124
UU No. 31-1999 dan UU No. 20-2001, serta di dalam UU No. 15- 2002 Jo UU No. 25-2003 Jo Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang UU No. 8-2010;
d. Perumusan pidana penjara dan denda secara alternatif dan komulatif hanya ditemukan didalam peraturan perundang-
undangan Indonesia, yaitu di dalam UU No. 31-1999 dan UU No. 20-2001;
C. Sanksi Pidana Tindak Pidana Pelaku Gratifikasi Seksual
Menurut H.L.Packer, maka sanksi pidana merupakan suatu kebutuhan dan penjamin utama bagi kelangsungan dan keberadaan
suatu masyarakat untuk menghadapi bahaya besar yang dapat menghancurkan masyarakat.
Selain itu dapat ditambahkan pandangan Immanuel Kant bahwa dasar pemberian sanksi pidana tidak pernah dilaksanakan semata-
mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan atau kebaikan lain, baik bagi si pelaku gratifikasi seksual itu sendiri maupun bagi
masyarakat, akan tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu tindak
pidana.
Terkait dengan hal tersebut, maka pengancaman sanksi pidana pada pelaku gratifikasi seksual dibutuhkan negara untuk mencegah
terjadinya tindak pidana pelaku gratifikasi seksual, dan dalam hal tindak pidana tersebut telah terjadi, maka sanksi pidana dapat
dijadikan alat untuk menindak pelakunya. Hal yang demikian sangat penting untuk dilakukan sebagai upaya pencapaian tujuan berbangsa
dan bernegara seperti tercantum di dalam Pembukaan UUD NRI 1945.
Menurut aliran retributif, maka sanksi pidana dibenarkan semata-mata didasarkan keinginan masyarakat untuk memberikan
sanksi pidana sebagai imbalan yang layak bagi pelaku gratifikasi seksual dan yang dilarang. Pendekatan yang dipakai oleh golongan
retributif tersebut lebih banyak bersandar pada prinsip moral.
Menurut Immanuel Kant, bahwa pidana merupakan bukti bahwa prinsip moral jelas tidak memerlukan pembenaran dari luar
125
dirinya, bahwa kejahatan itu sendiri pantas dikenakan pidana, dan pidana setimpal atau setara dengan kejahatan yang dilakukan.
Demikian juga pandangan Hegel menyatakan perbuatan salah merupakan penyangkalan dari hak dan penolakan harus dilakukan
oleh reaksi masyarakat berupa sanksi pidana bagi pelanggar. Berkenaan dengan teori retributif, maka pemberian sanksi pidana
pada pelaku gratifikasi seksual merupakan imbalan yang setimpal sebagai konsekuensi bagi pelaku gratifikasi seksual, karena telah
melakukan perbuatan yang merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dan ditujukan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Sanksi pidana merupakan pengekspresian penolakan masyarakat terhadap perbuatan pelaku gratifikasi seks dari hasil
tindak pidana korupsi. Pentingnya merumuskan sanksi pidana dan menegakkannya disebabkan setiap orang seharusnya menerima
ganjaran dari perbuatannya melakukan gratifikasi seksual, karena kalau tidak demikian, maka mereka semua dapat dipandang sebagai
orang yang ikut ambil bagian dalam perbuatan tersebut, yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum. Selain itu sanksi
pidana juga merupakan reaksi masyarakat, Bangsa dan Negara Indonesia atas penyangkalan yang dilakukan oleh pelaku gratifikasi
seksual terhadap tertib masyarakat berhubungan dengan penguasaan sumber-sumber keuangan bagi warga masyarakat atau warga negara.
