Sistem Pembuktian Gratifikasi Seksual Sebagai Korupsi Pasif

56 berbagai delik korupsi yang makin canggih, merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dan kepentingan masyarakat. Perluasan subjek delik korupsi yang meliputi korporasi, perluasan pengertian pegawai negeri dari Pasal 92 KUHP maupun Pasal 1 huruf a UU No. 8-1974, kemudian dimasukkannya korupsi suap menerima gratifikasi, maka UU No. 20-2001, diharapkan mampu menjangkau lebih banyak pelaku-pelaku delik korupsi. Pasal 92 KUHP menentukan: a. Yang disebut pejabat, termasuk juga orang-orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum, begitu juga orang-orang yang bukan karena pemilihan, menjadi anggota badan pembentuk undang-undang, badan pemerintahan, atau badan perwakilan rakyat, yang dibentuk oleh pemerintah atau atas nama pemerintah; begitu juga semua anggota dewan subak, dan semua kepala rakyat Indonesia asli dan kepala golongan Timur Asing, yang menjalankan kekuasaan yang sah; b. Yang disebut pejabat dan hakim termasuk juga hakim wasit; yang disebut hakim termasuk juga orang-orang yang menjalankan peradilan administratif, serta ketua-ketua dan anggota-anggota pengadilan agama; c. Semua anggota Angkatan Perang juga dianggap sebagai pejabat. Demikian juga pemberian sanksi pidana yang lebih berat daripada Undang-Undang sebelumnya. Dalam UU No. 20-2001, memberikan prioritas penanganan delik korupsi dari perkara pidana umum. Undang-Undang ini juga memungkinkan pemeriksaan terdakwa secara in absensia dengan harapkan untuk menyelamatkan keuangan negara.

E. Sistem Pembuktian Gratifikasi Seksual Sebagai Korupsi Pasif

Pembuktian dalam hukum acara pidana merupakan suatu bagian penting, karena pada dasarnya setiap proses hukum pidana mulai tingkat peyidikan sampai tingkat pengadilan tidak luput dari proses membuktikan. Bagi polisi bahkan sejak proses penyelidikan yang merupakan proses bagaimana menemukan bukti permulaan, pada tahap penyidikan bagaimana menemukan bukti yang mengkaitkan tersangka terhadap tindak pidana yang disangkakan. 57 Begitu pula dengan proses penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum JPU adalah membuktikan bahwa terdakwa benar-benar melakukan tindak pidana sesuai dengan yang didakwakan, sedangkan penasihat hukum membuktikan sebaliknya. Hakim memutuskan dengan mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan dan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan. Sebenarnya seluruh kegiatan dalam proses hukum perkara pidana, mulai penyelidikan sampai putusan akhir dibacakan di muka persidangan oleh majelis hakim adalah kegiatan yang berhubungan dengan pembuktian atau kegiatan untuk membuktikan. Walaupun hukum pembuktian perkara pidana terfokus pada proses pembuktian di sidang pengadilan, namun sebenarnya proses membuktikan telah ada di penyidikan bahkan saat penyelidikan. 36 Alfitra menyatakan bahwa hukum pembuktian merupakan seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian, yakni segala proses, dengan menggunakan alat bukti yang sah, dan dilakukan tindakan- tindakan dengan prosedur khusus guna mengetahui fakta-fakta yuridis di persidangan, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebutr serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian. 37 Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan dengan undang- undang “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa “dibebaskan” dari hukuman sesuai Pasal 191 Ayat 1 KUHAP. Pasal 191 KUHAP menentukan bahwa jika berpendapat bahwa hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakaan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Sebaliknya jika kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184, terdakwa dinyatak an “bersalah” dan kepadanya akan dijatuhkan pidana yang sesuai dengan Pasal 193 36 Adami Chazawi, loc.cit, hal. 9. 37 Alfitra, loc.cit, hal. 21. 