Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Kenisbian Undang-Undang

14 Negaralah yang menetapkan norma-norma perilaku mana yang akan dikukuhkan menjadi kaedah hukum dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang perlu dilindungi, terutama dari intervensi pihak lain dan tidak semua kepentingan dapat dilayani oleh hukum, karena kepentingan setiap orang berbeda dan bahkan dapat juga saling bertentangan, lagi pula tidak setiap kepentingan patut dihormati. Banyak aturan yang diundangkan kurang berhasil. Aturan-aturan itu tidak akan didukung apabila bertentangan dengan aturan-aturan yang masih dianut dalam masyarakat, sekalipun tidak diundangkan. Hukum pidana sebagai codex, dan karenanya sifatnya sebagai codex jauh dari sempurna. Oleh karena itu hakim sering mencari keadilan dalam nilai-nilai masyarakat dan yang sangat mencolok dalam hukum pidana adalah penegakan norma-normanya, karena penegakan hukum pidana sesungguhnya banyak ditentukan oleh asas legalitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 KUHP.

C. Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana

Asas “Nullum Delictum Noella Poena Praevia Sine Lege Poenali“ yang pada intinya tidak dapat dipidananya seseorang tanpa pelaku tindak pidana. Asas ini mengandung asas perlindungan yang secara historis terhadap kesewenang-wenangan. Dalam perkembangannya dewasa ini justru asas legalitas ini cenderung dipergunakan sebagai legitimasi intervensi Negara secara sah berdasarkan undang-undang. Dalam kerangka pelayanan hukum dari hukum pidana, legitimasi diperlukan karena merupakan garansi bagi pelaksanaan kekuasaan negara. Akan tetapi pelaksanaan kekuasaan Negara dengan adanya asas legalitas ini harus diartikan sebagai memberikan kepastian hukum, bukan sebagai kepastian undang-undang. Karena itu juga tugas kepolisian dan peradilan bukanlah untuk menegakkan Undang-Undang namun penegakan hukum.

D. Kenisbian Undang-Undang

Hukum pidana adalah hukum undang-undang, demikian selalu dikatakan orang. Pengaruh kodifikasi dan sifat mengagungkan undang-undang tampak dianutnya ajaran sifat melawan hukum 15 formal, yaitu suatu tindak pidana telah terjadi apabila telah terpenuhi unsur-unsur yang termuat dalam lukisan delik danatau disertai akibat-akibatnya. Dengan perkataan lain, pengertian melawan hukum adalah sama dengan bertentangan undang-undang. Tidak ada alasan yang dapat menghapuskan sifat melawan hukum ini, kecuali ditentukan pula oleh undang-undang. Kepastian hukum yang hendak dijamin oleh Undang-Undang pidana, seperti Pasal 1 Ayat 1 KUHP tidaklah memberikan juga keadilan sepenuhnya. Menurut Hans Kelsen dengan teori murni tentang hukum reine rechtslehre dengan dengan teori hukumnya bahwa: a. Ilmu hukum adalah suatu pemahaman normologis tentang makna hukum positif, walaupun hukum semata-mata hanya mempelajari norma-norma. Ilmu hukum adalah ilmu kognitif yang murni tentang hukum, yang hanya mempelajari hukum positif. Oleh karena itu, ilmu hukum tidak mempermasalahkan delege ferenda, teori tentang alasan-alasan bagi hukum dan baik buruknya isi hukum positif; b. Teori hukum adalah teori umum tentang hukum positif yang mempergunakan metode pemahaman yuristik yang khas secara murni. Metode yuristik adalah suatu cara untuk memandang hukum sebagai penentuan normatif dari pertanggungjawaban yang digambarkan dengan skema umum perkaitan normatif antara kondisi-kondisi dan konsekuensi-konsekuensi dari perilaku yang benar dan yang salah. Metode yuristik yang demikian dapat menjamin suatu pandangan yang utuh tentang objek studinya. Metode yuristik ini harus bebas dari percampuran dengan pendekatan-pendekatan psikologis, sosiologi, politikologis, dan etis konsekuensi dari penolakan terhadap sinkretisme metodologis. 5. Dalam hukum pidan a, adagium “Nullum Delictum Noella Poena Sine Paraevia Legi Poenali “ menjadi asas hukum yang menjamin kebebasan individu dari kesewenang-wenangan penguasa dan dikukuhkan dalam Buku I KUHP. Perumusan delik kesalahan dan melawan hukum adalah syarat umum dapat dipidananya seseorang, dan bahkan dalam definisi klasik mengenai tindak pidana, diakui sebagai syarat umum bagi 5 Arief Sidharta, Filsafat Hukum Madzab dan Refleksinya, Remaja Karya, Bandung, 1989, hal. 59. 16 terjadinya tindak pidana. Padahal dalam penerapannya, tegasnya dalam kasus konkret, pelanggaran terhadap norma-norma hukum pidana yang dilakukan seseorang, yang harus dibuktikan oleh seorang penuntut umum adalah unsur-unsur dalam perumusan tindak pidana yang dituduhkan.

E. Sifat Melawan Hukum Sebagai Unsur