Pidana seumur hidup atau pidana penjara danatau denda bagi pelaku gratifikasi seksual semata-mata diancamkan sebagai
pernyataan balas dendam masyakarat sebagai korban tindak pidana korupsi dan pelaku gratifikasi seksual atas perbuatannya yang telah
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
Jenis pidana lainnya yang diancamkan bagi pelaku gratifikasi seksual adalah pidana denda berupa pembayaran sejumlah uang
yang wajib dibayar oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan. Pidana denda kecuali sebagai jenis pidana yang berdiri sendiri, dapat
dikomplementasikan dengan jenis pidana pencabutan kemerdekaan.
Pemberian pidana dilakukan atas dasar adanya nilai kegunaan. Pandangan ini dikemudikan oleh kelompok utilitarian. Menurut
kelompok ini, pidana dibenarkan untuk diancamkan dan dijatuhkan semata-mata jika mempunyai manfaat untuk masa yang akan datang.
126
Manfaat yang hendak ditarik dengan adanya pidana adalah adanya daya pencegah bagi terjadinya perbuatan yang dilarang.
Sanksi pidana hanya boleh dijatuhkan jika mempunyai manfaat bagi pelaku gratifikasi seksual maupun pelaku tindak pidana
korupsi, khususnya untuk merubah masa depan pelaku kriminal dan orang lain yang mungkin akan tergoda untuk melakukan kejahatan.
Pencegahan itu merupakan hal yang logis, karena setiap orang menghendaki kesenangan dan kebahagiaan di dalam hidupnya,
dengan demikian seseorang akan selalu menghindarkan diri dari kemungkinan dikenkan pidana, sehingga hal tersebut menutup
kemungkinan bagi seseorang untuk melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.
Berdasarkan pandangan teori utilitarian, pemberian sanksi pidana pada pelaku gratifikasi seksual ditujukan untuk mencegah
orang agar tidak melakukan perbuatan tersebut, karena konsekuensi dari perbuatan gratifikasi seksual adalah dikenakannya sanksi
pidana yang diancamkan terhadap perbuatan tersebut. Penderitaan yang diberikan oleh sanksi pidana diharapkan akan menjadi alasan
seseorang untuk menghindari diri melakukan tindak pidana gratifikasi seksual. Pemberian sanksi pidana juga diharapkan
menjadi sarana efektif untuk mencegah seseorang mengulangi tindak pidana gratifikasi seksual.
Selain teori retributif dan utilitarian terdapat kelompok teori lain yang juga berusaha mencari dasar pembenar diadakannya sanksi
pidana adalah teori behavioral. Beranggapan bahwa pidana dibenarkan karena bermanfaat
bagi pelaku gratifikasi seksual. Rehabilitasi adalah tujuan, sifat pelanggaran yang relevan hanya memperbaiki pelaku gratifikasi
seksual. Berdasarkan teori ini, maka sanksi pidana yang diancamkan kepada pelaku gratifikasi seksual semata-mata untuk kepentingan
perbaikan pelaku gratifikasi seksual agar menjadi warga masyarakat atau warga negara yang patuh terhadap hukum.
Ketiga teori tersebut secara keseluruhan bersesuaian juga dengan tujuan penjatuhan sanksi denda dan uang pengganti.
Pemberian sanksi pidana selain memiliki dasar-dasar juga memiliki tujuan tertentu. Pada dasarnya teori-teori ini terpengaruh pada dua
pandangan dan aliran utama yang telah dibicarakan, yaitu teori
127
retributif dan utilitarian. Teori-teori yang dapat digolongkan pada teori retributif antara lain:
× Revenge Theory; dan × Expiation Theory.
Sedangkan yang dapat digolongkan sebagai pendukung aliran retributif dan utilitarian antara lain:
ם Deterence Theory; ם Special Deterence Theory.
Sebagai pelengkap perlu juga dikemukakan kelompok teori behavioral, yaitu incapation theory dan rehabilitation theory.
Senada dengan teori-teori tersbut, maka terdapat aliran pemikiran lain yang berusaha merumuskan tujuan pidana, yaitu
aliran klasik dan sesudahnya adalah aliarn modern. Aliran klasik timbul untuk memperbaharui sistem hukum yang saat itu dianggap
tidak beradab dan melindungi terdakwa dari kesewenang-wenangan penguasa. Oleh karena itu, aliran klasik beragumentasi bahwa pidana
harus sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya. Di pihak lain aliran positifis, berusaha menerapkan prinsip dan metode ilmiah
pada studi tentang penjahat. Berkenaan dengan hal ini, maka diperlukan kesesuaian antara pidana dengan masing-masing pelaku
guna melindungi masyarakat dari pelaku kejahatan.
Di Indonesia tujuan pidana selain mengadopsi pemikiran yang berkembang secara universal juga mengadopsi pemikiran yang
berakar dari hukum adat, yaitu: ∞ Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan
norma hukum demi pengayoman masyarakat; ∞ Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan,
sehingga menjadikannya orang baik dan berguna; ∞ Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
∞ Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. UU No. 20-2001 merupakan perkembangan politik hukum
pidana nasional yang telah menganut sistem individualisasi pidana, berorientasi pada pelaku dan perbuatan, sehingga jenis sanksi yang
diterapkan dalam undang-undang ini meliputi sanksi pidana yang bersifat penderitaan dan sanksi tindakan yang beorientasi pada
128
penyelamatan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Sanksi pidana tambahan yang diatur dalam Pasal 18 UU No. 20-2001 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, masih tumpang tindih pengaturannya dengan sanksi tindakan.
Ketentuan pidana bersyarat tercantum dalam Pasal 14 KUHP yang berlaku sebagai ketentuan umum, kecuali ditentukan secara
khusus dalam peraturan perundang-undangan. Pengaturan sanksi merupakan perwujudan politik hukum nasional yang didasarkan
pada dua teori pemidanaan, yaitu pencegahan damn retributif.
Alternatif pertama pidana tambahan yang dapat dijatuhkan kepada pelaku gratifikasi seksual adalah pidana perampasan barang
atau tagihan tertentu. Perampasan barang pidana perampasan barang tertentu danatau tagihan dapat dapat dijatuhkan jika pihak
terpidana hanya dikenakan tindakan. Pidana perampasan barang yang bukan milik terpidana tidak dapat dijatuhkan jika hak pihak
ketiga dengan itikad baik akan terganggu. Tujuan penjatuhan pidana ini adalah untuk mencegah agar pelaku gratifikasi seksual tidak lagi
mengulangi perbuatannya pada masa yang akan datang. Selain itu pidana tambahan ini ditujukan untuk member jaminan akan
dilaksanakannya pidana denda yang ditetapkan kepada pelaku gratifikasi seksual.
Alternatif sanksi pidana tambahan lainnya yang dapat diancamkan bagi pelaku gratifikasi seksual adalah pengumuman
hakim. Pidana tambahan ini bertujuan untuk mengekpresikan pernyataan penguasa bahwa perbuatan gratifikasi seksual adalah
perbuatan yang melanggar hukum.
Alternatif pidana tambahan yang diusulkan sebagai pidana tambahan pelaku gratifikasi seksual adalah membayar restitusi, yang
dimaksudkan sebagai ganti kerugian yang harus diberikan oleh pelaku gratifikasi seks. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong
kompensasi terhadap korban dalam hal ini negara oleh orang yang bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan korban
kejahatan. Penentuan jumlah disesuaikan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku gratifikasi seksual, sedangkan metodenya
adalah dengan mengajukan permohonan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK sebagaimana dimaksud
129
dalam UU No. 13-2006, sebelum adanya putusan hakim pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Perumusan sanksi pidana pelaku gratifikasi seksual berupam pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara dalam waktu
tertentu dan denda sebagai pidana pokok, serta pidana untuk membayar restitusi, perampasan barang-barang yang diduga hasil
dari tindak pidana korupsi yang dinikmati oleh pelaku gratifikasi.