58 Ayat 1 KUHAP. Menurut ketentuan Pasal 197 KUHAP surat putusan pemidanaan harus memuat: a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA“; b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa; c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan disidang yang menjadi dasar penentuana kesalahan terdakwa; e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal perturan perundang- undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa; g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal; h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah dipenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan; i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti; j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letak kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu; k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera. Karenanya hakim haruslah berhati-hati, cermat dan matang dalam menilai serta mempertimbangkan nilai pembuktian pertimbangan hukumnya. Tidak dipenuhinya ketentuan dalam Pasal 197 Ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, huruf k dan huruf l KUHAP mengakibatkan putusan batal demi hukum. Kewajiban hakim juga 59 m eneliti sampai dimana batas minimum “kekuatan pembuktian” atau bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP. Lebih lanjut Alfitra menyebutkan sumber hukum pembuktian terdiri dari: 1. Undang-undang; 2. Doktrin atau pendapat para ahli hukum; dan 3. Yurisprudensi; Karena hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana, sumber hukum yang utama adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Penjelasannya yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209. Dan apabila dalam praktek menemui kesulitan dalam menerapkan hukumnya atau menjumpai kekurangan atau kekosongan hukum sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan, maka dipergunakan doktrin atau yurisprudensi. Van Bummulen dan Moeljatno menyatakan bahwa membuktikan adalah memberikan kepastian yang layak menurut akan redelijk tentang Apakah hal yang tertentu itu sungguh- sungguh terjadi? dan Apa sebabnya demikian. Senada dengan hal terebut, Martiman Prodjohamidjojo mengemukak an “membuktikan” mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Alat bukti yang sah adalah alat bukti yang dapat dinilai dan dipertimbangkan hakim dalam rangka membentuk keyakinan untuk tujuan satu-satunya membuat putusan perkara pidana. Merupakan bukti yang didapat dari alat bukti yang diajukan dan diperiksa dalam persidangan. Bukan bukti yang didapat dari hasil penyidikan. Bukti yang didapat dari hasil penyidikan hanyalah dapat digunakan oleh JPU sebagai dasar menyusun surat dakwaan. Didalam sidang pengadilan, bukti atau alat bukti yang didapat dari pekerjaan penyidikan hanyalah berfungsi membantu menemukan bukti. Memberi arah bagi hakim, penuntut umum maupun penasihat hukum dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan berdialog terhadap saksi-saksi dan terdawa, antara hakim dengan jaksa 60 penuntut umum maupun dengan penasihat hukum hukum satu sama lain. Kegiatan pembuktian dalam sidang pengadilan, tidak terfokus lagi pada pencarian alat-alat bukti yang memuat bukti- bukti dan mengurai bukti-bukti, akan tetapi memeriksa alat-alat bukti yang sudah terlebih dahulu disiapkan oleh penyidik dan diajukan JPU dalam sidang untuk diperiksa bersama hakim, jaksa dan penasihat hukum. KUHAP menentukan bahwa pihak yang membuktikan kesalahan terdakwa adalah jaksa penuntut umum, sedangkan terdakwa bersifat pasif, artinya untuk menolak dan membela diri adalah hak dasar yang dimilikinya. Sebagaimana sifat hak ialah boleh digunakan boleh juga tidak. Tetapi bagi jaksa penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa adalah kewajiban, bukan hak. Karena itu membuktikan tentang kesalahan terdakwa bagi JPU bersifat imperatif. Namun demikian hasil pembuktian JPU bukanlah bersifat final, karena yang menentukan pada tahap akhir dari seluruh kegiatan pembuktian ada pada hakim. Dalam memutuskan hakim berpijak pada Pasal 183 KUHAP dimana terdapat ketentuan tentang standar pembuktian atau disingkat standar bukti. Tindak pidana korupsi sebagai hukum pidana yang bersumber pada undang-undang khusus hukum pidana, disamping memuat hukum pidana materil juga memuat hukum pidana formil. Dalam hal hukum pembuktian korupsi memiliki perbedaan dengan pembebanan pembuktian di KUHAP. Dalam hal-hal tertentu dan pada tindak pidana tertentu terdapat perbedaan dimana beban pembuktian tidak mutlak berada pada JPU, namun ada pula pada terdakwa atau kedua belah pihak secara berlawanan. Dalam hukum pembuktian tindak pidana korupsi sistem pembebanan pembuktiannya tidak hanya pada JPU, namun apabila terdakwa didakwa selain tindak pidana korupsi yakni harta benda terdakwa, maka beban pembuktian harta tersebut ada pada terdakwa. Dalam konteks yang komprehensif, tidak dapat dipungkiri bahwa korupsi merupakan “White Collar Crime” dengan perbuatan yang selalu mengalami dinamisasi modus operandinya dari segala sisi, sehingga dikatakan sebagai “Invisible Crime” yang sangat sulit memperoleh prosedural pembuktiannya, karena memerlukan pendekatan sistem terhadap pemberantasannya. 61 Di dalam rancangan undang-undang tentang tindak pidana korupsi Pasal 12 huruf a, sistem pembuktian beban pembuktian, telah dicantumkan secara tegas dan jelas oleh Andi Hamzah mengenai rumusan deliknya yang berkaitan dengan Pasal 419 dan Pasal 420 KUHP. Menurut Indriyanto Seno Adji berdasarkan alasan pendekatan historis diperlukan suatu cara atau metode untuk membangunkan ketentuan atau Pasal suap tersebut dalam pembaruan terhadap perundang-undangan tindak pidana korupsi. 38 Memang harus diakui perumusan ketentuan Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001 ini dari sisi pendekatan hukum pidana meniadakan makna asas pembalikan beban pembuktian manakala unsur yang berhubungan dengan jabatan dan yang melakukan pekerjaan bertentangan dengan kewajiban, artinya kewajiban pembuktian adalah imperatif pada JPU untuk membuktikannya. Namun apabila dicermati secara seksama, dengan perubahan tekstual rumusan delik antara Pasal rancangan dengan Pasal barunya, yaitu Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001, memang telah terjadi pergeseran, bukan peniadaan, atas makna rumusan deliknya, yaitu: ▲ Tidak jelas lagi berstanddeel delik dari rumusan deliknya, sedangkan delik inti ini sangat menentukan perbuatan yang dapat dikenakan pidana dan siapa yang harus membuktikannya; ▲ Bahwa dengan rumusan delik tersebut, baik pemberian gratifikasi maupun unsur yang berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan jabatannya atau tugasnya kembali menjadi kewajiban JPU untuk membuktikannya. Pembebanan pembuktian sistem pembuktian terbalik berimbang adalah pembuktian oleh terdakwa tentang kekayaan terdakwa yang seimbang dengan sumber pendapatannya harta diperoleh secara halal. Namun bagi jaksa tetap dibebani pembuktian perihal tindak pidana yang didakwakan dalam perkara pokok. 39 Namun apabila Jaksa Penuntut Umum mendakwa terdakwa dengan korupsi suap menerima gratifikasi yang nilainya sepuluh juta rupiah atau lebih sesuai Pasal 12 huruf b Ayat 1 huruf a UU No. 20- 38 Indriyanto Seno Adji, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, Diadit Media, Jakarta, 2007, hal. 350. 39 Adami Chazawi, loc.cit, hal. 6. 62 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999, maka beban pembuktiannya ada pada terdakwa. Namun apabila terdakwa atau penasihat hukumnya tidak dapat membuktikan, maka ketidak mampuan terdakwa membuktikan tersebut dapat digunakan oleh JPU untuk memperkuat alat bukti yang telah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Dalam sistem semi terbalik ini antar jaksa dan terdakwapenasihat hukumnya sama- sama membuktikan hal yang berlawanan. Jaksa membuktikan terdakwa bersalah artinya secara positif dan terdakwapenasihat hukum membuktikan tidak bersalah atau secara negatif. Dimulainya proses pembuktian dalam sidang pengadilan antara JPU, Penasihat Hukum dan Majelis Hakim adalah sama, akan tetapi mengenai perihal berakhirnya tidak sama. Pembuktian akan berakhir pada saat kesimpulan tentang terbukti atau tidaknya tindak pidana yang didakwakan tersebut. Masing-masing peran berdasarkan berakhirnya pembuktian adalah sebagai berikut:  Jaksa Penuntut Umum “berakhir saat kesimpulan dibuat dalam bentuk surat tuntutan, yang dapat dipertegas atau disempurnakan dalam repliknya ”;  Penasihat Hukum “berakhir saat kesimpulan dibuat dalam nota pembelaan yang dapat disempurnakan dalam duplik ”;  Majelis Hakim “berakhir saat kesimpulan dibuat dalam bentuk putusan akhir yang dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum ”. Proses pembuktian oleh Majelis Hakim dapat dilakukan pada tingkat banding, namun pada tingkat kasasi tidak lagi dilakukan proses pembuktian, karena pada dasarnya dalam tingkat kasasi memeriksa 4 Empat hal yakni: 1. Judex factie tidak menerapkan hukum yang ada dan seharusnya diterapkan; 2. Judex factie menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya; 3. Judex factie telah menjalankan proses pengadilan yang menyalahi hukum; 4. Judex factie dalam mengadili dan memutus telah melampaui batas wewenangnya. 63 Berdasarkan pemahaman arti pembuktian sidang pengadilan di atas, pembuktian dapat dibedakan menjadi 2 Dua bagian yaitu: 1. Kegiatan mengungkapkan fakta; 2. Pekerjaan menganalisis fakta yang sekaligus menganalisis hukum. Bagian pembuktian yang pertama adalah kegiatan pemeriksaan alat-alat bukti yang diajukan dimuka sidang pengadilan oleh JPU dan Penasihat Hukum ádè charge atau atas kebijakan Majelis Hakim. Proses pembuktian bagian pertama ini akan berakhir pada saat ketua Majelis Hakim mengucapkan secara lisan bahwa pemeriksaan perkara telah selesai. Bagian pembuktian kedua adalah pembuktian yang berupa menganalisa fakta-fakta yang didapat dalam persidangan dan menganalisa hukum masing-masing oleh tiga pihak tersebut requisitoir, pledooi dan vonis. Sebagian besar praktisi mengartikan pembuktian adalah pembuktian sebagaimana pembuktian bagian kedua saja, sehingga pembuktian kedua ini dapat pula diartikan sebagai pembuktian dalam arti sempit. Sedangkan pembuktian dalam arti luas adalah seluruh proses pembuktian baik yang pertama dan bagian kedua, sehingga dapat disimpulkan sementara bahwa keseluruhan ketentuan hukum yang mengatur segala segi tentang pembuktian itulah yang disebut dengan hukum pembuktian. Dan telah kita ketahui bahwa kegiatan pembuktian telah diatur dalam KUHAP untuk hukum umum dan bisa ditambah dengan aturan khusus diluar kodifikasi seperti pembuktian dalam tindak pidana korupsi. Jenis-jenis alat bukti yang boleh dipergunakan dan kekuatan pembuktian serta cara bagaimana dipergunakannya alat-alat bukti tersebut untuk membuktikan di sidang pengadilan adalah hal paling pokok dalam hukum pembuktian dengan sistem negatif. Tiga hal pokok itu telah tertuang dalam Pasal-pasal dalam bagian keempat KUHAP. Mengenai macam-macam alat bukti dimuat dalam Pasal 184 KUHAP. Sedangkan mengenai cara mempergunakan alat-alat bukti dan kekuatan pembuktian alat-alat bukti dimuat dalam Pasal 185 hingga Pasal 189 KUHAP. Pasal 185 termaktub bahwa mengenai macam-macam alat bukti yang sah dan boleh dipergunakan untuk membuktiakan yang telah ditentukan dalam Pasal 184 Ayat 1 KUHAP ialah 64 1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk; 5. Keterangan terdakwa. Keterangan saksi menurut ketentuan Pasal 185 KUHAP yaitu 1. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan; 2. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya; 3. Ketentuan sebagaimana dalam ayat 2 tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya; 4. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang kejadian atau keadaan yang dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu; 5. Baik pendapat maupun rekanan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi dalam menilai kebenaran keteraangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan: a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan lainnya; b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain; c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan tertentu; d. cara hidup daan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya; 6. Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain; a. Keterangan ahli menurut ketentuan Pasal 186 KUHAP ialah apa yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan; 65 b. Bukti Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 Ayat 1 huruf c KUHAP, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah 1. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang disengar, dilihat atau yang didalamnya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan ahli itu; 2. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang- undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian suatu keadaan; 3. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya; 4. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Petunjuk menurut ketentuan Pasal 188 KUHAP yaitu: 1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya; 2. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa; 3. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Keterangan terdakwa menurut ketentuan Pasal 189 KUHAP yaitu: 1. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri; 2. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu untuk menemukan bukti disidang, 66 asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya; 3. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri; 4. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Jika dibandingkan dengan alat-alat bukti dalam Pasal 295 HIR, maka alat-alat bukti dalam Pasal 184 Ayat 1 KUHAP ada perbedaan yaitu  Alat bukti pengakuan menurut HIR, yang dalam KUHAP diperluas menjadi keterangan terdakwa, pengertian keterangan terdakwa lebih luas dari sekadar pengakuan.  Dalam KUHAP ditambahkan alat bukti baru yang dulu dalam HIR bukan merupakan alat bukti, yakni keterangan ahli. Pembuktian adalah usaha untuk membuktikan sesuatu melalui alat-alat bukti yang dapat dipergunakan dengan cara-cara tertentu untuk menyatakan apakah itu bukti atau tidak menurut ketentuan Undang-Undang. Kesulitan dalam memberantas tindak pidana korupsi terletak pada kesulitan dalam hal membuktikan kejahatan korupsi di sidang pengadilan. Hukum konvensional dalam KUHAP yang berpijak pada asas Presumption of Innocent tidak mempermudah pembuktian perkara korupsi di sidang pengadilan. Karenanya upaya luar biasa perlu dilakukan dengan memasukkan sistem pembebanan terbalik dan semi terbalik dalam hukum acara pembuktian delik korupsi Omkering Vanhet Bewijslast. Telah disebutkan diatas mengenai pengertian sempit pembuktian dimana mengacu pada ketentuan tentang standar- standar dalam hal membuktikan sesuatu in casu kesalahan terdakwa dalam melakukan tindak pidana yang didakwakan seperti dalam negatif wettelijk menurut undang-undang yang terbatas seperti pada Pasal 183 KUHAP, standar bukti untuk menyatakan terbuktinya kesalahan terdakwa ialah 1. Harus ada atau sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan 2. Keyakinan hakim, artinya dari dua alat bukti itu hakim memperoleh keyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana. 67 Mengenai sistem pembebanan mengacu pada pihak mana yang dibebankan kewajiban untuk membuktikan dan hal apa yang harus dibuktikan, dan juga sebagai standar ukur untuk menentukan terbukti tidaknya pembuktian. Mengacu pada definisi sistem pembuktian dan sistem pembebanan pembuktian tersebut, maka kekhususan dalam hukum acara tindak pidana korupsi lebih mengacu pada sistem pembebanan pembuktian. Secara umum sistem pembuktiannya sama dengan sistem pembuktian yang mengacu pada Pasal 183 KUHAP, khususnya bagi hakim dalam menilai alat-alat bukti. Standar yang harus diikuti dalam menyatakan terbukti atau tidaknya tindak pidana korupsi dan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana tetap terikat pada Pasal 183 KUHAP. Menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Inilah asas pokok dalam hukum acara pidana yang tidak mudah dikesampingkan oleh hukum pembuktian acara pidana khusus. Jadi sungguh berbeda dengan apa yang sering di dengar, bahwa sistem pembuktian dalam tindak pidana korupsi telah menganut sistem pembuktian terbalik. Sesungguhnya yang dimaksud adalah sistem pembebanan pembuktian terbalik. 40 Dalam sistem pembebanan pembuktian khusus tindak pidana korupsi disamping memuat ketentuan pihak mana JPU atau terdakwa yang dibebani untuk membuktikan, memuat pula berbagai ketentuan antara lain: y Tentang tindak pidana atau dalam hal mana berlakunya beban pembuktian pada jaksa penuntut umum atau penasihat hukum atau keduanya misalnya dalam hal gratifikasi, jika nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 Sepuluh Juta Rupiah, maka beban pembuktianya ada pada Jaksa Penuntut Umum, namun jika nilainya Rp 10.000.000,00 Sepuluh Juta Rupiah atau lebih, beban pembuktiannya ada pada terdakwa; 40 Adami Chazawi, loc.cit, hal. 72. 68 y Untuk kepentingan apa beban pembuktian itu diberikan pada satu pihak, seperti pada sistem terbalik, untuk membuktikan harta yang belum didakwakan adalah kewajiban terdakwa untuk membuktikan bahwa harta itu bukan hasil korupsi agar tidak dijatuhkan atau dijatuhkan pidana perampasan barang terhadap harta yang dimiliki dan belum didakwakan; y Hukum pembuktian khusus korupsi juga memuat hukum formil pembuktian yakni tentang cara membuktikan. Pada sistem pembuktian semi terbalik mengenai harta benda yang diduga membpunyai hubungan dengan perkara korupsi yang didakwakan. Dilakukan terdakwa dengan cara terdakwa membuktikan bahwa kekayaannya, kekayaan istri atau suami atau anaknya atau siapa saja yang dapat dihubungkan dengannya adalah sesuai dengan sumber pendapatan atau sumber tambahan kekayaannya tersebut; y Akibat hukum dari pembuktian tersebut telah jelas yakni hakim akan menyatakan tidak terbukti apabila terdakwa dapat membuktikan bahwa tidak melakukan tindak pidana korupsi dalam sistem pembuktian terbalik. Yang diikuti dengan amar putusan bebas vrijspraak terdakwa. Atau apabila terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda yang dimilikinya yang belum didakwakan bukan hasi korupsi, akibat hukumnya harta benda tersebut dianggap sebagai hasil korupsi dan hakim akan memutus barang tersebut dirampas untuk negara. Ketentuan mengenai pembuktian dalam perkara khusus tindak pidana korupsi dapat dilihat pada Pasal 12 huruf b Ayat 1 huruf a dan huruf b; Pasal 37; Pasal 37 huruf a; dan Pasal 37 huruf b UU No. 20-2001. Dan jika dicermati ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal tersebut dapat diklasifikasikan tentang tiga sistem pembebanan pembuktian yang berlaku yaitu o Sistem biasa, sesuai dengan KUHAP yakni pembebanan pembuktian ada pada jaksa penuntut umum dengan prinsip negatif berdasarkan undang-undang yang terbatas; o Sistem terbalik, beban pembuktian ada pada terdakwa yakni terdakwa membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini dilakukan terdakwa apabila menerima gratifikasi yang nilainya Rp 10.000.000,00 Sepuluh Juta Rupiah 69 atau lebih, terdakwa dianggap bersalah, sehingga terdakwa wajib membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Sistem pembebanan pembuktian ini berlawanan dengan asas praduga tak bersalah; o Sistem berimbang atau semi terbalik, yakni kewajiban pembebanan pembuktian ada pada jaksa penuntut umum dan terdakwa sekaligus secara berimbang. Dalam hal gratifikasi yang berupa layanan seksual sesuai dengan penjelasan Pasal 12 huruf b Ayat 1 UU No. 20-2001, maka sistem pembuktian yang diterapkan haruslah dihubungkan dan dikupas Pasal demi Pasal tentang hukum formilnya dan dihubungkan dengan asas-asas umum dalam hukum pidana mengingat layanan seksual sangat sulit jika ditentukan nilainya misal lebih dari Rp 10.000.000,00 Sepuluh Juta Rupiah atau kurang. Ketentuan Pasal 37 Ayat 1 UU No. 31-1999 yang menyatakan bahwa “terdakwa berhak membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi”, hal ini secara umum merupakan hak yang secara akusatoir dianut dalam KUHAP, hak yang demikian ditegaskan atau tidak sama saja. Artinya pada Pasal 37 Ayat 1 UU No. 31-1999 tersebut merupakan hak dasar dari terdakwa untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah yang memang melekat pada terdakwa sejak dirinya ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa. Sedangkan ketentuan Pasal 37 Ayat 2 UU No. 31-1999 yang berbunyi “dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti”, hal inilah sebagai dasar hukum beban pembuktian terbalik hukum acara pidana korupsi. Jika dikaitkan dengan Pasal 12 huruf b, bahwa sistem terbalik yang berimbang pada Pasal 37 UU No. 31-1999 berlaku pada tindak pidana korupsi menerima gratifikasi yang nilainya Rp 10.000.000,00 Sepuluh Juta Rupiah atau lebih, dengan kata lain beban pembuktian terbalik ini diterapkan apabila gratifikasi yang diterima pegawai negeri atau penyelenggara negara adalah benda berharga atau yang dapat disamakan dengan benda berharga yang nilainya Rp 10.000.000,00 Sepuluh Juta Rupiah atau lebih, sehingga gratifikasi yang berbentuk layanan seks sulit sekali untuk diterapkan beban pembuktian terbalik jika mengacu pada Pasal 12 huruf b tersebut. 70 Sedangkan Pasal 37 huruf a Ayat 3 UU No. 20-2001 bahwa sistem terbalik menurut Pasal 37 UU No. 20-2001, berlaku dalam hal pembuktian tentang sumber asal harta benda terdakwa diluar perkara pokok pasal-pasal yang disebutkan dalam Pasal 37 huruf a in casu hanyalah tindak pidana korupsi suap gratifikasi yang tidak disebut dalam Pasal 37 huruf a Ayat 3 UU No. 31-1999. Namun demikian ada beberapa hal yang perlu dicermati mengenai ketentuan-ketentuan pada Pasal 12 huruf b yang menurut Adami Chazawi aneh dan tidak lazim 41 seperti:  Dalam rumusan korupsi suap menerima gratifikasi nampak seolah-oleh subjek hukumnya adalah si penyuap, sesungguhnya bukan, melainkan pegawai negeri yang menerima suap karena tidak diberikan ancaman pidana pada pemberi suap gratifikasi dalam Pasal 12 huruf b. Justru yang diancam pidana pada Ayat 2 adalah pegawai negeri atau penyelenggaran negara yang menerima suap gratifikasi. Karena itu rumusan suap menerima gratifikasi bukan ditujukan pada subjek hukum pemberi suap, tetapi ditujukan pada penerima suap gratifikasi, karena ancaman pidananya jelas ditujukan pda pegawai negeri yang menerima suap. Walaupun pemberi suap gratifikasi tidak diancam pidana berdasrkan Pasal 12 huruf b, tetapi si penyuap dipastikan diancam pidana menurut pasal-pasal korupsi suap aktif mana yang paling sesuai dengan perbuatannya. Bukan berarti si pemberi suap gratifikasi tidak bisa dituntut. Korupsi suap aktif yang dimaksud adalah Pasal 5 Ayat 1 huruf a atau huruf b; atau Pasal 6 Ayat 1 huruf a atau Pasal 13 bisa saja salah satunya didakwakan dan dituntutkan pada pemberi suap gratifikasi. Pasal 5 UU No. 20-2001 menentukan: Ayat 1: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 5 Lima tahun danatau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,000 Lima Puluh Juta Rupiah dan paling banyak Rp 250.000.000,00 Dua Ratus Lima Puluh Juta Rupiah setiap orang yang: a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai Negara atau penyelenggara Negara dengan maksud supaya pegawai negeri 41 Adami Chazawi, loc.cit, hal. 78. 71 atau penyelenggara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya, atau b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Pasal 6 Ayat 1 UU No. 20-2001 menentukan: 1. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tiga tahun dan paling lama 15 Lima Belas tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 Seratus Lima Puluh Juta Rupiah dan paling banyak Rp 750.000.000,00 Tujuh Ratus Lima Puluh Juta Rupiah setiap orang yang: a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili, atau b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. Hal ini tergantung pada bentuk pemberi suap yang mana yang paling sesuai. Penyidik dan penuntut umum wajib mengajukan salah satu pasal yang sesuai tersebut.  Rumusan suatu tindak pidana yang sempurna, ialah mencantumkan subjek hukumnya, unsur-unsurnya unsur perbuatan, objek tindak pidana, unsur-unsur lain sekitar atau yang melekat pada perbuatan dan atau melekat pada objek tindak pidana, dan unsur mengenai batin dan mencantumkan pula ancaman pidana. Terkadang perlu dicantumkan kualifikasi. Tidak demikian halnya mengenai rumusan tindak pinda korupsi suap menerima gratifikasi Pasal 12 huruf b. Perhatikan rumusan Pasal 12 huruf b A yat 1 disebut “setiap gratifikasi kepada pegwai negeri atau penyelenggara negara dianggap menerima suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,...” sedangkan pengertian gratifikasi dijelaskan dalam penjelasan Pasal 12 huruf b tersebut 72 adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut, baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.  Mencantumkan kata “dianggap” dalam rumusan pada ayat 1 mengandung makna bahwa rumusan korupsi suap menerima gratifikasi ayat 1 ini pada dasarnya bukan suap, tetapi dianggap saja. Gratifikasi memang bukan bentuk tindak pidana korupsi, melainkan pengertian harfiah ialah pemberian dalam arti luar . Dari ketiga hal yang dikemukakan Adami chazawi tersebut, dapat dimengerti bahwa gratifikasi bukan merupakan jenis atau kualifikasi dari delik. Yang dijadikan delik bukan gratifikasinya melainkan perbuatan “menerima” gratifikasi tersebut. Dalam praktek sulit dibuktikan telah terjadi gratifikasi seksual, kecuali tertangkap tangan yang disertai dengan alat bukti lainnya. Kewajiban terdakwa membuktikan bahwa itu bukan gratifikasi, namun proses membuktikan ters ebut merupakan “hak” terdakwa. Namun dalam sistem akusatoir, maka hak terdakwa membela diri bahwa tidak sepeser pun ia menerima sesuatu yang masuk pengertian gratifikasi. Persoalannya ialah dalam hukum pembuktian dalam acara pidana, sesuatu yang wajib dibuktikan adalah mengenai sesuatu yang ada, misal suatu keadaan atau kejadian. Yang harus dibuktikan adalah sesuatu yang positif bukan yang negatif. Oleh karenanya memang sulit bagi terdakwa untuk membuktikan bahwa ia tidak menerima suatu pemberian dan yang mudah adalah mengenai cara terdakwa membuktikan bahwa yang diterimanya bukan merupakan tindak pidana korupsi menerima gratifikasi. Adami Chazawi berpendapat bahwa bekerjanya suatu kegiatan pembuktian bergantung dari objek yang harus dibuktikan. Jika terdakwa didakwa korupsi suap menerima gratifikasi maka objek pembuktiannya ada 4 Empat. 42 Empat Objek tersebut adalah 1. Objek apa yang diterima dalam hal gratifikasi seksual berupa layanan seks atau atau pekerja seks komersial; 42 Ibid, hal. 84. 73 2. Objek yang didakwakan bukan terdakwa yang menerimanya, atau dibuktikan orang lain yang menerimanya; 3. Tidak adanya hubungan antara objek apa yang diterima dengan dengan jabatan dan kedudukan terdakwa; 4. Dengan diterimanya objek tersebut, tidak mempengaruhi atau tidak berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya. Mengenai objek pertama memang sulit dalam proses pembuktiannya, apalagi gratifikasi dalam bentuk layanan seks yang telah diterima atau dilakukan terdakwa sangatlah sulit untuk dibuktikan karena begitu luasnya pengertian gratifikasi. Mengenai pembuktian dalam tindak pidana gratifikasi dalam bentuk layanan seks atau perempuan yang merupakan salah satu bagian dari gratifikasi dalam arti luas sesuai Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001, penulis berpendapat beban pembuktiannya ada pada terdakwa, dalam arti terdakwa wajib membuktikan bahwa: S Tidak ada sesuatu yang diterimanya layanan seks, baik dalam satu paket dengan barang atau uang maupun secara terpisah, atau mengenai gratifikasi seksual bukanlah dirinya yang menerima; S Jika memang benar telah menerima layanan seks tersebut, terdakwa wajib membuktikan bahwa yang diterimanya tersebut bukanlah gratifikasi sesuai yang dimaksud Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001; S Atau jika benar telah menerima layanan seks sebagai gratifikasi, maka terdakwa wajib membuktikan bahwa yang diterimanya itu tidak ada hubungannya dengan jabatannya; atau tidak berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya; Apabila terdakwa dapat membuktikan salah satu dari tiga keadaan tersebut, tanpa melihat dan mempertimbakan hasil pembuktian jaksa penuntut umum, dalam sistem beban pembuktian terbalik, maka akibat hukumnya adalah terdakwa tidak akan dijatuhi pidana atau dengan kata lain terdakwa dibebaskan. Namun perlu diingat bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b Ayat 1 UU No. 20-2001, tidak belaku jika penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam tempo 30 Tiga Puluh 74 hari Pasal 12 huruf c dapat diartikan sebagai alasan peniadaan penuntutan pidana vervolgingsluitings gronde. Dalam tindak pidana korupsi menerima gratifikasi dalam bentuk seks, ketentuan Pasal 12 huruf c UU No. 20-2001, yakni laporan pegawai negeri yang menerima layanan seks nampaknya akan sulit dilakukan, mengingat perbuatan menerima layanan seks melanggar norma-norma yang hidup dan berkembang di masyarakat disamping ketentuan dalam UU No. 20-2001.

F. Gratifikasi Seksual Dalam Perspektif Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi