura yang diidentifikasi dari beberapa buku kaedah bahasa Arab terjemahan Madura. 65 Adapun ciri-ciri model terjemah lokal, khususnya Madura sama dengan model terjemah pegon Jawa yaitu terdiri dari dua bentuk yakni 1ada simbol yang kemudian oleh Ali Abu Bakar Basmalah disebut “Simbol gramatikal bahasa Arab ”; 2ada bahasa istilah yang kemudian dalam penelitian Ali Abu Bakar Basmalah disebut “Bahasa simbolik” 66 Selain simbol dan bahasa simbolik di atas, terjemahan Madura juga memiliki kosa kata baku untuk menerjemahkan beberapa huruf berupa kata depan, kata sambung, dan kata isyarat. Menurut Syaibah, seperti dikutip M.Syarif Hidayatullah, arf terdiri dari tiga bagian 1 arf yang 65 Kerangka tabel tersebut diadaptasi dari tulisan Ali Abu Bakar Basmalah yang berjudul “Memahami Kitab Kuning melalui Terjemahan Tradisional Suatu Pendekatan Tradisional Terjemahan Pondok Pesantren.” Dalam artikelnya tersebut menyajikan tabel berupa simbol- simbol linguistik, bahasa simbolik, dan contoh kalimat Bahasa Arab yang disertai simbol-simbol sesuai posisi katanya. Perbedaan tabel di atas dengan tabel Ali Abu Bakar Basmalah adalah terletak pada simbol-simbol yang dicantumkan penulis telah disesuaikan dengan simbol dan bahasa simbolik Madura yang ada. Lihat, Ali Abu Bakar Basmalah, “Memahami Kitab Kuning melalui Terjemahan Tradi sional Suatu Pendekatan Tradisional Terjemahan Pondok Pesantren,” h.61-62. Artikel ini diakses pada tanggal 5 Maret 2013 dari www.digilib.uin-suka.ac.id441 ; Selanjutnya tabel tersebut juga diadaptasi dari tulisan Iip Dzulkifli Yahya dalam “Ngalogat di Pesantren Sunda Menghadirkan yang dimangkirkan. Dalam artikel tersebut menyajikan tabel yang menunjukkan kata-kata Jawa dan huruf Arab simbol tersebut serta arti gramatikalnya dalam Bahasa Arab dan Indonesia. Perbedaannya tabel di atas dan tabel yang disajikan Iip adalah terletak pada Bahasa dan penyajian contohnya. Lihat, Iip Dzulkifli yahya, “Ngalogat di Pesantren Sunda Menghadirkan yang dimangkirkan, dalam Hendri Chamber Loir, ed., Sadur Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, h.373-374; Selanjutnya dalam artikelnya Saefuddin, yang berjudul “Tradisi penerjemahan al-Qur‟an ke dalam Bahasa Jawa; suatu pendekatan filologis.” merupakan tradisi terjemahan al- Qur‟an dalam Bahasa Jawa. Dalam tulisannya ini juga menyajikan kosa kata tulisan tentang bahasa simbolik yang biasa digunakan kitab Bahasa Arab terjemahan Jawa. Lihat, Saifuddin, “Tradisi penerjemahan al-Qur‟an ke dalam Bahasa Jawa; suatu pendekatan filologis.” Suhuf VI, no.2 November 2013: h.243-244. 66 Bahasa simbolik adalah kosa kata bahasa Madura atau Jawa khas yang menunjukkan variasi gramatikal bahasa sumber yaitu bahasa Arab. Maksud dari bahasa Madura Jawa khas adalah bahwa bahasa tersebut tidak seperti bahasa Madura atau Jawa yang digunakan sehari-hari. Lihat, Ali Abu Bakar Basmalah, “Memahami Kitab Kuning Melalui Terjemahan Tradisional Suatu Pendekatan Tradisional Terjem ahan Pondok Pesantren,” Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga: Yogyakarta, 2008. Artikel diakses pada 5 Maret 2013 dari www.digilib.uin- suka.ac.id441 mendampingi ism; 2 arf yang mendampingi fi il; 3 arf yang mendampingi isim dan fi „il. arf yang mendampingi isim biasanya berfungsi sebagai preposisi arf al-Jarr; arf al-nid ’,”P tikel vok ti ” dan partikel akusataif nâ ib seperti anna “Bahwa,” ka’anna “Sepertinya,” lakinna “Tetapi,” laita “Andai saja. ” Sementara itu, arf yang mendampingi i il biasanya merupakan partikel akusatif, seperti „an “Bahwa,” lan “Tidak” kai “Agar,” idzan “Jadi”; arf yang merupakan jusif, seperti lam “Belum,” la “Jangan,” in pada klausa kondisional, “Andai.” Berbeda dengan isim yang bisa mendampingi isim dan i il biasanya berupa konjungsi arf l- af dsb. 67 Berikut ini terjemahan arf al-jar Bahasa Madura dan Bahasa Indonesia. 