Putusan perkara nomor 0023Pdt.G2014PA.JS ditinjau dari Hukum

sulit untuk diukur karena menyangkut masalah perasaan atau hati, yang mengetahuinya hanya suami yang berpoligami dan istri yang merasakannya karena dipoligami

D. Analisis Penulis

. Poligami berlaku bagi suami yang ingin menikah dengan lebih dari seorang perempuan. Alasan terjadinya poligami yaitu, istri tidak dapat menjalankan kewajiban, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan istri tidak dapat melahirkan keturunan. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara penulis dengan Drs. Nasrul, M.A. dan Drs. Sohel, S.H. selaku Majelis Hakim yang memutuskan perkara nomor 0023Pdt.G2014PA.JS, yang memberikan izin poligami dengan alasan istri mengidap penyakit kista dan miom. Majelis Hakim berpendapat bahwa dengan divonisnya istri pertama mengidap penyakit kista dan miom maka istri pertama tidak bisa melayani suaminya lagi, sehingga tidak tercapainya tujuan perkawinan. Majelis hakim memahami mandul, yaitu sejak awal perkawinan istri dinyatakan mandul, tetapi apabila di tengah perkawinan istri dinyatakan mandul maka suami diperbolehkan untuk melakukan poligami. Hal ini sesuai dengan Peraturan Perundang- undangan. Jika istri sudah tidak bisa lagi melayani suami maka, suami diperbolehkan untuk melakukan poligami. 3 3 Hasil wawancara dengan Hakim Drs. Sohel, S.H. pada tanggal 25 Agustus 2015 di Pengadilan Agama Bandung Alasan hakim memberikan Izin Poligami dalam perkara ini, karena istri trauma untuk melahirkan setelah dinyatakan mengidap penyakit kista dan miom, maka tidak tercapainya tujuan perkawinan. Karena istri yang dinyatakan mengidap penyakit kista dan miom akan merasakan kesakitan. Dalam hal pembuktian Hakim, mengatakan bahwa Hakim tidak dapat menentukan masalah istri mengidap kista dan miom kecuali harus ada bukti surat lampiran dokter yang menyatakan bahwa istri tersebut memang benar- benar mengidap penyakit kista dan miom sehingga menyebabkan tidak bisa memiiki keturunan lagi. 4 Surat keterangan dari dokter tersebut sudah tidak dibutuhkan lagi ketika sang istri sudah mengakui langsung bahwa memang benar dirinya mengidap penyakit kista dan miom terlepas itu jujur atau bohong. 5 Majelis Hakim menilai bahwa putusan ini sudah sesuai dengan Peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, karena tidak dilakukannya Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali oleh para pihak. 6 Melihat fakta terjadi di persidangan dengan adanya pengakuan dan keterangan dari para saksi, maka sudah sesuai dengan Peraturan Perundang- undangan. 7 4 Hasil wawancara dengan Hakim Drs. Nasrul. M.A. pada tanggal 25 Juli 2015 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. 5 Hasil wawancara dengan Hakim Drs. Sohel, S.H. pada tanggal 25 Agustus 2015 di Pengadilan Agama Bandung. 6 Hasil wawancara dengan Hakim Drs. Sohel, S.H. pada tanggal 25 Agustus 2015 di Pengadilan Agama Bandung. 7 Hasil wawancara dengan Hakim Drs. Nasrul, M.A. pada tanggal 25 Juli 2015 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Penulis kurang setuju dengan penetapan Majelis Hakim yang mengabulkan perkara ini. Penulis beralasan bahwasanya yang di sebut mandul oleh ilmu kedokteran adalah ketidakmampuan secara biologis dari seorang laki-laki atau seorang perempuan untuk menghasilkan keturunan. Dalam arti lain kemandulan adalah sebuah istilah yang dapat juga diartikan sebagai kegagalan, tidak berhasil, atau tidak dapat membentuk. Pada kasus ini, istri dinyatakan mandul setelah istri melahirkan keturunan, dan dinyatakan mengidap penyakit kista dan miom. Penyakit yang diidap oleh istri bukanlah penyakit yang mematikan dan bisa disembuhkan dengan adanya dorongan semangat dari orang-orang terdekat terutama dari suami. Dalam hal ini, persyaratan yang ditetapkan oleh Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 4 sangat diskriminatif. Kelemahan istri baik fisik maupun non fisik dijadikan alasan kebolehan suami untuk menikah lagi. Seolah-olah istri hanya di anggap sebagai “pelayan” suami saja yang apabila sudah tidak dapat digunakan, maka suami dapat mencari wanita lain untuk dapat melayaninya sesuai keinginannya. Dalam hal alasan hakim memberikan izin poligami, penulis tidak sependapat dengan Hakim, karena tujuan perkawinan bukan hanya untuk berhubungan badan saja, melainkan untuk mencapai keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Ar- Rum ayat 21 : ﹶﻞﻌﺟﻭ ﺎﻬﻴﹶﻟﹺﺇ ﺍﻮﻨﹸﻜﺴﺘﻟ ﺎﺟﺍﻭﺯﹶﺃ ﻢﹸﻜِﺴﹸﻔﻧﹶﺃ ﻦﻣ ﻢﹸﻜﹶﻟ ﻖﹶﻠﺧ ﹾﻥﹶﺃ ﻪﺗﺎﻳﺁ ﻦﻣﻭ ﹶﻥﻭﺮّﹶﻜﹶﻔﺘﻳ ﹴﻡﻮﹶﻘﻟ ﺕﺎﻳﻵ ﻚﻟﹶﺫ ﻲﻓ ّﹶﻥﹺﺇ ﹰﺔﻤﺣﺭﻭ ﹰﺓّﺩﻮﻣ ﻢﹸﻜﻨﻴﺑ ﻡﻭﺮﻟﺍ : ٢١ Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir Q.S. Ar-Rum: 21 Sakinah, yang dimaksud adalah ketenangan dan ketentraman jiwa yang tidak hanya di dasari oleh naluri seksual saja, akan tetapi dorongan kebutuhan jiwanya untuk mendapatkan ketenangan. Mawaddah yang dimaksud adalah menyintai, yang artinya sebagai cinta plus. Supaya cinta yang ditanamkan dalam sebuah ikatan perkawinan tidak akan pudar sampai mati. Karena diharapkan bahwa pasangan suami istri yang melaksanakan perkawinan itu langgeng seumur hidup, tidak ada yang memisahkan kecuali kematian. Rahmah adalah kasih sayang, kasih sayang dapat menghasilkan kesabaran, murah hati, ramah, tidak angkuh, tidak mencari keuntungan sendiri, dan tidak pendendam. Dalam kehidupan rumah tangga, suami istri tidak luput dari kelemahan sehingga suami istri harus saling melengkapi, dan saling menyayangi. 8 Penulis melihat dampak yang terjadi apabila suami melakukan poligami, maka dampaknya tidak hanya kepada istri yang mengidap penyakit kista dan miom akan tetapi berdampak pula kepada anak-anaknya. Yaitu berkurangnya perhatian ayah terhadap anak-anak. Karena dalam hal ini, perlindungan anak perlu diperhatikan untuk masa depannya kelak. 8 Huzaemah Yahido Tanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, Bogor : Ghalia Indonesia, 2011, h. 179.