Saran Tindak Pidana Korupsi Dan Perkembangan Hukum Pidana Di Indonesia

iv

BAB IV AKHIR PEMIKIRAN A. Konstatir

133

B. Saran

134 SENARAI PEMIKIRAN 135 LAMPIRAN 1 140 LAMPIRAN 2 166 1 BAB I AWAL PEMIKIRAN

A. Tindak Pidana Korupsi Dan Perkembangan Hukum Pidana Di Indonesia

Tindak pidana korupsi merupakan penyakit masyarakat yang penanganannya diperlukan secara luar biasa. Tindak pidana korupsi juga sangat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, sehingga menghambat pembangunan nasional. Hal ini harus diberantas secara tuntas dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UUD NRI 1945. Masalah utama yang dihadapi yaitu meningkatnya modus dan bentuk korupsi tersebut seiring dengan kemajuan kemakmuran dan teknologi. Pengalaman memperlihatkan semakin maju pembangunan suatu bangsa semakin meningkat juga kebutuhan mendorong orang untuk melakukan korupsi. Istilah korupsi berasal dari suatu kata dalam Bahasa Latin yakni corruptio atau corruptus yang disalin ke berbagai bahasa. Misalnya disalin ke dalam Bahasa Inggris menjadi corruption atau corrupt, dalam Bahasa Prancis menjadi corruption dan dalam Bahasa Belanda disalin menjadi istilah coruptie. Sepertinya dari Bahasa Belanda itulah lahir kata korupsi dalam Bahasa Indonesia. 1 Tindak pidana korupsi telah terjadi pada semua bidang tata pemerintahan, baik itu eksekutif, legislatif dan yudikatif dikenal dengan korupsi birokratis secara luas yakni korupsi dilakukan orang yang memegang kekuasaan kelembagaan negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. 2 Bahkan tidak mustahil pada tahun berikutnya jumlah tersebut semakin meningkat. Disinyalir tidak sedikit yang tergolong catur wangsa hukum seperti Polisi, Jaksa, Hakim dan Pengacara tersangkut tindak pidana korupsi di semua tingkat peradilan. Hal demikian memperlihatkan integritas rendah 1 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayu Media, 2011, hal. 1. 2 Amir Syamsuddin, Integritas Penegak Hukum, Hakim, Jaksa, Polisi, dan Pengacara , Kompas, Jakarta, 2008, hal. 135. 2 dan kemampuan terbatas menyebabkan banyak putusan pengadilan dalam kasus korupsi yang tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Berdasarkan pengalaman empiris selama ini terlihat bahwa di dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan tindak pidana korupsi memerlukan dukungan dan wewenang yang bersifat luar biasa, profesional dan biaya besar, serta tersedianya waktu untuk penyelidikan dan penyidikan yang cukup. Upaya keras pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia diwujudkan dengan cara dibuatnya regulasi mengenai pemberantasan korupsi. Pada Pemerintahan Orde Lama berlaku Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 24Prp1960, kemudian pada Pemerintahan Orde Baru berlaku Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU No. 3-1971. Kini di era Reformasi berlaku Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU No. 31-1999 yang kemudian diubah dengan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU No. 20-2001, namun dengan berlakunya undang-undang tersebut ternyata masih belum mampu mengatasi permasalahan korupsi yang begitu menggurita dan yang modusnya terus berkembang. Bentuk subjek hukum dalam tindak pidana yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi adalah manusia alamiah yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan yang dilakukan, baik kesengajaan atau kealpaan. Sedangkan unsur objektif yang diatur adalah: a. Menjanjikan untuk memberikan hadiah 1. Kepada pegawai negeri atau pegawai negeri itu telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya; 2. Atau kepada hakim, advokat, saksi ahli agar mempengaruhi putusan atau nasihat dan pertimbangan dan khusus dalam peradilan pidana diperberat sanksinya; b. Melarang pengawai negeri untuk 3 1. Menggelapkan uang, surat berharga, memberikan dan menolong terjadinya perbuatan itu; 2. Memalsukan menggelapkan, menghancurkan, merusakkan atau membikin tidak dapat dipakai barang-barang, akta-akta, surat-surat, buku-buku atau daftar-daftar yang khusus yang dikuasainya karena jabatannya, membuka, menolong