68 Tabel 2:3 Terjemahan Huruf Jer dalam Bahasa Madura dan Indonesia 67 M.Syarif Hidayatullah, Pengantar Linguistik Arab Klasik Moderen Jakarta: lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010 , h.83-84. 68 M.Tata Taufik, “Problematika Kebahasaan Terjemah,” h.167-169; M.Syarif Hidayatullah, Tarjim al-An; Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia Tanggerang: Dikara 2010, h.103-106; Abdul Munip, Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia, h.297-298; Muhammad „Arifun, Tarjamah Tafsîr al-Jalâlain litashîli al-Fikri Bahasa Madura, h.1-4821. arf Fungsi Terjemahan Madura Terjemahan Indonesia ب - kala ĕn di; dengan; bersama; sebagian; di atas; kata penguat, demi sumpah نم - dari dari kata pembatas tempat, waktu; sebagian; di antara; karena dariketerangan tambahan, kata penguat berarti ada; menggantikan; di; sebab, karena; tentang ىإ - d ’ kata pembatas tujuan simpati; bersama; bagi atau untuk ّتح - mpe’ sampai; hingga ع ن - dari dari;sesudah; di atas; sebab; atau alasan; kata pengganti ىلع atas di atas; di saat; alasan atau sebab; bersamaan; dari; namun, dengan, ي idal ĕm di tempat, waktu; karena bersama dengan; di atsa; kata perbandingan; dengan; sampai ك - akadih seperti tperumpamaan; sebab; di atas; kata penguat; ل - ik ndi’, d ’ memiliki; kepunyaan; milik; hanya untuk; bagi;ku-mu; alasan atau sebab; kata penguat; sampai; di atas; menjadikan. waktu yang lewat; di bersama; untuk membuat kalimat perintah, kalimat jawab Berdasarkan contoh di atas, menurut Syarif, terjemahannya dapat berubah sesuai dengan konteks kalimatnya. Jadi penerjemah Madura menggunakan kosa kata tersebut dalam menerjemahkan huruf jar. Berikut ini terjemahan kata sambung af dalam Bahasa Madura dan Bahasa Indonesia, yang diidentifikasi dari sejumlah sumber. 69 Tabel 2:4 Terjemahan Huruf af dalam Bahasa Madura dan Indonesia 69 M.Tata Taufik, “Problematika Kebahasaan Terjemah,” h.167-169; M.Syarif Hidayatullah, Tarjim al-An, h.103-106; Abdul Munip, Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia, h.297- 298; Muhammad „Arifun, Tarjamah Tafsîr al-Jala lain Litashîli al-Fikri Bahasa Madura, h.1-4821. arf StatusFungsi Terjemahan Madura Terjemahan Indonesia و kata sambung Ban dengan, dan, sedangkan ّث kata sambung maka kareh-kareh Kemudian ف kata sambung Maka lalu, kemudian, selanjutnya وأ kata sambung Otab ĕh Atau مأ Idem Otab ĕh atau, padahal لب idem, pengingkaran ba li’ sedangkan, tapi tidak negatif نكل kata sambung, pengingkaran, kata penghubung tetapih, lamun akan tetapi negativ, namun, ا kata sambung negativ t ’, bĕnne, buntĕn tidak, bukan 50

BAB III PROFIL MUHAMMAD ‘ARIFUN

A. Latar Belakang Keluarga

Nama lengkap „Arifun adalah Muhammad „Arifun. Ia lahir di Dusun Baturasa, Desa Bungka, Kecamatan Blega, Kabupaten Bangkalan, Kepulauan Madura pada tanggal 1 Juli 1927. 1 Ayahnya bernama Kiai Hasan Basri, ia seorang tokoh masyarakat di Bangkalan. Ia juga keturunan ke-12 dari Ainul Yaqin yaitu Sunan Kediri yang memperistri Ny.Murtasiya, anak Raden Rahmad Sunan Ampel. Ainul Yaqin keturunan dari putra Maulana Ishaq, nasabnya bersambung dengan Nabi Mu ammad melalui Im m Ja„far al- adiq, Im m Mu ammad al- Baqir, Imâm „Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husain, Fatimah al-Zahra. 2 Sedangkan ibunya bernama Nyai Mayri. Muhammad „Arifun adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Anak pertama bernama Sejati, ia menetap di desa Beleggung, Kabupaten Bangkalan Madura. Anak kedua Muhamamd Bachri, ia juga menetap di Beleggung, Bangkalan Madura. Anak ketiga Baidowi, ia menjadi pengasuh di Pesantren Jeruk, Jombang, Kabupaten Jember, Jawa Timur. Anak keempat bernama Tomo, ia menetap dan menjadi pengasuh di Pesantren Jeruk, Jombang, Jember, Jawa Timur. Anak kelima Muhammad „Arifun, saat ini ia menetap dan menjadi pengasuh di Pesantren Darul Ulum al-Ishqai, Dusun Karangsari, Desa Tisnogambar, Kecamatan Bangsalsari, Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur. 3 1 Wawancara Pribadi dengan Muhammad „Arifun, Jember, 12 April 2013. 2 Wawancara Pribadi dengan Abdul Bari, Jember, 25 Oktober 2013. 3 Wawancara Pribadi dengan Abdul Bari. Ayah Muhammad „Arifun meninggal dunia tahun 1934, ketika „Arifun berumur 7 tahun. Sejak ditinggal ayahnya, Ia belajar al- Qur‟an kepada kakak kandungnya Baidhowi. Kemudian setelah berumur 10 tahun, ia belajar kepada Raden KH.Abdul Aziz, pengasuh Pesantren Bustanul Ulum al-Wafa Temporejo, Jember, Jawa Timur. Ketika berumur 19 tahun, „Arifun diperintahkan KH.Abdul Aziz untuk memgembala kerbau. Selain itu, ia juga diperintahkan untuk menjadi “Khadimul Bayt” Pembantu rumah. Ia membantu beberapa pekerjaan yang ada di pesantren seperti mengajar santri, dan jual beli kitab. Ia menghabiskan masa kecil sampai masa dewasanya selama 19 tahun di Pesantren Bustanul Ulum al- Wafa Temporejo, sejak tahun 1937 sampai tahun 1962. 4 Pada tahun 1963, „Arifun menikahi Nyai Shofiyah. Pertemuannya dengan Nyai Shofiyah berawal dari acara Maulid di Pesantren Darul Ulum Al-Ishaqi. Saat itu, „Arifun statusnya sebagai santri Pesantren al-Wafa Temporejo. Ia diperintahkan ayah Nyai Shofiyah yaitu Kiai Ishaq yang juga sebagai pengasuh Pesantren Darul Ulum Al-Ishaqi, untuk membaca kitab dardir dalam acara Maulid Nabi di Pesantren Darul Ulum al-Is aqi. Karena kepiawaian „Arifun dalam bacaan kitab Dardir, 5 ia diminta Kiai Ishaq untuk menikahi putrinya yaitu Nyai Shofiyah. Awalnya „Arifun menolak, karena merasa tidak pantas dengan putrinya. Namun, 4 Wawancara Pribadi dengan Muhammad „Arifun. 5 Martin van Bruennessen, mengelompokkan kitab Dardir ke dalam kitab sejarah hidup Nabi sirah dan karya penghormatan untuk Nabi Saw. Kitab tersebut Menurut Martin adalah kitab yang dijadikan bahan mata pelajaran di sejumlah pesantren di Indonesia. Menurut Martin, kitab Dardir merupakan syarh yang disusun oleh Ahmad al-Dardir atas kitab Mi’ j perjalanan Nabi ke langit versi Najm al-Din al-Ghaithi. Menurut Martin, kitab Dardir penggunaannya bersifat ritual. Penggunaan utama kitab tersebut bukanlah ditujukan untuk keperluan pendidikan, tetapi untuk tujuan pemujaan dan ibadah. Kitab tersebut biasanya dapat dibaca secara pribadi sebagai suatu perbuatan amal baik, dan biasanya kitab tersebut juga dibaca secara berjama‟ah di depan banyak orang dalam berbagai acara sebagaimana yang dijelaskan Martin dalam Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat. Lihat, Martin van Bruennessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat Bandung: Penerbit Mizan, 1999, h.168.