Layanan Seks Sebagai Korupsi Pasif

37 korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya. Kata- kata bersifat “terbatas” di dalam memori atas Pasal 37 UU No. 31-1999 dikatakan apabila terdakwa dapat membuktikan dalilnya, “terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi”. Ini bukan berarti terdakwa benar-benar terbukti melakukan tindak pidana korupsi, sebab penuntut umum masih berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Sedangkan kata “berimbang” dimaksudkan penghasilan terdakwa atau sumber penambahan harta benda terdakwa, sebagai pendapatan terdakwa dan perolehan harta benda terdakwa sebagai output tidak seimbang. Dengan kata lain antara penghasilan dan harta yang dimiliki tidak seimbang.

B. Layanan Seks Sebagai Korupsi Pasif

UU No. 20-2001 telah mengatur berbagai jenis tindak pidana korupsi mengelompokkan ada tujuh kelompok korupsi yakni ҹ Kerugian keuangan negara; ҹ Suap menyuap; ҹ Penggelapan dalam jabatan; ҹ Pemerasan; ҹ Perbuatan curang; ҹ Benturan kepentingan dalam pengadaan; ҹ Gratifikasi. Oleh karena penulisan ini berangkat dari beberapa fakta penangkapan oleh KPK sering kali terdapat wanita yang diduga sebagai pekerja seks komersial sebagai suap bentuk baru, baik dalam satu paket uang, barang berharga, tiket tempat hiburan termasuk penyediaan pekerja seks komersial maupun terpisah. Maka perlu kiranya penulis membuat suatu analisis mendalam mengenai gratifikasi dan bentuk-bentuknya atau jenis-jenisnya yang tercakup sesuai dengan aturan perundang-undangan. 38 Gratifikasi merupakan suatu hal yang baru dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia. Gratifikasi diatur dalam Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001, yang berbunyi 1. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan dkewajiban atau tugasnya dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 Sepuluh Juta Rupiah atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi ; b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 Sepuluh Juta Rupiah, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. 2. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud adalam Ayat 1 adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 Empat tahun dan paling lama 20 Dua Puluh tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 Dua Ratus Juta Rupiah dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 Satu Miliar Rupiah. Dalam rumusan Pasal 12 huruf b UU No. 31-1999 tersebut tidak semuanya berisi tentang ketentuan tindak pidana menerima gratifikasi hukum pidana materil, tetapi juga memuat ketentuan hukum pidana formil khusus mengenai pembuktian bagi tindak pidana menerima gratifikasi tersebut, sedangkan mengenai hukum pidana materil menerima gratifikasi dimuat dalam ayat 1 pada kalimat sebelum huruf a dan huruf b, sedangkan mengenai ancaman pidananya dimuat dalam ayat 2, yaitu pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 Empat tahun dan paling lama 20 Dua Puluh tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 Dua Ratus Juta Rupiah dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 Satu Miliar Rupiah. Tindak pidana korupsi menerima gratifikasi seksual ini merupakan tindak pidana baru yang dalam UU No. 3-1971 belum diatur. Namun mengenai dicantumkannya alasan peniadaan penuntutan pidana berupa melaporkan penerimaan gratifikas i” oleh pegawai negeri yang menerima gratifikasi pada Komisi 39 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menurut pasal 12 C ayat 1, rupanya meniru ketentuan Pasal 1 Ayat 1 huruf e Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perbedaannya pada ketentuan Pasal 1 Ayat 1 tempat melapor adalah Polisi, sedangkan Pasal 12 huruf c Ayat 1 adalah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perbedaan lain adalah tenggang waktu melapor, jika pada UU No. 20-2001, bahwa tenggang waktu 30 hari, sedangkan pada UU No. 3-1971 hanya sesingkat- singkatnya. Gratifikasi menurut Pasal 12 huruf b Ayat 1 berhubungan erat dengan uang atau barang yang dapat dinilai dengan uang, sehingga layanan seksual sangat sulit dikategorikan sebagai gratifikasi karena memiliki kerelatifan nilai dinilai dengan uang. Dalam penjelasan Pasal 12 huruf b Ayat 1 UU No. 20-2001 berbunyi “yang dimaksud dengan “gratifikasi” dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik maupun tanpa sarana elektronik. 21 Apabila dicermati penjelasan Pasal 12 huruf b Ayat 1 UU No. 20-2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 di atas, kalimat yang termasuk definisi gratifikasi adalah sebatas kalimat pemberian dalam arti luas, sedangkan kalimat setelah itu merupakan bentuk-bentuk gratifikasi. Dari penjelasan Pasal 12 huruf b Ayat 1 juga dapat dilihat bahwa pengertian gratifikasi mempunyai makna yang netral, artinya tidak terdapat makna tercela atau negatif dari arti kata gratifikasi tersebut. Apabila penjelasan ini dihubungkan dengan rumusan Pasal 12 huruf b dapat dipahami bahwa tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum, melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam unsur Pasal 12 huruf b saja. Sedangkan kalimat “....dan fasilitas lainnya” memiliki arti yang sangat luas, sehingga jika ditafsirkan secara ektensif oleh hakim dapat juga termasuk layanan seksual yang disediakan. Namun demikian harus pula memenuhi unsur sesuai 21 Doni Muhardiasyah, Buku Saku Memahami Gratifikasi, KPK, 2010, hal. 3. 40 Pasal 12 huruf b ters ebut yakni “apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan dkewajiban atau tugasnya”. Adami Chazawi menyimpulkan mengenai penjelasan Pasal 12 huruf b Ayat 1 UU No. 20-2001 adalah sebagai berikut: 1. Bahwa ternyata pengertian gratifikasi adalah sama dengan pengertian suap pasif, khususnya pegawai negeri yang menerima suap berupa penerimaan dari pemberian-pemberian dalam arti luas yang terdiri atas benda, jasa, fasilitas dan sebagainya. 2. Karena berupa penyuapan pasif, berarti tidak termasuk pengertian suap aktif, maksudnya tidak mempersalahkan dan mempertanggungjawabkan pidana dengan menjatuhkan pidana pada pemberi suap gratifikasi menurut Pasal 12 huruf b ini. 3. Dengan demikian, luasnyapengertian suap gratifikasi seperti yang diterangkan dalam penjelasn mengenai Pasal 12 huruf b Ayat 1 tadi, tidak bisa tidak bahwa tindak pidana korupsi suap gratifikasi ini menjadi tumpang tindih dengan pengertian tindakpidana suap pasif pada Pasal 5 Ayat 2, Pasal 6 Ayat 2, dan Pasal 12 huruf a, b dan c. 22 Dalam Pasal 5 Ayat 2 UU No. 20-2001, menentukan bahwa bagi pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana sama sebagaimana dimaksud dalam ayat 1. Dalam Pasal 6 Ayat 2 UU No. 20-2001, menentukan bahwa bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat 1. Dalam Pasal 12 UU No. 20-2001, menentukan dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 Empat tahun dan paling lama 20 Dua Puluh tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 Dua Ratus Juta Rupiah dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 Satu Miliar Rupiah: a. pegawai negeri atau penyelengara Negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau 22 Adami Chazawi, op.cit, hal. 284. 41 tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; b. pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal; diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili. Betapa gigihnya pembentuk UU No. 20-2001 ini, sehingga berupaya menjerat pelaku korupsi sedemikian rupa sehingga tidak mungkin lolos dari jerat hukum. Walaupun disadari oleh pembentuk Undang-Undang bahwa pada saat penerapannya nanti dapat menimbulkan tumbapng tindih dan mungkin membingungkan. Sifat ketentuan hukum yang tumpang tindah tersebut terjadi ketika penerapannya membingungkan. Pemberian layanan seksual pernah dianalogikan sebagai faktor pemberat hukuman. Dalam kasus korupsi yang melibatkan Al Amin Nasution, pengadilan banding memperberat hukuman dari 8 tahun menjadi 10 tahun penjara karena faktor “perempuan”. Dalam persidangan dibuka transkrip perbincangan soal “pake” perempuan antara Al Amin Nasution, Ahmad Fatonah dan Lutfi Hasan Ishaq serta tersangka-tersangka lainnya. Namun ditingkat kasasi hukuman Al Amin diturunkan lagi menjadi 8 tahun penjara. Hal ini menandakan bahwa betapa sulitnya hakim menafsirkan gratifikasi seluas-luasnya karena gratifikasi hanya menyangkut uang dan barang, sementara wanita termasuk kasus terbaru Ahmad Fathonah dengan Maharani Suciono, termasuk didalamnya layanan seks tidak tercantum secara eksplisit dalam UU No. 20-2001. Jika kita melihat rumusan pasal tersebut yakni setiap gratifikasi, kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dan dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan dkewajiban atau tugasnya. Secara ekstensif, makna “fasilitas lainnya” dalam Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001 sangatlah luas. Layanan seksual yang disediakan 42 dengan maksud mempengaruhi pegawai negeri atau penyelenggara negara untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan jabatannya tentu dapat dikategorikan sebagai gratifikasi. Sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 12 huruf c UU No. 20-2001, maka pegawai negeri atau penyelenggara negara tidak dipidana apabila melaporkan mengenai penerimaan gratifikasi, yang harus disampaikan paling lambat 30 Tiga Puluh hari kerja terhitung sejak gratifikasi tersebut diterima. Dalam waktu paling lambat 30 Tiga Puluh hari kerja sejak Komisi Pemberantaran Korupsi menerima laporan, komisi telah dapat menetapkan gratifikasi terebut dapat menjadi milik penerima gratifikasi atau milik negara. Dari rumusan tersebut, tidaklah mungkin pegawai negeri penerima gratifikasi akan melaporkan setiap gratifikasi yang diterima dalam bentuk layanan seks kepada KPK berkaitan dengan etika moral dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. KPK dapat memanggil penerima gratifikasi untuk dimintai keterangan berkaitan dengan penerimaan gratifikasi tersebut. Status kepemilikan gratifikasi ditetapkan dengan keputusan pimpinan KPK. Jika ditetapkan sebagai milik negara maka gratifikasi tersebut diserahkan pada Menteri Keuangan. Bagaimana dengan layanan seksual? akankah menjadi milik negara? Oleh karena itu menurut pendapat penulis, ketentuan Pasal 12 huruf c hanya berlaku jika gratifikasi yang diterima pegawai negeri atau penyelenggara negara berupa uang atau benda berharga lainnya. Pegawai Negeri yang dimaksud ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No. 31-1999 adalah Pegawai Negeri meliputi: a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Kepegawaian; b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana; c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah; d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuaan dari keuangan Negara atau Daerah; e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal dan fasilitas dari Negara atau masyarakat. 43 Sedangkan korporasi adalah sekumpulan orang atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Sedangkan gratifikasi yang berupa layanan seksual, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak dapat menentukan status kepemilikan objek gratifikasi, karena objeknya berupa perbuatan, bukan benda atau barang.

C. Penegak Hukum Dan Gratifikasi Pasif