terjadinya perbuatan tersebut; 3. Menerima hadiah atau janji agar menyalahgunakan atau sebagai upah setelah melakukan perbuatan tersebut; c. Melarang hakim atau advokat, saksi ahli untuk menerima hadiah atau janji yang diajukan untuk mempengaruhi putusannya dan mempengaruhi nasihat serta pertimbangan advokat, saksi ahli. Dalam perkara pidana diperberat sanksinya. d. Melarang perbuatan untuk menyalahgunakan jabatan untuk 1. Memaksa orang untuk memberikan, membayar atau menerima pembayaran, mengerjakan sesuatu untuk kepentingan pejabat; 2. Ikut melakukan suatu pekerjaan yang seharusnya diawasinya agar menguntungkan pejabat itu sendiri atau orang lain; e. Melakukan kejahatan dan pelanggaran atau melawan hukum 1. Melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran; 2. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan; 3. Secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara atau Daerah; 4. Merugikan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran masyarakat; f. Melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran dengan 1. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau badan 2. Secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara atau Daerah; 3. Merugikan suatu badan hukum lain yang mempergunakan modal atau kelonggaran dari negara atau masyarakat; g. Memberi hadiah atau janji kepada seseorang yang mendapatkan gajiupah dari keuangan NegaraDaerah atau dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan NegaraDaerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran dari negara atau masyarakat . 4 Pada Pemerintahan Orde Baru hanya terdapat satu undang- undang yang mengatur tentang tindak pidana korupsi, yaitu UU No. 3-1971. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka subjek hukum yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya adalah manusia alamiah dan bagian tertentu adalah pejabat sebagai salah satu jenis manusia alamiah. Unsur objektif yang dilarang adalah : 1. dengan melawan hukum menyalahgunakan jabatan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri menguntungkan atau orang lain, atau suatu badan; 2. yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; 3. atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara; 4. memberi hadiah kepada pejabat agar menyalahgunakan kewenangannya; 5. melakukan kejahatan yang diatur di dalam beberapa pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP; 6. pejabat yang tidak melporkan pemberian; 7. melakukan percobaan, permufakatan; 8. kewajiban orang yang mempunyai hubungannya dengan pejabat untuk memberikan keterangan seluruh harta kekayaannya. UU No. 31-1999 Jo UU No. 20-2001 telah mengatur berbagai ketentuan khusus diantaranya adalah sanksi pidana dan ketentuan hukum acara pidana. Sanksi yang berbeda dengan Undang-Undang sebelumnya, dalam proses penerapan hukum diharapkan dapat memberikan peranan positif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Sanksi pidana memiliki peranan penting dalam menciptakan kepatuhan hukum. Tirtaamidjaja menyatakan bahwa untuk menciptakan agar anggota masyarakat mematuhi hukum, maka diperlukan sanksi hukum. Sanksi hukum itu pula menurut Charles, dimaksudkan agar peraturan tersebut ditaati anggota masyarakat. Sanksi ini kemudian dipertahankan pemerintah untuk menjadikan anggota masyarakat mematuhi sebagaimana dikehendaki oleh peraturan perundang- undangan. Perkembangan pengaturan sanksi dalam perundang-undangan tersebut perlu dikaji untuk mengetahui konsistensi maupun visi 5 pembuat Undang-Undang dalam mengatur sanksi dalam pembuatan perundang-undangan. Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan sejak diundangkannya UU No. 20-2001 telah mengalami perubahan, baik dari aspek pelaku tindak pidana dan bentuk sanksi pidananya. Karakteristik sanksi pidana tidak hanya pada UU No. 20-2001, namun juga pada perundang-undangan lainnya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, telah mengatur tiga sanksi hukum sekaligus, yakni sanksi administratif, perdata dan pidana. Sanksi pidana pada prinsipnya dijatuhkan sebagai ultimum remedium dengan pengecualian pada keadaan tertentu. Di dalam UU No. 20-2001, pengaturan sanksi mengalami perkembangan yang sangat dinamis, jika dibandingkan dengan ketentuan sanksi pidana yang tertera dalam KUHP. Sanksi pidana yang tercantum dalam KUHP hanya dikenal dengan sanksi pidana tunggal atau utama atau sanksi pidana alternatif terhadap penjatuhan pidana pokok. Hal ini ditandai dengan kata atau dan batas minimum sanksi pidana penjara dalam KUHP secara umum adalah satu hari dan paling lama seumur hidup. Sanksi hukum dalam UU No. 20-2001 memiliki ciri khusus yang berbeda dengan sanksi dalam KUHP KUHP. Keizer dan Sitorus mengemukakan bahwa 1. Seseorang tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut ketentuan Undang-Undang; 2. Tidak ada penerapan Undang-Undang pidana berdasarkan analogi; 3. Seseorang tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan; 4. Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas; 5. Tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana; 6. Tidak ada pidana lain, kecuali yang ditentukan oleh Undang- Undang; 7. Penuntutan pidana hanya boleh dilakukan menurut cara yang ditentukan Undang-Undang. Pada masa Reformasi ketentuan tindak pidana korupsi terdapat perkembangan subjek hukum dari manusia alamiah kemudian 6 menjadi korporasi. Perkembangan yang sama juga dapat ditemukan pada bentuk pertanggungjawaban yang didasarkan pada kesalahan, maka diperkenalkan bentuk pertanggungjawaban baru berkenaan dengan korporasi. Selain dari unsur objektif yang dilarang dalam dua ketentuan pada masa Reformasi ini mengalami perkembangan, yaitu dijadikannya gratifikasi sebagai salah satu tindak pidana korupsi, selain itu unsur objektif yang dilarang adalah 1. Melakukan perbuatan melawan hukum menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, sarana yang ada padanya; 2. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 3. Yang dapat merugikan keuangan negara danatau perekonomian Negara; 4. Mengambil alih rumusan Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 425, atau Pasal 435 KUHP; 5. Merintangi proses peradilan tindak pidana korupsi; 6. Ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12, rumusannya diubah dengan tidak mengacu Pasal- Pasal dalam KUHP, tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing Pasal KUHP yang diacu; 7. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya; 8. Tidak melaporkan gratifikasi. Selain Komisi Pemberantasan Korupsi KPK yang terbentuk di tahun 2003, juga terdapat 6 Enam lembaga pemberantasan korupsi yang pernah dan telah dibentuk di negara ini yakni: 1. Operasi Militer 1957, 2. Tim Pemberantasan Korupsi 1967, 3. Operasi Tertib 1977, 4. Tim Optimalisasi Penerimaan Negara dari sektor pajak 1987, 5. Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi TKPTPK pada tahun 1999, dan 6. Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Timtas Tipikor pada tahun 2005. 7 Sebenarnya usaha-usaha untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi telah dilakukan sejak lama, beberapa kebijakan pemberantasan tindak pidana korupsi upaya baik yang bersifat preventif maupun represif. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu dikeluarkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain beberapa regulasi tersebut diatas, juga telah dibentuk berbagai Tim dan Komisi, seperti Tim Pemberantasan Korupsi pada tahun 1967 diketuai oleh Jaksa Agung Sugiarto, Komisi 4 Tahun 1970 diketuai Wilopo, Komite Anti Korupsi diketuai Akbar Tanjung, Operasi Penertiban Inpres Nomor 9 b Tahun 1977 beranggotakan Menpan, Pangkopkamtib, dan Jaksa Agung dibantu Pejabat Daerah dan Kapolri, Tim Pemberantasan Korupsi tahun 1982 dipimpin MA Mudjono, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 diketuai Adi Handojo dan terakhir Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara yang diketuai oleh Yusuf Syakir, yang semuanya dimaksudkan untuk mendukung institusi penegak hukum dalam pemberantasan korupsi. Upaya pemerintah Republik Indonesia dalam memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia, yakni dibentuknya KPK yang memiliki wewenang penyelidikan, penyidikan, penuntutan sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia UU No. 16-2004 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU No. 30-2002. Di Pasal 11 UU No. 30-2002, dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang: 8 a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara Negara; b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakaat; danatau c. Menyangkut kerugian Negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 Satu Miliar Rupiah. Kebijakan-kebijakan dan lembaga pemberantasan korupsi yang telah ada tersebut ternyata tidak cukup membawa Indonesia menjadi negara yang bersih dari korupsi. Berdasarkan kondisi dimana Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia tentunya ada beberapa hal yang kurang tepat dalam pelaksanaan kebijakan atau kinerja dari lembaga pemberantasan korupsi tersebut. Peraturan Hukum Pidana Khusus biasanya bersifat sementara, karena untuk membantu mengatasi kesulitan yang terjadi pada suatu waktu tertentu, dan bila telah tercapai equilibrium dalam masyarakat, peraturan tersebut dihapuskan lagi. Salah satu tindak pidana di luar KUHP atau tindak pidana khusus ini, yaitu tindak pidana korupsi diatur dengan UU No. 3-1971 Jo UU No. 31-1999 yang kemudian diubah dengan dibuatnya UU No. 20-2001. Selain itu rumusan tindak pidana korupsi yang diatur oleh UU No. 31-1999 cukup banyak memberikan kategori perbuatan korupsi, dan paling tidak terdapat 30 jenis perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi, antara lain: 1. Kerugian Negara Pasal 2 dan Pasal 3; 2. Suap-menyuap Pasal 5 Ayat 1 huruf a, huruf b dan Ayat 2; 3. Penggelapan dalam jabatan Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, huruf b, dan huruf c; 4. Pemerasan Pasal 12 huruf e, huruf g, dan huruf h; 5. Perbuatan curang Pasal 7 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d dan Ayat 2; 6. Pasal 12 huruf h; 7. Benturan kepentingan pengadaan Pasal 12 huruf l; 8. Gratifikasi Pasal 12 huruf b Jo Pasal 12 huruf c; 9. Tindak pidana lainnya yang berhubungan dengan korupsi mencegah, menghalang-halangi penyidikan tindak pidana 9 korupsi antara lain Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 31, Pasal 35, Pasal 36. Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi telah menjadi amanat Bangsa Indonesia yang telah dituangkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor XIMPR1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme – yang diwujudkan dalam UU No. 31-1999. Kendala utama yang dihadapi selama penerapan UU No. 31-1999 dalam penanganan tindak pidana korupsi yaitu kurangnya dukungan anggaran, sumber daya manusia yang masih belum memadai dan hambatan-hambatan penyidikan terhadap pejabat-pejabat negara, sulitnya menembus rahasia bank, hukum acara pidana yang tidak efektif dan efisien, serta rendahnya dukungan semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat sendiri. Menurut pendapat M. Jasin, tidak berjalannya program- program pemberantasan korupsi di Indonesia selama ini lebih banyak dikarenakan: 1. Dasar hukum untuk melaksanakan tugas dan fungsi dalam pemberantasan korupsi tidak kuat, 2. Program pemberantasan korupsi tidak dilakukan secara sistematis dan terintegrasi, 3. Sebagian lembaga yang dibentuk tidak memiliki mandat atau tidak melakukan program pencegahan, sementara penindakan tindak pidana korupsi dilaksanakan secara sporadis, sehingga tidak menyurutkan pelaku korupsi lain dalam melakukan pelanggaran yang sama, 4. Masyarakat mempunyai persepsi bahwa lembaga anti korupsi yang dibentuk berafiliasi kepada golongan atau partai tertentu sehingga masyarakat tidak mempercayai keberhasilan lembaga tersebut dalam memberantas korupsi, 5. Tidak mempunyai sistem sumber daya manusia yang baik, sistem rekrutmennya tidak transparan, program pendidikan dan pelatihan tidak dirancang untuk meningkatkan profesionalisme pegawai dalam bekerja, sehingga sumber daya manusia pada lembaga tersebut tidak memiliki kompetensi cukup melaksanakan tugas pemberantasan korupsi, 6. Tidak didukung sistem manajemen keuangan yang transparan dan akuntabel. Sistem penggajian pegawai yang tidak memadai, 10 mekanisme pengeluaran anggaran yang tidak efisien dan pengawasan penggunaan anggaran yang lemah, 7. Lembaga dimaksud menjalankan tugas dengan benar hanya pada tahun pertama dan kedua, maka setelah itu menjadi lembaga pemberantas korupsi yang korup dan akhirnya dibubarkan. Dibentuknya KPK pada tahun 2003 dengan lingkup tugas dan fungsi meliputi koordinasi, supervisi, penindakan, pencegahan, monitoring berdasarkan UU No. 30-2002, berusaha untuk tidak mengulang kegagalan lembaga-lembaga sebelumnya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 43 UU No. 31-1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20-2001 perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Pasal 43 UU No. 31-1999 menentukan: 1. Dalam waktu paling lambat 2 dua tahun sejak Undang-Undang Ini mulai berlaku, dibentuk Komisi pemberantasan Tindak Pidana korupsi; 2. Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3. Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur masyarakat; 4. Ketentuan mengenai pembentukan, susunan, organisasi, tata kerja, pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 diatur dengan Undang-Undang. Reformasi mengandung arti perubahan untuk perbaikan, maka di dalam era Reformasi perlu penegakan supremasi hukum pada segala aspek kehidupan, termasuk juga perbaikan kinerja lembaga hukum dan aparat penegak hukum. Dalam rangka menangani dan memberantas korupsi yang masif dan sistematis dalam kehidupan Bangsa Indonesia, serta untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial ekonomi masyarakat serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi maka pemerintah Indonesia memandang perlu adanya perubahan UU No. 31-1999 dirasakan belum memadai untuk pemberantasan 11 korupsi yang bersifat luar biasa sehingga perlu diamanatkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor VIIIMPR2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan diwujudkan dalam UU No. 20-2001. Perubahan atas UU No. 31-1999 yaitu Pertama : “Pada rumusan penjelasan Pasal 2 UU No. 31-1999, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12, rumusan pasal-pasal tersebut tidak mengacu pada pasal-pasal dalam KUHP tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal KUHP ”; Kedua : “Pada UU No. 20-2001, mencantumkan ketentuan mengenai gratifikasi dalam Sistem Pembuktian Terbalik Omkering Vanhet Bewijslast yang terdapat dalam Pasal 12 huruf b dan Pasal 12 huruf c ”; Ketiga : “UU No. 20-2001 juga memberikan kewenangan untuk melakukan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana. Hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 38 huruf b Ayat 2 UU No. 20-2001 bahwa dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bawa harta benda sebagaiman dimaksud dalam ayat 1 diperoleh bukan bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara ”. Pelaporan gratifikasi meliputi pelaporan terhadap pemberian dalam arti luas yaitu meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam maupun luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Bahkan baru-baru ini layanan seksual yang disediakan pihak-pihak tertentu terhadap pejabat publik terkait dengan jabatannya dapat diartikan sebagai gratifikasi. Pelaporan ini juga mengandung delik sistem pembalikan beban pembuktian yaitu beban pembuktian berada pada terdakwa dan proses pembuktian ini hanya berlaku saat pemeriksaan di sidang pengadilan. Penerapan sistem pembalikan beban pembuktian dalam pelaporan gratifikasi dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi telah diterapkan di Malaysia dan Singapura. Dengan adanya penerapan delik sistem pembalikan beban pembuktian pada pelaporan gratifikasi dalam UU No. 20-2001, diharapkan pencegahan 12 terhadap tindak pidana korupsi akan lebih optimal dan efektif, setidak-tidaknya dapat mengurangi praktek korupsi yang selama ini telah terjadi. Dalam perkembangannya, gratifikasi tidak hanya meliputi suap berupa materi namun merambah pada layanan seksual yang disediakan oleh pihak penyuap dan menyebabkan penyalahgunaan wewenang pejabat publik atau pegawai negeri sehingga menimbulkan kerugian negara. Menurut Bahtiar Ali, saat ini ada model baru gratifikasi, bukan hanya berupa materi tapi pelayanan plus-plus atau pemberian Pekerja Seks Komersial PSK. Pemberian gratifikasi itu sudah jelas diatur, tapi soal seks itu tidak disebutkan secara jelas, sehingga menyulitkan penegak hukum dalam melakukan pembuktian. Oleh karena itu suap seks ini merupakan gratifikasi gaya baru yang sulit dalam pembuktiannya. Namun demikian ketentuan Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999, menyiratkan “fasilitas lainnya” sebagai bentuk gratifikasi. Namun diperlukan interpretasi ilmiah terhadap pasal tersebut sehingga dapat digunakan oleh aparat penegak hukum dalam menjerat para koruptor yang merugikan keuangan negara danatau keuangan negara. Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001, yaitu 1. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 Sepuluh Juta Rupiah atau lebih, pembuktian bahwa grafitasi tersebut bukan merupakan uang suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 Sepuluh Juta Rupiah, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh Penuntut Umum. Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan perundang- undangan yang berlaku. Penyelenggara Negara menurut ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Republik Nomor 28 Tahun 1999 tentang 13 Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme UU No. 28-1999 meliputi 1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; 2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; 3. Menteri; 4. Gubernur; 5. Hakim; 6. Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan 7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembuktian dalam tindak pidana korupsi bisa menggunakan asas pembuktian terbalik dan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP, namun pada hal-hal tertentu diperlukan hukum acara khusus yang telah diatur dalam UU No. 20- 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Namun demikian diperlukan kajian mendalam mengingat seks atau layanan seks dalam praktek sangat sulit dalam pembuktiannya. B . Norma-Norma Materil Dan Hukum Pidana Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa selain oleh hukum – kehidupan manusia dalam masyarakat dipedominya moral manusia itu sendiri, diatur oleh agama, oleh kaidah-kaidah susila, kesopanan, adat kebiasaan dan kaidah-kaidah sosial lainnya. 3 Kaidah-kaidah dapat menjadi tuntutan orang untuk berperilaku, atau menjadi norma-norma berperilaku. Sebagai norma biasanya tidak dengan sengaja dibuat oleh pembuat norma, akan tetapi berkembang sendiri dalam hidup manusia dari generasi ke generasi. Kaidah- kaidah moral, agama, susila, kesopanan, adat kebiasaan dan sosial yang selanjutnya menjadi norma perilaku tersebut, ada yang dikukuhkan menjadi bagian dari hukum perdata, hukum administrasi atau hukum pidana. 4 3 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional , Lembaga Penelitian Hukum dan kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, tidak bertahun, hal. 3. 4 Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana di Indonesia , 2002, hal. 2. 14 Negaralah yang menetapkan norma-norma perilaku mana yang akan dikukuhkan menjadi kaedah hukum dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang perlu dilindungi, terutama dari intervensi pihak lain dan tidak semua kepentingan dapat dilayani oleh hukum, karena kepentingan setiap orang berbeda dan bahkan dapat juga saling bertentangan, lagi pula tidak setiap kepentingan patut dihormati. Banyak aturan yang diundangkan kurang berhasil. Aturan-aturan itu tidak akan didukung apabila bertentangan dengan aturan-aturan yang masih dianut dalam masyarakat, sekalipun tidak diundangkan. Hukum pidana sebagai codex, dan karenanya sifatnya sebagai codex jauh dari sempurna. Oleh karena itu hakim sering mencari keadilan dalam nilai-nilai masyarakat dan yang sangat mencolok dalam hukum pidana adalah penegakan norma-normanya, karena penegakan hukum pidana sesungguhnya banyak ditentukan oleh asas legalitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 KUHP.

C. Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana