AWAL PEMIKIRAN A. Tindak Pidana Korupsi Dan Perkembangan Hukum Pidana PENGURAIAN PUSTAKA TERPERINCI ALUR KONSEPTUAL KETENTUAN UMUM

iii S E NA R A I I SI PRAKATA i KATA PENGANTAR ii SENARAI ISI iii

BAB I AWAL PEMIKIRAN A. Tindak Pidana Korupsi Dan Perkembangan Hukum Pidana

Di Indonesia 1 B. Norma-Norma Materil Dan Hukum Pidana 13

C. Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana

14

D. Kenisbian Undang-Undang

14

E. Sifat Melawan Hukum Sebagai Unsur

16

F. Yurisprudensi

17

G. Penafsiran Terhadap Arti Sifat Melawan Hukum

19

BAB II PENGURAIAN PUSTAKA TERPERINCI

A. Tindak Pidana Korupsi Dan Gratifikasi 21 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi 21

2. Pengertian Gratifikasi Seksual

31 3. Pengertian Sistem Pembuktian 33 B. Layanan Seks Sebagai Korupsi Pasif 37

C. Penegak Hukum Dan Gratifikasi Pasif

43 D. Pembuktian Gratifikasi Seksual Dalam Tindak Pidana Ko- rupsi 48 1. Landasan Formil Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 48

2. Hukum Positif yang Pernah Berlaku

49 3. Intisari Undang-undang Korupsi 55

E. Sistem Pembuktian Gratifikasi Seksual Sebagai Korupsi Pasif

56 F. Gratifikasi Seksual Dalam Perspektif Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 74

BAB III ALUR KONSEPTUAL

A. Dasar Normatif Perumusan Tindak Pidana Gratifikasi Sek- sual 76 1. Formulasi Norma Perbuatan Tindak Pidana Gratifikasi Seksual 76 2. Perumusan Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Gratifi- kasi Seksual dalam Rangka Pembaruan Tindak Pidana di Indonesia 116

3. Konsep Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Gratifikasi Seksual

118 B. Kebijakan Perumusan Sanksi Tindak Pidana Pelaku Gratifi- kasi Seksual Dalam Rangka Pembaruan Tindak Pidana Ko- rupsi Di Indonesia 123

C. Sanksi Pidana Tindak Pidana Pelaku Gratifikasi Seksual

124 iv

BAB IV AKHIR PEMIKIRAN A. Konstatir

133

B. Saran

134 SENARAI PEMIKIRAN 135 LAMPIRAN 1 140 LAMPIRAN 2 166 1 BAB I AWAL PEMIKIRAN

A. Tindak Pidana Korupsi Dan Perkembangan Hukum Pidana Di Indonesia

Tindak pidana korupsi merupakan penyakit masyarakat yang penanganannya diperlukan secara luar biasa. Tindak pidana korupsi juga sangat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, sehingga menghambat pembangunan nasional. Hal ini harus diberantas secara tuntas dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UUD NRI 1945. Masalah utama yang dihadapi yaitu meningkatnya modus dan bentuk korupsi tersebut seiring dengan kemajuan kemakmuran dan teknologi. Pengalaman memperlihatkan semakin maju pembangunan suatu bangsa semakin meningkat juga kebutuhan mendorong orang untuk melakukan korupsi. Istilah korupsi berasal dari suatu kata dalam Bahasa Latin yakni corruptio atau corruptus yang disalin ke berbagai bahasa. Misalnya disalin ke dalam Bahasa Inggris menjadi corruption atau corrupt, dalam Bahasa Prancis menjadi corruption dan dalam Bahasa Belanda disalin menjadi istilah coruptie. Sepertinya dari Bahasa Belanda itulah lahir kata korupsi dalam Bahasa Indonesia. 1 Tindak pidana korupsi telah terjadi pada semua bidang tata pemerintahan, baik itu eksekutif, legislatif dan yudikatif dikenal dengan korupsi birokratis secara luas yakni korupsi dilakukan orang yang memegang kekuasaan kelembagaan negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. 2 Bahkan tidak mustahil pada tahun berikutnya jumlah tersebut semakin meningkat. Disinyalir tidak sedikit yang tergolong catur wangsa hukum seperti Polisi, Jaksa, Hakim dan Pengacara tersangkut tindak pidana korupsi di semua tingkat peradilan. Hal demikian memperlihatkan integritas rendah 1 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayu Media, 2011, hal. 1. 2 Amir Syamsuddin, Integritas Penegak Hukum, Hakim, Jaksa, Polisi, dan Pengacara , Kompas, Jakarta, 2008, hal. 135. 2 dan kemampuan terbatas menyebabkan banyak putusan pengadilan dalam kasus korupsi yang tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Berdasarkan pengalaman empiris selama ini terlihat bahwa di dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan tindak pidana korupsi memerlukan dukungan dan wewenang yang bersifat luar biasa, profesional dan biaya besar, serta tersedianya waktu untuk penyelidikan dan penyidikan yang cukup. Upaya keras pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia diwujudkan dengan cara dibuatnya regulasi mengenai pemberantasan korupsi. Pada Pemerintahan Orde Lama berlaku Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 24Prp1960, kemudian pada Pemerintahan Orde Baru berlaku Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU No. 3-1971. Kini di era Reformasi berlaku Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU No. 31-1999 yang kemudian diubah dengan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU No. 20-2001, namun dengan berlakunya undang-undang tersebut ternyata masih belum mampu mengatasi permasalahan korupsi yang begitu menggurita dan yang modusnya terus berkembang. Bentuk subjek hukum dalam tindak pidana yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi adalah manusia alamiah yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan yang dilakukan, baik kesengajaan atau kealpaan. Sedangkan unsur objektif yang diatur adalah: a. Menjanjikan untuk memberikan hadiah 1. Kepada pegawai negeri atau pegawai negeri itu telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya; 2. Atau kepada hakim, advokat, saksi ahli agar mempengaruhi putusan atau nasihat dan pertimbangan dan khusus dalam peradilan pidana diperberat sanksinya; b. Melarang pengawai negeri untuk 3 1. Menggelapkan uang, surat berharga, memberikan dan menolong terjadinya perbuatan itu; 2. Memalsukan menggelapkan, menghancurkan, merusakkan atau membikin tidak dapat dipakai barang-barang, akta-akta, surat-surat, buku-buku atau daftar-daftar yang khusus yang dikuasainya karena jabatannya, membuka, menolong terjadinya perbuatan tersebut; 3. Menerima hadiah atau janji agar menyalahgunakan atau sebagai upah setelah melakukan perbuatan tersebut; c. Melarang hakim atau advokat, saksi ahli untuk menerima hadiah atau janji yang diajukan untuk mempengaruhi putusannya dan mempengaruhi nasihat serta pertimbangan advokat, saksi ahli. Dalam perkara pidana diperberat sanksinya. d. Melarang perbuatan untuk menyalahgunakan jabatan untuk 1. Memaksa orang untuk memberikan, membayar atau menerima pembayaran, mengerjakan sesuatu untuk kepentingan pejabat; 2. Ikut melakukan suatu pekerjaan yang seharusnya diawasinya agar menguntungkan pejabat itu sendiri atau orang lain; e. Melakukan kejahatan dan pelanggaran atau melawan hukum 1. Melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran; 2. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan; 3. Secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara atau Daerah; 4. Merugikan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran masyarakat; f. Melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran dengan 1. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau badan 2. Secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara atau Daerah; 3. Merugikan suatu badan hukum lain yang mempergunakan modal atau kelonggaran dari negara atau masyarakat; g. Memberi hadiah atau janji kepada seseorang yang mendapatkan gajiupah dari keuangan NegaraDaerah atau dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan NegaraDaerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran dari negara atau masyarakat . 4 Pada Pemerintahan Orde Baru hanya terdapat satu undang- undang yang mengatur tentang tindak pidana korupsi, yaitu UU No. 3-1971. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka subjek hukum yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya adalah manusia alamiah dan bagian tertentu adalah pejabat sebagai salah satu jenis manusia alamiah. Unsur objektif yang dilarang adalah : 1. dengan melawan hukum menyalahgunakan jabatan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri menguntungkan atau orang lain, atau suatu badan; 2. yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; 3. atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara; 4. memberi hadiah kepada pejabat agar menyalahgunakan kewenangannya; 5. melakukan kejahatan yang diatur di dalam beberapa pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP; 6. pejabat yang tidak melporkan pemberian; 7. melakukan percobaan, permufakatan; 8. kewajiban orang yang mempunyai hubungannya dengan pejabat untuk memberikan keterangan seluruh harta kekayaannya. UU No. 31-1999 Jo UU No. 20-2001 telah mengatur berbagai ketentuan khusus diantaranya adalah sanksi pidana dan ketentuan hukum acara pidana. Sanksi yang berbeda dengan Undang-Undang sebelumnya, dalam proses penerapan hukum diharapkan dapat memberikan peranan positif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Sanksi pidana memiliki peranan penting dalam menciptakan kepatuhan hukum. Tirtaamidjaja menyatakan bahwa untuk menciptakan agar anggota masyarakat mematuhi hukum, maka diperlukan sanksi hukum. Sanksi hukum itu pula menurut Charles, dimaksudkan agar peraturan tersebut ditaati anggota masyarakat. Sanksi ini kemudian dipertahankan pemerintah untuk menjadikan anggota masyarakat mematuhi sebagaimana dikehendaki oleh peraturan perundang- undangan. Perkembangan pengaturan sanksi dalam perundang-undangan tersebut perlu dikaji untuk mengetahui konsistensi maupun visi 5 pembuat Undang-Undang dalam mengatur sanksi dalam pembuatan perundang-undangan. Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan sejak diundangkannya UU No. 20-2001 telah mengalami perubahan, baik dari aspek pelaku tindak pidana dan bentuk sanksi pidananya. Karakteristik sanksi pidana tidak hanya pada UU No. 20-2001, namun juga pada perundang-undangan lainnya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, telah mengatur tiga sanksi hukum sekaligus, yakni sanksi administratif, perdata dan pidana. Sanksi pidana pada prinsipnya dijatuhkan sebagai ultimum remedium dengan pengecualian pada keadaan tertentu. Di dalam UU No. 20-2001, pengaturan sanksi mengalami perkembangan yang sangat dinamis, jika dibandingkan dengan ketentuan sanksi pidana yang tertera dalam KUHP. Sanksi pidana yang tercantum dalam KUHP hanya dikenal dengan sanksi pidana tunggal atau utama atau sanksi pidana alternatif terhadap penjatuhan pidana pokok. Hal ini ditandai dengan kata atau dan batas minimum sanksi pidana penjara dalam KUHP secara umum adalah satu hari dan paling lama seumur hidup. Sanksi hukum dalam UU No. 20-2001 memiliki ciri khusus yang berbeda dengan sanksi dalam KUHP KUHP. Keizer dan Sitorus mengemukakan bahwa 1. Seseorang tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut ketentuan Undang-Undang; 2. Tidak ada penerapan Undang-Undang pidana berdasarkan analogi; 3. Seseorang tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan; 4. Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas; 5. Tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana; 6. Tidak ada pidana lain, kecuali yang ditentukan oleh Undang- Undang; 7. Penuntutan pidana hanya boleh dilakukan menurut cara yang ditentukan Undang-Undang. Pada masa Reformasi ketentuan tindak pidana korupsi terdapat perkembangan subjek hukum dari manusia alamiah kemudian 6 menjadi korporasi. Perkembangan yang sama juga dapat ditemukan pada bentuk pertanggungjawaban yang didasarkan pada kesalahan, maka diperkenalkan bentuk pertanggungjawaban baru berkenaan dengan korporasi. Selain dari unsur objektif yang dilarang dalam dua ketentuan pada masa Reformasi ini mengalami perkembangan, yaitu dijadikannya gratifikasi sebagai salah satu tindak pidana korupsi, selain itu unsur objektif yang dilarang adalah 1. Melakukan perbuatan melawan hukum menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, sarana yang ada padanya; 2. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi; 3. Yang dapat merugikan keuangan negara danatau perekonomian Negara; 4. Mengambil alih rumusan Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 425, atau Pasal 435 KUHP; 5. Merintangi proses peradilan tindak pidana korupsi; 6. Ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12, rumusannya diubah dengan tidak mengacu Pasal- Pasal dalam KUHP, tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing Pasal KUHP yang diacu; 7. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya; 8. Tidak melaporkan gratifikasi. Selain Komisi Pemberantasan Korupsi KPK yang terbentuk di tahun 2003, juga terdapat 6 Enam lembaga pemberantasan korupsi yang pernah dan telah dibentuk di negara ini yakni: 1. Operasi Militer 1957, 2. Tim Pemberantasan Korupsi 1967, 3. Operasi Tertib 1977, 4. Tim Optimalisasi Penerimaan Negara dari sektor pajak 1987, 5. Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi TKPTPK pada tahun 1999, dan 6. Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Timtas Tipikor pada tahun 2005. 7 Sebenarnya usaha-usaha untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi telah dilakukan sejak lama, beberapa kebijakan pemberantasan tindak pidana korupsi upaya baik yang bersifat preventif maupun represif. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu dikeluarkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain beberapa regulasi tersebut diatas, juga telah dibentuk berbagai Tim dan Komisi, seperti Tim Pemberantasan Korupsi pada tahun 1967 diketuai oleh Jaksa Agung Sugiarto, Komisi 4 Tahun 1970 diketuai Wilopo, Komite Anti Korupsi diketuai Akbar Tanjung, Operasi Penertiban Inpres Nomor 9 b Tahun 1977 beranggotakan Menpan, Pangkopkamtib, dan Jaksa Agung dibantu Pejabat Daerah dan Kapolri, Tim Pemberantasan Korupsi tahun 1982 dipimpin MA Mudjono, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 diketuai Adi Handojo dan terakhir Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara yang diketuai oleh Yusuf Syakir, yang semuanya dimaksudkan untuk mendukung institusi penegak hukum dalam pemberantasan korupsi. Upaya pemerintah Republik Indonesia dalam memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia, yakni dibentuknya KPK yang memiliki wewenang penyelidikan, penyidikan, penuntutan sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia UU No. 16-2004 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU No. 30-2002. Di Pasal 11 UU No. 30-2002, dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang: 8 a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara Negara; b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakaat; danatau c. Menyangkut kerugian Negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 Satu Miliar Rupiah. Kebijakan-kebijakan dan lembaga pemberantasan korupsi yang telah ada tersebut ternyata tidak cukup membawa Indonesia menjadi negara yang bersih dari korupsi. Berdasarkan kondisi dimana Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia tentunya ada beberapa hal yang kurang tepat dalam pelaksanaan kebijakan atau kinerja dari lembaga pemberantasan korupsi tersebut. Peraturan Hukum Pidana Khusus biasanya bersifat sementara, karena untuk membantu mengatasi kesulitan yang terjadi pada suatu waktu tertentu, dan bila telah tercapai equilibrium dalam masyarakat, peraturan tersebut dihapuskan lagi. Salah satu tindak pidana di luar KUHP atau tindak pidana khusus ini, yaitu tindak pidana korupsi diatur dengan UU No. 3-1971 Jo UU No. 31-1999 yang kemudian diubah dengan dibuatnya UU No. 20-2001. Selain itu rumusan tindak pidana korupsi yang diatur oleh UU No. 31-1999 cukup banyak memberikan kategori perbuatan korupsi, dan paling tidak terdapat 30 jenis perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi, antara lain: 1. Kerugian Negara Pasal 2 dan Pasal 3; 2. Suap-menyuap Pasal 5 Ayat 1 huruf a, huruf b dan Ayat 2; 3. Penggelapan dalam jabatan Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, huruf b, dan huruf c; 4. Pemerasan Pasal 12 huruf e, huruf g, dan huruf h; 5. Perbuatan curang Pasal 7 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d dan Ayat 2; 6. Pasal 12 huruf h; 7. Benturan kepentingan pengadaan Pasal 12 huruf l; 8. Gratifikasi Pasal 12 huruf b Jo Pasal 12 huruf c; 9. Tindak pidana lainnya yang berhubungan dengan korupsi mencegah, menghalang-halangi penyidikan tindak pidana 9 korupsi antara lain Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 31, Pasal 35, Pasal 36. Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi telah menjadi amanat Bangsa Indonesia yang telah dituangkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor XIMPR1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme – yang diwujudkan dalam UU No. 31-1999. Kendala utama yang dihadapi selama penerapan UU No. 31-1999 dalam penanganan tindak pidana korupsi yaitu kurangnya dukungan anggaran, sumber daya manusia yang masih belum memadai dan hambatan-hambatan penyidikan terhadap pejabat-pejabat negara, sulitnya menembus rahasia bank, hukum acara pidana yang tidak efektif dan efisien, serta rendahnya dukungan semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat sendiri. Menurut pendapat M. Jasin, tidak berjalannya program- program pemberantasan korupsi di Indonesia selama ini lebih banyak dikarenakan: 1. Dasar hukum untuk melaksanakan tugas dan fungsi dalam pemberantasan korupsi tidak kuat, 2. Program pemberantasan korupsi tidak dilakukan secara sistematis dan terintegrasi, 3. Sebagian lembaga yang dibentuk tidak memiliki mandat atau tidak melakukan program pencegahan, sementara penindakan tindak pidana korupsi dilaksanakan secara sporadis, sehingga tidak menyurutkan pelaku korupsi lain dalam melakukan pelanggaran yang sama, 4. Masyarakat mempunyai persepsi bahwa lembaga anti korupsi yang dibentuk berafiliasi kepada golongan atau partai tertentu sehingga masyarakat tidak mempercayai keberhasilan lembaga tersebut dalam memberantas korupsi, 5. Tidak mempunyai sistem sumber daya manusia yang baik, sistem rekrutmennya tidak transparan, program pendidikan dan pelatihan tidak dirancang untuk meningkatkan profesionalisme pegawai dalam bekerja, sehingga sumber daya manusia pada lembaga tersebut tidak memiliki kompetensi cukup melaksanakan tugas pemberantasan korupsi, 6. Tidak didukung sistem manajemen keuangan yang transparan dan akuntabel. Sistem penggajian pegawai yang tidak memadai, 10 mekanisme pengeluaran anggaran yang tidak efisien dan pengawasan penggunaan anggaran yang lemah, 7. Lembaga dimaksud menjalankan tugas dengan benar hanya pada tahun pertama dan kedua, maka setelah itu menjadi lembaga pemberantas korupsi yang korup dan akhirnya dibubarkan. Dibentuknya KPK pada tahun 2003 dengan lingkup tugas dan fungsi meliputi koordinasi, supervisi, penindakan, pencegahan, monitoring berdasarkan UU No. 30-2002, berusaha untuk tidak mengulang kegagalan lembaga-lembaga sebelumnya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 43 UU No. 31-1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20-2001 perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Pasal 43 UU No. 31-1999 menentukan: 1. Dalam waktu paling lambat 2 dua tahun sejak Undang-Undang Ini mulai berlaku, dibentuk Komisi pemberantasan Tindak Pidana korupsi; 2. Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3. Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur masyarakat; 4. Ketentuan mengenai pembentukan, susunan, organisasi, tata kerja, pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 diatur dengan Undang-Undang. Reformasi mengandung arti perubahan untuk perbaikan, maka di dalam era Reformasi perlu penegakan supremasi hukum pada segala aspek kehidupan, termasuk juga perbaikan kinerja lembaga hukum dan aparat penegak hukum. Dalam rangka menangani dan memberantas korupsi yang masif dan sistematis dalam kehidupan Bangsa Indonesia, serta untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial ekonomi masyarakat serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi maka pemerintah Indonesia memandang perlu adanya perubahan UU No. 31-1999 dirasakan belum memadai untuk pemberantasan 11 korupsi yang bersifat luar biasa sehingga perlu diamanatkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor VIIIMPR2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan diwujudkan dalam UU No. 20-2001. Perubahan atas UU No. 31-1999 yaitu Pertama : “Pada rumusan penjelasan Pasal 2 UU No. 31-1999, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12, rumusan pasal-pasal tersebut tidak mengacu pada pasal-pasal dalam KUHP tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal KUHP ”; Kedua : “Pada UU No. 20-2001, mencantumkan ketentuan mengenai gratifikasi dalam Sistem Pembuktian Terbalik Omkering Vanhet Bewijslast yang terdapat dalam Pasal 12 huruf b dan Pasal 12 huruf c ”; Ketiga : “UU No. 20-2001 juga memberikan kewenangan untuk melakukan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana. Hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 38 huruf b Ayat 2 UU No. 20-2001 bahwa dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bawa harta benda sebagaiman dimaksud dalam ayat 1 diperoleh bukan bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara ”. Pelaporan gratifikasi meliputi pelaporan terhadap pemberian dalam arti luas yaitu meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam maupun luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Bahkan baru-baru ini layanan seksual yang disediakan pihak-pihak tertentu terhadap pejabat publik terkait dengan jabatannya dapat diartikan sebagai gratifikasi. Pelaporan ini juga mengandung delik sistem pembalikan beban pembuktian yaitu beban pembuktian berada pada terdakwa dan proses pembuktian ini hanya berlaku saat pemeriksaan di sidang pengadilan. Penerapan sistem pembalikan beban pembuktian dalam pelaporan gratifikasi dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi telah diterapkan di Malaysia dan Singapura. Dengan adanya penerapan delik sistem pembalikan beban pembuktian pada pelaporan gratifikasi dalam UU No. 20-2001, diharapkan pencegahan 12 terhadap tindak pidana korupsi akan lebih optimal dan efektif, setidak-tidaknya dapat mengurangi praktek korupsi yang selama ini telah terjadi. Dalam perkembangannya, gratifikasi tidak hanya meliputi suap berupa materi namun merambah pada layanan seksual yang disediakan oleh pihak penyuap dan menyebabkan penyalahgunaan wewenang pejabat publik atau pegawai negeri sehingga menimbulkan kerugian negara. Menurut Bahtiar Ali, saat ini ada model baru gratifikasi, bukan hanya berupa materi tapi pelayanan plus-plus atau pemberian Pekerja Seks Komersial PSK. Pemberian gratifikasi itu sudah jelas diatur, tapi soal seks itu tidak disebutkan secara jelas, sehingga menyulitkan penegak hukum dalam melakukan pembuktian. Oleh karena itu suap seks ini merupakan gratifikasi gaya baru yang sulit dalam pembuktiannya. Namun demikian ketentuan Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999, menyiratkan “fasilitas lainnya” sebagai bentuk gratifikasi. Namun diperlukan interpretasi ilmiah terhadap pasal tersebut sehingga dapat digunakan oleh aparat penegak hukum dalam menjerat para koruptor yang merugikan keuangan negara danatau keuangan negara. Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001, yaitu 1. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 Sepuluh Juta Rupiah atau lebih, pembuktian bahwa grafitasi tersebut bukan merupakan uang suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 Sepuluh Juta Rupiah, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh Penuntut Umum. Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan perundang- undangan yang berlaku. Penyelenggara Negara menurut ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Republik Nomor 28 Tahun 1999 tentang 13 Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme UU No. 28-1999 meliputi 1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; 2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; 3. Menteri; 4. Gubernur; 5. Hakim; 6. Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan 7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembuktian dalam tindak pidana korupsi bisa menggunakan asas pembuktian terbalik dan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP, namun pada hal-hal tertentu diperlukan hukum acara khusus yang telah diatur dalam UU No. 20- 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Namun demikian diperlukan kajian mendalam mengingat seks atau layanan seks dalam praktek sangat sulit dalam pembuktiannya. B . Norma-Norma Materil Dan Hukum Pidana Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa selain oleh hukum – kehidupan manusia dalam masyarakat dipedominya moral manusia itu sendiri, diatur oleh agama, oleh kaidah-kaidah susila, kesopanan, adat kebiasaan dan kaidah-kaidah sosial lainnya. 3 Kaidah-kaidah dapat menjadi tuntutan orang untuk berperilaku, atau menjadi norma-norma berperilaku. Sebagai norma biasanya tidak dengan sengaja dibuat oleh pembuat norma, akan tetapi berkembang sendiri dalam hidup manusia dari generasi ke generasi. Kaidah- kaidah moral, agama, susila, kesopanan, adat kebiasaan dan sosial yang selanjutnya menjadi norma perilaku tersebut, ada yang dikukuhkan menjadi bagian dari hukum perdata, hukum administrasi atau hukum pidana. 4 3 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional , Lembaga Penelitian Hukum dan kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, tidak bertahun, hal. 3. 4 Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana di Indonesia , 2002, hal. 2. 14 Negaralah yang menetapkan norma-norma perilaku mana yang akan dikukuhkan menjadi kaedah hukum dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang perlu dilindungi, terutama dari intervensi pihak lain dan tidak semua kepentingan dapat dilayani oleh hukum, karena kepentingan setiap orang berbeda dan bahkan dapat juga saling bertentangan, lagi pula tidak setiap kepentingan patut dihormati. Banyak aturan yang diundangkan kurang berhasil. Aturan-aturan itu tidak akan didukung apabila bertentangan dengan aturan-aturan yang masih dianut dalam masyarakat, sekalipun tidak diundangkan. Hukum pidana sebagai codex, dan karenanya sifatnya sebagai codex jauh dari sempurna. Oleh karena itu hakim sering mencari keadilan dalam nilai-nilai masyarakat dan yang sangat mencolok dalam hukum pidana adalah penegakan norma-normanya, karena penegakan hukum pidana sesungguhnya banyak ditentukan oleh asas legalitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 KUHP.

C. Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana

Asas “Nullum Delictum Noella Poena Praevia Sine Lege Poenali“ yang pada intinya tidak dapat dipidananya seseorang tanpa pelaku tindak pidana. Asas ini mengandung asas perlindungan yang secara historis terhadap kesewenang-wenangan. Dalam perkembangannya dewasa ini justru asas legalitas ini cenderung dipergunakan sebagai legitimasi intervensi Negara secara sah berdasarkan undang-undang. Dalam kerangka pelayanan hukum dari hukum pidana, legitimasi diperlukan karena merupakan garansi bagi pelaksanaan kekuasaan negara. Akan tetapi pelaksanaan kekuasaan Negara dengan adanya asas legalitas ini harus diartikan sebagai memberikan kepastian hukum, bukan sebagai kepastian undang-undang. Karena itu juga tugas kepolisian dan peradilan bukanlah untuk menegakkan Undang-Undang namun penegakan hukum.

D. Kenisbian Undang-Undang

Hukum pidana adalah hukum undang-undang, demikian selalu dikatakan orang. Pengaruh kodifikasi dan sifat mengagungkan undang-undang tampak dianutnya ajaran sifat melawan hukum 15 formal, yaitu suatu tindak pidana telah terjadi apabila telah terpenuhi unsur-unsur yang termuat dalam lukisan delik danatau disertai akibat-akibatnya. Dengan perkataan lain, pengertian melawan hukum adalah sama dengan bertentangan undang-undang. Tidak ada alasan yang dapat menghapuskan sifat melawan hukum ini, kecuali ditentukan pula oleh undang-undang. Kepastian hukum yang hendak dijamin oleh Undang-Undang pidana, seperti Pasal 1 Ayat 1 KUHP tidaklah memberikan juga keadilan sepenuhnya. Menurut Hans Kelsen dengan teori murni tentang hukum reine rechtslehre dengan dengan teori hukumnya bahwa: a. Ilmu hukum adalah suatu pemahaman normologis tentang makna hukum positif, walaupun hukum semata-mata hanya mempelajari norma-norma. Ilmu hukum adalah ilmu kognitif yang murni tentang hukum, yang hanya mempelajari hukum positif. Oleh karena itu, ilmu hukum tidak mempermasalahkan delege ferenda, teori tentang alasan-alasan bagi hukum dan baik buruknya isi hukum positif; b. Teori hukum adalah teori umum tentang hukum positif yang mempergunakan metode pemahaman yuristik yang khas secara murni. Metode yuristik adalah suatu cara untuk memandang hukum sebagai penentuan normatif dari pertanggungjawaban yang digambarkan dengan skema umum perkaitan normatif antara kondisi-kondisi dan konsekuensi-konsekuensi dari perilaku yang benar dan yang salah. Metode yuristik yang demikian dapat menjamin suatu pandangan yang utuh tentang objek studinya. Metode yuristik ini harus bebas dari percampuran dengan pendekatan-pendekatan psikologis, sosiologi, politikologis, dan etis konsekuensi dari penolakan terhadap sinkretisme metodologis. 5. Dalam hukum pidan a, adagium “Nullum Delictum Noella Poena Sine Paraevia Legi Poenali “ menjadi asas hukum yang menjamin kebebasan individu dari kesewenang-wenangan penguasa dan dikukuhkan dalam Buku I KUHP. Perumusan delik kesalahan dan melawan hukum adalah syarat umum dapat dipidananya seseorang, dan bahkan dalam definisi klasik mengenai tindak pidana, diakui sebagai syarat umum bagi 5 Arief Sidharta, Filsafat Hukum Madzab dan Refleksinya, Remaja Karya, Bandung, 1989, hal. 59. 16 terjadinya tindak pidana. Padahal dalam penerapannya, tegasnya dalam kasus konkret, pelanggaran terhadap norma-norma hukum pidana yang dilakukan seseorang, yang harus dibuktikan oleh seorang penuntut umum adalah unsur-unsur dalam perumusan tindak pidana yang dituduhkan.

E. Sifat Melawan Hukum Sebagai Unsur

Para legislator karena alasan teknik perundang-undangan, sering kehabisan kata-kata untuk dapat melukiskan gambaran secara umum, singkat tetapi jelas, tingkah laku atau keadaan-keadaan yang dimaksudkan dengan tindak pidana. Penetapan bahwa dalam isi rumusan tindak pidana mengharuskan adanya sifat melawan hukum atau dapat dicelanya perbuatan itu, tidak selalu dipenuhi dan karenanya juga tidak selalu dicantumkan, tetapi sebagai tetap ada. Keberadaan terlihat dari kelakuan-kelakuan tertentu, keadaan- keadaan tertentu, atau akibat-akibat tertentu yang dilarang atau yang diharuskan. Ajaran sifat melawan hukum yang formal mengatakan bahwa apabila suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana, maka perbuatan tersebut adalah tindak pidana atau perbuatan yang dapat dikenakan pidana. Suatu perbuatan dapat dikenakan pidana apabila telah memenuhi empat anasir pidana, yaitu: 1. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dapat dikenakan pidana; 2. Perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan oleh pelaku tindak pidana; 3. Perbuatan itu berupa kejahatan atau kealpaan; 4. Tiada alasan pemaaf atau pembenar. Jika ada alasan-alasan pembenar atau pemaaf, maka alasan- alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang- undang. Ajaran sifat melawan hukum yang materil mengatakan mengatakan bahwa disamping memenuhi syarat-syarat formal, yaitu memenuhi semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik, maka perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. Karena itu pula ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang. Dengan 17 perkataan lain bahwa alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis. Konsekuensi pencantuman unsur-unsur dalam rumusan delik menyebabkan juga beban pembuktian bagi Jaksa Penuntut Umum, sebab dengan menuduhkan pasal tertentu tersebut mewajibkan Jaksa Penuntut Umum untuk memuat unsur-unsur tindak pidana dalam surat dakwaan dan membuktikan dakwaannya. Pengertian sifat melawan hukum materil yang dianut oleh Yurisprudensi di Indonesia, setidak-tidaknya dalam perkara korupsi bahwa menurut kepatutan dalam masyarakat, khususnya dalam tindak pidana korupsi. 6 Apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari seorang lain dengan maksud menggunakan kekuasaannya atau wewenangnya yang melekat pada jabatannya secara menyimpang, hal itu telah merupakan perbuataan melawan hukum, karena menurut kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan tercela.

F. Yurisprudensi

Undang-Undang dirasa tidak cukup memuaskan bagi para penegak hukum dan pencari keadilan. Terutama bagi hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, tidak menemukan keadilan hanya dalam Undang-Undang, akan tetapi ia juga tidak dapat untuk tidak menerapkan Undang-Undang. Oleh karenanya, dalam putusan- putusan hakim sering ditemukan kaidah-kaidah baru sebagai hasil penyampingkan suatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Putusan-putusan demikian yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap Inkracht van Gewijsde, apalagi telah diikuti oleh putusan- putusan berikutnya. Praktek di lapangan tersedia seperangkat metode penafsiran yang dapat digunakan hakim, akan tetapi bagi hakim pidana, lapangan penafsiran yang boleh digunakan jauh lebih sempit daripada hakim pidana. Pertimbangan hakim yang menjadi dasar putusan pengadilan, apalagi yang telah dikukuhkan sebagai yurisprudensi tetap, jawaban terhadap ketidakberhasilan pembuat undang-undang memberikan kejelasan maksudnya dalam suatu naskah undang-undang, apalagi 6 Komariah Emong Sapardjaja, ibid, hal. 56. 18 apabila dikaitkan dengan tuntutan keadilan yang seharusnya tercermin dari naskah undang-undang. Mochtar Kusumaatmadja menyatakan walaupun perundang- undangan adalah teknik utama melaksanakan pembaruan hukum, pembaruan kaidah-kaidah dan asas serta penemuan arah atau bahan bagi pembaruan kaidah demikian juga menggunakan sumber hukum lain, yaitu keputusan badan peradilan yurisprudensi, sedangkan tulisan sarjana hukum yang terkemuka disebut sebagai sumber tambahan. 7 Soepomo menyatakan bahwa di Indonesia, hakim tidak terikat oleh putusan-putusan hakim yang telah ada, akan tetapi dalam praktek pengadilan, demikian juga dalam praktek pengadilan di Negara-negara Eropa, hakim bawahan sangat memperhatikan putusan-putusan hakim atasan berhubung pula dengan adanya kemungkinan permohonan banding dan kasasi. Berhubungan dengan itu, yurisprudensi dari hakim atasan merupakan sumber penting menemukan hukum objektif yang harus diselenggarakan oleh para hakim. 8 Roeslan Saleh menyatakan bahwa menurut pikiran Bangsa Indonesia hukum dan undang-undang tidak sama. Bahkan sebagian besar dari hukum kita terdiri dari aturan-aturan tidak tertulis. Benar bahwa hakim terikat kepada sistem hukum yang berlaku. Akan tetapi hakim Indonesia bebas meninjau secara mendalam, apakah penetapan-penetapan yang diambil pada waktu yang lampau, masih dapat dan harus dipertahankan terkait munculnya pertumbuhan perasaan-perasakan dan keadilan baru, dan apabila sama diketahui, bahwa pembentukan Undang-Undang selalu terbelakang dari pertumbuhan dan perkembangan hukum, bagaimanakah dapat mempertahankan pendapat pula bahwa pengecualian atas sifat-sifat melawan hukumnya perbuatan harus dapat dicantumkan dulu dalam Undang-Undang, baru dapat digunakan oleh hakim. 9 7 Mochtar Kusumatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Suatu Uraian tentang landsan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di Indonesia, Binacipta, Bandung, 1976, hal. 12. 8 R.Soepomo, Hukum, Bab-bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita Jakarta, 1982, hal. 113. 9 Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum dari Pembuat Pidana, Aksara Baru, Jakarta, hal. 20. 19 Yurisprudensi sebagai hukum yang diciptakan hakim, karena suatu perkara yang diajukan kepadanya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman UU No. 14-1970 memang telah memberikan dasar hukumnya yaitu Pasal 27 Ayat 1 yang menyatakan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dalam masyarakat.

G. Penafsiran Terhadap Arti Sifat Melawan Hukum

UU No. 3-1971 lebih merupakan kehendak politik pemerintah untuk memberantas korupsi daripada hasil suatu kerja perundang- undangan. Dalam perdebatan mengenai raancangan undang-undang tersebut tidak pernah terdapat pembicaraan bagaimana sebaiknya suatu tindak pidana dirumuskan. Pembicaraan mengenai hal ini lebih berlandaskan politis daripada yuridis. Konsekuensi yuridis hampir selalu terlupakan. Akibatnya dalam penerapan dan penegakan hukumnya selalu menimbulkan kejanggalan bahkan menyiratkan rasa ketidakadilan. Akan adil apabila yang sama diperlakukan secara sama pula. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang bebas dari pengaruh apapun, maka perbedaan pendapat antara hakim yang satu dengan lainnya tidak dapat dielakkan. Walaupun demikian sesungguhnya perbedaan tersebut dapat dihindarkan apabila hakim terhindar dari ketunaan ilmu hukum sebagai ilmu pengetahuan yang selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman, dalam arti ilmu pengetahuan yang bebas dari tekanan politik. Roscoe Pound, mengklasifikasikan kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum daklam kategori pokok: 1. Kepentingan umum public interest; 2. Kepentingan masyartakat social interest; 3. Kepentingan pribadi private interest. 10 Perbedaan pandangan tentang kepentingan hukum terjadi karena pandangan hakim terhadap kepentingan hukum yang tidak dilindungi di Indonesia ditujukan kepada kepentingan masyarakat. Ada anggapan bahwa hakim pidana dalam rangka menerapkan Pasal 10 Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu?, Remaja Karya, Bandung, 1988, hal. 228. 20 14 Ayat 1 dan Pasal 27 Ayat 1 UU No. 14-1970 harus dan selalu menemukan hukum. Hakim di Indonesia seolah-olah memberikan arti yang sangat besar terhadap penemuan hukum ini, akan tetapi apakah dalam rangka penemuan hukum, lalu undang-undang dan kepastian hukum boleh ditinggalkan. Bagi hakim pidana penemuan hukum dalam rangka penerapan sifat melawan hukum materil dalam fungsi negatif, yaitu ia boleh lepaskan tuntutan seseorang dari tuntutan hukum, daripada ia menjatuhkan pidana bagi seseorang yang tidak melakukan tindak pidana. Penemuan hukum yang dapat diartikan membuat fungsi sifat melawan hukum materil menjadi positif, hal ini dapat dikatakan sebagai gejala yang tidak sehat, satu sama lainnya mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang pada gilirannya berpengaruh pula terhadap kepercayaan masyarakat tentang kepastian hukum. Hakim tidak dapat dipaksa untuk menerapkan hukum yang menurut pendapatnya tidak adil, akan tetapi dalam kebebasannya ia tetap terikat pada Undang-Undang. Ajaran sifat melawan hukum materil memberikan kebebasan kepada hakim pidana untuk menggali nilai-nilai hukum yang tidak tertulis dalam masyarakat, namun tidak berarti bahwa nilai-nilai hukum tidak tertulis ini dapat menjadi dasar penuntutan dalam perkara pidana. 21 BAB II PENGURAIAN PUSTAKA TERPERINCI

A. Tindak Pidana Korupsi Dan Gratifikasi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana strafbaar feit atau delik, perbuatan pidana, peristiwa pidana, maupun perbuatan yang dapat di pidana. Dalam praktek, para ahli di dalam memberikan definisi tindak pidana berbeda-beda sehingga perkataan tindak pidana mempunyai banyak arti. 11 Tindak pidana korupsi menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 30-2002 adalah warga suatu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam UU No. 31-1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20-2001. Para pakar hukum umumnya mengartikan korupsi sebagai suatu penyalahgunaan kekuasaan demi kepentingan pribadi. Korupsi terjadi bila ada monopoli kekuasaan di tengah ketidakjelasan aturan dan kewenangan serta tidak terdapat mekanisme akuntabilitas atau pertanggungjawaban kepada publik. 12 Istilah korupsi berasal dari perkataan L atin “coruptio”, atau corruptus , yang berarti kerusakan atau kebobrokan. Korupsi banyak dikaitkan dengan ketidakjujuran seseorang di bidang keuangan. Arti secara harfiah korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, penyimpangan dari kesucian seperti penggelapan uang, penerimaan sogok dan sebagainya. 13 Istilah corruption sebagaimana dalam Black‟s Law Dictionary: “….an act done with an intent to give some advantage inconsistent with official duty and the rights of other. The act an official or fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses his station or character to procure some benefit for himself or another person, contrary to duty and the rights of other. 14 ….melakukan suatu perbuatan dengan maksud untuk memperoleh 11 Roni Wijayanto, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, Mandar Maju, 2012, hal. 160. 12 Robert Klitgaard, Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintah Daerah, YOI, Jakarta, 2002, hal. 29. 13 Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi , Mandar Maju, 2002, hal. 8. 14 Henry Campbell, Black‟s Law Dictionary, St. Paul, Minn West Publishing, 1979, hal. 311. 22 suatu keuntungan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban orang lain. Seorang pejabat yang melakukan perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya atau orang lain, bertentangan dengan hak dan kewajiban orang lain. Beberapa referensi tentang korupsi memuat beberapa difinisi yang bermanfaat tentang penentuan definisi korupsi. Korupsi di definisikan sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara, karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi. Secara historis konsep tersebut merujuk sekaligus pada tingkah laku politik dan seksual, dan kata corrupt menimbulkan serangkaian gambaran jahat. Setiap zaman, suatu masyarakat cenderung menemukan empat definisi suap yang berbeda, definisi dari kaum moralis yang lebih maju; definisi hukum sebagaimana tertulis; definisi hukum selama ditegakkan dan definisi praktek yang lazim. Keberagaman pengertian korupsi tersebut dapat dilihat sebagai suatu dinamika pemahaman korupsi di kalangan masyarakat. Pengertian korupsi secara umum dapat dijabarkan melalui berbagai pendekatan, misalnya: 1. Menurut ilmu kejahatankriminologi; 2. Menurut Undang-Undang. Pendekatan kriminologi tidak bisa dilepaskan dari wacana pemahaman korupsi sebagai suatu kejahatan. Korupsi telah menjadi sub sistem kejahatan secara global. Korupsi adalah suatu bentuk kejahatan yang diformulasikan secara sosiologis oleh masyarakat, karena korupsi mempunyai nilai negatif yang cenderung destruktif dan berdampak negatif bagi kehidupan masyarakat. Secara umum bahwa kriminologi dan hukum pidana adalah suatu hal yang berbeda objek dan tujuannya, namun demikian antara kriminologi dan hukum pidana telah terjalin keterkaitan erat yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Ilmu hukum pidana menjadikan aturan hukum yang berkaitan dengan tujuan menggunakan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sedangkan kriminologi mempunyai objek orang yang melakukan kejahatan dan bertujuan memahami mengapa seseorang melakukan kejahatan. Pandangan tentang kejahatan dari sisi ilmu hukum pidana hanyalah sebagai legal definition of crime, artinya suatu perbuatan 23 yang diberi label oleh negara sebagai suatu kejahatan. Namun masyarakat telah diberi label sebagai suatu kejahatan, apabila perbuatan dianggap menyimpang dari norma-norma atau kebiasaan masyarakat. Perspektif kriminologi memandang korupsi dalam beberapa tipe yaitu 1. Political Bribery Kekuasaan di bidang legislatif sebagai pembentuk undang- undang. Secara politis badan tersebut dikendalikan oleh suatu kepentingan, karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan umum sering berkaitan dengan aktivitas perusahaan tertentu. Para pengusaha berharap anggota yang duduk di parlemen dapat membuat aturan yang menguntungkan mereka. 2. Political Kicbacks Kegiatan yang berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang memberi peluang untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak yang bersangkutan. 3. Election Fraud Kegiatan yang berkaitan langsung dengan kecurangan- kecurangan pada saat pemilihan umum. 4. Corrupt Campaign Practice Praktek kampanye dengan menggunakan fasilitas Nnegara maupun uang negara oleh calon yang sedang memegang kekuasaan negara. 5. Discretion Corruption Korupsi yang dilakukan karena ada kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan. 6. Illegal Curruption Korupsi yang dilakukan dengan mengacaukan bahasa hukum atau interpretasi hukum. Tipe korupsi ini rentan dilakukan oleh aparat penegak hukum, baik itu dilakukan oleh polisi, jaksa, pengadilan maupun hakim. 7. Ideological Curruption Bentuk korupsi dari perpaduan antara discredionery corruption dan illegal corruption yang dilakukan untuk tujuan kelompok. 24 8. Political Coruuption Penyelewengan kekuasaan atau kewenangan yang dipercayakan kepadanya untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok yang berkaitan dengan kekuasaan. 9. Mercenary Corruption Menyalahgunakan kekuasaan semata-mata untuk kepentingan pribadi. Syed Hussein Alatas, secara sosiologis bahwa korupsi membagi menjadi tujuh bentuk korupsi, sebagaimana dikutip oleh Mulyana W Kusumah. 1. Korupsi Transaktif Jenis korupsi yang menunjuk adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima dari keuntungan kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan yang biasanya melibatkan dunian usaha dan bisnis dengan pemerintah. 2. Korupsi Perkerabatan Nipotistic Corruption Menyangkut penyalahgunaan dan wewenang untuk berbagai keuntungan bagi teman atau sanak saudara dan kroninya. 3. Korupsi yang Memeras Extortive Corruption Korupsi yang dipaksakan kepada suatu pihak disertai ancaman, teror, penekanan terhadap kepentingan orang-orang dan hal-hal yang dimilinya ; 4. Korupsi Investif Investive Curruption Korupsi dengan memberikan suatu jasa atau barang tertentu kepada pihak lain demi keuntungan di masa depan. 5. Korupsi Defensif Defensive Corruption Pihak yang akan dirugikan terpaksa ikut terlibat di dalamnya atau bentuk ini membuat terjebak bahkan menjadi korban perbuatan korupsi. 6. Korupsi Otogenik Autogenic Corruption Korupsi yang dilakukan seorang diri dan tidak ada orang atau pihak lain yang terlibat. 7. Korupsi Suportif Supportive Corruption Korupsi dukungan dan tidak ada orang atau pihak lain yang terlibat. 25 Suyatno berpandangan bahwa definisi korupsi terdiri dari: 1. Discretionary Curruption Korupsi dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijakan, sekalipun tampaknya bersifat sah, bukanlah praktek yang dapat diterima oleh para anggota organisasi. 2. Illegal Corruption Jenis tindakan yang mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu. 3. Mercenery Curruption Jenis tindak pidana korupsi untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui sarana penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. 4. Ideological Corruption Jenis korupsi illegal maupun discretionary yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok. Menurut Pier Bierne dan James Messerchmidt sebagaimana di dalam buku karangan Eddy OS Hiariej bahwa korupsi: 1. Political Bribery Kecurangan yang dilakukan eksekutif, maupun yudikatif. Political bribery di ranah eksekutif biasanya dalam bentuk suatu kebijakan atau pembuat suatu peraturan. Demikian pula halnya dibidang legislatif sebagai pembentuk undang-undang, sedangkan di ranah yudikatif biasanya berkaitan dengan penanganan suatu perkara. 2. Political Kickbacks Kegiatan yang berkaitan sistem kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang memberi peluang untuk mendatangkan uang bagi pihak bersangkutan. 3. Election Fraud Korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan Pemilihan Umum Pemilu. 4. Corrupt Campaign Practice Praktek kampanye dengan menggunakan fasilitas negara maupun uang negara oleh calon yang sedang memegang kekuasaan negara. 15 15 Eddy OS Hiariej, Menyelamatkan Uang Negara Kajian Akademik Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006, Pusat kajian Anti Korupsi Fakuiltas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2008, hal. 206. 26 Guy Benveniste berpandangan korupsi dapat diklasifikasikan dalam beberapa bentuk antara lain 1. Discretionery Corruption Korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijakan, sekalipun tampaknya terlihat sah, bukanlah praktek-praktek yang dapat diterima oleh para anggota organisasi. 2. Illegal Corruption Tindakan yang membongkar atau mengacaukan bahasa ataupun maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu. 3. Mercenary Curruption Korupsi yang dilakukan lebih karena kepentingan kelompok, karena komitmen ideologis seseorang yang mulai tertanam di atas kelompok tertentu. Korupsi sebagaimana diistilahkan dalam beberapa bentuk bahasa merupakan gejala atau perilaku para pejabat badan negara yang menyalahgunakan jabatan mereka, sehingga memungkinkan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta berbagai ketidakberesan lainnya. Bentuk-bentuk korupsi yang disebutkan tersebut merupakan konstruksi hukum secara sosiologis. Tindak pidana korupsi selalu mendapat perhatian apabila dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Korupsi dan kolusi serta nepotisme adalah suatu perbuatan dalam satu nafas, karena ketiganya melanggar kaidah kejujuran dan norma hukum. Hal ini dapat menjadikan korupsi sebagai kejahatan serius yang dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, pembangunan nasional, sosial, politik, ekonomi serta dapat merusak nilai demokrasi dan moralitas, karena lambat laun perbuatan tersebut seakan menjadi budaya. Indonesia mempunyai UU No. 31-1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No. 20-2001. Dengan adanya Undang- Undang ini menjadikan suatu tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana khusus. Delik korupsi pada umumnya memuat aktivitas yang merupakan manifestasi dari perbuatan-perbuatan korupsi dalam arti luas mempergunakan kekuasaan atau pengaruh yang melekat pada seorang pegawai negeri atau kedudukan istimewa yang dipunyai 27 oleh seseorang di dalam jabatan umum yang secara tidak patut atau menguntungkan diri sendiri maupun orang lain yang menyuap dikualifikasikan sebagai delik korupsi dengan segala akibat hukumnya yang berhubungan dengan hukum pidana dan acaranya. 16 Sementara itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi juga mengandung arti buruk, busuk, rusak, suka memakai barang yang dipercayakan padanya, penyelewengan atau penggelapan untuk kepentingan pribadi atau orang lain. 17 Di dalam UU No. 20-2001 terdapat istilah hukum yang perlu diperjelas yaitu tindak pidana korupsi, keuangan Negara atau perekonomian Negara. Jika mengacu rumusan undang-undang tersebut maka pengertian tindak pidana yaitu: 1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. 2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Sementara itu, pengertian keuangan Negara dalam Undang- Undang ini adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun baik yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan Negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena: a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun daerah; b. berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik NegaraBadan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara. Perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan atau usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan 16 Ibid. 17 Alfitra, Hukum Pembuktian, Raih Asa Sukses, 2012, hal. 146. 28 Pemerintah, baik di tingkat Pusat maupun di Daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan pada seluruh kehidupan rakyat. Kebijakan kriminal sebagai salah satu upaya penanggulangan kejahatan memiliki berbagai dimensi. Salah satu dimensinya adalah dimensi pencegahan yaitu segala upaya untuk menyelesaikan faktor penyebab terjadinya kejahatan. Penyebab utama kejahatan korupsi adalah birokrasi yang lemah dalam pengawasan, oleh karenanya good govermance menjadi salah satu solusi mencegah terjadinya korupsi. Dimensi pencegahan juga dapat dilakukan dengan merumuskan tindak pidana dan sanksi pidana dapat mencegah orang melakukan kejahatan korupsi dan menerima hasil korupsi. Dalam dimensi pencegahan hukum, usaha yang sesuai dalam menegakkan hukum juga mencegah terjadinya kejahatan. Penanggulangan kejahatan korupsi dilakukan dengan penerapan hukum pidana application of criminal law, yang meliputi pelaksanaan hukum pidana. Usaha penanggulangan kejahatan juga dipengaruhi oleh sikap masyarakat terhadap kejahatan itu sendiri dan partisipasi masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Salah satu sarana yang digunakan dalam merancang dan melaksanakan kebijakan sosial yaitu dengan menggunakan hukum dan peraturan perundang-undangan di suatu negara. Kebijakan penanggulangan kejahatan dimulai tahap perumusan peraturan perundang-undangan hingga penerapan. Norma hukum dapat dibentuk secara tertulis maupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga yang berwenang membentuknya. 18 Keberlakuan hukum ditentukan oleh daya laku validitas atau karena ia mempunyai keabsahan. Daya laku ini ada apabila norma dibentuk oleh norma yang lebih tinggi atau lembaga yang berwenang membentuknya. 19 Selain daya laku perlu juga diperhatikan daya laku suatu norma, karena berkaitan dengan ditaatinya aturan tersebut. Suatu norma memiliki daya guna apabila ditaati. 18 Widodo Eka Tjahyana, Pembentukan Peraturan-Peraturan Perundang- undangan, Dasar-dasar dan Tehnik Penyusunan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal. 19. 19 Ibid, hal. 39. 29 Pentingnya perumusan norma yang melarang melakukan tindak pidana korupsi dan pelaku gratifikasi di dalam rumusan Undang-Undang, didasarkan pada kenyataan di Indonesia, yang mengungkapkan bahwa sebagian besar penegak hukum termasuk di dalamnya hakim terbiasa menjadi alat untuk melaksanakan dan menegakkan undang-undang. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian terhadap putusan pengadilan berkenaan dengan tindak pidana korupsi. Perbuatan gratifikasi seksual merupakan kejahatan tingkat kedua dan dapat merugikan sekelompok masyarakat tertentu, karena kemanfaatan yang dinikmatinya berasal dari keuangan Negara. Atau dengan kata lain, perekonomian Negara menjadi hilang akibat dana tersebut dinikmati oleh pelaku korupsi atau mereka yang menerima manfaat dari hasil korupsi tersebut. Motif perbuatan dan keserakahan yaitu membandingkan kesenangan yang diperoleh dengan melanggar hak orang lain. Kesemuanya itu tidak akan terbukti sepadan. Ketamakan dan keserakahan untuk penguasaan sumber ekonomi dan finansial, merupakan salah satu motif yang kuat bagi pelaku gratifikasi seksual di dalam melakukan tindak pidana korupsi, demikian juga dengan mereka yang menerima atau menikmati hasil tindak pidana korupsi tersebut. Melakukan perbuatan gratifikasi seksual sebagai kejahatan yang menimbulkan kesengsaraan, menjadi argumen pembentuk undang-undang sebagai perbuatan melanggar hukum atau pelanggaran. Agar larangan tersebut dihormati, perlu ditetapkan sanksi pidana. Secara filosofi, maka perbuatan gratifikasi seksual bertentangan dengan nilai-nilai dalam Pancasila. Nilai-nilai Pancasila yang bersifat objektif berarti sesuai dengan objeknya, umum, dan universal; nilai- nilai Pancasila akan tetap ada sepanjang masa dalam kehidupan Bangsa Indonesia, baik dalam adat kebiasaan, kebudayaan, kenegaraan maupun hidup keagamaan. Beberapa nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan. Nilai ketuhanan dapat ditemukan pada Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan sila pertama Pancasila ini, maka perbuatan gratifikasi seksual atau menikmati keuntungan dari hasil korupsi merupakan perbuatan dilarang agama di Indonesia. 30 Berdasarkan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, maka manusia Indonesia mengakui kedudukannya sebagai makhluk Tuhan. Pancasila harus dipandang sebagai komitmen Bangsa Indonesia, dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagai satu komitmen, maka keberlanjutannya sangat tergantung pada penerimaan dan kesukarelaan dalam menjaga komitmen tersebut. Pancasila sebagai sebagai sumber hukum Indonesia menganut paham keseimbangan pengakuan kedudukan Indonesia makhluk pribadi dan makhluk sosial – menurut Noto Nagoro adalah asas Monodualistis . Hal-hal mutlak dari manusia adalah sifat kodratnya merupakan diri pribadi yang harus hidup bersama, manusia mempunyai sifat kodrat sebagai perseorangan dan sebagai warga negara yang hidup bersama. Konsep monodualisme yang dianut oleh Pancasila sebenarnya merupakan perpaduan dari prinsip yang berkembang di Barat dan Timur: 1. Negara terdiri atas dasar teori perorangan, teori individualistis, sebagaimana diajarkan Thomas Hobbes, dan John Locke dan lainnya. Menurut aliaran ini, negara adalah masyarakat hukum yang didasarkan atas kontrak seluruh perorangan dalam masyarakat; 2. Aliran lainnya ialah teori golongan dari Negara sebagai diajarkan oleh Mark Enggels, Lenin. Negara adalah alatnya golongan yang mempunyai kedudukan ekonomi yang paling kuat untuk menindas golongan-golongan lain yang mempunyai kedudukan lembek; 3. Teori integralistik oleh Spinoza, Adam Muler, Hegel abad ke-18 dan abad ke-19. Negara menurut tidak untuk menjamin kepentingan seseorang atau golongan, akan tetapi menjamin kepentingan rakyat seluruhnya sebagai suatu persatuan. Pancasila pada dasarnya mengakui dan mengadopsi pemikiran serta aliran-aliran yang secara alamiah berseberangan satu dengan lainnya, baik berkenaan dengan kedudukan manusia, maupun aliran di dalam bidang budaya, sosial, politik dan ekonomi – karena Pancasila mengakui kelebihan dan kekurangan masing-masing aliran secara alamiah tidak ada satu aliran yang sempurna. Pancasila meramu berbagai aliran pemikiran tersebut untuk memberi pondasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik 31 dalam bidang budaya, sosial, politik dan ekonomi, dan khususnya di bidang hukum. Sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab adalah sikap dan perilaku manusia yang sesuai dengan kodrat hakikat manusia yang berbudi, sadar nilai dan budayanya, menjunjung tinggi hak asasi manusia dengan pangkal ide keselarasan antara individu dan masyarakat, pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan. Berdasarkan sila kedua ini, maka perbuatan pelaku gratifikasi seksual merupakan perbuatan yang menciderai nilai kemanusiaan, karena perbuatan korupsi dapat menimbulkan kerusakan dan kerugian kepada masyarakat secara luas. Sila kedua ini merupakan dasar filosofi pelarangan perbuatan gratifikasi seksual dalam tindak pidana korupsi, karena bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Salah satu asas yang menjabarkan nilai kemanusian adalah persamaan di hadapan hukum yang merupakan salah satu unsur dalam konsep negara hukum. Belum ditetapkannya perbuatan menerima hasil korupsi termasuk gratifikasi seksual dan tidak dipidananya penerima hasil korupsi menimbulkan ketidaksetaraan antara pelaku korupsi dan pelaku gratifikasi seksual yang keduanya sama-sama merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.

2. Pengertian Gratifikasi Seksual

Gratifikasi adalah pemberian arti luas. Meliputi pemberian uang, barang, rabat diskon, komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi seksual tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Dalam UU No. 20-2001, setiap gratifikasi yang diperoleh pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap, namun ketentuan yang sama tidak berlaku apabila penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK yang wajib dilakukan paling lambat 30 Tiga Puluh hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. Dalam perkembangannya gratifikasi tidak hanya meliputi pemberian uang, barang, rabat diskon, komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma. 32 Banyak kalangan mengusulkan penyediaan layanan seksual menjadi bagian gratifikasi. Seksual atau seks adalah kegiatan yang berkaitan dengan manipulasi organ kelamin, khususnya hubungan seksual. Seksualitas menyangkut berbagai dimensi yang sangat luas, yaitu dimensi biologis, sosial, perilaku dan kultural. Seksualitas dari dimensi biologis berkaitan dengan organ reproduksi dan alat kelamin, termasuk bagaimana menjaga kesehatan dan memfungsikan secara optimal organ reproduksi dan dorongan seksual. Seksualitas dari dimensi psikologis erat kaitannya dengan bagaimana menjalankan fungsi sebagai mahluk seksual, identitas peran atau jenis. Dari dimensi sosial dilihat pada bagaimana seksualitas muncul dalam hubungan antar manusia, bagaimana pengaruh lingkungan dalam membentuk pandangan tentang seksualitas yang akhirnya membentuk perilaku seks. Dimensi perilaku menerjemahkan seksualitas menjadi perilaku seksual, yaitu perilaku yang muncul berkaitan dengan dorongan atau hasrat seksual. Dimensi kultural menunjukan perilaku seks menjadi bagian dari budaya yang ada di masyarakat, sehingga layanan seks dalam tulisan ini dapat diartikan sebagai suatu pemberian kepada seseorang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dapat dijadikan sebagai sarana atau tempat melampiaskan hasrat seksual sebagai imbal balik dari perbuatan orang tersebut untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatau sesuai keinginan pemberi layanan seks. Di Indonesia tujuan pidana selain mengadopsi pemikiran yang berkembang secara universal juga mengadopsi pemikiran yang berakar dari hukum adat, yaitu: 1. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; 2. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang baik dan berguna; 3. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan kesimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; 4. membebaskan rasa pada terpidana. Alternatif pidana tambahan yang dapat dijatuhkan kepada pelaku gratrifikasi seks adalah perampasan barang atau tagihan 33 tertentu. Pidana perampasan tertentu danatau tagihan juga dapat dijatuhkan, apabila hak pihak ketiga dengan itikad baik akan terganggu. Alternatif sanksi pidana tambahan lainnya yaitu pengumuman putusan hakim. Pidana ini bertujuan mengekspresikan pernyataan penguasa bahwa perbuatan gratifikasi seksual adalah perbuatan yang melanggar hukum. Alternatif pidana tambahan kedepan sebagai penerima hasil korupsi adalah restitusi. Tujuan restitusi untuk mendorong kompensasi terhadap korban oleh orang yang bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh para pelaku tindak pidana korupsi. Penentuan jumlah disesuaikan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku tindak pidana korupsi. Tindakan perampasan keuntungan yang diperoleh pelaku gratifikasi seksual bertujuan memberi efek jera pada pelaku tindak pidana korupsi dan pelaku gratifikasi seksual karena keuntungan yang didapat akan dirampas oleh Negara. Selain itu tindakan tersebut bertujuan untuk mengembalikan keuntungan kepada negara yang seharusnya menikmatinya. Tindakan perbaikan akibat kejahatan gratifikasi seksual ditujukan melindungi kepentingan masyarakat yang seharusnya menerima manfaat, menikmati hasil dari keuangan Negara atau perekonomian Negara yang dirampas oleh pelaku tindak pidana korupsi maupun pelaku gratifikasi seksual. 3. Pengertian Sistem Pembuktian Apabila hukum acara pidana yang dipergunakan dalam pemeriksaan delik korupsi sebagai suatu sistem, maka hukum pembuktian merupakan bagian dari sistem. Sistem berasal dari kata systema Bahasa Yunani yang berarti sesuatu yang terorganisasi. Sistem mengandung arti terhimpunnya bagian atau komponen yang saling berhubungan secara beraturan dan merupakan bagian dari keseluruhan. 20 Apabila penulis mengacu pada pengertian tersebut, maka sistem hukum pembuktian dapat diartikan sebagai suatu keseluruhan dari unsur-unsur hukum pembuktian yang berkaitan dan berhubungan satu dengan yang lain serta saling pengaruh mempengaruhi dalam suatu keseluruhan. 20 Martiman Projohamidjojo, op.cit, hal. 98. 34 Pembuktian pada perkara pidana tindak pidana umum menerapkan pembuktian sesuai dengan KUHAP, sedangkan dalam pemeriksaan delik korupsi selain KUHAP diterapkan juga hukum acara pidana yaitu Bab IV terdiri atas Pasal 25 sampai dengan Pasal 40 dari UU No. 31-1999, yaitu Pasal 25 Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya. Pasal 26 Penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Pasal 27 Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung. Pasal 28 Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka. Pasal 29 1. Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank tentang keuangan tersangka atau terdakwa; 2. Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana ayat 1 diajukan kepada Gubernur Bank Indonesia melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3. Gubernur Bank Indonesia berkewajiban untuk memenuhi permintaan sebagaiman dimaksud dalam ayat 2 dalam waktu selambat-lambatnya 3 tiga hari kerja, terhitung sejak dokumen permintaan diterima secara lengkap; 4. Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga dari hasil korupsi; 5. Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti yang cukup atas permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim, bank pada harin itu juga mencabut pemblokiran. Pasal 30 Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat atau kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa. Pasal 31 1. Dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang 35 menyebut nama atau pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor; 2. Sebelum pemeriksaan dilakukan, larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut; Pasal 32 1. Dalam hal penyidik menemukan dan berpendpat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah tertdapat kerugian Negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada jaksa pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan; 2. Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak menuntut kerugian terhadap keuangan Negara. Pasal 33 Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian Negara, makapenyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya. Pasal 34 Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan Negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata ahli warisnya. Pasal 35 1. Setiap orang memberi keterangan sebagai saksi atau ahli, kecuali ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, istri atau suami, anak, dan cucu dari terdakwa; 2. Orang yang dibebaskan sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat diperiksa sebagai saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui secara tegas oleh terdakwa; 3. Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2, mereka dapat memberikan keterangan sebagai saksi tanpa disumpah. Pasal 36 Kewajiban memberikan kesaksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 berlaku juga terhadap mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali petugas agama yang menurut keyakinannya menyimpan rahasia. Pasal 37 1. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tudak melakukan tindak pidana korupsi; 2. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan terdakwa; 3. Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan; 36 4. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi; 5. Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ayat 2, ayat 3 dan ayat 4, penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Pasal 38 1. Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya; 2. Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang; 3. Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadirn terdakwa diumumkan oleh Penunut Umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya; 4. Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan sebagaiman dimaksud ayat 1; 5. Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa nyang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita; 6. Penetapan perampasan sebgaimana dimaksud ayat 5 tidak dapat dimohonkan upaya banding; 7. Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat 5 dalam waktu 30 tiga puluh hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat 3. Pasal 39 Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang byang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer. Pasal 40 Dalam hal terdapat cukup alasan untuk mengajukan perkara korupsi di lingkungan Peradilan Militer, maka ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 Ayat 1 huruf g Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun1997 tentang Peradilan Militer tidak dapat diberlakukan. Dalam hal pembuktian, Undang-Undang tersebut menerapkan asas pembuktian terbalik bahwa pembuktian ini tidak sama dengan hukum pembuktian dalam KUHAP. UU No. 20-2001 juga menganut pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang. Dalam Penjelasan atas UU No. 31-1999, yang dimaksud dengan pembuktian terbalik bersifat terbatas dan berimbang ialah terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakkan tindakan pidana 37 korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya. Kata- kata bersifat “terbatas” di dalam memori atas Pasal 37 UU No. 31-1999 dikatakan apabila terdakwa dapat membuktikan dalilnya, “terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi”. Ini bukan berarti terdakwa benar-benar terbukti melakukan tindak pidana korupsi, sebab penuntut umum masih berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Sedangkan kata “berimbang” dimaksudkan penghasilan terdakwa atau sumber penambahan harta benda terdakwa, sebagai pendapatan terdakwa dan perolehan harta benda terdakwa sebagai output tidak seimbang. Dengan kata lain antara penghasilan dan harta yang dimiliki tidak seimbang.

B. Layanan Seks Sebagai Korupsi Pasif

UU No. 20-2001 telah mengatur berbagai jenis tindak pidana korupsi mengelompokkan ada tujuh kelompok korupsi yakni ҹ Kerugian keuangan negara; ҹ Suap menyuap; ҹ Penggelapan dalam jabatan; ҹ Pemerasan; ҹ Perbuatan curang; ҹ Benturan kepentingan dalam pengadaan; ҹ Gratifikasi. Oleh karena penulisan ini berangkat dari beberapa fakta penangkapan oleh KPK sering kali terdapat wanita yang diduga sebagai pekerja seks komersial sebagai suap bentuk baru, baik dalam satu paket uang, barang berharga, tiket tempat hiburan termasuk penyediaan pekerja seks komersial maupun terpisah. Maka perlu kiranya penulis membuat suatu analisis mendalam mengenai gratifikasi dan bentuk-bentuknya atau jenis-jenisnya yang tercakup sesuai dengan aturan perundang-undangan. 38 Gratifikasi merupakan suatu hal yang baru dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia. Gratifikasi diatur dalam Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001, yang berbunyi 1. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan dkewajiban atau tugasnya dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 Sepuluh Juta Rupiah atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi ; b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 Sepuluh Juta Rupiah, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. 2. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud adalam Ayat 1 adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 Empat tahun dan paling lama 20 Dua Puluh tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 Dua Ratus Juta Rupiah dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 Satu Miliar Rupiah. Dalam rumusan Pasal 12 huruf b UU No. 31-1999 tersebut tidak semuanya berisi tentang ketentuan tindak pidana menerima gratifikasi hukum pidana materil, tetapi juga memuat ketentuan hukum pidana formil khusus mengenai pembuktian bagi tindak pidana menerima gratifikasi tersebut, sedangkan mengenai hukum pidana materil menerima gratifikasi dimuat dalam ayat 1 pada kalimat sebelum huruf a dan huruf b, sedangkan mengenai ancaman pidananya dimuat dalam ayat 2, yaitu pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 Empat tahun dan paling lama 20 Dua Puluh tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 Dua Ratus Juta Rupiah dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 Satu Miliar Rupiah. Tindak pidana korupsi menerima gratifikasi seksual ini merupakan tindak pidana baru yang dalam UU No. 3-1971 belum diatur. Namun mengenai dicantumkannya alasan peniadaan penuntutan pidana berupa melaporkan penerimaan gratifikas i” oleh pegawai negeri yang menerima gratifikasi pada Komisi 39 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menurut pasal 12 C ayat 1, rupanya meniru ketentuan Pasal 1 Ayat 1 huruf e Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perbedaannya pada ketentuan Pasal 1 Ayat 1 tempat melapor adalah Polisi, sedangkan Pasal 12 huruf c Ayat 1 adalah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perbedaan lain adalah tenggang waktu melapor, jika pada UU No. 20-2001, bahwa tenggang waktu 30 hari, sedangkan pada UU No. 3-1971 hanya sesingkat- singkatnya. Gratifikasi menurut Pasal 12 huruf b Ayat 1 berhubungan erat dengan uang atau barang yang dapat dinilai dengan uang, sehingga layanan seksual sangat sulit dikategorikan sebagai gratifikasi karena memiliki kerelatifan nilai dinilai dengan uang. Dalam penjelasan Pasal 12 huruf b Ayat 1 UU No. 20-2001 berbunyi “yang dimaksud dengan “gratifikasi” dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik maupun tanpa sarana elektronik. 21 Apabila dicermati penjelasan Pasal 12 huruf b Ayat 1 UU No. 20-2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 di atas, kalimat yang termasuk definisi gratifikasi adalah sebatas kalimat pemberian dalam arti luas, sedangkan kalimat setelah itu merupakan bentuk-bentuk gratifikasi. Dari penjelasan Pasal 12 huruf b Ayat 1 juga dapat dilihat bahwa pengertian gratifikasi mempunyai makna yang netral, artinya tidak terdapat makna tercela atau negatif dari arti kata gratifikasi tersebut. Apabila penjelasan ini dihubungkan dengan rumusan Pasal 12 huruf b dapat dipahami bahwa tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum, melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam unsur Pasal 12 huruf b saja. Sedangkan kalimat “....dan fasilitas lainnya” memiliki arti yang sangat luas, sehingga jika ditafsirkan secara ektensif oleh hakim dapat juga termasuk layanan seksual yang disediakan. Namun demikian harus pula memenuhi unsur sesuai 21 Doni Muhardiasyah, Buku Saku Memahami Gratifikasi, KPK, 2010, hal. 3. 40 Pasal 12 huruf b ters ebut yakni “apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan dkewajiban atau tugasnya”. Adami Chazawi menyimpulkan mengenai penjelasan Pasal 12 huruf b Ayat 1 UU No. 20-2001 adalah sebagai berikut: 1. Bahwa ternyata pengertian gratifikasi adalah sama dengan pengertian suap pasif, khususnya pegawai negeri yang menerima suap berupa penerimaan dari pemberian-pemberian dalam arti luas yang terdiri atas benda, jasa, fasilitas dan sebagainya. 2. Karena berupa penyuapan pasif, berarti tidak termasuk pengertian suap aktif, maksudnya tidak mempersalahkan dan mempertanggungjawabkan pidana dengan menjatuhkan pidana pada pemberi suap gratifikasi menurut Pasal 12 huruf b ini. 3. Dengan demikian, luasnyapengertian suap gratifikasi seperti yang diterangkan dalam penjelasn mengenai Pasal 12 huruf b Ayat 1 tadi, tidak bisa tidak bahwa tindak pidana korupsi suap gratifikasi ini menjadi tumpang tindih dengan pengertian tindakpidana suap pasif pada Pasal 5 Ayat 2, Pasal 6 Ayat 2, dan Pasal 12 huruf a, b dan c. 22 Dalam Pasal 5 Ayat 2 UU No. 20-2001, menentukan bahwa bagi pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana sama sebagaimana dimaksud dalam ayat 1. Dalam Pasal 6 Ayat 2 UU No. 20-2001, menentukan bahwa bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat 1. Dalam Pasal 12 UU No. 20-2001, menentukan dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 Empat tahun dan paling lama 20 Dua Puluh tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 Dua Ratus Juta Rupiah dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 Satu Miliar Rupiah: a. pegawai negeri atau penyelengara Negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau 22 Adami Chazawi, op.cit, hal. 284. 41 tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; b. pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal; diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili. Betapa gigihnya pembentuk UU No. 20-2001 ini, sehingga berupaya menjerat pelaku korupsi sedemikian rupa sehingga tidak mungkin lolos dari jerat hukum. Walaupun disadari oleh pembentuk Undang-Undang bahwa pada saat penerapannya nanti dapat menimbulkan tumbapng tindih dan mungkin membingungkan. Sifat ketentuan hukum yang tumpang tindah tersebut terjadi ketika penerapannya membingungkan. Pemberian layanan seksual pernah dianalogikan sebagai faktor pemberat hukuman. Dalam kasus korupsi yang melibatkan Al Amin Nasution, pengadilan banding memperberat hukuman dari 8 tahun menjadi 10 tahun penjara karena faktor “perempuan”. Dalam persidangan dibuka transkrip perbincangan soal “pake” perempuan antara Al Amin Nasution, Ahmad Fatonah dan Lutfi Hasan Ishaq serta tersangka-tersangka lainnya. Namun ditingkat kasasi hukuman Al Amin diturunkan lagi menjadi 8 tahun penjara. Hal ini menandakan bahwa betapa sulitnya hakim menafsirkan gratifikasi seluas-luasnya karena gratifikasi hanya menyangkut uang dan barang, sementara wanita termasuk kasus terbaru Ahmad Fathonah dengan Maharani Suciono, termasuk didalamnya layanan seks tidak tercantum secara eksplisit dalam UU No. 20-2001. Jika kita melihat rumusan pasal tersebut yakni setiap gratifikasi, kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dan dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan dkewajiban atau tugasnya. Secara ekstensif, makna “fasilitas lainnya” dalam Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001 sangatlah luas. Layanan seksual yang disediakan 42 dengan maksud mempengaruhi pegawai negeri atau penyelenggara negara untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan jabatannya tentu dapat dikategorikan sebagai gratifikasi. Sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 12 huruf c UU No. 20-2001, maka pegawai negeri atau penyelenggara negara tidak dipidana apabila melaporkan mengenai penerimaan gratifikasi, yang harus disampaikan paling lambat 30 Tiga Puluh hari kerja terhitung sejak gratifikasi tersebut diterima. Dalam waktu paling lambat 30 Tiga Puluh hari kerja sejak Komisi Pemberantaran Korupsi menerima laporan, komisi telah dapat menetapkan gratifikasi terebut dapat menjadi milik penerima gratifikasi atau milik negara. Dari rumusan tersebut, tidaklah mungkin pegawai negeri penerima gratifikasi akan melaporkan setiap gratifikasi yang diterima dalam bentuk layanan seks kepada KPK berkaitan dengan etika moral dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. KPK dapat memanggil penerima gratifikasi untuk dimintai keterangan berkaitan dengan penerimaan gratifikasi tersebut. Status kepemilikan gratifikasi ditetapkan dengan keputusan pimpinan KPK. Jika ditetapkan sebagai milik negara maka gratifikasi tersebut diserahkan pada Menteri Keuangan. Bagaimana dengan layanan seksual? akankah menjadi milik negara? Oleh karena itu menurut pendapat penulis, ketentuan Pasal 12 huruf c hanya berlaku jika gratifikasi yang diterima pegawai negeri atau penyelenggara negara berupa uang atau benda berharga lainnya. Pegawai Negeri yang dimaksud ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No. 31-1999 adalah Pegawai Negeri meliputi: a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Kepegawaian; b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana; c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah; d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuaan dari keuangan Negara atau Daerah; e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal dan fasilitas dari Negara atau masyarakat. 43 Sedangkan korporasi adalah sekumpulan orang atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Sedangkan gratifikasi yang berupa layanan seksual, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak dapat menentukan status kepemilikan objek gratifikasi, karena objeknya berupa perbuatan, bukan benda atau barang.

C. Penegak Hukum Dan Gratifikasi Pasif

Anthon Freddy Susanto menyatakan bahwa undang-undang bagi seorang hakim hanyalah teks yang belum selesai dan bukan teks yang sudah final, bukan hanya berlaku bagi hakim, namun juga bagi penegak hukum lainnya dan bagi penyelenggara pemerintahan. Undang-undang yang berisi norma hukum yang bersifat umum dan abstrak hanya mengatur secara garis besar hal-hal yang wajib dilakukan obligattere, yang dilarang dilakukan prohibere dan yang boleh dilakuan permitere. Rincian operasionalnya diatur lebih lanjut oleh penyelenggara pemerintahan yang lebih mengetahui bagaimana melaksanakan undang-undang sebagaimana mestinya. Dalam berbagai undang- undang selalu terdapat pendelegasian kewenangan untuk mengatur lebih lanjut sesuatu hal dengan peraturan pemerintahan atau peraturan presiden. Hukum pada dasarnya merupakan sistem terbuka, tetapi dalam sistem hukum itu terdapat sistem terbuka dan sistem tertutup. 23 Pengertian sistem terbuka berarti juga bahwa peraturan- peraturan dalam sistem hukum membuka kemungkinan untuk perbedaan interpretasi. Karena interpretasi itu, maka peraturan- peraturan itu selalu berubah. Dalam pandangan Dworkin seperti dikutip Anton Freddy Susanto dikemukakan “bilamana hukum merupakan konsep interpretatif, ilmu hukum apapun yang ingin dianggap layak menyebut ilmu haruslah dibangun atas dasar suatu interp retasi”. 24 Sementara itu Paul Scholten mengemukakan interpretasi sistematis sudah ada terletak didalam hukum itu sendiri. 25 Alasannya 23 Ibid. 24 Anthon Freddy Susanto, Semiotika Hukum, Bandung, 2005, hal. 152. 25 Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, Bandung, 2003, hal. 31. 44 aturan-aturan itu secara logika berada dan saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya, mewujudkan satu kesatuan. Kemudian Anthon Freddy Susanto mengemukakan “...tetapi sistem norma itu sendiri tetap terbuka untuk ditafsirkan. Ketika norma dibuat, akan berbeda dengan norma yang telah disahkan dan norma yang telah disahkan akan berbeda pula dengan norma setelah ditafsirkan ”. 26 Keinginan untuk kembali kepada makna formal dari norma biasanya merupakan gangguan serius terhadap bagaimana norma itu ditangkap oleh si penerima norma. Selain penafsiran hukum oleh akademisi, penemuan hukum oleh hakim dapat terjadi jika terdapat kekosongan hukum. Bagaimana mengkualifikasikan hukumnya terhadap peristiwa konkret tertentu. Tidak selalu mudah untuk menemukan hukumnya, karena dalam praktek dapat saja dijumpai aturan hukum tertulisnya ada, tetapi tidak jelas, tidak lengkap atau bahkan tidak ada sama sekali. Hakikatnya tidak ada perundang-undangan yang sempurna, pasti didalamnya ada kekurangan dan keterbatasannya. Tidak ada aturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya atau jelas sejelas-jelasnya dalam mengatur seluruh kegiatan manusia. 27 Aturan perundangan bersifat statis dan kaku, sedangkan perkembangan kegiatan manusia selslu meningkat dari waktu ke waktu, baik jenis maupun jumlahnya, sehingga dapat dimengerti kalau kemudian muncul suatu ungkapan “Het recht hink achter de feiten ann ”, bahwa hukum tertulis selalu ketinggalan dengan peristiwanya. Peraturan perundang-undangan yang tidak jelas harus dijelaskan terlebih dahulu, sedangkan peraturan perundang- undangan yang tidak lengkap harus dilengkapi terlebih dahulu agar dapat diterapkan dalam peristiwanya. Peraturan perundang- undangan yang tidak jelas atau tidak lengkap tidak dapat secara langsung diterapkan terhdap peristiwanya. Oleh karena itu peristiwa konkret harus ditemukan dengan menjelaskan, menafsirkan atau melengkapi peraturan perundang-undangannya. Menjelaskan, 26 Anthon Freddy Susanto, op.cit, hal 91 27 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, UII Press, Yogyakarta, 2006, hal. 78. 45 menafsirkan, melengkapi dan menciptakan aturan hukunya dilakuan agar hukumnya dapat diketemukan. Untuk menemukan hukumnya dalam suatu peristiwa diperlukan metode penemuan hukum. Dalam upaya menemukan hukumnya terdapat metode penemuan hukum yang selama ini sudah dikenal, yaitu interpretasi penafsiran, argumentasi penalaran, rendenering, reasoning dan eksposisi konstruksi hukum. Apabila aturan perundang-undangan tidak jelas digunakanlah metode interpretasi, apabila peraturan perundang- undangan tidak lengkap atau tidak ada digunakan metode argumentasi dan apabila peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak ada maka digunakan metode argumentasi dan apabila peraturan perundang-undangannya tidak ada digunakan metode konstruksi hukum eksposisi. 28 Tidak semua kata, istilah dan kalimat yang menunjukkan suatu kaidah hukum, baik yang dikemukakan dengan lisan atau dinyatakan dengan tertulis dalam bentuk perundangan itu sudah jelas dan mudah dipahami. Metode interpretasi adalah metode untuk menafsirkan terhdap teks perundang-undangan yang tidak jelas, agar perundang- undangan tersebut dapat diterapkan terhadap peristiwa konkret tertentu. Ajaran interpretasi dalam penemuan hukum ini sudah lama dikenal yang disebut dengan hermeneutika yuridis. Bagi praktek hukum, terutama di pengadilan, hermeneutika memegang arti penting terutama bagi hakim dalam melakukan penemuan hukum. Penafsiran tidak hanya dilakukan oleh hakim, tetapi juga peneliti hukum dan mereka yang berhubungan dengan kasus dan peraturan-peraturan hukum. Yang dimaksud penafsiran oleh hakim adalah penafsiran dan penjelasan yang harus menuju kepada penerapan atau tidak menerapkan suatu peraturan hukum umum terhdap peristiwa konkret yang dapat diterima oleh masyarakat. Ini bukan metode penafsiran yang dapat digunakan semaunya, tetapi pelbagai kegiatan yang kesemuanya harus dilaksanakan bersamaan untuk mencapai tujuan, yaitu penafsiran undang-undang. Sesuai dengan Pasal 16 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman UU No. 4-2004 Jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Nomor 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman UU No. 48-2009 28 Ibid. 46 dijelaskan bahwa hakim berkewajiban menerima, memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Jadi tugas penting hakim ialah menyesuaikan Undang-Undang dengan hal-hal nyata di masyarakat. Apabila Undang-Undang tidak dapat dijalankan menurut arti katanya, hakim harus menafsirkannya. Dengan kata lain apabila undang-undangnya tidak jelas, hakim wajib menafsirkannya, sehingga ia dapat membuat suatu keputusan yang adil dan sesuai dengan maksud hukum yaitu mencapai kepastian hukum sesuai dengan Pasal 27 UU No. 14-1970. Dan atas dasar tersebut orang dapat mengatakan bahwa menafsirkan undang-undang adalah kewajiban hukum dari hakim. Sekalipun penafsiran merupakan kewajiban hukum dari hakim, terdapat beberapa pembatasan mengenai kemerdekaan hakim untuk menafsirkan undang-undang tersebut. Logeman mengatakan bahwa hakim harus tunduk pada kehendak pembuat Undang-Undang. 29 Dalam hal kehendak itu tidak dapat dibaca begitu saja dari kata-kata peraturan perudangan, hakim harus mencarinya dalam sejarah kata-kata tersebut, dalam sistem Undang-Undang atau dalam arti kata-kata seperti itu yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari. Hakim wajib mencari kehendak pembuat Undang-Undang, karena ia tidak boleh membuat tafsiran yang tidak sesuai dengan kehendak itu. Setiap tafsiran adalah tafsiran yang dibatasi oleh kehendak pembuat Undang-Undang. Atas dasar itu hakim tidak diperkenankan menafsirkan Undang-Undang secara sewenang-wenang. Hakim tidak boleh menafsirkan kaidah yang mengikat, kecuali hanya penafsiran yang sesuai dengan maksud pembuat Undang-Undang saja yang menjadi tafsiran yang tepat. 30 Dalam praktek, tidak ada prioritas dalam penggunaan metode interpretasi. Oleh karena itu metode interpretasi dapat digunakan sendiri-sendiri, dapat pula disinergikan dengan beberapa metode interpretasi sekaligus. Dalam hal ini hakim mempunyai kebebasan atau tidak terikat harus menggunakan metode tertentu, tetapi yang terpenting bagi hakim adalah memilih metode yang tepat agar dapat mempergunakan undang-undang terhadap peristiwanya. 29 Bambang Sutiyoso, op.cit, hal. 78. 30 Ibid, hal. 83. 47 Dalam hal menafsirkan Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001, dapat digunakan interpretasi historis dan interpretasi ekstensif. Interpretasi historis adalah penafsiran makna Undang-Undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah, baik sejarah lembaga hukumnya maupun sejarah terjadinya undang-undang tersebut. Setiap ketentuan peraturan perundang-undangan mempunyai sejarahnya sendiri. Karena itu bagi para hakim yang bermaksud mengetahui makna kata atau kalimat dalam suatu undang-undang, dia harus meneliti sejarah kelahiran pasal tertentu itu dirumuskan. Sejarah yang dimaksud adalah sejarah terjadinya peraturan tertentu dan apa yang merupakan latar belakang, maksud dan tujuan peraturan itu ditetapkannya Jadi yang dilihat bukan kata-demi kata atu kalimat demi kalimat, melainkan kebulatan peraturannya atau Pasal-pasalnya. Sedangkan interpretasi ekstensif adalah metode penafsiran yang membuat interpretasi melebihi batas-batas hasil interpretasi gramatikal. Jadi interpretasi ekstensif digunakan untuk menjelaskan suatu ketentuan undang-undang dengan melampaui batas yang diberikan oleh interpretasi gramatikal bahasa. Sebagai pengecualian dalam hukum pidana, ada dua pandangan mengenai interpreasi ekstensif yaitu pihak yang menganggap antara interpretasi ekstensif dengan analogi tidak ada perbedaan, maka dari itu interpretasi ekstensif juga dilarang digunakan untuk perkara pidana karena melanggar asas legalitas. Di pihak lain, menganggap antara dua interpretasi dimaksud berbeda, maka dari itu penggunaan interpretasi ekstensif ini dalam perkara pidana tidak apa-apa. 31 Pada umumnya interpretasi historis menurut Undang-Undang dan interpretasi teleologis bersifat memperluas makna suatu ketentuan undang-undang. Sedangkan interpretasi ekstensif dan restriktif didasarkan pada hasil dan akibat dari penemuan hukum perlbagai metode interpretasi. Penegak hukum memiliki kebebasan untuk menafsirkan gratifikasi pada Pasal 12 huruf b UU No. 14-1970, sesuai dengan kaidah-kaidah penafsiran yang diperbolehkan dalam hukum pidana apabila dibutuhkan dalam perkembangan motif tindak pidana korupsi dalam masyarakat yang dapat disebut sebagai penemuan hukum. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya seluruh 31 Ibid, hal. 91. 48 penyelesaian masalah hukum terutama di pengadilan membutuhkan metode penemuan hukum agar aturan hukumnya dapat diterapkan terhadap peristiwanya, sehingga akan dapat terwujud putusan yang dikehendaki yaitu mengandung aspek keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. D. Pembuktian Gratifikasi Seksual Dalam Tindak Pidana Korupsi 1. Landasan Formil Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Setelah kita merdeka, pembaruan juga dilakukan setapak demi setapak. Berdasarkan Pasal 1 Ayat 3 UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan “Negara Indonesia adalah negara hukum rechtstaat berarti bukan atas kekuasaan belaka machtsstaat ” sehingga melahirkan konsep negara hukum Indonesia. Kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan diatur oleh undang-undang yang pada dasarnya adalah kesamaan hukum. Pada akhir tahun 1970 nampak perubahan-perubahan sikap terhadap perundang-undangan dimana keseimbangan antara kehendak untuk mengadakan perubahan melalui perundang- undangan dan kesadaran hukum bahwa dalam usaha yang demikian perlu diperhatikan nilai-nilai kenyataan yang hidup di masyarakat. 32 Dalam pemikiran filsafat hukum sikap demikian dianjurkan oleh Eugen Ehrlic, yang menyelesaikan pandangan kontroversial antara Von Savigny dan Jeremy Bentham. Konsep dasar pemikiran Eugen Ehrlic tentang hukum yang merupakan kunci bagi teorinya adalah apa yang dinama kan “living law”: “Hukum positif yang baik dan karenanya efektif adalah hukum yang sesuai dengan “living law” dalam arti selama dengan kenyataan hidup di tentah pergaulan dan mencerminkan nilai- nilai yang hidup didalamnya”. 33 Sejak diberlakukannya KUHAP pada tanggal 31 Desember 1981, maka untuk pertama kalinya Bangsa Indonesia memiliki undang-undang yang mengatur Hukum Acara Pidana yang sepenuhnya buatan Bangsa Indonesia sendiri. Undang-undang ini dibentuk dalam waktu sekitar 2 Dua tahun sebagai suatu karya agung, yang didalamnya mengatur seluruh tahap atau poses acara pemeriksaan perkara pidana, mulai dari tingkat penyidikan yang 32 Martiman Projohamidjojo, op.cit, hal. 98. 33 Ibid, hal. 2. 49 dilakukan oleh kepolisian Republik Indonesia, tingkat penuntutan yang dilakukan oleh Kejaksaan, sampai tingkat pemeriksaan dan penjatuhan putusan pengadilan oleh Hakim Pengadilan Negeri. Bahkan sampai tingkat Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung dalam hal terjadi upaya hukum, baik upaya hukum biasa banding atau kasasi maupun upaya hukum luar biasa kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali. Dengan diberlakukannya KUHAP maka peraturan perundang- undangan yang mengatur prosedur atau tata cara beracara pidana yang ada sebelumnya yakni Het Herziene Inlandsch Reglement atau HIR Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44 yang selama kurang lebih 30 tahun dijadikan pedoman bagi Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Darurat Tahun 1951, dinyatakan tidak berlaku lagi. Lahirnya KUHAP bukan hanya sekadar pengganti dari HIR, tetapi lebih dari itu merupakan perubahan warna dan cakrawala hukum nasional, karena KUHAP disusun berdasarkan landasan filosofi, landasan konstitusional UUD 1945 serta landasan operasional Ketetapan MPR Nomor IVMPR1979 dan UU No. 14- 1970. Disamping itu pembentuk undang-undang ini dengan sengaja telah menciptakan cakrawala hukum acara pidana yang penuh ditaburi hiasan perlindungan hak asasi manusia. Pada era Reformasi, munculnya UU No. 31-1999 yang kemudian diubah dengan UU No. 20-2001 bukan hanya mengakomodasi hukum materil tindak pidana korupsi, akan tetapi juga terkandung hukum formil dalam delik korupsi. Namun demikian ketentuan dalam KUHAP tidak seluruhnya tergantikan oleh munculnya undang-undang tersebut, namun ada beberapa ketentuan khusus yang tersemat dalam undang-undang tindak pidana korupsi seperti sistem pembuktian terbalik yang berlawanan dengan asas “Presumption of Innocent.”

2. Hukum Positif yang Pernah Berlaku

Martiman Prodjohamidjojo membandingkan peraturan tentang korupsi yang pernah belaku di Indonesia sebagai berikut: 34 1. Peraturan Penguasa Militer No. PrtPM-061957 34 Martiman Projohamidjojo, op.cit, hal. 14. 50 Pemerintah Indonesia sejak tahun 1957 melalui Kepres No. 481957 Kepala Staf Angkatan Darat KSAD Abdul Haris Nasution selaku penguasa militer menetapkan Peraturan Penguasa Militer No. PrtPM061957 tentang Pemberantasan Korupsi. Salah satu aspek penting dalam peraturan tersebut adalah membentuk suatu unit kerja yang bertugas menilik harta benda setiap orang yang disangka, didakwa atau sepatutnya disangka melakukan korupsi, termasuk harta benda suami, istri, anak atau badaninstitusi yang diurus oleh orang tersebut. Rumusan korupsi menurut Peraturan Penguasa Militer No. PrtPM-061957dikelompokkan menjadi dua, yakni: a. tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga baik kepentinangan sendiri, kepentingan orang lain atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian negara. b. tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah daru suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenagnan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan atau material baginya. 2. Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat No. Prt013Peperpu0131958 Rumusan korupsi dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat tersebut diatas, dikelompokkan menjadi dua kelompok besar dan tidap kelompok dibagi lagi menjadi sub kelompok, sehingga menjadi lima sub kelompok jenis korupsi, yakni: a. Korupsi pidana 1. perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau sesuatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara atau dareah atau merugikan suatu badan keuangan atau daerah dan badan hukum lain yang mempergunakan modal atau kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat. 51 2. perbuatan yang dengan atau karena melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, serta yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan. 3. kejahatan-kejahatan yang tercantum dalam Pasal 209, Pasal 210, Pasal 418, Pasal 419 dan Pasal 420 KUHP. a. Pasal 209 KUHP menentukan 1. Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barangsiapa memberi ataau menjanjikan sesuatu pada seorang pejabat dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; 2. barangsiapa memberi sesuatu kepada seorang pejabat karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Pencabutan hak tersebut dalam Pasal 35 KUHP dapat dijatuhkan, yaitu: 1. Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah: 1. hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu; 2. hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata; 3. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum; 4. hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri; 5. hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian, atau pengampuan atas anak sendiri; 6. hak menjalani mata pencarian tertentu; 52 2. Hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya, jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan penguasa lain untuk pemecatan itu. b. Pasal 210 KUHP menentukan : 1. Diancam dengan pidana paling lama tujuh tahun 1. barangsiapa member atau menjanjikan sesuatu kepada seorang hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan tentang perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; 2. barangsiapa memberi atau menjanjikan kepada seorang yang menurut ketentuan undang-undang ditentukan menjadi penasihat atau adviser untuk menghadiri sidang atau pengadilan, dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili; 2. Jika pemberian atau janji dilakukan dengan maksud supaya dalam perkara pidana dijatuhkan pemidanaan, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun; 3. Pencabutan berdasarkan Pasal 35 No. 1 sd 4 dapat dijatuhkan. c. Pasal 418 KUHP menentukan: 1. bahwa seorang pejabat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau sepatutnya harus diduganya, bahwa hadiah atau janji itu diberikan itu karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadiah atau janji itu ada hubungan dengan jabatannya, diancam dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. d. Pasal 419 KUHP menentukan: 1. Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun, seorang pejabat: a. yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahuinya bahwa hadiah atau janji itu diberikan 53 untuk menggerakkan supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; b. yang menerima hadiah mengetahui bahwa hadiah itu diberikan sebagai akibat atau oleh karena si penerima telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. 2. Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun: a. seorang hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang menjadi tugasnya; b. barangsiapa menurut ketentuan undang-undang ditunjuk menjadi penasihat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasihat tentang perkara yang harus diputus oleh pengadilan itu; 3. Jika hadiah atau janji itu diterima dengan sadar bahwa hadiah atau janji itu diberikan supaya dipidana dalam suatu perkara pidana, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. b. Korupsi perdata: 1. perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbutan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan Negara atau Daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau badan lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat. 2. perbuatan seseorang yang dengan atau karena kaya diri sendiri atau orang lain atau seuatu badan dan yang dilakukan dengan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan. 3. Undang-Undang No. 24PrpTahun 1960 Disebut juga sebagai Undang-Undang Anti Korupsi merupakan peningkatan dari berbagai peraturan. Sifat dari perpu ini 54 masih bersifat kedaruratan, menurut Pasal 96 UUDS 1950, pasal 139 Konstitusi RIS 1949 yang kemudian dicabut melalui Dekrit Presiden Repulik Indonesia 5 Juli 1959. Undang-Undang Anti Korupsi Nomor 24PrpTahun 1960 mengandung hal-hal baru yang belum ada dalam undang-undang korupsi sebelumnya yakni: a. delik percobaan dan delik permufakatan; b. kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara; c. ada delik pemberian hadiah atau janji kepada pegawai negeri; d. kewajiban lapor bagi pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji; e. rumusan mengenai pegawai negeri diperluas; Dengan masuknya pemberian hadiah atau janji dan kewajiban lapor bagi pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji merupakan awal dari terbentuknya gratifikasi, walaupun belum secara eksplisit dituliskan sebagai suap gratifikasi. 4. UU No. 3-1971 Rumusan delik korupsi pada UU No. 3-1971 mengambil oper rumusan delik korupsi dari Undang-Undang Nomor 24 Prp tahun 1960, baik redaksi mengenai perbuatan-perbuatan maupun sistematikanya. Sehingga karena itu ada dua kelompok delik korupsi, yaitu delik korupsi yang selesai voltooid dan delik percobaan poging serta delik permufakatan convenant. Yang terpenting dalam rumusan Pasal 1 sub 1 huruf d : “Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat suatu kekuasaan dan wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu”. Rumusan pasal 1 sub 1 huruf e: “Barang siapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkat- singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti yang tersebut dalam pasal-pasal 418, 419 dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian itu atau janji tersebut kepada yang berwajib”. 35 Rumusan Pasal 1 sub 1 huruf d tersebut mulai memasukkan gratifikasi ke dalam Undang-Undang, namun secara eksplisit belum dinakaman gratifikasi. 5. UU No. 31-1999 Rumusan delik korupsi dengan mengoper sebagian besar dari delik korupsi UU No. 3-1971, dengan perubahan sebagai hal yang 35 Martiman Projohamidjojo, op.cit, hal. 18. 55 menarik untuk diperhatikan, sebagai berikut memperluas subjek delik kerupsi, memperluas pengertian pegawai negeri, memperluas pengertian delik korupsi, memperluas berbagai modus operandi keuangan negara, delik korupsi dirumuskan secara tegas sebagai delik formil, subjek korporasi dikenakan sanksi. Sanksi pidana bebeda dengan sanksi pidana Undang-Undang sebelumnya. Akan dibentuk tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung, agar dalam proses penanganan delik keorupsi tersangkaterdakwa memperoleh perlindungan hak-hak asasi. Dan diterapkan pembuktian terbalik terbatas dan partisipasi masyarakat berperan dalam pemberantasan delik korupsi. 6. UU No. 20-2001 Merupakan perubahan dari UU No. 31-1999. Ditambahkan Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001 yang menyematkan gratifikasi didalamnya dan merupakan hal baru yang bukan dari Undang- Undang sebelumnya. Dari sejarah perkembangan peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, menurut pandangan penulis bahwa upaya pembuat Undang-Undang untuk selalu mengikuti perkembangan masyarakat dan adanya upaya membentuk jaring hukum seluas-luasnya untuk menjerat pelaku delik korupsi dengan modus yang selalu berkembang. Mengenai masuknya gratifikasi yang merupakan hal baru dalam Undang-Udang tindak pidana korupsi tidak lepas dari niat pembuat Undang-Undang untuk mencegah dan memberantas korupsi demiki menyelamatkan perekonomian Negara, sehingga tidak berlebihan jika kata “fasilitas lainnya” dalam Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, secara ekstensif ditafsirkan termasuk layanan seksual yang disediakan untuk pegawai negeri atau penyelenggara Negara untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang berhubungan dengan tugas dan tanggung jawabnya yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. 3. Intisari Undang-undang Korupsi UU No. 31-1999 Jo UU No. 20-2001 dimaksudkan untuk mengganti UU No. 3-1971 yang tidak lagi memenuhi kebutuhan masyarakat dengan harapan dapat memberantas secara efektif 56 berbagai delik korupsi yang makin canggih, merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dan kepentingan masyarakat. Perluasan subjek delik korupsi yang meliputi korporasi, perluasan pengertian pegawai negeri dari Pasal 92 KUHP maupun Pasal 1 huruf a UU No. 8-1974, kemudian dimasukkannya korupsi suap menerima gratifikasi, maka UU No. 20-2001, diharapkan mampu menjangkau lebih banyak pelaku-pelaku delik korupsi. Pasal 92 KUHP menentukan: a. Yang disebut pejabat, termasuk juga orang-orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum, begitu juga orang-orang yang bukan karena pemilihan, menjadi anggota badan pembentuk undang-undang, badan pemerintahan, atau badan perwakilan rakyat, yang dibentuk oleh pemerintah atau atas nama pemerintah; begitu juga semua anggota dewan subak, dan semua kepala rakyat Indonesia asli dan kepala golongan Timur Asing, yang menjalankan kekuasaan yang sah; b. Yang disebut pejabat dan hakim termasuk juga hakim wasit; yang disebut hakim termasuk juga orang-orang yang menjalankan peradilan administratif, serta ketua-ketua dan anggota-anggota pengadilan agama; c. Semua anggota Angkatan Perang juga dianggap sebagai pejabat. Demikian juga pemberian sanksi pidana yang lebih berat daripada Undang-Undang sebelumnya. Dalam UU No. 20-2001, memberikan prioritas penanganan delik korupsi dari perkara pidana umum. Undang-Undang ini juga memungkinkan pemeriksaan terdakwa secara in absensia dengan harapkan untuk menyelamatkan keuangan negara.

E. Sistem Pembuktian Gratifikasi Seksual Sebagai Korupsi Pasif

Pembuktian dalam hukum acara pidana merupakan suatu bagian penting, karena pada dasarnya setiap proses hukum pidana mulai tingkat peyidikan sampai tingkat pengadilan tidak luput dari proses membuktikan. Bagi polisi bahkan sejak proses penyelidikan yang merupakan proses bagaimana menemukan bukti permulaan, pada tahap penyidikan bagaimana menemukan bukti yang mengkaitkan tersangka terhadap tindak pidana yang disangkakan. 57 Begitu pula dengan proses penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum JPU adalah membuktikan bahwa terdakwa benar-benar melakukan tindak pidana sesuai dengan yang didakwakan, sedangkan penasihat hukum membuktikan sebaliknya. Hakim memutuskan dengan mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan dan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan. Sebenarnya seluruh kegiatan dalam proses hukum perkara pidana, mulai penyelidikan sampai putusan akhir dibacakan di muka persidangan oleh majelis hakim adalah kegiatan yang berhubungan dengan pembuktian atau kegiatan untuk membuktikan. Walaupun hukum pembuktian perkara pidana terfokus pada proses pembuktian di sidang pengadilan, namun sebenarnya proses membuktikan telah ada di penyidikan bahkan saat penyelidikan. 36 Alfitra menyatakan bahwa hukum pembuktian merupakan seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian, yakni segala proses, dengan menggunakan alat bukti yang sah, dan dilakukan tindakan- tindakan dengan prosedur khusus guna mengetahui fakta-fakta yuridis di persidangan, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebutr serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian. 37 Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan dengan undang- undang “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa “dibebaskan” dari hukuman sesuai Pasal 191 Ayat 1 KUHAP. Pasal 191 KUHAP menentukan bahwa jika berpendapat bahwa hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakaan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Sebaliknya jika kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184, terdakwa dinyatak an “bersalah” dan kepadanya akan dijatuhkan pidana yang sesuai dengan Pasal 193 36 Adami Chazawi, loc.cit, hal. 9. 37 Alfitra, loc.cit, hal. 21. 58 Ayat 1 KUHAP. Menurut ketentuan Pasal 197 KUHAP surat putusan pemidanaan harus memuat: a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA“; b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa; c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan; d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan disidang yang menjadi dasar penentuana kesalahan terdakwa; e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan; f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal perturan perundang- undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa; g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal; h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah dipenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan; i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti; j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letak kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu; k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan; l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera. Karenanya hakim haruslah berhati-hati, cermat dan matang dalam menilai serta mempertimbangkan nilai pembuktian pertimbangan hukumnya. Tidak dipenuhinya ketentuan dalam Pasal 197 Ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, huruf k dan huruf l KUHAP mengakibatkan putusan batal demi hukum. Kewajiban hakim juga 59 m eneliti sampai dimana batas minimum “kekuatan pembuktian” atau bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP. Lebih lanjut Alfitra menyebutkan sumber hukum pembuktian terdiri dari: 1. Undang-undang; 2. Doktrin atau pendapat para ahli hukum; dan 3. Yurisprudensi; Karena hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana, sumber hukum yang utama adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Penjelasannya yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209. Dan apabila dalam praktek menemui kesulitan dalam menerapkan hukumnya atau menjumpai kekurangan atau kekosongan hukum sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan, maka dipergunakan doktrin atau yurisprudensi. Van Bummulen dan Moeljatno menyatakan bahwa membuktikan adalah memberikan kepastian yang layak menurut akan redelijk tentang Apakah hal yang tertentu itu sungguh- sungguh terjadi? dan Apa sebabnya demikian. Senada dengan hal terebut, Martiman Prodjohamidjojo mengemukak an “membuktikan” mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. Alat bukti yang sah adalah alat bukti yang dapat dinilai dan dipertimbangkan hakim dalam rangka membentuk keyakinan untuk tujuan satu-satunya membuat putusan perkara pidana. Merupakan bukti yang didapat dari alat bukti yang diajukan dan diperiksa dalam persidangan. Bukan bukti yang didapat dari hasil penyidikan. Bukti yang didapat dari hasil penyidikan hanyalah dapat digunakan oleh JPU sebagai dasar menyusun surat dakwaan. Didalam sidang pengadilan, bukti atau alat bukti yang didapat dari pekerjaan penyidikan hanyalah berfungsi membantu menemukan bukti. Memberi arah bagi hakim, penuntut umum maupun penasihat hukum dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan berdialog terhadap saksi-saksi dan terdawa, antara hakim dengan jaksa 60 penuntut umum maupun dengan penasihat hukum hukum satu sama lain. Kegiatan pembuktian dalam sidang pengadilan, tidak terfokus lagi pada pencarian alat-alat bukti yang memuat bukti- bukti dan mengurai bukti-bukti, akan tetapi memeriksa alat-alat bukti yang sudah terlebih dahulu disiapkan oleh penyidik dan diajukan JPU dalam sidang untuk diperiksa bersama hakim, jaksa dan penasihat hukum. KUHAP menentukan bahwa pihak yang membuktikan kesalahan terdakwa adalah jaksa penuntut umum, sedangkan terdakwa bersifat pasif, artinya untuk menolak dan membela diri adalah hak dasar yang dimilikinya. Sebagaimana sifat hak ialah boleh digunakan boleh juga tidak. Tetapi bagi jaksa penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa adalah kewajiban, bukan hak. Karena itu membuktikan tentang kesalahan terdakwa bagi JPU bersifat imperatif. Namun demikian hasil pembuktian JPU bukanlah bersifat final, karena yang menentukan pada tahap akhir dari seluruh kegiatan pembuktian ada pada hakim. Dalam memutuskan hakim berpijak pada Pasal 183 KUHAP dimana terdapat ketentuan tentang standar pembuktian atau disingkat standar bukti. Tindak pidana korupsi sebagai hukum pidana yang bersumber pada undang-undang khusus hukum pidana, disamping memuat hukum pidana materil juga memuat hukum pidana formil. Dalam hal hukum pembuktian korupsi memiliki perbedaan dengan pembebanan pembuktian di KUHAP. Dalam hal-hal tertentu dan pada tindak pidana tertentu terdapat perbedaan dimana beban pembuktian tidak mutlak berada pada JPU, namun ada pula pada terdakwa atau kedua belah pihak secara berlawanan. Dalam hukum pembuktian tindak pidana korupsi sistem pembebanan pembuktiannya tidak hanya pada JPU, namun apabila terdakwa didakwa selain tindak pidana korupsi yakni harta benda terdakwa, maka beban pembuktian harta tersebut ada pada terdakwa. Dalam konteks yang komprehensif, tidak dapat dipungkiri bahwa korupsi merupakan “White Collar Crime” dengan perbuatan yang selalu mengalami dinamisasi modus operandinya dari segala sisi, sehingga dikatakan sebagai “Invisible Crime” yang sangat sulit memperoleh prosedural pembuktiannya, karena memerlukan pendekatan sistem terhadap pemberantasannya. 61 Di dalam rancangan undang-undang tentang tindak pidana korupsi Pasal 12 huruf a, sistem pembuktian beban pembuktian, telah dicantumkan secara tegas dan jelas oleh Andi Hamzah mengenai rumusan deliknya yang berkaitan dengan Pasal 419 dan Pasal 420 KUHP. Menurut Indriyanto Seno Adji berdasarkan alasan pendekatan historis diperlukan suatu cara atau metode untuk membangunkan ketentuan atau Pasal suap tersebut dalam pembaruan terhadap perundang-undangan tindak pidana korupsi. 38 Memang harus diakui perumusan ketentuan Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001 ini dari sisi pendekatan hukum pidana meniadakan makna asas pembalikan beban pembuktian manakala unsur yang berhubungan dengan jabatan dan yang melakukan pekerjaan bertentangan dengan kewajiban, artinya kewajiban pembuktian adalah imperatif pada JPU untuk membuktikannya. Namun apabila dicermati secara seksama, dengan perubahan tekstual rumusan delik antara Pasal rancangan dengan Pasal barunya, yaitu Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001, memang telah terjadi pergeseran, bukan peniadaan, atas makna rumusan deliknya, yaitu: ▲ Tidak jelas lagi berstanddeel delik dari rumusan deliknya, sedangkan delik inti ini sangat menentukan perbuatan yang dapat dikenakan pidana dan siapa yang harus membuktikannya; ▲ Bahwa dengan rumusan delik tersebut, baik pemberian gratifikasi maupun unsur yang berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan jabatannya atau tugasnya kembali menjadi kewajiban JPU untuk membuktikannya. Pembebanan pembuktian sistem pembuktian terbalik berimbang adalah pembuktian oleh terdakwa tentang kekayaan terdakwa yang seimbang dengan sumber pendapatannya harta diperoleh secara halal. Namun bagi jaksa tetap dibebani pembuktian perihal tindak pidana yang didakwakan dalam perkara pokok. 39 Namun apabila Jaksa Penuntut Umum mendakwa terdakwa dengan korupsi suap menerima gratifikasi yang nilainya sepuluh juta rupiah atau lebih sesuai Pasal 12 huruf b Ayat 1 huruf a UU No. 20- 38 Indriyanto Seno Adji, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, Diadit Media, Jakarta, 2007, hal. 350. 39 Adami Chazawi, loc.cit, hal. 6. 62 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999, maka beban pembuktiannya ada pada terdakwa. Namun apabila terdakwa atau penasihat hukumnya tidak dapat membuktikan, maka ketidak mampuan terdakwa membuktikan tersebut dapat digunakan oleh JPU untuk memperkuat alat bukti yang telah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Dalam sistem semi terbalik ini antar jaksa dan terdakwapenasihat hukumnya sama- sama membuktikan hal yang berlawanan. Jaksa membuktikan terdakwa bersalah artinya secara positif dan terdakwapenasihat hukum membuktikan tidak bersalah atau secara negatif. Dimulainya proses pembuktian dalam sidang pengadilan antara JPU, Penasihat Hukum dan Majelis Hakim adalah sama, akan tetapi mengenai perihal berakhirnya tidak sama. Pembuktian akan berakhir pada saat kesimpulan tentang terbukti atau tidaknya tindak pidana yang didakwakan tersebut. Masing-masing peran berdasarkan berakhirnya pembuktian adalah sebagai berikut:  Jaksa Penuntut Umum “berakhir saat kesimpulan dibuat dalam bentuk surat tuntutan, yang dapat dipertegas atau disempurnakan dalam repliknya ”;  Penasihat Hukum “berakhir saat kesimpulan dibuat dalam nota pembelaan yang dapat disempurnakan dalam duplik ”;  Majelis Hakim “berakhir saat kesimpulan dibuat dalam bentuk putusan akhir yang dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum ”. Proses pembuktian oleh Majelis Hakim dapat dilakukan pada tingkat banding, namun pada tingkat kasasi tidak lagi dilakukan proses pembuktian, karena pada dasarnya dalam tingkat kasasi memeriksa 4 Empat hal yakni: 1. Judex factie tidak menerapkan hukum yang ada dan seharusnya diterapkan; 2. Judex factie menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya; 3. Judex factie telah menjalankan proses pengadilan yang menyalahi hukum; 4. Judex factie dalam mengadili dan memutus telah melampaui batas wewenangnya. 63 Berdasarkan pemahaman arti pembuktian sidang pengadilan di atas, pembuktian dapat dibedakan menjadi 2 Dua bagian yaitu: 1. Kegiatan mengungkapkan fakta; 2. Pekerjaan menganalisis fakta yang sekaligus menganalisis hukum. Bagian pembuktian yang pertama adalah kegiatan pemeriksaan alat-alat bukti yang diajukan dimuka sidang pengadilan oleh JPU dan Penasihat Hukum ádè charge atau atas kebijakan Majelis Hakim. Proses pembuktian bagian pertama ini akan berakhir pada saat ketua Majelis Hakim mengucapkan secara lisan bahwa pemeriksaan perkara telah selesai. Bagian pembuktian kedua adalah pembuktian yang berupa menganalisa fakta-fakta yang didapat dalam persidangan dan menganalisa hukum masing-masing oleh tiga pihak tersebut requisitoir, pledooi dan vonis. Sebagian besar praktisi mengartikan pembuktian adalah pembuktian sebagaimana pembuktian bagian kedua saja, sehingga pembuktian kedua ini dapat pula diartikan sebagai pembuktian dalam arti sempit. Sedangkan pembuktian dalam arti luas adalah seluruh proses pembuktian baik yang pertama dan bagian kedua, sehingga dapat disimpulkan sementara bahwa keseluruhan ketentuan hukum yang mengatur segala segi tentang pembuktian itulah yang disebut dengan hukum pembuktian. Dan telah kita ketahui bahwa kegiatan pembuktian telah diatur dalam KUHAP untuk hukum umum dan bisa ditambah dengan aturan khusus diluar kodifikasi seperti pembuktian dalam tindak pidana korupsi. Jenis-jenis alat bukti yang boleh dipergunakan dan kekuatan pembuktian serta cara bagaimana dipergunakannya alat-alat bukti tersebut untuk membuktikan di sidang pengadilan adalah hal paling pokok dalam hukum pembuktian dengan sistem negatif. Tiga hal pokok itu telah tertuang dalam Pasal-pasal dalam bagian keempat KUHAP. Mengenai macam-macam alat bukti dimuat dalam Pasal 184 KUHAP. Sedangkan mengenai cara mempergunakan alat-alat bukti dan kekuatan pembuktian alat-alat bukti dimuat dalam Pasal 185 hingga Pasal 189 KUHAP. Pasal 185 termaktub bahwa mengenai macam-macam alat bukti yang sah dan boleh dipergunakan untuk membuktiakan yang telah ditentukan dalam Pasal 184 Ayat 1 KUHAP ialah 64 1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk; 5. Keterangan terdakwa. Keterangan saksi menurut ketentuan Pasal 185 KUHAP yaitu 1. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan; 2. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya; 3. Ketentuan sebagaimana dalam ayat 2 tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya; 4. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang kejadian atau keadaan yang dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu; 5. Baik pendapat maupun rekanan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi dalam menilai kebenaran keteraangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan: a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan lainnya; b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain; c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan tertentu; d. cara hidup daan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya; 6. Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain; a. Keterangan ahli menurut ketentuan Pasal 186 KUHAP ialah apa yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan; 65 b. Bukti Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 Ayat 1 huruf c KUHAP, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah 1. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang disengar, dilihat atau yang didalamnya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan ahli itu; 2. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang- undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian suatu keadaan; 3. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya; 4. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Petunjuk menurut ketentuan Pasal 188 KUHAP yaitu: 1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya; 2. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa; 3. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Keterangan terdakwa menurut ketentuan Pasal 189 KUHAP yaitu: 1. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri; 2. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu untuk menemukan bukti disidang, 66 asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya; 3. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri; 4. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Jika dibandingkan dengan alat-alat bukti dalam Pasal 295 HIR, maka alat-alat bukti dalam Pasal 184 Ayat 1 KUHAP ada perbedaan yaitu  Alat bukti pengakuan menurut HIR, yang dalam KUHAP diperluas menjadi keterangan terdakwa, pengertian keterangan terdakwa lebih luas dari sekadar pengakuan.  Dalam KUHAP ditambahkan alat bukti baru yang dulu dalam HIR bukan merupakan alat bukti, yakni keterangan ahli. Pembuktian adalah usaha untuk membuktikan sesuatu melalui alat-alat bukti yang dapat dipergunakan dengan cara-cara tertentu untuk menyatakan apakah itu bukti atau tidak menurut ketentuan Undang-Undang. Kesulitan dalam memberantas tindak pidana korupsi terletak pada kesulitan dalam hal membuktikan kejahatan korupsi di sidang pengadilan. Hukum konvensional dalam KUHAP yang berpijak pada asas Presumption of Innocent tidak mempermudah pembuktian perkara korupsi di sidang pengadilan. Karenanya upaya luar biasa perlu dilakukan dengan memasukkan sistem pembebanan terbalik dan semi terbalik dalam hukum acara pembuktian delik korupsi Omkering Vanhet Bewijslast. Telah disebutkan diatas mengenai pengertian sempit pembuktian dimana mengacu pada ketentuan tentang standar- standar dalam hal membuktikan sesuatu in casu kesalahan terdakwa dalam melakukan tindak pidana yang didakwakan seperti dalam negatif wettelijk menurut undang-undang yang terbatas seperti pada Pasal 183 KUHAP, standar bukti untuk menyatakan terbuktinya kesalahan terdakwa ialah 1. Harus ada atau sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan 2. Keyakinan hakim, artinya dari dua alat bukti itu hakim memperoleh keyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana. 67 Mengenai sistem pembebanan mengacu pada pihak mana yang dibebankan kewajiban untuk membuktikan dan hal apa yang harus dibuktikan, dan juga sebagai standar ukur untuk menentukan terbukti tidaknya pembuktian. Mengacu pada definisi sistem pembuktian dan sistem pembebanan pembuktian tersebut, maka kekhususan dalam hukum acara tindak pidana korupsi lebih mengacu pada sistem pembebanan pembuktian. Secara umum sistem pembuktiannya sama dengan sistem pembuktian yang mengacu pada Pasal 183 KUHAP, khususnya bagi hakim dalam menilai alat-alat bukti. Standar yang harus diikuti dalam menyatakan terbukti atau tidaknya tindak pidana korupsi dan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana tetap terikat pada Pasal 183 KUHAP. Menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Inilah asas pokok dalam hukum acara pidana yang tidak mudah dikesampingkan oleh hukum pembuktian acara pidana khusus. Jadi sungguh berbeda dengan apa yang sering di dengar, bahwa sistem pembuktian dalam tindak pidana korupsi telah menganut sistem pembuktian terbalik. Sesungguhnya yang dimaksud adalah sistem pembebanan pembuktian terbalik. 40 Dalam sistem pembebanan pembuktian khusus tindak pidana korupsi disamping memuat ketentuan pihak mana JPU atau terdakwa yang dibebani untuk membuktikan, memuat pula berbagai ketentuan antara lain: y Tentang tindak pidana atau dalam hal mana berlakunya beban pembuktian pada jaksa penuntut umum atau penasihat hukum atau keduanya misalnya dalam hal gratifikasi, jika nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 Sepuluh Juta Rupiah, maka beban pembuktianya ada pada Jaksa Penuntut Umum, namun jika nilainya Rp 10.000.000,00 Sepuluh Juta Rupiah atau lebih, beban pembuktiannya ada pada terdakwa; 40 Adami Chazawi, loc.cit, hal. 72. 68 y Untuk kepentingan apa beban pembuktian itu diberikan pada satu pihak, seperti pada sistem terbalik, untuk membuktikan harta yang belum didakwakan adalah kewajiban terdakwa untuk membuktikan bahwa harta itu bukan hasil korupsi agar tidak dijatuhkan atau dijatuhkan pidana perampasan barang terhadap harta yang dimiliki dan belum didakwakan; y Hukum pembuktian khusus korupsi juga memuat hukum formil pembuktian yakni tentang cara membuktikan. Pada sistem pembuktian semi terbalik mengenai harta benda yang diduga membpunyai hubungan dengan perkara korupsi yang didakwakan. Dilakukan terdakwa dengan cara terdakwa membuktikan bahwa kekayaannya, kekayaan istri atau suami atau anaknya atau siapa saja yang dapat dihubungkan dengannya adalah sesuai dengan sumber pendapatan atau sumber tambahan kekayaannya tersebut; y Akibat hukum dari pembuktian tersebut telah jelas yakni hakim akan menyatakan tidak terbukti apabila terdakwa dapat membuktikan bahwa tidak melakukan tindak pidana korupsi dalam sistem pembuktian terbalik. Yang diikuti dengan amar putusan bebas vrijspraak terdakwa. Atau apabila terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda yang dimilikinya yang belum didakwakan bukan hasi korupsi, akibat hukumnya harta benda tersebut dianggap sebagai hasil korupsi dan hakim akan memutus barang tersebut dirampas untuk negara. Ketentuan mengenai pembuktian dalam perkara khusus tindak pidana korupsi dapat dilihat pada Pasal 12 huruf b Ayat 1 huruf a dan huruf b; Pasal 37; Pasal 37 huruf a; dan Pasal 37 huruf b UU No. 20-2001. Dan jika dicermati ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal tersebut dapat diklasifikasikan tentang tiga sistem pembebanan pembuktian yang berlaku yaitu o Sistem biasa, sesuai dengan KUHAP yakni pembebanan pembuktian ada pada jaksa penuntut umum dengan prinsip negatif berdasarkan undang-undang yang terbatas; o Sistem terbalik, beban pembuktian ada pada terdakwa yakni terdakwa membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini dilakukan terdakwa apabila menerima gratifikasi yang nilainya Rp 10.000.000,00 Sepuluh Juta Rupiah 69 atau lebih, terdakwa dianggap bersalah, sehingga terdakwa wajib membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Sistem pembebanan pembuktian ini berlawanan dengan asas praduga tak bersalah; o Sistem berimbang atau semi terbalik, yakni kewajiban pembebanan pembuktian ada pada jaksa penuntut umum dan terdakwa sekaligus secara berimbang. Dalam hal gratifikasi yang berupa layanan seksual sesuai dengan penjelasan Pasal 12 huruf b Ayat 1 UU No. 20-2001, maka sistem pembuktian yang diterapkan haruslah dihubungkan dan dikupas Pasal demi Pasal tentang hukum formilnya dan dihubungkan dengan asas-asas umum dalam hukum pidana mengingat layanan seksual sangat sulit jika ditentukan nilainya misal lebih dari Rp 10.000.000,00 Sepuluh Juta Rupiah atau kurang. Ketentuan Pasal 37 Ayat 1 UU No. 31-1999 yang menyatakan bahwa “terdakwa berhak membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi”, hal ini secara umum merupakan hak yang secara akusatoir dianut dalam KUHAP, hak yang demikian ditegaskan atau tidak sama saja. Artinya pada Pasal 37 Ayat 1 UU No. 31-1999 tersebut merupakan hak dasar dari terdakwa untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah yang memang melekat pada terdakwa sejak dirinya ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa. Sedangkan ketentuan Pasal 37 Ayat 2 UU No. 31-1999 yang berbunyi “dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti”, hal inilah sebagai dasar hukum beban pembuktian terbalik hukum acara pidana korupsi. Jika dikaitkan dengan Pasal 12 huruf b, bahwa sistem terbalik yang berimbang pada Pasal 37 UU No. 31-1999 berlaku pada tindak pidana korupsi menerima gratifikasi yang nilainya Rp 10.000.000,00 Sepuluh Juta Rupiah atau lebih, dengan kata lain beban pembuktian terbalik ini diterapkan apabila gratifikasi yang diterima pegawai negeri atau penyelenggara negara adalah benda berharga atau yang dapat disamakan dengan benda berharga yang nilainya Rp 10.000.000,00 Sepuluh Juta Rupiah atau lebih, sehingga gratifikasi yang berbentuk layanan seks sulit sekali untuk diterapkan beban pembuktian terbalik jika mengacu pada Pasal 12 huruf b tersebut. 70 Sedangkan Pasal 37 huruf a Ayat 3 UU No. 20-2001 bahwa sistem terbalik menurut Pasal 37 UU No. 20-2001, berlaku dalam hal pembuktian tentang sumber asal harta benda terdakwa diluar perkara pokok pasal-pasal yang disebutkan dalam Pasal 37 huruf a in casu hanyalah tindak pidana korupsi suap gratifikasi yang tidak disebut dalam Pasal 37 huruf a Ayat 3 UU No. 31-1999. Namun demikian ada beberapa hal yang perlu dicermati mengenai ketentuan-ketentuan pada Pasal 12 huruf b yang menurut Adami Chazawi aneh dan tidak lazim 41 seperti:  Dalam rumusan korupsi suap menerima gratifikasi nampak seolah-oleh subjek hukumnya adalah si penyuap, sesungguhnya bukan, melainkan pegawai negeri yang menerima suap karena tidak diberikan ancaman pidana pada pemberi suap gratifikasi dalam Pasal 12 huruf b. Justru yang diancam pidana pada Ayat 2 adalah pegawai negeri atau penyelenggaran negara yang menerima suap gratifikasi. Karena itu rumusan suap menerima gratifikasi bukan ditujukan pada subjek hukum pemberi suap, tetapi ditujukan pada penerima suap gratifikasi, karena ancaman pidananya jelas ditujukan pda pegawai negeri yang menerima suap. Walaupun pemberi suap gratifikasi tidak diancam pidana berdasrkan Pasal 12 huruf b, tetapi si penyuap dipastikan diancam pidana menurut pasal-pasal korupsi suap aktif mana yang paling sesuai dengan perbuatannya. Bukan berarti si pemberi suap gratifikasi tidak bisa dituntut. Korupsi suap aktif yang dimaksud adalah Pasal 5 Ayat 1 huruf a atau huruf b; atau Pasal 6 Ayat 1 huruf a atau Pasal 13 bisa saja salah satunya didakwakan dan dituntutkan pada pemberi suap gratifikasi. Pasal 5 UU No. 20-2001 menentukan: Ayat 1: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 satu tahun dan paling lama 5 Lima tahun danatau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,000 Lima Puluh Juta Rupiah dan paling banyak Rp 250.000.000,00 Dua Ratus Lima Puluh Juta Rupiah setiap orang yang: a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai Negara atau penyelenggara Negara dengan maksud supaya pegawai negeri 41 Adami Chazawi, loc.cit, hal. 78. 71 atau penyelenggara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya, atau b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Pasal 6 Ayat 1 UU No. 20-2001 menentukan: 1. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tiga tahun dan paling lama 15 Lima Belas tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 Seratus Lima Puluh Juta Rupiah dan paling banyak Rp 750.000.000,00 Tujuh Ratus Lima Puluh Juta Rupiah setiap orang yang: a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili, atau b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. Hal ini tergantung pada bentuk pemberi suap yang mana yang paling sesuai. Penyidik dan penuntut umum wajib mengajukan salah satu pasal yang sesuai tersebut.  Rumusan suatu tindak pidana yang sempurna, ialah mencantumkan subjek hukumnya, unsur-unsurnya unsur perbuatan, objek tindak pidana, unsur-unsur lain sekitar atau yang melekat pada perbuatan dan atau melekat pada objek tindak pidana, dan unsur mengenai batin dan mencantumkan pula ancaman pidana. Terkadang perlu dicantumkan kualifikasi. Tidak demikian halnya mengenai rumusan tindak pinda korupsi suap menerima gratifikasi Pasal 12 huruf b. Perhatikan rumusan Pasal 12 huruf b A yat 1 disebut “setiap gratifikasi kepada pegwai negeri atau penyelenggara negara dianggap menerima suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,...” sedangkan pengertian gratifikasi dijelaskan dalam penjelasan Pasal 12 huruf b tersebut 72 adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut, baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.  Mencantumkan kata “dianggap” dalam rumusan pada ayat 1 mengandung makna bahwa rumusan korupsi suap menerima gratifikasi ayat 1 ini pada dasarnya bukan suap, tetapi dianggap saja. Gratifikasi memang bukan bentuk tindak pidana korupsi, melainkan pengertian harfiah ialah pemberian dalam arti luar . Dari ketiga hal yang dikemukakan Adami chazawi tersebut, dapat dimengerti bahwa gratifikasi bukan merupakan jenis atau kualifikasi dari delik. Yang dijadikan delik bukan gratifikasinya melainkan perbuatan “menerima” gratifikasi tersebut. Dalam praktek sulit dibuktikan telah terjadi gratifikasi seksual, kecuali tertangkap tangan yang disertai dengan alat bukti lainnya. Kewajiban terdakwa membuktikan bahwa itu bukan gratifikasi, namun proses membuktikan ters ebut merupakan “hak” terdakwa. Namun dalam sistem akusatoir, maka hak terdakwa membela diri bahwa tidak sepeser pun ia menerima sesuatu yang masuk pengertian gratifikasi. Persoalannya ialah dalam hukum pembuktian dalam acara pidana, sesuatu yang wajib dibuktikan adalah mengenai sesuatu yang ada, misal suatu keadaan atau kejadian. Yang harus dibuktikan adalah sesuatu yang positif bukan yang negatif. Oleh karenanya memang sulit bagi terdakwa untuk membuktikan bahwa ia tidak menerima suatu pemberian dan yang mudah adalah mengenai cara terdakwa membuktikan bahwa yang diterimanya bukan merupakan tindak pidana korupsi menerima gratifikasi. Adami Chazawi berpendapat bahwa bekerjanya suatu kegiatan pembuktian bergantung dari objek yang harus dibuktikan. Jika terdakwa didakwa korupsi suap menerima gratifikasi maka objek pembuktiannya ada 4 Empat. 42 Empat Objek tersebut adalah 1. Objek apa yang diterima dalam hal gratifikasi seksual berupa layanan seks atau atau pekerja seks komersial; 42 Ibid, hal. 84. 73 2. Objek yang didakwakan bukan terdakwa yang menerimanya, atau dibuktikan orang lain yang menerimanya; 3. Tidak adanya hubungan antara objek apa yang diterima dengan dengan jabatan dan kedudukan terdakwa; 4. Dengan diterimanya objek tersebut, tidak mempengaruhi atau tidak berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya. Mengenai objek pertama memang sulit dalam proses pembuktiannya, apalagi gratifikasi dalam bentuk layanan seks yang telah diterima atau dilakukan terdakwa sangatlah sulit untuk dibuktikan karena begitu luasnya pengertian gratifikasi. Mengenai pembuktian dalam tindak pidana gratifikasi dalam bentuk layanan seks atau perempuan yang merupakan salah satu bagian dari gratifikasi dalam arti luas sesuai Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001, penulis berpendapat beban pembuktiannya ada pada terdakwa, dalam arti terdakwa wajib membuktikan bahwa: S Tidak ada sesuatu yang diterimanya layanan seks, baik dalam satu paket dengan barang atau uang maupun secara terpisah, atau mengenai gratifikasi seksual bukanlah dirinya yang menerima; S Jika memang benar telah menerima layanan seks tersebut, terdakwa wajib membuktikan bahwa yang diterimanya tersebut bukanlah gratifikasi sesuai yang dimaksud Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001; S Atau jika benar telah menerima layanan seks sebagai gratifikasi, maka terdakwa wajib membuktikan bahwa yang diterimanya itu tidak ada hubungannya dengan jabatannya; atau tidak berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya; Apabila terdakwa dapat membuktikan salah satu dari tiga keadaan tersebut, tanpa melihat dan mempertimbakan hasil pembuktian jaksa penuntut umum, dalam sistem beban pembuktian terbalik, maka akibat hukumnya adalah terdakwa tidak akan dijatuhi pidana atau dengan kata lain terdakwa dibebaskan. Namun perlu diingat bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b Ayat 1 UU No. 20-2001, tidak belaku jika penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam tempo 30 Tiga Puluh 74 hari Pasal 12 huruf c dapat diartikan sebagai alasan peniadaan penuntutan pidana vervolgingsluitings gronde. Dalam tindak pidana korupsi menerima gratifikasi dalam bentuk seks, ketentuan Pasal 12 huruf c UU No. 20-2001, yakni laporan pegawai negeri yang menerima layanan seks nampaknya akan sulit dilakukan, mengingat perbuatan menerima layanan seks melanggar norma-norma yang hidup dan berkembang di masyarakat disamping ketentuan dalam UU No. 20-2001.

F. Gratifikasi Seksual Dalam Perspektif Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Kejaksaan sering gagal dalam memenangkan perkara korupsi, vonis hakim yang dijatuhkan pada umumnya jauh lebih ringan ketimbang tuntutan jaksa bahkan ada koruptor yang dinyatakan bebas oleh hakim. Kegagalan jaksa penuntut umum disebabkan karena kurangnya alat dan barang bukti yang diperoleh oleh jaksa penuntut umum untuk membuktikan terdakwa benar-benar melakukan tindak pidana korupsi, atau di sini Kejaksaan sulit untuk membuktikan bahwa terdakwa telah merugikan keuangan Negara dan harta kekayaannya hasil dari korupsi. 43 Kesulitan yang dihadapi penegak hukum adalah dalam hal pembuktian. Minimnya alat bukti dan saksi dalam membuktikan apakah terdakwa telah menerima layanan seks dan kemudian apakah layanan seks itu berhubungan dengan jabatannya atau mempengaruhi tugas dan tanggung jawabnya untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang dapat merugikan negara. Perihal yang dapat dikategorikan sebagai layanan seks sehubungan dengan alat bukti yang dapat diajukan oleh penuntut umum sangatlah subjektif. Menurut Koordinator Masyarakat Transparansi Indonesia MTI Jamil Mubarok, ada banyak modus suap syahwat. Ada yang diberikan di awal sebagai pelicin, di tengah perundingan, atau di akhir sebagai hadiah atas bantuan si penerima. Lebih dari itu pola yang sering dilakukan oleh penerima layanan seks biasanya pelayan seks itu sebagai alat negosiasi. Menurut Jamil Mubarok apabila penyuapan seks terjadi pada bagian akhir, hal 43 Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Aspek Internasional , Mandar Maju, Bandung, 2004, hal. 55. 75 tersebut mengindikasikan hadiah dari si pemberi atas semua proses telah dilakukan si penerima. Uang telah diberi, kebijakan telah diubah, kemudian suap seks diberikan sebagai hadiah cuma-cuma. Tetapi sebenarnya itu juga bukan suap cuma-cuma, justru sebagai saham untuk memperlancar suap selanjutnya. 44 Mengenai alat bukti, Pasal 184 Ayat 1 KUHAP memuat keterangan saksi, keterangan terdakwa, keterangan ahli, dan bukti petunjuk penyadapan bagi KPK, dan dengan dua alat bukti telah cukup menjerat para penerima layanan seks sebagai gratifikasi, apalagi terdakwa tertangkap tangan dengan perempuan yang memberikan layanan seks yang ada kaitannya dengan perbuatan terdakwa yang telah diduga melakukan tindak pidana korupsi. Salah satu penyebab kurang berhasilnya pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini adalah perumusan tindak pidana korupsi yang saat ini berlaku tidak dapat menjangkau pemberian gratifikasi seksual, apalagi kedua pelakunya, baik pemberi maupun penerima gratifikasi seksual adalah bukan pegawai negeri atau penyelenggara negara. 44 Ibid. 76

BAB III ALUR KONSEPTUAL

A. Dasar Normatif Perumusan Tindak Pidana Gratifikasi Seksual 1. Formulasi Norma Perbuatan Tindak Pidana Gratifikasi Seksual Kebijakan kriminal sebagai salah satu upaya penanggulangan kejahatan memiliki berbagai dimensi. Salah satu dimensinya adalah dimensi pencegahan, dimensi ini mengarahkan segala upaya untuk menyelesaikan faktor penyebab terjadinya kejahatan. Penyebab utama kejahatan korupsi adalah birokrasi birokrasi yang lemah dalam pengawasan, oleh karenanya konsep “good governance ” menjadi salah satu solusi untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Selain itu dimensi pencegahan juga dapat dilakukan dengan merumuskan tindak pidana dan sanksi pidana secara tepat juga dapat mencegah orang melakukan kejahatan korupsi dan gratifikasi seksual. Pada dimensi pencegahan hukum, usaha yang sesuai dalam menegakkan hukum juga dapat mencegah terjadinya kejahatan, termasuk kejahatan gratifikasi seksual. Penanggulangan kejahatan termasuk di dalamnya kejahatan korupsi juga dilakukan dengan penerapan hukum pidana yang meliputi pelaksanaan hukum pidana. Usaha penanggulangan kejahatan juga dipengaruhi oleh sikap masyarakat terhadap kejahatan itu sendiri dan partisipasi masyarakat dalam menanggulangi tindak pidana gratifikasi seksual. Salah satu sarana yang digunakan dalam merancang dan melaksanakan kebijakan sosial adalah dengan dengan menggunakan hukum dan peraturan perundang-undangan pada suatu negara. Kebijakan penanggulangan kejahatan dimulai dari tahap formulasi atau perumusan perturan perundang-undangan yang dilanjutkan dengan penerapan. Menurut Montesque, penggunaan hukum positif sebagai salah satu cara menanggulangi kejahatan harus memperhatikan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat suatu bangsa. Hukum positif harus mutlak mencerminkan sebab pertama keadilan yang tertulis di alam semesta, maka hukum positif itu juga harus 77 mencerminkan kondisi khas masyarakat yang dituju oleh penyusun hukum tersebut. Hukum harus sesuai dengan dengan masyarakat yang menjadi tempat penerapannya. Hal ini disebabkan karena hukum itu menurut Carl Von Savigny timbul bersama-sama masyarakat tidak bisa terpisahkaan dari masyarakat tersebut. Hukum harus didasarkan pada keyakinan umum masyarakat volkgieist. Hukum dianggap oleh Carl Von Savigny sebagai produk dari kehidupan masyarakat sebagai manifestasi dan semangat bangsa. Dengan demikian, hukum memiliki sumber umum pada kesadaran masyarakat. Norma hukum dapat dibentuk secara tertulis maupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga yang berwenang membentuknya. 45 Berkenaan dengan peembentukan dan penghapusan norma dipengaruhi oleh sistem norma tersebut. Terdapat dua sistem norma, yaitu sistem norma statik dan sistem norma dinamik. Menurut Hans Kelsen suatu norma itu berlapis dan berjenjang dalam suatu susunan hierarki, norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasarkan pada norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi berlaku dan bersumber juga bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya hingga akhirnya “regresus”. Hal ini berhenti pada suatu norma dasar grundnorm. Norma dasar merupakan norma tertinggi yang berlakunya tidak bersumber dan tidak berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi. Berkenaan dengan hal ini, maka pencipta norma gratifikasi seksual harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan lainnya, baik secara vertikal maupun secara horizontal dan pada akhirnya berdasarkan pada grundnorm, yaitu UUD NRI 1945. Wujud penampakan norma yaitu dalam peraturan perundang- undangan dimana mengandung tiga unsur, yaitu: Norma hukum; Berlaku keluar; Bersifat umum dalam arti luas. Sifat norma dalam peraturan perundang-undangan berupa: ▫ Perintah; ▫ Larangan; 45 Widodo Eka Tjahjana, hal. 19. 78 ▫ Pengizinan; ▫ Pembebasan. Usulan norma yang dirumuskan di dalam tindak pidana gratifikasi seksual berbentuk larangan untuk dilakukan. Keberlakuan norma hukum ditentukan oleh daya laku atau validitas karena ia mempunyai keabsahan. Daya laku ini ada apabila norma ini dibentuk oleh norma yang lebih tinggi atau oleh lembaga yang berwenang membentuknya. Selain daya laku perlu juga diperhatikan daya guna suatu norma, karena berkaitan dengan ditaatinya aturan tersebut, dan suatu norma mempunyai daya guna apabila ditaatinya. Pentingnya perumusan yang melarang gratifikasi seksual di dalam rumusan undang-undang, didasarkan pada kenyataan di Indonesia sekarang mulai marak terjadi, yang mengungkapkan bahwa sebagian besar penegak hukum termasuk di dalamnya hakim terbiasa menjadi alat untuk melaksanakan dan menegakkan undang- undang. Berkenaan dengan peraturan perundang-undangan hukum pidana, maka dekriminalisasi dan kriminalisasi merupakan hal yang penting, dan berkaiatan dengan penghapusan dan perumusan beberapa aturan pidana. Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menerapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi suatu perbuatan yang dapat dikenakan pidana. Pada hekekatnya kebijakan kriminalisasi merupakan bagaian dari kebijakan kriminal criminal policy dengan menggunakan sarana hukum pidana penal dan oleh karena itu termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana penal policy, khususnya kebijakan formulasi. Kebijakan hukum pidana mengantarkan proses penuntutan pilihan untuk merumuskan atau tidak merumuskan suatu perbuatan sebagai suatu tindak pidana. Kriminalisasi pada hakikatnya merupakan kebijakan untuk mengangkatmenetapkanmenunjuk suatu perbuatan yang semula tidak merupakan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana. Oleh karena itu, tindak pidana pada hakikatnya merupakan perbuatan yang diangkat atau merupakan perbuatan yang ditunjuk atau ditetapkan sebagai perbuatan yang dapat dikenakan pidana oleh pembuat undang-undang. 79 Secara teoritik beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan oleh pembentuk Undang-Undang, antara lain prinsip kebaikan publik dan manfaat. Kebijakan publik hendaknya menjadi tujuan legislator, karena manfaat umum menjadi landasan penalarannya. Mengetahui kebaikan sejati masyarakat adalah hal yang membentuk ilmu legislasi, ilmu tersebut tercapai dengan menemukan cara untuk merealisasikan kebaikan tersebut. Seperti diungkapkan Jeremy Bentham , maka perumusan norma harus memiliki manfaat tertentu untuk kebaikan bagi bagian terbesar masyarakat. Perumusan norma gratifikasi seksual di dalam suatu rumusan tindak pidana ditujukan untuk mencegah bagian terbesar masyarakat untuk menerima manfaat atau menikmati keuntungan dari sesuatu yang diketahui atau patut diduga merupakan tindak pidana gratifikasi seksual. Perumusan suatu kejahatan dalam suatu peraturan perundang- undangan yang berasal dari suatu tindakan yang buruk yang dapat dibagi menjadi dua bagian pokok yaitu:  Kejahatan yang menimpa individu tertentu;  Kejahatan yang berasal dari kejahatan pertama dan kejahatan ini menyebar keseluruh komunitas masyarakat. Sejalan dengan argumentasi tersebut, maka Helbert L Parker mengemukakan dasar perumusan suatu perbuatan sebagai tindak pidana adalah perbuatan tersebut bertentangan dengan moral dan perbuatan merugikan kepentingan, baik kepentingan individu, masyarakat bangsa dan negara. Salah satu motif perbuatan korupsi berupa gratifikasi seksual adalah ketamakan dan keserakahan, yaitu jika membandingkan kesenangan yang diperoleh dengan melanggar hak orang lain dengan penderitaan yang terjadi karena peristiwa itu, semuanya tidak akan terbukti sepadan. Ketamakan dan keserakahan untuk penguasaan sumber ekonomi dan financial merupakan salah satu motif yang kuat bagi pelaku di dalam melakukan perbuatan tindak pidana korupsi berupa gratifikasi seksual. Perbuatan korupsi berupa gratifikasi seksual sebagai suatu kejahatan yang menimbulkan kesengsaraan menjadi dasar bagi pembentuk Undang-Undang untuk menyatakannya sebagai perbuatan yang melanggar hukum atau pelanggaran dan agar larangan itu ditaati, maka perlu ditetapkan sanksinya. 80 Berdasarkan teori dualisme yang memisahkan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana maka perumusan tindak pidana beserta sanksinya yang biasanya dirumuskan pada pasal tertentu dalam Undang-Undang pidana untuk menunjukkan perbuatan yang dilarang dan pantang dilakukan. Pada umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen, unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi, sehingga dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan lain yang tidak dilarang. Perumusan tidak pidana pada umumnya dilakukan dengan menentukan elemen dan unsur dari tindak pidana tersebut, yaitu: Ι kekuatan dan akibat; Ι hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan; Ι keadaan tambahan yang memberatkan pidana; Ι unsur melawan hukum yang objektif. Secara filosofi, maka perbuatan tindak pidana gratifikasi seksual bertentangan dengan nilai dalam Pancasila dan UUD NRI 1945. Nilai Pancasila dapat ditelaah dari dua sudut pandang subjektif. Nilai Pancasila yang bersifat objektif berarti sesuai dengan objeknya, umum dan universal, nilai Pancasila akan tetap ada sepanjang masa dalam kehidupan Bangsa Indonesia, baik dalam adat kebiasaan, kebudayaan, kenegaraan, dan keagamaan. Beberapa nilai yang terkandung di dalam Pancasila adalah nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan. Nilai ketuhanan dapat ditemukan pada Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perbuatan gratifikasi seksual merupakan perbuatan yang dilarang oleh agama yang ada di Indonesia. Berdasarkan nilai ketuhanan, maka manusia Indonesia harus mengakui sebagai makhluk Tuhan. Berkenaan dengan hal tersebut, maka religious magis yang terdapat di dalam hukum adat yang merupakan turunan dari nilai-nilai ketuhanan dapat menjadi dasar bagi pelarangan perbuatan gratifikasi seksual. Prinsip religious magis mengakui adanya kepercayaan terhadap Tuhan sebagai penguasa yang bersifat abstrak dari kehidupan di alam semesta, termasuk juga kehidupan manusia dan masyarakat. 81 Perbuatan diatur agar selalu berada dalam keseimbangan hak dan kewajibannya sebagai bagian dari masyarakat dan alam semesta. Selanjutnya, Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab dalah sikap dan perilaku manusia yang sesuai dengan kodrat hakikat manusia yang berbudi, sadar nilai dan budayanya, menjunjung tinggi hak asasi manusia dengan pangkal ide keselarasan antara individu dan masyarakat, pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan. Berdasarkan sila kedua ini, maka perbuatan gratifikasi seksual merupakan perbuatan yang menciderai nilai kemanusiaan, karena perbuatan korupsi menimbulkan kerusakan dan kerugikan bagi masyarakat secara luas. Sila kedua ini merupakan dasar filosofi pelarangan perbuatan gratifikasi seksual, karena bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Salah satu asas yang menjabarkan nilai kemanusiaan yaitu persamaan di hadapan hukum. 46 Asas ini memberikan kesetaraan di antara warga negara dalam hak dan kewajibannya. Asas persamaan dihadapan hukum ini dikenal pula dengan asas “Equality Before The L aw”, yang merupakan salah satu unsur dalam negara hukum. A V Dicey mengartikan prinsip persamaan hak di hadapan hukum ini atau penundukan yang sama di semua golongan. Hal ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban untuk mentaati hukum yang sama. 47 Asas kesamaan di hadapan hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 Ayat 1 UUD NRI bahwa “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu, dengan tidak ada kecuali. Istilah dalam bahasa Inggris “equal” berasal dari bahasa Latin oequus yang berarti sama. Dari kebanyakan analisis terhadap kondisi manusia, tidak ditemukan bahwa manusia itu sama. Padahal dalam doktrin tentang hak-hak alamiah, dinyatakan bahwa semua manusia 46 Dimyati, Khudzaifah,Teirisasi ilmu Hukum, Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1950, Muhammadyah University Press, Surakarta, hal. 195. 47 Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukuim Bagi Rakyat Indonesia, Peradaban, Surabaya, 2005, hal. 75. 82 memiliki hak-hak yang sama. 48 Dalam Black‟s Law Dictionary kata equality didefinisikan sebagai ”The condition of possessing substantially the same rights, privileges, and immunities, and being liable to substantially the same duties. „Equality‟ quaranteed under equal protection clause is equality under the same conditions among persons similarly situated; classifications must not be arbitrary and must be based upon some differences in classes having substantial relation to legitimate object to be accomplished”. 49 “Keadaan memiliki wujud terhadap hak-hak yang sama, hak istimewa dan imunitas, da n memiliki tanggung jawab yang sama. „Persamaan‟ menjamin perlindungan yang sama dalam keadaan yang sama antara pribadi dalam situasi yang sama; pembahagian tidak boleh dilakukan secara semena-mena dan haruslah dilakukan perbedaan-perbedaan dalam klasifikasi yang memiliki hubungan yang sah terhadap objek yang hendak diselesaikan”. Persamaan hak dihadapan hukum pada awalnya dicetuskan sebagai puncak Revolusi Perancis yang terjadi pada tahun 1789. Dalam Article 1 The French Declaration of the Rights of Man and Citizen Declaration des Droits de I‟ home et du Citoyen dinyatakan bahwa “Man are born and remain free and equal in rights; social distinctions may be based only upon general usefulness”. 50 Prinsip persamaan hak yang lahir dari Revolusi Perancis, menjalar sampai didaratan Amerika. Pada pernyataan kemerdekaan berdirinya Negara Amerika Serikat The United States Declaration of Independence 1776 juga dinyatakan “We hold these truths to be self-evident, that all men are created equal; that they are endowed by their Creator with certain unalienable rights; that among these are life, liberty, and the pursuit of happiness”. 51 Kami memegang kenyataan bahwa semua manusia diciptakan sama; bahwa mereka diberi oleh sang pencipta hak-hak tertentu yang tidak boleh disimpangi; diantaranya adalah hak untuk hidup, kemerdekaan, dan upaya untuk mencapai kebahagiaan. Article 1 Universal Declaration of Human Rights 1948 menentukan bahwa “All human being are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood ”. Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan budi dan hendaknya bergaul satu sama lainnya dengan semangat persaudaraan. 48 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hal. 192. 49 Walter Laquer Barry Rubin, The Human Rights Reader, New American Library, New York, 1979, hal. 118. 50 Ibid, hal. 194. 51 Ibid, hal. 197. 83 Hukum memperlakukan sama semua orang tanpa perbedaan yang didasarkan atas ras keturunan, agama, kedudukan sosial dan kekayaan. 52 Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa asas kesamaan menghendaki setiap orang dianggap sama dalam hukum. Yang dianggap adil ialah apabila setiap orang memperoleh hak yang sama, setiap orang minta diperlakukan sama, tidak dibeda-bedakan. Secara umum perlindungan hukum bagi masyarakat dibedakan dalam dua macam perlindungan, yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum yang represif. Selain itu juga hukum adalah merupakan sarana perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia HAM. Sarana perlindungan hukum preventif terutama berkaitan dengan asas freis ermessen discretionary power. Discretionary power diartikan sebagai kebebasan melakukan tindakan atau mengambil keputusan menurut pendapatnya sendiri. Henry Campbell Black mendefinisikan discretionary power sebagai the power to do or refrain from doing a certain thing. 53 Wewenang diskresi dapat ditemukan di KUHAP khususnya Pasal 5 Ayat 1 huruf a angka 4 Jo Pasal 7 Ayat 1 huruf j. Bahwa penyelidik dan penyidik berwenang mengadakan langkah menurut hukum yang bertanggung jawab dan berdasarkan atas: a. tindakannya tidak bertentangan dengan aturan hukum; b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukan tindakan jabatan; c. tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatan; d. atas pertimbangan layak berdasarkan keadaan yang memaksa; e. menghormati HAM. Perlindungan hukum represif menurut pendapat Philipus M Hadjon bahwa hukum tata negara Republik Indonesia adalah berlandaskan pada dua asas penting yaitu asas negara hukum dan 52 .Mochtar Kusumaatmaja Bernard Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Buku 1, Alumni, Bandung, 2000, hal. 135. 53 Henry Campbell Black, Black‟s Law Dictionary, West Publishing Co. St. Paul. Minn, 1990, hal. 467. 53 Ismu Gunadi, Perlindungan Hukum Dalam Kaitannya Penggunaan Wewenang Diskresi Penyidik Berkenaan dengan Alat Bukti berupa Keterangan Akhli Dalam Tindak Pidana Pornografi, Disertasi, Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2002, hal. 116. 84 asas demokrasi. 54 Secara garis besar, dalam sistem hukum di dunia modern dewasa ini terdiri atas dua sistem induk yaitu civil law system dan common law system. Dalam sistem hukum yang berbeda melahirkan perbedaan mengenai bentuk dan jenis sarana perlindungan hukum bagi rakyat berkaitan dengan perlindungan hukum represif. Negara berdasarkan civil law system mengakui adanya dua set pengadilan yaitu pengadilan umum biasa dan pengadilan administrasi. Sedangkan Negara dengan common law system hanya mengenai satu set pengadilan yaitu ordinary court. Menyimpang dari dua sistem tersebut, di Swedia telah dikembangkan suatu jenis perlindungan hukum bagi rakyat dengan nama ombudsman. Pada umumnya para ahli keluarga sistem hukum civil law dianut oleh Indonesia, lebih mengarahkan kepada law as it is written in the books yang pola ini mendapatkan penguatan pada abad ke -19, yakni setelah Hans Kelsen mengintrodusir ajaran hukum murni reine rechtslehre- nya. Perubahan dan penataan lembaga-lembaga negara di Indonesia dalam era demokratisasi, juga memunculkan Komisi Ombudsman Nasional atau lazim disebut Ombudsman Nasional. Lembaga ini dibentuk pada tanggal 10 Maret 2000 dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional Keppres No. 44-2000. Menurut Pasal 2 Keppres No. 44-2000, Ombudsman Nasional adalah lembaga pengawasan masyarakat yang berasaskan Pancasila dan bersifat mandiri, berwenang melakukan klarifikasi, pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara khususnya pelaksanaan oleh aparatur pemerintahan termasuk lembaga peradilan terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Menurut Galang Asmara, pembentukan lembaga ombudsman bertujuan membantu menciptakan dan mengembangkan kondisi kondusif dalam melaksanakan pemberantasan KKN melalui peran serta masyarakat. Selain itu dalam Pasal 3 Keppres No. 44-2000 54 Philipus M. Hadjon, Pancasila Sebagai Dasar Negara dan Hukum Tata Negara, Makalah yang disampaikan dalam seminar sehari tentang Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka, di FH Unair Surabaya, 1998, hal. 10. 85 dipertegas bahwa pembentukan Ombudsman Nasional juga merupakan upaya meningkatkan perlindungan hak-hak masyarakat agar memperoleh pelayanan umum, keadilan dan kesejahteraan secara lebih baik. Dengan demikian, maka Lembaga Ombudsman Nasional tersebut dalam sistem ketatanegaraan dan sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia adalah sebagai lembaga pengawasan sekaligus juga sebagai lembaga perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia. 55 Demikian pula sistem pengawasan terhadap aparatur negara dan aparatur pemerintah juga telah dikembangkan melalui sistem birokrasi dan administrasi negara. Instansi vertikal yang secara hierarki berkedudukan lebih tinggi, secara otomatis akan mengawasi instansi yang lebih rendah. Selain itu, dibentuk pula lembaga fungsional pemerintah yang menjalankan pengawasan seperti Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan BPKP, Inspektorat Jenderal Irjen di lingkungan departemen pada pemerintahan pusat, Badan Pengawas Daerah Bawasda yang dahulu disebut Inspektorat Wilayah Irwil di tingkat pemerintahan daerah dan lain-lain. Pemerintah dalam hal ini telah mengembangkan sistem pengawasan melekat, serta sistem pengawasan eksternal oleh masyarakat dengan Tromol Pos 5000 di kantor Wakil Presiden dan kotak pos di beberapa instansi pemerintah yang berfungsi menampung pengaduan masyarakat menyangkut pelaksanaan pemerintahan. Uraian terhadap sarana perlindungan hukum represif yang dimaksud diatas, membenarkan pendapat Philipus M Hadjon bahwa hukum tata negara Republik Indonesia berlandaskan pada dua asas penting yaitu asas negara hukum dan asas demokrasi 56 . Menurut Robert A Dahl, demokrasi mewakili semua kebajikan kehidupan politik yang baik, termasuk kebebasan, kesetaraan dan keadilan. 57 Demokrasi dalam penjabarannya menghargai martabat manusia. Bahwa martabat manusia itu sendiri timbul dari suatu 55 Galang Asmara, Ombudsman Nasional Dalam Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia, LaskBang Pressindo, Yogyakarta, 2005, hal. 1-2. 56 Philipus M. Hadjon, Pancasila Sebagai Dasar Negara dan Hukum Tata Negara, Makalah yang disampaikan dalam seminar sehari tentang Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka , FH Unair, Surabaya, 1998, hal. 10. 57 Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis, Rajawali, Jakarta, 1985, hal. 9-10. 86 sumber yang lebih dalam yaitu kodrat manusia. Manusia memiliki martabat sebagai pribadi. Ia bukan hanya sesuatu, melainkan seseorang. Ia mampu mengenal diri dan kapasitasnya sendiri, menjadi tuan atas dirinya, ia mengabdikan diri dalam kebebasan, dan hidup dalam kebersamaan dengan orang lain. Perlindungan terhadap HAM telah dibuat norma-norma yang dikodifikasikan dan bersifat universal, antara lain adalah Magna Chartha 1215, Bill of Rights 1968 di Inggris, Declara tion des droits de I‟ home et du Citoyen 1791 Bill of Right 1978 di Amerika, Declaration of Human Rights 1948 oleh PBB di San Fransisco Amerika Serikat, serta Pancasila dan UUD 1945 di Indonesia. Norma-norma perlindungan terhadap HAM secara spesifik di Indonesia telah diatur dalam undang-undang tentang hak asasi manusia. Hak-hak dasar yang bersifat universal itu walaupun mudah dipahami tetapi sering berbenturan dengan hak-hak dasar yang bersifat integral yang berlaku di setiap negara yang kenyataannya berbeda di antara negara yang satu dengan lainnya. Pembangunan hukum nasional, agar masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya serta dapat meningkatkan pembinaan sikap dan perilaku pelaksana penegak hukum di lapangan sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing- masing ke arah tegak dan mantapnya hukum sehingga terciptanya suatu kehidupan masyarakat yang aman tertib dan damai. Subekti dalam negara hukum mengemukakan bahwa penghayatan, pengamalan dan pelaksanaan HAM maupun hak serta kewajiban warga negaranya untuk menegakkan keadilan tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warga negaranya, setiap penyelenggara negara, setiap lembaga negara dan lembaga kemasyarakatan baik di pusat maupun di daerah. 58 Hak-hak asasi seseorang yang berkaitan dengan prinsip-prinsip Miranda Rule merupakan hak yang ada dan melekat pada diri seseorang sejak lahir. Hak tersebut merupakan bagian dari hak untuk memperoleh keadilan. 59 Sebagai pembuat kebijaksanaan, maka pemerintah menjalankan fungsi pemerintahan dalam bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Tentu dalam lingkup pemahaman ini adalah membuat dan 58 Subekti, Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam KUHAP, Pustaka Kartini, Jakarta, 1994, hal. 4-6. 59 M.Sofyan Lubis M.Haryanto,Pelanggaran Miranda Rule Dalam Praktik Peradilan di Indonesia, Juxtapose, Bantul Yogyakarta, 2008, hal. 21. 87 merumuskan kebijakan-kebijakan hukum pidana. Muladi juga menegaskan bahwa evolusi asas-asas, standar dan norma yang terdapat dalam instrumen perlindungan Hak Asasi Manusia internasional yang bersifat deklaratif dan preskriptif soft law, tidak akan banyak gunanya apa bila tidak diikuti dengan tahap- tahap enforcement and criminalization dalam apa yang dinamakan hard Iaw. 60 Sesuatu yang bukan imperatif atau imperatif, waktu, perilaku, tingkat eksekusi yang dibiarkan pada donee‟s discretion dan pandangan sosiologi bahwa kejahatan adalah kesalahan masyarakat secara menyeluruh. Norma-norma perlindungan terhadap HAM secara spesifik di Indonesia telah diatur dalam undang-undang hak asasi manusia dan Undang-Undang pengadilan hak asasi manusia. Menurut Hans Kelsen , hak ialah hukum dalam pengertian subjektif, merupakan kekuatan kehendak yang diberikan oleh tatanan hukum. 61 Asas-asas perlindungan dalam Whistleblower Protection Act WPA, ACJC panduan mengungkapkan pendapat di Queensland antara lain: Ù Hak berpendapat bagi komisi sektor kekayaan umum yang digantikan atas perlindungan dari sebuah pembalasan; Ù Hak memberi keputusan terkait kedisiplinan, transfer, perjanjian atau perlakukan yang tidak senonoh; Ù Menyediakan pertahanan awal bagi pemberi kesaksian untuk mencegah adanya kontroversi; Ù Melindungi yang tidak bersalah dari kesalahan dengan membuat pelanggaran yang di pidana maksimal 2 tahun penjara; Ù Mengetahui jika ditanyakan orang yang memberikan kesaksian tentang kebenaran informasi dan hasilnya. Terdapat beberapa model perlindungan korban di beberapa negara, yang diuraikan Sheryl Groneweg yaitu 1. Model di Amerika Serikat The United Stated adopted whistleblower protection in the from of the Whistleblower Protection Act WPA on July 9, 1989. The American model is based on a multilateral system whereby whistleblower can petition two 60 Muladi, op.cit, hal.109-110. 61 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Nusamedia Nuansa, Bandung, hal. 152. 88 government executive branch agencies for protection against retelition due to their reporting of whistful or illegal. Amerika Serikat mengadopsi perlindungan memberi suara dalam bentuk aksi perlindungan pemberi suara WPA bulan Juli 1989. Model perlindungan Amerika Serikat berdasarkan berbagai sistem bagi pemberi suara yang bisa memberi dua cabang petisi pemerintah untuk memberikan perlindungan melawan laporan yang merupakan aktivitas ilegal. 2. Model di Inggris The British public sector has only recently adopted whistleblower protections in the Public Interest Disclosure Bill passed in July 1999. For public servants specifically, amendments have been made to the Employment Rights Act of 1996. Model di Inggris, sektor umum di Inggris hanya mengadopsi perlindungan pembuat keputusan di Publik Interest Disclosure Bill, bulan Juli 1999. Untuk sepesifikasi pelayanan umum, amandemen sudah dibuat untuk aksi pekerja tahun 1996. 3. Model di Queensland Australia The Queenland scheme is the most broad in making many avenues open to employees who wish to make s public interest disclosure, whereas the United Kingdom model is the most restrictive. The United States, being a system predicated on the ideology of freedom of speech, allows for disclosures of any sort even those that are self-seeving in nature. Skema di Queensland Australia merupakan yang paling bebas bagi pekerja yang ingin membuat kesaksian umum. Di Inggris merupakan yang paling membatasi tentang kesaksian. Di Amerika Serikat, walaupun idiologinya memiliki kebebasan berpendapat, tapi contoh paling tepat untuk perlindungan saksi adalah di Queensland, dimana pekerja diijinkan membuat kesaksian dan melawan fitnah. Menurut Soerjono Soekanto bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum oleh sebab itu jika terjadi atau timbul suatu masalah haruslah diselesaikan sesuai dengan hukum yang berlaku serta menjunjung tinggi HAM dan asas praduga tak bersalah. Selanjutnya Soerjono Soekanto menyatakan bahwa: o Menjunjung tinggi HAM dan menjamin seluruh warga negaranya bersamaan kedudukannya didalam hukum dan Pemerintahan tersebut dengan tidak ada kekecualiannya; o Menjunjung tinggi asas peradilan yang bebas dalam arti tidak tunduk kepada kekuasaan yang lainnya. 62 Pandangan Subekti tentang perlindungan HAM adalah ”Dalam negara hukum bahwa penghayatan, pengamalan dan pelaksanaan HAM maupun hak serta kewajiban warga negaranya untuk menegakkan keadilan tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warga negaranya, setiap penyelenggara negara, setiap lembaga negara dan lembaga kemasyarakatan 62 Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali, Jakarta, 1982, hal. 4-5. 89 baik di pusat maupun di daerah ”. 63 Perlindungan HAM dalam negara hukum bahwa penghayatan, pengamalan dan pelaksanaan HAM maupun hak serta kewajiban warga negaranya untuk menegakkan keadilan tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warga negaranya, setiap penyelenggara negara, setiap lembaga negara dan lembaga kemasyarakatan baik di pusat maupun di daerah. Berdasarkan pembahasan tentang hukum sebagai sarana perlindungan terhadap HAM, maka dalam perspektif sistem peradilan pidana dan administrasi peradilan pidana di Indonesia haruslah ditempatkan dalam kerangka supremasi hukum, yang keduanya adalah merupakan bagian yang integral dari indek demokrasi yang sementara berlangsung di Indonesia. Senada juga, Muladi berpendapat bahwa HAM dalam adimistrasi peradilan pidana hanya dapat diawasi dan ditegakkan apabila terdapat kesadaran dan kerja sama sistemik antara pemerintah dalam hal ini penegak hukum, lembaga, organisasi media massa, individual dan masyarakat Internasional. Ia juga menegaskan bahwa evolusi asas-asas, standar dan norma yang terdapat dalam instrumen perlindungan HAM Internasional yang bersifat deklaratif dan preskriptif, tidak akan banyak gunanya apa bila tidak diikuti dengan tahap-tahap enforcement and criminalization dalam apa yang dinamakan hard Iaw. 64 Masyarakat diartikan sebagai indvidu secara perseorangan, karena masyarakat merupakan pelaku dari peristiwa pidana yang merupakan perbuatan yang menurut hukum pidana dapat dikenakan pidana. Menurut Larry J Siegel yaitu “The law of criminal procedure guarantees citizens certain rights and privileges when they are accused of crime. Procedural laws control the action of the agencies of justice and difine the rights of criminal defendants ”. 65 Hukum acara pidana menjamin hak-hak masyarakat ketika mereka dituntut pidana. Hukum Acara mengontrol para penegak hukum mendefinisikan hak- hak yang dimiliki pelaku tindak pidana. Menurut W. Clifford bahwa meningkatnya kejahatan telah cukup untuk menarik perhatian pada tidak efisiennya struktur 63 Subekti, Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam KUHAP, Pustaka Kartini, Jakarta, 1994, hal. 4-6. 64 Muladi, op.cit, hal. 109-110. 65 Larry J Siegel, Criminology, West Publishing Company, New York, hal. 399. 90 peradilan pidana yang sekarang ada sebagai suatu mekanisme pencegahan kejahatan. 66 Dengan berjalannya materi hukum, aparat penegak hukum dan kesadaran hukum masyarakat, maka diharapkan keteraturan ditengah masyarakat akan terjamin, sehingga menuju masyarakat madani yang dicita-citakan akan terlaksana. Konsep negara hukum Pancasila tidak identik dengan makna negara hukum rule of law, namun demikian tidak berarti seluruh ajaran rule of law tidak dapat diterima di Indonesia. Khusus ajaran persamaan di hadapan hukum, maka hal ini diterima oleh Negara Indonesia. Asas persamaan dihadapan hukum ini mendudukkan sesuai dengan harkat dan martabat yang sama satu sama lainnya. Kebersamaan yang didasarkan pada kesetaraan hak dan kewajiban akan mempermudah pelaksanaan prinsip gotong royong. Konsep gotong royong adalah konsep masyarakat hukum adat, dengan demikian untuk memahaminya harus dilakukan dengan cara menelusuri kehidupan masyarakat hukum adat, yang dimaksudkan gotong royong adalah kekeluargaan. Prinsip gotong royong atau kekeluargaan mengacu pada sifat senasib dan seperjuangan. Prinsip ini didasarkan pada keinginan untuk membagi atau menanggung beban bersama-sama, yang berarti bahwa adanya bermacam-macam perasaan yang merupakan dasar mengikat kesatuan sosial seperti rasa cinta, kasih dan sayang simpati dan lainnya, rasa solidaritas yang kuat dengan jiwa saling asah, saling asuh, saling asih, baik ke dalam maupun ke luar, rasa kebersamaan yang kuat. Kekeluargaan, gotong royong dan tolong menolong merupakan asas Indonesia yang menjadi pemikiran dalam perancangan UUD 1945. Mien Rukmini berpendapat undang-undang dasar kita tidak bisa lain dan mengandung sistem kekeluargaan. 67 Kekeluargaan tidak berarti kehilangan hak individu sama sekali seperti dikemukakan oleh Mohammad Hatta yang tetap memberikan hak kepada warga negara untuk mengeluarkan pendapat. Adanya pemberian hak dan kewajiban yang sama oleh negara dikenal dengan 66 Muladi-Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hal. 196. 67 Mien Rukmini, Perlindungan Ham Melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan Asas Kebersamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2003, hal. 46. 91 asas kesamaan dihadapan hukum, yang dimaksudkan oleh Mohammad Hatta tersebut mensyaratkan kesetaraan warga negara diimplementasikan dalam norma hukum berkenaan dengan hak dan kewajiban asasi manusia Indonesia diakui di dalam konstitusi Negara Indonesia. Prinsip yang dirumuskan dalam Pasal 28 huruf d Ayat 1 perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 5 Ayat 1 UU No. 14-1970 merupakan asas yang bersifat universal. Pasal 7 Universal Declaration of Human Rights menjelaskan bahwa all are equal before the law are entitled without discrimination to equal protection of law. Dikaitkan dengan sistem peradilan terpadu, bahwa jenis kelamin, agama, ras, warna kulit, etnis, status sosial, status ekonomi maupun ideologi politik tidak boleh menjadi dasar untuk memperlakukan orang secara berbeda dan doktrin yang dikemukakan Dicey berbunyi all person wheather hight official or ordinary citiens are subject to the same law administered by ordinary court, semakin menguatkan asas persamaan hak ini. Dalam UUD NRI 1945 terdapat Pasal-pasal yang menyangkut HAM, yaitu Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33 dan Pasal 34. Dengan tidak ditetapkannya perbuatan gratifikasi seksual dan tidak dipidananya pemberi dan penerima gratifikasi seksual menimbulkan ketidaksetaraan antara pemberi dan penerima gratifikasi seksual, keduanya sama-sama merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Selain bertentangan dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan, maka gratifikasi seksual juga bertentangan dengan nilai keadilan. Nilai keadilan sosial dapat ditemukan di dalam sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang diterjemahkan dalam Pasal 23, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30 dan Pasal 31, Pasal 33, Pasal 34 UUD NRI 1945: a. Pasal 23 Ayat 1 “Anggaran pendapatan dan belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan Negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang- Undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ”; Ayat 2 “Rancangan Undang-Undang anggaran pendapatan dan belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat ”; 92 Ayat 3 “Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja Negara yang diusulkan Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ”. b. Pasal 23 huruf a “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan Undang-Undang ”. c. Pasal 23 huruf b “Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan Undang-Undang”. d. Pasal 23 huruf c “Hal-hal lain mengenai keuangan Negara diatur dengan Undang-Undang”. e. Pasal 23 huruf d “Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang- Undang ”. f. Pasal 23 huruf e Ayat 1 “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan Negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri ”; Ayat 2 “Hasil pemeriksaan keuangan Negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya ”; Ayat 3 “Hal pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh perwakilan danatau badan sesuai dengan Undang-Undang ”. g. Pasal 23 huruf f Ayat 1 “Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah dan diresmikan oleh Presiden ”; Ayat 2 “Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh anggota ”. h. Pasal 23 huruf g Ayat 1 “Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibu kota Negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi ”; Ayat 2 “Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan Undang-Undang ”. i. Pasal 27 Ayat 1 “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya ”; Ayat 2. “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan ”; Ayat 3 “Setiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembebasan Negara ”. j. Pasal 28 “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang ”. k. Pasal 28 huruf a “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya ”. 93 l. Pasal 28 huruf b Ayat 1 “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah ”; Ayat 2 “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi ”. m. Pasal 28 huruf c Ayat 1 “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia ”; Ayat 2 “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat ”. n. Pasal 28 huruf d Ayat 1 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum ”; Ayat 2 “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perbuatan yang adil dan layak dalam hubungan kerja ”; Ayat 3 “Setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan ”; Ayat 4 “Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan”. o. Pasal 28 huruf e Ayat 1 “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah Negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali ”; Ayat 2 “Setiap orang berhak atas kebebasan untuk meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya ”; Ayat 3 “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat ”. p. Pasal 28 huruf f “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, penyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia ”. q. Pasal 28 huruf g Ayat 1 “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi ”; Ayat 2 “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari Negara lain ”. r. Pasal 28 huruf h Ayat 1 “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan ”; 94 Ayat 2 “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan ”; Ayat 3 “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat ”; Ayat 4 “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun ”. s. Pasal 28 huruf l Ayat 1 “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hatu nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun ”; Ayat 2 “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perbuatan yang bersifat diskriminatif itu ”; Ayat 3 “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban ”; Ayat 4 “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara terutama pemerintah ”; Ayat 5 “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang- undangan ”. t. Pasal 28 huruf j Ayat 1 “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ”; Ayat 2 “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tundeuk pada pembatasan yang ditetapkan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis ”. u. Pasal 29 Ayat 1 ” Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”; Ayat 2 “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu ”. v. Pasal 30 Ayat 1 “Tiap-tiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan Negara ”; Ayat 2 “Usaha pertahanan dan keamanan Negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung ”; Ayat 3 “Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara sebagai alat Negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan Negara ”; 95 Ayat 4 “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat Negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum ”; Ayat 5 “Susunan dan Kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat keikut sertaan warga Negara dalam usaha pertahanan dan keamanan Negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur dengan Undang-Undang ”. w. Pasal 31 Ayat 1 “Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan”; Ayat 2 “Setiap warga Negara wajib mengikti pendidikan dasar pemerintah wajib membayarnya ”; Ayat 3 “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meninhgkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang ”; Ayat 4 “Negara memperioritaskan anggaran pendidikan sekurang- kurangnya dua puluh prosen dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional ”; Ayat 5 “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia ”. x. Pasal 32 Ayat 1 “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya ”; Ayat 2 “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional ”. y. Pasal 33 Ayat 1 “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan ”; Ayat 2 “Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara ”; Ayat 3 “Bumi, air dan kekayaaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ”; Ayat 4 “Perkonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional ”. z. Pasal 34 Ayat 1 “Fakir miskin dan anaknya-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara ”; Ayat 2 “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan ”; 96 Ayat 3 “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak ”; Ayat 4 “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal ini diatur dalam Undang-Undang ”. Perbuatan gratifikasi seksual merupakan perbuatan yang dapat menghambat usaha-usaha untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan oleh karena itu perlu dilarang dan diancam sanksi pidana bagi pelaku gratifikasi seksual. Konsep keadilan itu memberikan bermacam penafsiran, namun sebagai upaya mencari dasar pelarangan terhadap perbuatan gratifikasi seksual. Ulpianus menyatakan bahwa keadilan adalah kehendak yang ajeg dan tetap untuk memberikan kepada masing- masing bagiannya. Pemikiran Ulpianus sejalan dengan pemikiran Thomas Aquinas , yang menyatakan bahwa keadilan khusus adalah keadilan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan khusus dibedakan menjadi : ø Keadilan distributif Justitia Distributiva; ø Keadilan Komulatif Justitia Kommulativa; ø Keadilan Vindikatif Justitia Vindicativa. Keadilan distributif adalah keadilan secara proporsionalitas sesuai dengan kemampuan seseorang. Keadilan Komulatif adalah keadilan yang mempersamakan antara prestasi dan kontra prestasi. Keadilan yang dimaksud dalam UUD NRI 1945, perlu ditelusuri dan dimaknai apa sebenarnya keadilan yang merupakan salah satu tujuan hukum itu diadakan. Ulpianus 200 TM, seorang pengemban hukum kekaisaran Romawi pernah menuliskan “lustitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi ” yang mengandung makna bahwa keadilan adalah kehendak yang bersifat tetap dan yang tak ada akhirnya untuk memberikan kepada tiap-tiap orang, apa yang menjadi haknya. Paradigma keadilan tersebut diserap dan di jabarkan lebih lanjut oleh Justinianus 527-565 TM dalam Corpus luris Civilis, dasar hukum sipil Romawi yang menyebutkan “Juris praecepta sunt haec honeste vivere, alterum non laedere, suum cuique tribuere ”, yang bermakna peraturan dasar dari hukum adalah hidup dengan patut, tidak merugikan orang lain dan memberi pada orang lain apa yang menjadi bagiannya. 97 Tugas pertama dalam teori keadilan adalah menentukan situasi awal sedemikian rupa, sehingga prinsip-prinsip yang dihasilkan mengungkapkan konsepsi keadilan yang benar dari sudut pandang filosofis. Berarti bahwa ciri khas dari situasi ini harus menunjukkan batasan yang masuk akal terhadap argumen untuk menerima prinsip bahwa prinsip yang disepakati harus sesuai keyakinan tentang keadilan dalam keseimbangan pemikiran. 68 Immanuel Kant memberikan elaborasi lebih lanjut dalam tesisnya yang terkenal tentang prinsip hukum umum Bertindaklah dengan sebuah maksim yang dalam waktu yang sama, Anda dapat menghendaki maksim tersebut menjadi hukum umum ”. 69 Peran hukum adalah untuk menciptakan keadilan yang didambakan setiap orang dan yang menjadi takaran keadilan adalah hukum justice according to the law. Karena itu Agustinus 343-430 TM berani menegaskan dalam suatu postulatnya yang terkenal bahwa hukum yang tidak adil itu bukanlah hukum lex iniusta non est lex – an unjust law is no law. Herbert L. A Hart pernah meminjam kata-kata Agustinus untuk menyoroti Negara yang tidak adil dalam membuat dan menjalankan hukum “What are states without justice but robber-bands enlarged?“. 70 Sebagai hasil karya manusia, hukum yang digunakan untuk menjadi takaran keadilan, dapat saja tidak sempurna merefleksikan keadilan itu. Karena itu menurut Gustav Radbruch, hukum bisa saja tidak adil, tetapi hukum hanyalah hukum karena maunya adil. Kiranya pernyataan Gustav Radbrudh tersebut dapat dipahami dari optik positivisme hukum, karena Bodin dalam karyanya Six livres de la republique menegaskan La loi sans I‟èquite est un corps sans ame, dautant queelle ne touche que les choses gènèrales et I‟èquite tant que elles cincomstances particulières. Disini Bodin sebenarnya ingin mengatakan bahwa hukum tanpa keadilan dapat disamakan dengan badan tanpa jiwa, seperti Zombie yang gentayangan mencari korban. Sementara dialektika antara 68 John Rawls, A Theory of Justice, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 569. 69 Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysic of Moral 1785, 2003, hal. 421, sebagaimana dikutip dari H.B. Acton, Kant‟s Moral Philosophy, Macmillan and Co Ltd. 1970, versi Indonesia: Dasar-dasar Filsafat Moral: Elaborasi Terhadap Pemikiran Etika Immanuel Kant , diterjemahkan oleh Muhamad Hardani, Pustaka Eureka, Surabaya, hal. 62. 70 H.L.A Hart, The Consept of Law, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 569. 98 hukum dan keadilan, Van Dunne mengulas apa yang pernah dikatakan Paul Scholten bahwa dalam suatu keputusan hukum, kita mencari keadilan, yang mengandung hukum dalam dirinya. Hukum menuntut keadilan, tetapi keadilan juga menuntut hukum. 71 Hukum dan keadilan memiliki hubungan yang tidak boleh ditafsirkan secara terpisah, dan saling bersinergi, dapatlah dipahami mengapa nilai keadilan sangatlah relatif, sehingga tidak mungkin untuk menemukan sebuah keadilan yang mutlak. Itulah sebabnya dalam memasuki penjelajahan ilmiahnya terhadap hukum, Aristoteles berusaha membedakan keadilan yaitu ≠ Keadilan kumulatif, yaitu keadilan yang terjadi dalam hak setiap orang mendapatkan bagian yang sama dengan tidak mempertimbangkan prestasinya masing-masing; ≠ Keadilan distributif, yaitu tercipta apabila setiap individu mendapatkan bagian sesuai dengan peran dan kontribusinya masing-masing; ≠ Keadilan indikatif, yaitu apabila suatu hukuman setimpal dengan kejahatan; ≠ Keadilan kreatif, yaitu keadilan yang harus ada perlindungan kepada orang yang kreatif para penemu atau pencipta; ≠ Keadilan legalis, yaitu keadilan tersirat dalam undang-undang. 72 Keadilan yang sesuai diberikan terhadap hak korban tindak pidana yaitu keadilan indikatif yang merupakan kesimbangan antara hak-hak korban dengan tindakan pelaku kejahatan, dan keadilan legalis yang telah diatur secara legal formal dalam Undang-Undang. Keadilan menurut Aristoteles adalah merupakan landasan dan tujuan sebuah negara didirikan, karena adanya negara adalah ditujukan untuk kepentingan umum, berdasarkan keadilan yang adalah merupakan keseimbangan kepentingan dan neraca Themis dewa keadilan dalam mitologi Yunani kuno. Prinsip Aristotelian menyatakan umat manusia menikmati pelaksanaan kemampuan yang mereka sadari dan kesenangan ini meningkat ketika kemampuan meningkat kompleksitasnya. Manfaat seseorang ditentukan oleh rencana hidup rasional yang akan ia pilih 71 Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 1990. 72 Mochtar Kusumaatmadja Bernard Arief Shidarta, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hal. 10. 99 dengan pertimbangan rasionalitas dari banyak kelompok rencana maksimal. 73 Dalam praktek penegakan hukum, cita-cita hukum untuk menegakkan keadilan, direfleksikan dalam suatu adagium hukum “Fiat justitia et pereat mundus”. Ada juga yang menyebutnya “Fiat Justitia, ruat caelum ”. Keduanya mengacu pada satu pengertian “Tegakkan keadilan sekalipun langit runtuh”. Betul, sepanjang manusia mengenai sejarah, langit belum pernah runtuh. Namun apabila suatu saat langit runtuh, tetap saja keadilan harus ditegakkan, karena itulah cita-cita mulia yang harus dicapai hukum. Keadilan harus ditegakkan apapun resikonya. Itulah sebabnya profesi di bidang hukum disebut sebagai profesi yang mulia proficium nobile. Keadilan senantiasa mengandung penghargaan, penilaian dan pertimbangan. Maka mekanisme bekerjanya hukum digambarkan sebagai suatu neraca keadilan. Keadilan menuntut bahwa dalam keadaan yang sama, tiap orang harus menerima bagian yang sama pula. Sehubungan dengan keadilan tersebut, hukum bersifat kompromistis karena keadilan manusia tidaklah mutlak karena manusia adalah makhluk yang tidak sempurna dimana kekhilafan adalah merupakan sifat insani manusia errare humanum est. Aliran hukum alam meyakini bahwa keadilan itu hanya bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa, tetapi manusia juga diberi kecakapan dan kemampuan untuk untuk meraba atau merasakan apa yang dinamakan adil itu. Aliran hukum alam percaya bahwa apa yang diamati dalam segala kejadian alam sekitar manusia, sudah menumbuhkan dasar-dasar keadilan itu pada manusia. 74 Wacana keadilan dari waktu ke waktu, telah berkembang sedemikian rupa. Para filsuf Yunani seperti Socrates, Plato dan Aristoteles telah memberikan kontribusi pemikiran mereka tentang keadilan. Pada abad pencerahan, tidak kurang muncul pemikir- pemikir seperti Jeremy Bentham, John Austin dan Gustav Radbruch. Pada jaman moderen juga muncul para teoritisi hukum seperti Herbert L. A. Hart, John Rawls, Ronald Dworkin, Robert Nozick, John 73 John Rawls, A Theory Of Justice, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 552. 74 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media, Malang, 2006, hal. 5-6. 100 Finnis, Lon Fuller dll. Seperti para pendahulunya, mereka berusaha memberikan landasan ilmiah mengapa keadilan itu diperlukan dan karena itu keadilan harus direfleksikan dan menjadi bagian dari substansi hukum itu sendiri. Kinerja hukum yang konsisten dalam penerapan dan prosedur yang relatif sama terhadap suatu perilaku yang menyimpang dari norma hukum, adalah menjamin tercapainya keadilan yang substansial seperti dikatakan oleh John Rawls Thus it is maintained that where we find formal justice, the rule of law and the honoring of legitimate expectations, we are likely to find substan tive justice as well”. 75 Sebagaimana diungkapkan John Rawls, ini merupakan cara mempertahankan untuk mendapatkan keadilan formal, peraturan- peraturan hukum yang menghargai harapan legitimasi, jika ingin mendapatkan keadilan yang sebenar-benarnya. Menurut John Rawls, suatu konsep keadilan efektif mengatur masyarakat apabila konsep keadilan tersebut dapat diterima secara umum, sedangkan keadilan formal cenderung dipakai secara sepihak oleh penguasa. Hukum sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan dapat saja tidak adil jika bertentangan dengan kesejahteraan manusia, demikian menurut Thomas Aquinas. Menurut Denis Lloyd ...justice is little more than the idea of rational order and coherence and therefore operates as a principle of procedure rather than of substanc e“ 76 yaitu keadilan hanya sekadar ide pengaturan rasional dan koheren, akan tetapi ia bekerja atas dasar prinsip prosedural ketimbang substansinya. Dalam pengertian ini meski keadilan adalah merupakan salah satu tujuan utama dibuatnya hukum, namun proses memperoleh keadilan itu, sudah dimulai sejak awal pemeriksaan terjadinya suatu tindak pidana. Johnny Ibrahim berpendapat bahwa keadilan memang bukan saja belum tercapai dengan adanya ketertiban, karena keadilan itu memang lebih dari sekadar ketertiban, dan juga karena keadilan itu bekerja lebih sebagai prinsip prosedur ketimbang substansi. 75 John Rawls, The Theory of Justice, Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, 1971, hal. 60. 76 Denis Lloyd, The Idea of Law, Penguin Books, Harmondsworth, 1964, hal. 123. 101 Pengalaman sejarah membuktikan bahwa ketertiban yang berusaha ditegakkan dalam Pemerintahan Orde Baru, ternyata telah mengabaikan tujuan utama hukum untuk menciptakan keadilan. 77 Masalah untuk mewujudkan keadilan dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana khususnya terhadap korban perkosaan, bukanlah suatu perkara yang mudah untuk direalisasikan. Menyangkut keadilan secara umum saja, berdasarkan fakta empiris membuktikan bahwa meskipun telah sangat jelas diatur dalam hukum dasar di Indonesia, yaitu dalam UUD NRI 1945 dan dalam rechtsidee yaitu Pancasila, namun upaya untuk menegakan keadilan sering kali dikesampingkan untuk alasan-alasan praktis dari para penegak hukum. Model peradilan pidana menurut Roeslan Saleh, yaitu memberikan elaborasi tentang cara kerja penerapan hukum terhadap fakta hukum dimana harus ditentukan titik penghubung di antara keduanya itu, kemudian dilakukan silogisme sebagai berikut: Mayor : kejadian objektif Minor : peraturan hukum Konklusi : keputusan yaitu sanksi yang telah ditetapkan dan ditunjuk oleh aturan hukum. Jadi peranan dipegang oleh cara-cara berpikir menurut sistem tertentu. 78 Bernard Arief Sidharta menjelaskan bahwa memang rumusan logika seperti yang dimaksudkan oleh Roeslan Saleh di atas dalam penerapannya tidak selalu berjalan secara ajeg, karena aturan hukum yang dipandang sebagai premis mayor selalu, memerlukan kualifikasi atau interpretasi dalam konteks kenyataan faktual yang konkret berkaitan dengan peristiwa hukum yang terjadi. Faktor lain adalah dinamika kehidupan juga selalu memunculkan situasi baru yang belum ada aturan hukum yang dapat diterapkan. Itulah sebabnya aturan hukum selalu mengalami pembentukan dan pembentukan ulang. 79 77 Johnny Ibrahim, op.cit, hal. 7. 78 Roeslan Saleh, Hukum Pidana Sebagai Konfrontasi Manusia dan Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hal. 9-10. 79 Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1999, hal. 209. 102 Roscoe Pound pernah memunculkan gagasan tentang hukum sebagai alat pembaruan masyarakat melalui bukunya “An Intoduction to The Philosopy of Law” yang diterbitkan pada tahun 1954, dan telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Filsafat Hukum. Hukum menurut Roscoe Pound, harus digunakan sebagai sarana pembaruan masyarakat. Sehubungan dengan pemikiran Roscoe Pound tersebut di Indonesia muncul sebuah istilah yang populer tentang “Law as Tool of Social Engineering”. Roscoe Pound menulis a bit with of social enginering tanpa ada tambahan istilah tool yang di Indonesia diberi tambahan dan dielaborasi menjadi law as a tool of social engineering yang diartikan dalam konteks dan fungsinya sebagai social control ….”should be applied in the contec of ju dicial and an administrative process…which emphasizes the ideal element of the law, which is absent in legal positivism”. 80 Terjemahan dalam Bahasa Indonesia yaitu kontrol sosial harus diterapkan pada konteks peradilan dan proses administratif ... yang menekankan bagian-bagian yang ideal dalam hukum yang tidak dapat ditemukan dalam aliran positivisme hukum. Sehubungan dengan apa yang dikemukakan oleh Roscoe Pound tersebut diatas, dalam konteks hukum pidana, Made Sadhi Astuti menegaskan sebagai berikut: “Negara melalui alat-alat perlengkapan negara harus bersikap dan bertindak adil. Selain itu, negara juga mempunyai tugas untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat. Langkah untuk mempertahankan tata tertib ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan menggunakan hukum. Hukum dapat dipandang sebagai salah satu sarana. Hukum pidana misalnya, diciptakan sebagai alat rasional untuk memelihara tata tertib dan melindungi anggota masyarakat dari gangguan dan kerugian sosial”. 81 Idealnya norma pengaturan dalam masyarakat Indonesia, khususnya dalam hukum pidana dan hukum acara pidana, sesungguhnya telah diamanatkan dalam UUD NRI 1945 yaitu mewujudkan cita hukum yang ingin dicapai dan diwujudkan di Indonesia sesuai dengan Pancasila sebagaimana di atur dalam Pembukaanm UUD NRI 1945. Cita hukum Pancasila tidak nampak dalam norma-norma pengaturan KUHP karena ia adalah peninggalan Belanda, yang lebih 80 Roscoe Pound, Social Control Through Law, Transaction Publisher, London, 1997, hal. 267. 81 Made Sadhi Astuti, op.cit, hal. 1. 103 cocok digunakan pemerintahan kolonial Belanda untuk melestarikan kekuasaannya di Negara jajahan. Istilah social engineering untuk memberikan upaya sistematis dari para pengemban kekuasaan negara untuk memengaruhi sikap dan perilaku rakyat dalam skalanya yang lebih luas. Dalam wacana hukum, kebijakan dan pelaksanaan kerja rekayasa sosial ini dilakukan dengan mendayagunakan hukum negara berikut beraneka ragam sanksinya, baik yang bersifat pidana maupun sanksi administratif untuk mempengaruhi atau mengubah pola hubungan sosial antar manusia dalam masyarakatnya. Oleh karena penggunaan kekuatan sanksi pidana sebagai sarana pemaksa inilah acap kali mengesankan dan mengundang tuduhan, bahwa ”social engineering” itu menyiratkan adanya manuver-manuver yang manipulatif. 82 Instrumen hukum yang digunakan sebagai sarana pembaruan itu dapat berupa undang-undang atau yurisprudensi bahkan kombinasi keduanya dan bukan sejenis judge made law seperti halnya dalam tradisi Negara-negara yang menganut sistem common law. Bagi Indonesia, peran yang menonjol adalah melalui aturan perundangan, karena peran yurisprudensi tidak begitu mengikat dalam proses penegakkan hukum sebagaimana yang dapat dilihat pada negara- negara dengan sistem common law karena case law adalah merupakan bagian yang inheren dalam proses penegakan hukum. Menurut Herbert Packer, hukum pidana secara tradisional memiliki dua sisi yang sering kali diperdebatkan, seperti yang dikemukakannya sebagai berikut: “... the criminal law is caught between two fires. On the other hand, there is a view that punishment of the morally derelict is its own justification. On the other, there is a view that the only proper goal of the criminal process is the prevention of anti social behaviour. ... .that man is a responsible moral agent to whom rewards are due when he makes right moral choices and to whom punishment is due when h e makes wrong”. 83 hukum pidana terperangkap dalam dua kepentingan. Pada satu pihak, ada pandangan bahwa tugasnya adalah untuk menghukum pelanggaran moral, sedang pada pihak lainnya, ada pandangan bahwa satu-satunya tujuan utama proses pidana adalah untuk mencegah prilaku anti sosial. ... bahwa manusia adalah agen moral 82 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum dalam Masyarakat, Perkembangan dan Masalah , Bayu Media, Malang, 2008, hal.119. 83 Herbert L. Packer, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, California, hal. 9. 104 yang memperoleh penghargaan apabila ia membuat pilihan moral yang benar, dan menerima hukuman bila melakukan pilihan yang keliru. Ketertiban sebagai conditio sine quanon untuk menjamin kontinuitas bagi kehidupan dan ketertiban sosial, mungkin tidak seorangpun membantunya. Karena tanpa terciptanya tertib sosial, cukup sulit membayangkan kemungkinan survivalitas eksistensi komunistas sosial mampu berkembang secara berkelanjutan. Menurut Thomas Hobbes , tanpa tertib sosial akan mengakibatkan situasi homo homini lupus maupun bellum omnium contra omnes yang situasi tersebut hanya dapat diatasi dengan kehadiran pemerintahan dan negara yang kuat, penguasa yang otoriter, serta hukum yang keras lex dura sed tamen scipta. Tidak mengherankan apabila Ulpianus, mengemukakan kredo tentang ubi societas ibi ius , yang bermakna bahwa di mana terdapat suatu komunitas sosial, secara inheren di dalamnya selalu norma hukum. Hukum dan masyarakat, hukum dan ketertiban, serta hukum dan keadilan bagaikan dua sisi dari mata uang yang sama. Kehadiran norma hukum berfungsi mengatur perilaku warga sosial, agar berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu agar tercipta keteraturan dan ketertiban. Namun demikian tujuan akhir hukum dan penegakan hukum tidak berhenti hanya pada pencapaian kepastian dan ketertiban semata. Kepastian hukum dan ketertiban memangh merupakan tujuan pertama, namun hal tersebut bukanlah merupakan tujuan akhir diciptakannya hukum dan penegakan hukum. Terdapat tujuan lain diciptakan hukum dan penegakan hukum, yaitu keadilan serta kemanfaatan yang juga harus dicapai secara integral dan stimulan. Hukum dan keadilan tidaklah berada dalam ruang yang hampa steril, melainkan ia berada ditengan-tengah proses dan progres kehidupan sosial nyata beserta segala kopmpleksitas maupun konstekstualitasnya law and society. Konsep hukum dan ketertiban law and order haruslah difahami bukan dalam maknanya yang statis, dimana hukum tersebut dibuat hanya untuk hukum itu sendiri, melainkan dalam maknanya yang dinamis. Dalam pengertian hukum akan, dan harus terus diproses, berprogres, berinteraksi serta beradaptasi terhadap dinamika perkembangan dan perubahan sosial. Konsep hukum dan ketertiban haruslah dipahami berada pada bingkai hukum dan kemasyarakatan. 105 Hukum, termasuk putusan pengadilan, idealnya mampu secara stimulan merefleksikan nilai dasar kepastian validitas yuridis , nilai dasar kemanfaatan validitas sosiologis serta dasar keadilan validitas filosofi, berkepastian, bermanfaat sekaligus berkeadilan. Walaupun dalam prakteknya, untuk mewujudkan kketiganya secara integral dan stimulan tidaklah mudah. Lebih mudah menteorikan daripada menerapkan dalam praktek kenyataan. Dalam kenyataannya empiris telah terbukti bahwa suatu Undang-Undang, bahkan kodifikasi, tidak pernah lengkap mengatur segala persoalan yang terjadi maupun yang akan terjadi dalam pertimbangan masyarakat. Materi muatan suatu undang-undang pada dasarnya merefleksikan pikiran dan pandangan pada legislator sesuai dengan konstektualitas zamannya. Andaikata pun undang- undang mengandung sifat prediktif dan antipatif, namun hal tersebut sangatlah terbatas jangkauannya dan tidak mungkin pembuat undang-undang mengatur sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Pembuat Undang-Undang tidaklah memiliki teropong untuk mampu memprediksikan secara tepat dsan akurat segala apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Lebih-lebih apabila proses pembuatan suatu undang-undang tidak dilakukan kajian secara visioner dan mendalam terhadap aspek-aspek yang bersifat fundamental dan substansial. Acapkali perbuatan suatu undang- undang hanya dilakukan secara instan dan semata-mata hanya atas pertimbangan rektif dan pragmatis, disebabkan karena para legislator terjebak dalam pusaran kepentingan yang bersifat transaksional. Produk legislatif yang demikian tersebut niscaya tidak akan memiliki kemampuan prdiktif dan antisipatif jauh ke depan. Undang-Undang atau aturan hukum yang demikian itu akan berumur pendek, karena lekas menjadi usang dan kepentingan zaman. Roscoe Pound dalam gagasannya tentang social engineering yang selanjutnya berkembang menjadi “Law as Tool of Social Engineering” sebenarnya juga diperkuat oleh gagasan Yeheskiel Dror yang melalui 106 karyanya ”Law as a Tool of Directed Social Change”. 84 Menurut Yeheskiel Dror , penggunaan hukum sebagai alat yang diarahkan untuk perubahan sosial, telah digunakan secara luas baik di negara maju maupun negara yang masih terbelakang, juga digunakan baik oleh negara demokrasi maupun negara totalitarian sekalipun – komponen utamanya sebagai berikut a. Substansi hukum: konstitusional, aturan perundang-undangan, putusan-hakim, administrasi. b. Hukum prosedural: konstitusional, aturan perundang-undangan, putusan hakim, administrasi. c. Manusia: para hakim, pengacara, pembuat undang-undang, polisi, lembaga penegak hukum dan tenaga pendukung administrasi. d. Organisasi: lembaga pembuat undang-undang, sistem peradilan, kepolisian, firma hukum, dan lembaga administratif. e. Sumber-sumber: anggaran, informasi dan kapasitas pengolahan informasi, fasilitas fisik. f. Aturan keputusan, kebiasaan memutuskan: formal, informal, implisit. Yeheskiel Dror menaruh prioritas pada hukum yang substantif yang bermuara pada keadilan substantif, dan juga hukum prosedural yang mengarah pada keadilan prosedural. Ia juga menegaskan bahwa penggunaan hukum sebagai sarana perubahan sosial haruslah mempertimbangkannya dalam lingkup lebih luas sebagai instrumen pembuatan kebijaksanaan seperti misalnya dalam upaya meningkatkan ekonomi masyarakat. Jika demikian perubahan sosial tersebut dapat juga digunakan dalam upaya menekan terjadinya kasus-kasus tindak pidana perkosaan dalam masyarakat. Selain itu dapat dilihat bahwa Yeheskiel Dror juga menghendaki bahwa untuk memahami cara beroperasinya hukum sebagai sarana perubahan sosial, maka haruslah dipelajari juga dampak sosial yang dimunculkannya berkaitan dengan komponen lain dalam sebuah sistem hukum dan juga variabel-variabel kebijakan lain yang relevan. Pendapat Yeheskiel Dror yang telah diulas di atas, diperkaya banyak analisis terhadap hukum yang dibuat oleh para ahli sosiologi 84 Yeheskiel Dror, Law as a Tool of Directed Social Change, A Framework for Policy-Making , dalam Law and Social Change, Editor: Stuart S. Nagel, Sage Publications, London, 1970, hal. 75-81. 107 yang cukup berbobot seperti misalnya karya Donald Black “The Behaviour of Law ”, yang melihat hukum dari perspektif sosiologis, saat ia menyatakan bahwa kehidupan sosial manusia memiliki banyak ekspresi, dan ekspresi-ekspresi tersebut bertambah dan berkurang dari waktu ke waktu dan memungkinkan untuk merumuskan masalah-masalah sehingga dapat meramalkan jumlah kuantitasnya serta menerangkan setiap tingkah laku yang sesuai. Donald Black berpendapat bahwa hukum adalah variabel kuantitatif faktor yang banyaknya tidak tetap dan banyaknya bertambah dan berkurang begitu juga susunannya, dan ini memungkinkan untuk mengukur kuantitas hukum dalam banyak cara. 85 Lawrence M Friedman melihat hukum dalam perspektif sosial, yang memberikan elaborasi ilmiah terhadap berbagai komponen yang membangun suatu sistem hukum yang memengaruhi kinerja penegakkan hukum. Tokoh ini lebih menyederhanakan berbagai komponen utama hukum hanya dalam tiga komponen yang saling berinteraksi yaitu struktur, substansi, dan kulturbudaya hukum. Ketiga komponen tersebut secara dinamis mempengaruhi positif berhasilnya penegakan hukum. 86 Struktur adalah menyangkut sistem dan aparat penegak hukum polisi, jaksa, hakim dan advokad, substansi adalah isi aturan hukum, dan budaya hukum, adalah pandangan atau penilaian masyarakat terhadap hukum. Elaborasi Lawrence M Friedman dari perspektif ilmu sosial tersebut ternyata mampu memberikan penjelasan bahwa pembangunan hukum haruslah dilakukan secara serentak yang meliputi berbagai komponen tersebut agar penegakan hukum dapat berjalan dengan baik. Pembangunan hukum secara parsial hanya akan menimbulkan kekacauan hukum. Menurut Lili Rasjidi dan Thania Rasjidi bahwa hukum yang baik hendaknya sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Jadi hukum itu mesti mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. 87 85 Donald Black, The Behaviour of Law, Academic Press Inc, New York, 1976, hal. 1-2. 86 Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York, 1975, hal. 13-15. 87 Lili Rasjidi Thania Rasjidi, op.cit, hal. 79-80. 108 Hukum sebagai sarana pembaruan misalnya melalui Rancangan KUHP yang baru disertai pembaruan KUHAP berikut aturan-aturan hukum yang moderen yang mendukungnya, jika disusun dengan tepat dan melihat secara prediktif perkembangan masyarakat Indonesia di era globalisasi, akan menempatkan Negara Indonesia siap menghadapi efek negatif globalisasi, serta menempatkan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang dinamis dan tangguh menghadapi persaingan dengan bangsa lain. Hal yang demikian itu dapat terjadi karena cita hukumnya sesuai dengan Pancasila, yang diyakini sebagai pandangan hidup Bangsa Indonesia. Pemerkayaan gagasan pembaruan hukum di Indonesia yang berkembang kuat adalah pemikiran hukum yang muncul belakangan ini ada dalam simpul yang titik beratnya dilihat dari aspek Jurisprudence and Social Sciences yang bertumpu pada Sociological Jurisprudence . Pemikiran seperti itu datang dari Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam karyanya ”Law and Society in Transition: Toward Responsive Law”. 88 Philippe Nonet dan Philip Selznick membagi kategorisasi hukum dalam repressive law, autonomous law, dan responsive law. 89 Repressive law ciri-cirinya antara lain: a. Legal institutions are directly accessible to political power: law is identified with the state and subordinated to raison d‟ètat. b. The conservation of authority is an overriding preoccupation of legal officialdom. In the “official perspective” that ensues, the benefit of the doubt goes to the system, and administrative convenience weighs heavily. c. Specialized agencies of control, such as tha police, become independent centers of power; they are isolated from moderating social context and capable of resisting political authority. d. a regime of „dual law‟ institutionalizes class justice by consolidating and legitimating patterns of social subordination. e. The criminal code mirrors the dominant mores ; legal moralism prevails. 90 Hukum yang represif seperti yang diuraikan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick nampak sekali dalam pola kehidupan hukum dalam masa penjajahan pemerintahan kolonial Belanda dan pada Pemerintahan Orde Lama serta paruh pertama Pemerintahan Orde 88 Philippe Nonet Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsible Law, Harper Row Publisher, New York, 1978. 89 Ibid, hal. 16. 90 Ibid, hal. 33. 109 Baru. Pola penerapan hukum yang represif misalnya diungkapkan dalam karya ilmiah yang ditulis oleh Geoffrey Sawer sebagai berikut: In societies with a tradition of constutitional instability, such as many of South African countries, or which have not yet settled down after a transfer of sovereignty from a former colonial powr such as Pakistan, Indonesia, and new African states, the law of the constitution, wheter in form rigid or flexible, is unmistacably under the control of governing elite and one of the methods by which it expresses change in policy. This is especially clear where as in Ghana and Indonesia the constitution exists as the pleasure of a charismatic leader. 91 Dalam masyarakat tradisional dengan ketidakstabilan konstitusional, seperti kebanyakan Negara di Afrika Selatan, atau belum tuntasnya peralihan kedaulatan dari pemerintahan kolonial seperti Pakistan, Indonesia, dan negara-negara baru di Afrika, hukum konstitusi, apakah dalam bentuk yang kaku ataupun fleksibel, adalah dibawah kekuasaan kaum elite yang berkuasa dan merupakan cara bagaimana merubah kebijakan. Hal ini seperti yang dapat dilihat di Ghana dan Indonesia dimana keberadaan konstitusi hanya untuk menyenangkan pemimpinnya yang kharismatis. Represif yang dilakukan atas nama kelanggengan kekuasaan dan ketertiban, selama periode pemerintahan kolonial dan pasca kolonial yaitu Pemerintahan Orde Lama dan paruh pertama Pemerintahan Orde Baru tersebut sangatlah terasa. Hukum dilaksanakan hanya untuk memuaskan elit politik, khususnya pemimpin yang kharismatis. Dalam hubungan ini, Philippe Nonet dan Philip Selznick menuliskan: ”... a critical assessment af repressive law must proceed from a sympathetic understanding of how it comes about. Thus, we argue, a common source of repression is the poverty of resources available to governing elites. For this reason repression is a highly probable accompaniment of the formation and maintenance of political order, and can occur unwittingly in the pursuit of the behing intentions. 92 “... penilaian kritis hukum represif harus dimulai dari pemahaman yang simpatik tentang bagaimana ia bisa muncul. Jadi kami berpendapat bahwa sumber yang umum bagi suatu represi adalah minimnya sumber-sumber yang tersedia bagi elit-elit yang memerintah. Karena alasan ini, represi adalah sesuatu yang besar kemungkinannya mengiringi pembentukan dan terpeliharanya tatanan politik dan dapat tejadi tanpa disengaja dalam upaya mencapai tujuan-tujuan yang baik. Dalam praktek hukum yang represif, maka norma-norma pemidanaan menempatkan anak bangsa yang memiliki pola pemikiran yang tidak sama, atau bahkan berseberangan dengan konsep dan pemikiran resmi pemerintah, dianggap sebagai musuh. Pasal-pasal hatzai artikelen dalam KUHP dihidupkan untuk 91 Geoffrey Sawer, Law in Society, Clarendon Press, Oxford, 1973, hal. 133. 92 Philippe Nonet Philip Selznic, op.cit, hal. 33. 110 membungkam oposisi. Keterangan pemerintah adalah satu-satunya sumber resmi dan tak ada keterangan lain yang dapat mengalahkannya. Pancasila pun harus ditafsirkan oleh pemerintah, dan tidak boleh ada penafsiran lain selain dari penafsiran resmi pemerintah. Reformasi yang diiringi dengan penerapan prinsip good governance pada institusi negara berpengaruh besar dalam pembuatan aturan hukum secara kuantitatif dan penerapannya pasca Pemerintahan Orde Baru. Selaras dengan angin perubahan dalam kehidupan demokrasi di Indonesia saat ini, elemen demokrasi partisipatif dapat saja memberikan masukan positif dalam kehidupan masyarakat hukum di indonesia. Jika ini terjadi maka Philippe Nonet dan Philip Selznick mengidentifikasikan arah perubahannya sebagai sebuah proses memasuki tahapan yang dinamakan hukum yang otonom. Adapun karakter khas dari hukum yang otonom menurut Philippe Nonet dan Philip Selznick antara lain adalah 1. Law is separated from politics. Charachteristically the system proclaims the independence of judiciary and draws alin between legislative and judicial functions. 2. The legal orders espouses the “model of rules”. A focus on rules helps enforce a measure of official accountability; at the same time, it limits both the creativity of legal institutions and the risk of their intrusion into the political domain. 3. “Procedure is the heart of law”. Regularity and fairness not substantive justice, are the first ends and the main competence of the legal order. 4. “Fidelity of law”. Is understood as strict obedience to the rules of positive law. Criticism of existing law must be channeled through the political process. 93 Dihadapkan pada karakter hukum represif, maka hukum otonom pada dasarnya memiliki substansi yang jauh lebih baik terhadap upaya-upaya penegakan hukum rule of law, namun sumber utama transisi dari hukum represif ke hukum otonom, adalah pencarian akan legitimasi. Dapat dilihat bahwa setiap karakter hukum otonom pada dasarnya dapat dipahami sebagai sebuah strategi legitimasi. Maka munculah kritik-kritik tajam terhadap otoritas yang ada. Tujuan kritik-kritik tersebut adalah untuk membangun sebuah dinamika perubahan guna membangkitkan harapan-harapan bahwa hukum memberikan respons secara fleksibel terhadap masalah dan tuntutan-tuntutan baru. Pada tahap ini tampil visi untuk menghadirkan hukum yang responsif, yang lebih terbuka 93 Philippe Nonet Philip Selznick, op.cit, hal. 54. 111 terhadap pengaruh sosial dan lebih efektif dalam menangani permasalahan sosial. Lembaga hukum responsif menganggap tekanan-tekanan sosial sebagai sumber pengetahuan dan kesempatan melakukan koreksi diri. Dorongan ke arah munculnya hukum yang responsif menurut Philippe Nonet dan Philip Selznick akibat 1. The dynamics of legal development increase the authority of purpose in legal reasoning. 2. Purpuse makes legal obligation more problematic, thereby relaxing law‟s claim to obedience and opening the possibility of a less rigid and more civil conception of public order. 3. As law gains openness and flexibility, legal advocacy takes on a political dimension, generating forces that help correct and change legal institutions but threaten to undermine institutional integrity. 4. Finally, we return to the most difficult problem of responsive law. In an environment of pressure the continuing authority of legal purpose and the integrity of the legal order depend on the design of more competent legal institutions. 94 Selanjutnya Philippe Nonet dan Philip Selznick membedakan ada 3 tiga tipe hukum dan fungsinya pada masyarakat, yaitu: 1. Tipe hukum represif; 2. Tipe hukum otonom; 3. Tipe hukum responsif, yaitu hukum sebagai sarana respon atas kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Apabila karakter hukum represif versi Philippe Nonet dan Philip Selznick tujuan hukumnya adalah ketertiban, sedang hukum otonom tujuannya adalah sebuah legitimasi, maka dalam hukum responsif, kompetensi adalah merupakan tujuan yang ingin dicapai. Pada hukum represif peraturan perundang-undangan bersifat keras dan rinci, namun tingkat keberlakuannya pada pembuat hukum sangat lemah. Pada hukum otonom peraturan perundang-undangan dibuat luas dan rinci serta mengikat penguasa maupun yang dikuasai. Sedangkan pada hukum responsif, aturan perundang-undangan adalah merupakan sub ordinat dari prinsip dan kebijakan. Pada tataran hukum responsif, keadilan substantiflah yang ingin dicapai, ketimbang keadilan prosedural pada hukum otonom. 95 Siklus perjalanan hukum dari hukum represif menuju hukum otonom dan selanjutnya mencapai tingkat ideal menjadi hukum 94 Ibid, hal. 78. 95 Ibid, hal. 16. 112 responsif, dapat digunakan untuk memberikan refleksi pada pembuatan peaturan perundang-undangan di Indonesia. Pertanyaannya adalah apakah hukum pidana di Indonesia tergolong hukum represif, ataukah hukum otonom bahkan hukum responsif. Apakah elemen-elemen pendukung bagi ditegakkannya Hukum Pidana yang bernuansa Indonesia misalnya beroperasinya peradilan yang restoratif dapat terlaksana?. Sejarah membuktikan bahwa pada Pemerintahan Orde Lama, hukum merupakan ekspresi pemerintah yang represif terhadap pemenuhan hak-hak masyarakat. Periode ini terus berlangsung sampai pada akhir Pemerintahan Orde Baru dan memunculkan dimensi hukum yang menuju kearah hukum yang lebih otonom, bahkan ada tanda-tanda mulai mencoba mengagas pencarian memasuki ranah hukum yang responsif sebagaimana yang diuraikan Philippe Nonet dan Philip Selznick di atas. Namun Philippe Nonet dan Philip Selznick mengingatkan tahap yang paling kritis yang dihadap pada masa transisi antara hukum yang otonom dan hukum yang responsif sebagai berikut: “... the critical step is the generalization of law‟s objective. Particular rules, policies, and procedures come to be regarded as instrumental and expendable. They may be respected as funded experience, but they cease to difine the commitments of the legal order. Instead, the emphasis shifts to more general ends that contain in the premises of policy and tell “business we are realy in”. Thus a distinctive feature and responsife law is the search for implicit values in rules and policies. 96 ... tahap yang paling kritis adalah generalisasi tujuan-tujuan hukum. Sejumlah peraturan, kebijakan dan prosedur tertentu menjadi dianggap penting dan dapat digunakan. Perangkat-perangkut hukum tersebut mungkin tetap dihormati sebagai sekumpulan pengalaman, namun semua itu berhenti mendefinisikan komitmen tatanan hukum. Justru penekanan yang dilakukan bergeser pada tujuan yang bersifat lebih umum, yang berisikan premis-premis kebijakan dan sekadar menyampaikan “urusan yang sedang kita tangani”. Dengan demikian, ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai yang tersirat yang terkandung dalam peraturan dan kebijakan. Dalam masa peralihan antara hukum otonom dan hukum responsif, identitas hukum di Indonesia haruslah mencerminkan identitas yang maksudkan para pendiri republik ini yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Dalam hal inilah pendapat Made Sadhi Astuti yang menegaskan bahwa hampir sebagian negara, tidak 96 Ibid, hal. 78-79. 113 terkecuali Indonesia, hukum pidana umumnya telah ketinggalan zaman. 97 Dengan mengutip pendapat Hermann Mannheim, menegaskan bahwa masalah utama yang dihadapi oleh hukum pidana, dalam hal ketinggalan zaman ialah tentang sistem pemidanaan atau penjatuhan pidana. Dalam konteks ini KUHP yang merupakan produk penguasa zaman kolonial, jelas telah ketinggalan zaman dan tidak lagi memadai untuk menjadi sarana mewujudkan demokrasi di Indonesia. Demikian pula KUHAP meskipun merupakan produk hukum pasca kolonial, namun sangat terasa kekurangan- kekurangannya dalam menghadirkan keadilan prosedural, mengingat perkembangan perilaku masyarakat dewasa ini serta tuntutan untuk mewujudkan peradilan yang murah dan cepat sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang kekuasaan pokok kehakiman. Dalam kerangka hukum responsif yang bisa dipakai sebagai pisau analisa dalam perumusan norma kedudukan korban perkosaan sebelum dan setelah berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Teori Philippe Nonet dan Philip Selznick mengemukakan bahwa hukum yang responsif sebagai sarana respon atas kebutuhan- kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Fungsi hukum untuk mencapai kepastian hukum demi terciptanya keamanan, ketertiban dan keadilan dalam masyakat, kepastian hukum mengharuskan adanya peraturan-peraturan umum atau norma-norma yang berlaku umum, dan peraturan-peraturan tersebut harus ditegakkan serta dilaksanakan dengan tegas. Inti daripada kepastian hukum bukanlah terletak pada batas-batas daya berlakunya hukum tersebut menurut wilayah atau golongan- golongan dalam masyarakat akan tetapi justru terletak pada kepastian tentang bagaimana warga masyarakat menyelesaikan pertikaian yang terjadi yang setiap saat timbul di masyarakat itu sendiri, bahwa kepastian hukum secara pasti terwujud dalam aturan- aturan tertulis. Kesadaran hukum masyarakat menurun karena mereka tidak melihat dan merasakan bahwa hukum melindungi kepentingannya dan kepastian hukum yang bersifat umum adalah 97 Made Sadhi Astuti, op.cit, hal. 6. 114 keadilan Iebih menekankan faktor yang utama, yang membuat ketenteraman dan keamanan dalam kehidupan bermasyakat, berbangsa dan bernegara. 98 Bahwa ketertiban yang terganggu berarti bahwa keteraturan dan karenanya kepastian tidak lagi terjamin. Jadi suatu tatanan hukum tidak bisa dilepaskan begitu saja dari keadilan. Atau dengan kata lain, memandang hukum atau sistem hukum secara formal bukan cara memandang hukum yang realistik dan hanya memberikan kepuasan proses berpikir belaka. Bahwa hukum menjamin keteraturan dan ketertiban, ini bukanlah tujuan akhir dari hukum, karena inilah yang disebutkan dengan fungsi hukum. Hal ini wajib dipahami karena tujuan hukum tidak dapat dilepaskan dari tujuan akhir dari hidup bermasyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan falsafah hidup yang menjadi dasar hidup masyarakat itu, yang akhirnya semuanya kelak bermuara pada keadilan. 99 Pada tataran ini, keadilan menjadi sesuatu yang sukar didefinisikan, tetapi bisa dirasakan dan karenanya ia merupakan unsur yang tidak bisa tidak harus ada dan tidak dapat dipisahkan dari hukum sebagai perangkat asas dan kaidah yang menjamin adanya keteraturan kepastian dan ketertiban dalam masyarakat. Bahwa tujuan hukum dalam hukum postif di Indonesia tentu tidak bisa dipisahkan dari aspirasi dan tujuan perjuangan bangsa sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dan keadilan sosial yang merupakan bagian penting dari sistem nilai Bangsa Indonesia. 100 Berkaitan dengan asas keadilan sosial dalam hukum positif nasional, maka hal ini berkaitan dengan prinsip-prinsip keadilan dan asas keseimbangan yang dibahas dalam uraian berikut ini. Dalam upaya menghadirkan keadilan bagi korban perkosaan, perlu kiranya memahami apa saja yang menjadi asas-asas atau 98 Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Perspeklif Sosial, Alumni, Bandung, 1981, hal. 95-99. 99 Mochtar Kusuma Atamadja Bernard Arief Shidarta, op.cit, hal. 52. 100 Priyono H, Teori Keadilan Rawls, dalam Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan , Tim Redaksi Driyarkara ed, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hal. 53. 115 prinsip-prinsip penting keadilan. Menurut pendapat John Rawls, ada dua prinsip utama keadilan yaitu 1. Each person is to have an equal right to the most extensive basic liberty compatible with a similiar liberty for others. 2. Social and economic inequalities are to bw arranged so that they are both: a. reasonably espected to be everyone‟s advantage, and b. attached to positions and offices open to all. 101 Nampaknya John Rawls ingin mengemukakan ketergantungan reflektif antara prinsip pertama dan prinsip kedua. Aspek-aspek sistem sosial yang mendefinisikan dan menjamin kebebasan warga Negara dan aspek-aspek yang menunjukkan dan mengukuhkan ketimpangan sosial ekonomi. Bahwa kebebasan berbicara dan berserikat, kebebasan berkeyakinan dan kebebasan berpikir, kebebasan seseorang seiring kebebasan mempertahankan hak milik dan kebebasan dari penangkapan secara semena-mena sebagaimana didefinisikan dalam konsep ”rule of law”. Kebebasan-kebebasan inilah oleh prinsip pertama milik John Rawls yang diharuskan setara. Prinsip kedua adalah berkenaan dengan pendapatan dan kekayaan. Sementara distribusi kekayaan dan pendapatan menurut John Rawls tidak perlu sama, harus demi keuntungan semua orang. Masyarakat yang menerapkan prinsip kedua tersebut, membuat posisinya terbuka bagi semua orang, sehingga tunduk dengan batasan akan mengatur ketimpangan sosial ekonomi sedemikian rupa hingga semua orang diuntungkan. Jika kedua prinsip tersebut diterapkan secara konsisten, maka pada dasarnya ketidakadilan dari sudut pandang ini adalah ketimpangan yang tidak menguntungkan bagi semua orang. Disini, ia melihat bahwa hukum haruslah menjadi penuntun agar setiap orang dapat mengambil posisi dengan tetap memperhatikan kepentingan individu lainnya. Priyono melihat bahwa dari kaca mata dan pemikiran John Rawls tersebut, maka prinsip keadilan versinya harus mengerjakan dua hal yaitu prinsip keadilan harus memberikan penilaian konkret tentang adil tidaknya institusi dan praktek institusional serta prinsip keadilan harus membimbing kita dalam memperkembangkan 116 kebijakan dan hukum untuk mengoreksi ketidakadilan dalam struktur dasar masyarakat tertentu. 102 Apakah institusi penegak keadilan dalam konsep negara hukum itu telah menjalankan fungsinya sebagaimana yang diharapkan, maka dalam bidang hukum pidana, keadilan vindikatif merujuk pada keadilan dalam hal menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian pada para pelaku tindak pidana. Seorang dianggap adil apabila ia dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindak pidana yang dilakukannya. Perbuatan pelaku gratifikasi seksual bertentangan dengan asas iustitia est costans et perpetua voluntas ius suumcuique tribendi , sudah sepantasnya jika pelaku gratifikasi seksual menerima sanksi yang diancamkan. Selain itu perbuatan pelaku gratifikasi seksual juga bertentangan dengan asas justitia distributive, karena pelaku gratifikasi seksual sudah seharusnya secara proporsional menerima sanksi dari perbuatannya seperti halnya dengan pelaku gratifikasi seksual dalam tindak pidana korupsi. Perbuatan gratifikasi seksual juga bertentangan dengan dengan prinsip keadilan komulatif karena pelaku gratifikasi seksual sudah sepantasnya menerima kontra prestasi berupa sanksi pidana sebagai konsekuensi dari prestasinya. Perbuatan gratifikasi seksual juga bertentangan dengan prinsip keadilan vindikatif, karena sudah sepantasnya jika pelaku gratifikasi seksual menerima sanksi yang sepadan dengan tindakannya. 2. Perumusan Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Gratifikasi Sek- sual dalam Rangka Pembaruan Tindak Pidana di Indonesia Konsep pertanggungjawaban pidana dapat dianggap sebagai salah satu unsur dari perbuatan pidana, namun ada juga pendapat yang memisahkan pertanggungjawaban pidana dari perbuatan pidana. Perbuatan pidana berkaitan dengan tercelanya perbuatan, sedangkan pertanggungjawaban berkaiatan dengan tercelanya pelaku. Penelaahan perkembangan asas pertanggungjawaban pidana yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan negara lain. 102 Priyono H, Teori Keadilan Rawls, dalam Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan , Tim Redaksi Driyarkara ed, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hal. 37. 117 Peraturan perundang-undangan Indonesia diperlukan untuk mengetahui perkembangan akhir dalam hukum positif dan sebagai bahan perbandingan bagi penyusunan konsep pertanggungjawaban pidana, khususnya yang berkaitan dengan kejahatan korupsi di Indonesia.  Rumusan bentuk pertangungjawaban pidana bahwa setiap orang sebagai manusia alamiah disebut dengan sengaja melakukan gratifikasi seksual, apabila menghendaki untuk menerima manfaat atau keuntungan dari suatu hal yang diketahuinya berasal dari tindak pidana korupsi. Diadopsi dan dimodifikasi dari ketentuan mngenai kesengajaan sebagai salah satu bentuk kesalahan di dalam Section 15 jo Article257, 259, 260, 261 2 KUHP Jerman, Section 5 2, Section 6 KUHP Finlandia, Article 256 KUHP Jepang, Article 191 KUHP Cina, Article 5 Prevention of Corruption Act Singapore dan Article 23 Akta Pencegahan Rasuah Malaysia.  Rumusan bentuk pertanggungjawaban pidana bahwa setiap orang dikatakan memiliki kealpaan dalam melakukan gratifikasi seksual, apabila tidak melakukan penghati-hatian dan tidak melakukan penduga-dugaan sebagaimana diharuskan oleh hukum pelaku gratifikasi seksual manfaat atas suatu hal yang di dapat dari tindak pidana korupsi, diadopsi dan dimodifikasi berdasarkan ketentuian tentang kealpaan sebagai salah satu bentuk kesalahan di dalam Article 261 5 KUHP Jerman, Section 4 KUHP Finlandia, Article 15 Jo 112 KUHP Cina. Selain itu ditemukan juga di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia seperti diatur di dalam Pasal 480 KUHP. Selain itu dipersalahkan pelaku gratifikasi seksual danatau dicelanya pelaku gratifikasi seksual;  Rumusan bentuk pertanggungjawaban pidana bahwa setiap orang dapat dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana sepanjang perbuatan gratifikasi seksual dilakukan dengan itikad baik, di adopsi dan dimodifikasi dari ketentuan itikad baik sebagai pengecualian terhadap pertanggungjawaban pidana ditemukan dalam rumusan Article 23 KUHP Nigeria. Hal ini sepadan dengan alasan pemaaf yang diatur dalam Pasal 51 Ayat 2 KUHP, berkenaan dengan seseorang yang melaksanakan perintah jabatan tanpa mengetahui bahwa perintah itu melanggar hukum. 118

3. Konsep Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Gratifikasi Seksual

Secara teoritik berdasarkan teori pertanggungjawaban pidana bagi pelaku gratifikasi seksual berupa manusia alamiah di dalamnya harus terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Prinsip ini di dalam hukum pidana dikenal dengan prinsip liability based on fault atau dikenal juga dengan tiada pidana tanpa adanya kesalahan asas culpabilitas, khusunya yang berhubungan dengan masalah kesengajaan dolus dan kealpaan culpa. Pelaku gratifikasi seksual memiliki kesalahan, karena ditinjau dari sudut pandang masyarakat, pelaku kejahatan gratifikasi seksual dapat dicela. Kesalahan dapat juga diartikan sebagai keadaan jiwa pembuat, yang memiliki cukup akal, dan kemauan, dan oleh karena cukup mampu untuk menentukan kemauannya. Keadaan jiwa sedemikian rupa terdapat pada orang-orang normal. Pelaku gratifikasi seksual dapat dicela, jika memiliki perkembangan jiwa yang normal dan cukup mengerti makna perbuatannya dan sesuai dengan makna tersebut menentukan kemauannya. Dalam hal ini kemampuan bertanggung jawab dan tidak ada alasan menghapuskan pertanggungjawaban pidana si pembuat. