49
dilakukan oleh kepolisian Republik Indonesia, tingkat penuntutan yang dilakukan oleh Kejaksaan, sampai tingkat pemeriksaan dan
penjatuhan putusan pengadilan oleh Hakim Pengadilan Negeri. Bahkan sampai tingkat Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung
dalam hal terjadi upaya hukum, baik upaya hukum biasa banding atau kasasi maupun upaya hukum luar biasa kasasi demi
kepentingan hukum dan peninjauan kembali.
Dengan diberlakukannya KUHAP maka peraturan perundang- undangan yang mengatur prosedur atau tata cara beracara pidana
yang ada sebelumnya yakni Het Herziene Inlandsch Reglement atau HIR Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44 yang selama kurang lebih 30
tahun dijadikan pedoman bagi Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana berdasarkan Pasal 6
Undang-Undang Nomor 1 Darurat Tahun 1951, dinyatakan tidak berlaku lagi. Lahirnya KUHAP bukan hanya sekadar pengganti dari
HIR, tetapi lebih dari itu merupakan perubahan warna dan cakrawala hukum nasional, karena KUHAP disusun berdasarkan
landasan filosofi, landasan konstitusional UUD 1945 serta landasan operasional Ketetapan MPR Nomor IVMPR1979 dan UU No. 14-
1970. Disamping itu pembentuk undang-undang ini dengan sengaja telah menciptakan cakrawala hukum acara pidana yang penuh
ditaburi hiasan perlindungan hak asasi manusia.
Pada era Reformasi, munculnya UU No. 31-1999 yang kemudian diubah dengan UU No. 20-2001 bukan hanya
mengakomodasi hukum materil tindak pidana korupsi, akan tetapi juga terkandung hukum formil dalam delik korupsi. Namun
demikian ketentuan dalam KUHAP tidak seluruhnya tergantikan oleh munculnya undang-undang tersebut, namun ada beberapa
ketentuan khusus yang tersemat dalam undang-undang tindak pidana korupsi seperti sistem pembuktian terbalik yang berlawanan
dengan asas
“Presumption of Innocent.”
2. Hukum Positif yang Pernah Berlaku
Martiman Prodjohamidjojo membandingkan peraturan tentang korupsi yang pernah belaku di Indonesia sebagai berikut:
34
1. Peraturan Penguasa Militer No. PrtPM-061957
34
Martiman Projohamidjojo, op.cit, hal. 14.
50
Pemerintah Indonesia sejak tahun 1957 melalui Kepres No. 481957 Kepala Staf Angkatan Darat KSAD Abdul Haris Nasution
selaku penguasa militer menetapkan Peraturan Penguasa Militer No. PrtPM061957 tentang Pemberantasan Korupsi. Salah satu aspek
penting dalam peraturan tersebut adalah membentuk suatu unit kerja yang bertugas menilik harta benda setiap orang yang disangka,
didakwa atau sepatutnya disangka melakukan korupsi, termasuk harta benda suami, istri, anak atau badaninstitusi yang diurus oleh
orang tersebut.
Rumusan korupsi menurut Peraturan Penguasa Militer No. PrtPM-061957dikelompokkan menjadi dua, yakni:
a. tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga baik kepentinangan sendiri, kepentingan orang lain atau untuk
kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian negara.
b. tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah daru suatu badan yang menerima
bantuan dari keuangan negara atau daerah, yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenagnan atau kekuasaan
yang diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan atau material baginya.
2. Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat No. Prt013Peperpu0131958
Rumusan korupsi dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat tersebut diatas, dikelompokkan menjadi dua
kelompok besar dan tidap kelompok dibagi lagi menjadi sub kelompok, sehingga menjadi lima sub kelompok jenis korupsi, yakni:
a. Korupsi pidana
1. perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau sesuatu badan yang secara langsung atau tidak
langsung merugikan
keuangan Negara
atau perekonomian Negara atau dareah atau merugikan suatu
badan keuangan atau daerah dan badan hukum lain yang mempergunakan modal atau kelonggaran-kelonggaran dari
masyarakat.
51
2. perbuatan yang dengan atau karena melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu badan, serta yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.
3. kejahatan-kejahatan yang tercantum dalam Pasal 209, Pasal 210, Pasal 418, Pasal 419 dan Pasal 420 KUHP.
a. Pasal 209 KUHP menentukan 1. Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
1. barangsiapa memberi ataau menjanjikan sesuatu pada
seorang pejabat dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
2. barangsiapa memberi sesuatu kepada seorang pejabat karena atau berhubung dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajiban, dilakukan dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Pencabutan
hak tersebut dalam Pasal 35 KUHP dapat dijatuhkan, yaitu:
1. Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim
dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang ini, atau dalam aturan
umum lainnya ialah: 1. hak memegang jabatan pada umumnya atau
jabatan yang tertentu; 2. hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata;
3. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
4. hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali,
wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;
5. hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian, atau pengampuan atas anak sendiri;
6. hak menjalani mata pencarian tertentu;
52
2. Hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya, jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan
penguasa lain untuk pemecatan itu. b. Pasal 210 KUHP menentukan :
1. Diancam dengan pidana paling lama tujuh tahun 1. barangsiapa member atau menjanjikan sesuatu kepada
seorang hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan tentang perkara yang diserahkan kepadanya
untuk diadili;
2. barangsiapa memberi atau menjanjikan kepada seorang yang menurut ketentuan undang-undang
ditentukan menjadi penasihat atau adviser untuk menghadiri sidang atau pengadilan, dengan maksud
untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang
diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
2. Jika pemberian atau janji dilakukan dengan maksud supaya dalam perkara pidana dijatuhkan pemidanaan,
maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun;
3. Pencabutan berdasarkan Pasal 35 No. 1 sd 4 dapat dijatuhkan.
c. Pasal 418 KUHP menentukan: 1. bahwa seorang pejabat yang menerima hadiah atau janji
padahal diketahui atau sepatutnya harus diduganya, bahwa hadiah atau janji itu diberikan itu karena
kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang
memberi hadiah atau janji itu ada hubungan dengan jabatannya, diancam dengan pidana penjara paling lama
enam bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
d. Pasal 419 KUHP menentukan: 1. Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun,
seorang pejabat: a. yang
menerima hadiah
atau janji,
padahal diketahuinya bahwa hadiah atau janji itu diberikan
53
untuk menggerakkan supaya melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam
jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya; b. yang menerima hadiah mengetahui bahwa hadiah itu
diberikan sebagai akibat atau oleh karena si penerima telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
2. Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun: a. seorang hakim yang menerima hadiah atau janji,
padahal diketahui bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang
menjadi tugasnya;
b. barangsiapa menurut ketentuan undang-undang ditunjuk menjadi penasihat untuk menghadiri sidang
pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk
mempengaruhi nasihat tentang perkara yang harus diputus oleh pengadilan itu;
3. Jika hadiah atau janji itu diterima dengan sadar bahwa hadiah atau janji itu diberikan supaya dipidana dalam
suatu perkara pidana, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
b. Korupsi perdata: 1. perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan
perbutan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak
langsung merugikan keuangan Negara atau Daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari
keuangan negara atau daerah, atau badan lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari
masyarakat.
2. perbuatan seseorang yang dengan atau karena kaya diri sendiri atau orang lain atau seuatu badan dan yang dilakukan dengan
dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan. 3. Undang-Undang No. 24PrpTahun 1960
Disebut juga
sebagai Undang-Undang
Anti Korupsi
merupakan peningkatan dari berbagai peraturan. Sifat dari perpu ini
54
masih bersifat kedaruratan, menurut Pasal 96 UUDS 1950, pasal 139 Konstitusi RIS 1949 yang kemudian dicabut melalui Dekrit Presiden
Repulik Indonesia 5 Juli 1959. Undang-Undang Anti Korupsi Nomor 24PrpTahun 1960 mengandung hal-hal baru yang belum ada
dalam undang-undang korupsi sebelumnya yakni: a. delik percobaan dan delik permufakatan;
b. kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara; c. ada delik pemberian hadiah atau janji kepada pegawai negeri;
d. kewajiban lapor bagi pegawai negeri yang menerima hadiah atau
janji; e. rumusan mengenai pegawai negeri diperluas;
Dengan masuknya pemberian hadiah atau janji dan kewajiban lapor bagi pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji
merupakan awal dari terbentuknya gratifikasi, walaupun belum secara eksplisit dituliskan sebagai suap gratifikasi.
4. UU No. 3-1971
Rumusan delik korupsi pada UU No. 3-1971 mengambil oper rumusan delik korupsi dari Undang-Undang Nomor 24 Prp tahun
1960, baik redaksi mengenai perbuatan-perbuatan maupun sistematikanya. Sehingga karena itu ada dua kelompok delik korupsi,
yaitu delik korupsi yang selesai voltooid dan delik percobaan poging
serta delik permufakatan convenant. Yang terpenting dalam rumusan Pasal 1 sub 1 huruf d :
“Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat suatu kekuasaan dan wewenang
yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu”.
Rumusan pasal 1 sub 1 huruf e:
“Barang siapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkat- singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya
seperti yang tersebut dalam pasal-pasal 418, 419 dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian itu atau janji tersebut kepada yang berwajib”.
35
Rumusan Pasal 1 sub 1 huruf d tersebut mulai memasukkan gratifikasi ke dalam Undang-Undang, namun secara eksplisit belum
dinakaman gratifikasi. 5. UU No. 31-1999
Rumusan delik korupsi dengan mengoper sebagian besar dari delik korupsi UU No. 3-1971, dengan perubahan sebagai hal yang
35
Martiman Projohamidjojo, op.cit, hal. 18.
55
menarik untuk diperhatikan, sebagai berikut memperluas subjek delik kerupsi, memperluas pengertian pegawai negeri, memperluas
pengertian delik korupsi, memperluas berbagai modus operandi keuangan negara, delik korupsi dirumuskan secara tegas sebagai
delik formil, subjek korporasi dikenakan sanksi. Sanksi pidana bebeda dengan sanksi pidana Undang-Undang sebelumnya. Akan
dibentuk tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung, agar dalam proses penanganan delik keorupsi tersangkaterdakwa
memperoleh
perlindungan hak-hak
asasi. Dan
diterapkan pembuktian terbalik terbatas dan partisipasi masyarakat berperan
dalam pemberantasan delik korupsi. 6. UU No. 20-2001
Merupakan perubahan dari UU No. 31-1999. Ditambahkan Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001 yang menyematkan gratifikasi
didalamnya dan merupakan hal baru yang bukan dari Undang- Undang sebelumnya.
Dari sejarah perkembangan peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, menurut pandangan
penulis bahwa upaya pembuat Undang-Undang untuk selalu mengikuti perkembangan masyarakat dan adanya upaya membentuk
jaring hukum seluas-luasnya untuk menjerat pelaku delik korupsi dengan modus yang selalu berkembang.
Mengenai masuknya gratifikasi yang merupakan hal baru dalam Undang-Udang tindak pidana korupsi tidak lepas dari niat
pembuat Undang-Undang untuk mencegah dan memberantas korupsi demiki menyelamatkan perekonomian Negara, sehingga
tidak berlebihan jika kata “fasilitas lainnya” dalam Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999, secara ekstensif ditafsirkan termasuk layanan seksual yang disediakan untuk pegawai negeri atau penyelenggara Negara
untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang berhubungan dengan tugas dan tanggung jawabnya yang dapat
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. 3. Intisari Undang-undang Korupsi
UU No. 31-1999 Jo UU No. 20-2001 dimaksudkan untuk mengganti UU No. 3-1971 yang tidak lagi memenuhi kebutuhan
masyarakat dengan harapan dapat memberantas secara efektif
56
berbagai delik korupsi yang makin canggih, merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dan kepentingan masyarakat.
Perluasan subjek delik korupsi yang meliputi korporasi, perluasan pengertian pegawai negeri dari Pasal 92 KUHP maupun
Pasal 1 huruf a UU No. 8-1974, kemudian dimasukkannya korupsi suap menerima gratifikasi, maka UU No. 20-2001, diharapkan
mampu menjangkau lebih banyak pelaku-pelaku delik korupsi.
Pasal 92 KUHP menentukan: a. Yang disebut pejabat, termasuk juga orang-orang yang dipilih
dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum, begitu juga orang-orang yang bukan karena pemilihan,
menjadi anggota badan pembentuk undang-undang, badan pemerintahan, atau badan perwakilan rakyat, yang dibentuk oleh
pemerintah atau atas nama pemerintah; begitu juga semua anggota dewan subak, dan semua kepala rakyat Indonesia asli dan
kepala golongan Timur Asing, yang menjalankan kekuasaan yang sah;
b. Yang disebut pejabat dan hakim termasuk juga hakim wasit; yang disebut hakim termasuk juga orang-orang yang menjalankan
peradilan administratif, serta ketua-ketua dan anggota-anggota pengadilan agama;
c. Semua anggota Angkatan Perang juga dianggap sebagai pejabat. Demikian juga pemberian sanksi pidana yang lebih berat
daripada Undang-Undang sebelumnya. Dalam UU No. 20-2001, memberikan prioritas penanganan delik korupsi dari perkara pidana
umum. Undang-Undang ini juga memungkinkan pemeriksaan terdakwa secara in absensia dengan harapkan untuk menyelamatkan
keuangan negara.
E. Sistem Pembuktian Gratifikasi Seksual Sebagai Korupsi Pasif