Konstatir AKHIR PEMIKIRAN A. Konstatir

133 BAB IV AKHIR PEMIKIRAN

A. Konstatir

Berdasarkan kajian pada bab-bab sebelumnya, maka penulis mengkonstatir sebagai berikut: 1. Layanan seks dapat dikategorikan sebagai gratifikasi dalam tindak pidana korupsi artinya bahwa k alimat “... dan fasilitas lainnya” memiliki arti yang sangat luas sehingga dapat ditafsirkan secara ektensif sebagai layanan seksual yang disediakan oleh pemberi suap. Namun demikian harus pula memenuhi unsur sesuai Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut yakni “apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya ”. Namun apabila tidak berhubungan dengan jabatannya dan tidak berlawanan dengan kewajibannya, maka tidak dapat dikatakan sebagai gratifikasi. Sehingga yang harus dibuktikan oleh terdakwa, yaitu apakah terdakwa menerima layanan seks? Jika ya, apakah layanan seks tersebut berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban dan tugas-tugasnya. Sistem pembebanan pembuktian yang berlaku dalam hukum acara pembuktian tindak pidana korupsi yakni sistem pembuktian biasa sesuai KUHAP; sistem pembuktian terbalik, beban pembuktian ada pada terdakwa; praduga tak bersalah yakni kewajiban pembebanan pembuktian ada pada Penuntut Umum, sehingga sistem pembuktian pada tindak pidana korupsi adalah sistem pembuktian terbalik yang berimbang; 2. Gratifikasi seksual menggunakan sistem beban pembuktian terbalik sebagai sistem pembuktian yang memungkinkan untuk dipergunakan mengingat sulitnya dalam pembuktian. Sebaiknya adanya regulasi baru yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, sehingga tidak terjadi kekosongan hukum yang menyebabkan kesulitan dalam penerapannya bagi aparat penegak hukum; 3. Korupsi saat ini hanya lebih dikaitkan kepada uang danatau benda berharga lainnya, sehingga perlu adanya perubahan 134 terhadap UU No. 20-2001 adanya regulasi baru yang menyangkut tindak pidana korupsi bagi pihak yang menerima dan memberi gratifikasi seks, sehingga makna gratifikasi dapat diperluas dan disebutkan secara eksplisit mengenai layanan seks sebagai salah satu bentuk gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001; 4. Ketentuan Pasal 12 huruf c UU No. 20-2001, mengenai pelaporan pegawai negeri yang menerima gratifikasi dalam waktu 30 hari kerja untuk menentukan kepemilikan objek gratifikasi apakah milik negara atau milik pegawai negeri penerima gratifikasi tersebut sekaligus sebagai alasan peniadaan penuntutan pidana vervolgingsluitingsgronde, karena telah melaporkan menerima gratifikasi tersebut sangat mengganggu semangat pemberantasan tindak pidana korupsi. Oleh karenanya perlu dipertimbangkan oleh pembuat Undang-Undang, khusus untuk gratifikasi yang berbentuk layanan seks atau penyediaan wanita penghibur tidaklah masuk dalam ketentuan Pasal 12 huruf c UU No. 20-2001 tersebut, karena pada prakteknya sulit dalam pembuktiannya.

B. Saran 1. Guna memberikan kepastian hukum, maka regulasi baru tentang