Secara teoritik, maka perumusan sanksi pidana yang tepat secara
integral akan memberi
jaminan bagi keberhasilan
penanggulangan tindak pidana, khususnya di Indonesia. Perumusan sanksi pidana haruslah berlandaskan nilai Ketuhanan, nilai
Kemanusiaan dan nilai Keadilan secara seimbang, sebagaimana tercermin dalam ide kesimbangan monodualistik antara kepentingan
masyarakat kepentingan individu; ide yang keseimbangan antara pidana yang berorientasi pada pelaku dan korban; ide pemaafan
hakim; ide mengutamakan keadilan dari kepastian hukum.
Perumusan tujuan pemidanaan, bentuk dan jenis serta berat ringannya pidana dan pedoman pemidanaan harus disesuaikan
dengan nilai-nilai tersebut. Tujuan pemidanaan, bentuk dan jenis serta berat ringannya
pidana dan pedoman pemidanaan seharusnya memiliki ciri-ciri khas Indonesia. Pemberian sanksi pidana seharusnya disesuaikan dengan
harkat dan martabat manusia Indonesia. Manusia Indonesia harus diperlakukan sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial secara
bersamaan pula. Kedudukan manusia Indonesia yang multi dimensional tersebut sesuai dengan prinsip monodualisme atau
prinsip kebersamaan.
Penentuan sanksi yang sesuai bagi pelaku gratifikasi seksual secara filosofi didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila. Salah satu nilai tersebut adalah nilai ketuhanan. Nilai ketuhanan mengarahkan penentuan sanksi pidana bagi pelaku
gratifikasi seksual disesuaikan dengan kedudukan sebagai makhluk Tuhan. Berdasarkan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, maka
pelaksanaan pemberian maaf atas suatu kesalahan dapat dibebaskan. Oleh karena itu tidak setiap pelaku gratifikasi seksual yang terbukti
melakukan perbuatan gratifikasi seksual harus dijatuhi sanksi pidana yang diancamkan.
130
Berkenaan dengan ide pemberian maaf pada terpidana dikenal dengan asas pemberian maaf dengan tidak menjatuhkan sanksi
pidana atau tindakan apapun kepada pelaku, diimbangi pula dengan adanya asas
“culpa in causa.” Berdasarkan asas ini diberi kewenangan kepada hakim untuk
tetap mempertanggungjawabkan si pelaku tindak pidana walaupun ada alasan penghapus pidana, jika si pelaku patut dicela atas
terjadinya keadaan yang menjadi alasan penghapus pidana tersebut. Jadi kewenangan hakim untuk memaafkan atau tidak menjatuhkan
pidana diimbangi dengan kewenangan untuk tetap memidana sekalipun adanya alasan penghapus atau peniadaan pidana. Asas ini
sejalan dengan asas pemberian maaf yang juga dikenal dengan istilah lain, yaitu asas pemaafan hakim yang memberikan kewenangan
kepada hakim berdasarkan hikmat kebijaksanaannyan untuk tidak menjatuhkan pidana berdasarkan pertimbangan telah tercapainya
tujuan pemidanaan.
Selain nilai ketuhanan sebagai penjabaran nilai-nilai Pancasila, maka nilai Kemanusian juga dapat dijadikan dasar bagi perumusan
sanksi pidana yang sesuai bagi pelaku gratifikasi seksual. Berdasarkan nilai kemanusiaan, maka penjatuhan pidana tidak
dibenarkan merendahkan harkat dan martabat manusia. Selain itu sanksi pidana tidaklah dibenarkan untuk membuat manusia
menderita, dengan kata lain kecuali beberapa kebaikan dapat dilihat dengan melakukannya.
Asas lain yang merupakan penjabaran dari nilai kemanusiaan adalah asas elastisitas pemidanaan yang diformulasikan dalam
pedoman dan aturan pemidanaan bertujuan mempertahankan sisi kemanusiaan terpidana dengan jalan memberikan pedoman kepada
hakim agar di dalam menjatuhkan sanksi pidana diupayakan sanksi tersebut merupakan pilihan terbaik untuk terpidana.
Nilai kemanusiaan lebih berorientasi kepada perbaikan pelaku gratifikasi seksual, sehingga sanksi pidana yang dijatuhkan
diarahkan untuk kepentingan masa depan pelaku gratifikasi seksual agar dapat menjadi manusia seutuhnya yang taat pada hukum.
Sanksi pidana hanya boleh dijatuhkan jika mempunyai manfaat bagi pelaku maupun calon pelaku kejahatan.
131
Sanksi pidana bagi pelaku gratifikasi seksual juga ditujukan untuk memperbaiki persepsi pelaku gratifikasi seksual. Anggapan
bahwa pelaku gratifikasi seksual sebagai perbuatan yang benar, harus diubah menjadi suatu anggapan bahwa melakukan perbuatan
gratifikasi seksual merupakan perbuatan tercela.
Selain nilai Kemanusiaan dan nilai kemanusiaan, maka nilai keadilan juga dapat dijadikan dasar dalam merumuskan sanksi
pidana yang sesuai bagi pelaku gratifikasi seksual. Keadilan adalah kehendak yang ajeg dan tetap untuk memberikan kepada masing-
masing bagiannya. Khusus berkenaan dengan sanksi pidana, mak hal tersebut sejalan dengan model keadilan, yaitu keadilan vindikatif.
Keadilan vindikatif adalah keadilan didasarkan kepada kesepadanan antara penjatuhan sanksi pidana dengan perbuatan pidana yang
dilakukan.
Konsep keadilan demikian dapat dijadikan dasar perumusan sanksi pidana yang sesuai bagi pelaku gratifikasi seksual.
Berdasarkan konsep ini, maka sanksi pidana ditujukan memenuhi kepentingan pelaku dan korban sekaligus. Rumusan sanksi pidana
dapat menjadi solusi yang terbaik dan dapat diterima serta bermanfaat bagi pelaku, korban dan masyarakat, bangsa dan Negara.
Selain itu perumusan sanksi pidana perbuatan gratifikasi seksual sebanding dengan perbuatan yang telah dilakukannya.
Tujuan ini tidak mungkin dapat dipenuhi oleh satu jenis sanksi, oleh karenanya perlu beberapa jenis sanksi yang secara sekaligus
diancamkan pada perbuatan gratifikasi seksual, yaitu pidana pokok berupa pidana penjara seumur hidup, pidana penjara dalam waktu
tertentu, pidana denda.
Pidana tambahan ini dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok atau dijatuhkan secara berdiri sendiri tanpa harus
dijatuhkan terlebih dahulu pidana pokok. Pidana tambahan yang sesuai dengan perbuatan gratifikasi seksual adalah perampasan
barang-barang yang diduga diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi.
Sanksi pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu semata-mata untuk melindungi kepentingan Negara dalam
rangka mengembalikan kerugian yang dideritanya dengan mendapat
132
jaminan dengan menahan atau merampas harta yang dikuasai oleh terpidana cukup untuk mengembalikan kerugian Negara.
Perumusan sanksi pidana tambahan pengumuman putusan hakim, ditujukan untuk menegaskan bahwa perbuatan gratifikasi
seksual adalah perbuatan yang melanggar hukum dan menyatakan bahwa terpidana bersalah telah melakukan perbuatan gratifikasi
seksual dan telah pula dikenakan sanksi pidana yang sepadan.
Tindakan perbaikan akibat tindak pidana ditujukan untuk melindungi kepentingan korban dan masyarakat yang seharusnya
menerima manfaat dari keuangan Negara atau perekonomian Negara yang dirampas oleh pelaku kejahatan gratifikasi seksual.
133
BAB IV AKHIR PEMIKIRAN
A. Konstatir