harta bersama Pemohon dan Termohon, dan Pemohon telah menyanggupi bahwa harta tersebut tidak akan bercampur dengan harta yang diperoleh
apabila nanti Pemohon menikah lagi. Bahwa perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan, maka
berdasarkan Pasal 89 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan diubah lagi
dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama biaya perkara dibebankan kepada Pemohon.
C. Putusan perkara nomor 0023Pdt.G2014PA.JS ditinjau dari Hukum
Islam dan Hukum Positif.
1. Ditinjau dari hukum Islam a. Menurut Al-Qur’an
Di tinjau
dari Hukum
Islam, putusan
perkara nomor
0023Pdt.G2014PA.JS sesuai dengan firman Allah dalam Surah An- Nissa : 3 :
ﻢﹸﻜﹶﻟ ﺏﺎﹶﻃ ﺎﻣ ﺍﻮﺤﻜﻧﺎﹶﻓ ﻰﻣﺎﺘﻴﹾﻟﺍ ﻲﻓ ﺍﻮﹸﻄِﺴﹾﻘﺗ ﻻﹶﺃ ﻢﺘﹾﻔﺧ ﹾﻥﹺﺇﻭ ِﺀﺎﺴّﹺﻨﻟﺍ ﻦﻣ
ﺖﹶﻜﹶﻠﻣ ﺎﻣ ﻭﹶﺃ ﹰﺓﺪﺣﺍﻮﹶﻓ ﺍﻮﹸﻟﺪﻌﺗ ﻻﹶﺃ ﻢﺘﹾﻔﺧ ﹾﻥﹺﺈﹶﻓ ﻉﺎﺑﺭﻭ ﹶﺙﻼﹸﺛﻭ ﻰﻨﹾﺜﻣ ﺍﻮﹸﻟﻮﻌﺗ ﻻﹶﺃ ﻰﻧﺩﹶﺃ ﻚﻟﹶﺫ ﻢﹸﻜﻧﺎﻤﻳﹶﺃ
ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ ۳
Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim bilamana kamu mengawininya, maka
kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Q.S. An-
Nisa: 3
Ayat tersebut merupakan ayat yang memberikan pilihan kepada kaum laki-laki untuk menikahi yatim dengan rasa takut tidak berlaku adil karena
keyatimannya atau menikahi perempuan yang disenangi hingga jumlahnya empat istri. Akan tetapi, jika dihantui oleh rasa takut tidak berlaku adil,
lebih baik menikah dengan seorang perempuan atau hamba sahaya, karena hal itu menjauhkan diri dari berbuat aniaya. Pandangan normatif al-Qur’an
yang selanjutnya diadopsi oleh ulama-ulama fikih setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki suami. Pertama, seorang laki-laki
yang akan berpoligami harus memiliki kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya istri yang
dinikahi. Kedua, seorang suami harus memperlakukan semua istrinya dengan adil. Tiap istri harus diperlakukan sama dalam memenuhi hak
perkawinan serta hak-hak lain b. Menurut Qawaid Fiqhiyah
Putusan perkara nomor 0023Pdt.G2014PA.JS ini di tinjau dari kaidah fiqhiyyah sesuai dengan kaidah berikut:
ﺢﻠﺼﳌﺍ ﺐﻠﺟ ﻰﻠﻋ ﻡﺪﻘﻣ ﺪﺳﺎﻔﳌﺍﺀﺭﺩ
Artinya : menolak mafsadat untuk menjaga kemaslahatan itu lebih di utamakan.
Penjelasan dari kaidah di atasa yaitu, bahwa pembentukan hukum itu tidak dimaksudkan, kecuali merealisir kemaslahatan ummat manusia.
Artinya mendatangkan keuntungan bagi mereka dan menolak madharat serta menghilangkan kesulitan daripadanya.
1
2. Di tinjau dalam Hukum Positif a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pada pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 di jelaskan bahwa syarat bagi suami yang ingin beristri lebih dari seorang yaitu, dapat
mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 Undang-Undang ini harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut : a adanya persetujuan dari isteriisteri-isteri b adanya kepastian bahawa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup
isteri-isteri dan anak-anak mereka c adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Persetujuan yang
dimaksud dalam pada ayat 1 huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteriisteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuan dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 dua tahun,
atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama.
2
Keadilan yang dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terutama pada Pasal 5 adalah keadilan
dari segi materi. Keadilan materi dalam bentuk pembagian nafkah yang dapat diukur secara matematis, sedangkan keadilan dalam bentuk batiniah
1
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996, cet ke-6, h. 126.
2
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, h.47.
sulit untuk diukur karena menyangkut masalah perasaan atau hati, yang mengetahuinya hanya suami yang berpoligami dan istri yang merasakannya
karena dipoligami
D. Analisis Penulis
.
Poligami berlaku bagi suami yang ingin menikah dengan lebih dari seorang perempuan. Alasan terjadinya poligami yaitu, istri tidak dapat
menjalankan kewajiban, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Hal ini sesuai dengan hasil wawancara penulis dengan Drs. Nasrul, M.A. dan Drs. Sohel, S.H. selaku Majelis Hakim yang memutuskan perkara
nomor 0023Pdt.G2014PA.JS, yang memberikan izin poligami dengan alasan istri mengidap penyakit kista dan miom. Majelis Hakim berpendapat
bahwa dengan divonisnya istri pertama mengidap penyakit kista dan miom maka istri pertama tidak bisa melayani suaminya lagi, sehingga tidak
tercapainya tujuan perkawinan. Majelis hakim memahami mandul, yaitu sejak awal perkawinan istri dinyatakan mandul, tetapi apabila di tengah
perkawinan istri dinyatakan mandul maka suami diperbolehkan untuk melakukan poligami. Hal ini sesuai dengan Peraturan Perundang- undangan.
Jika istri sudah tidak bisa lagi melayani suami maka, suami diperbolehkan untuk melakukan poligami.
3
3
Hasil wawancara dengan Hakim Drs. Sohel, S.H. pada tanggal 25 Agustus 2015 di Pengadilan Agama Bandung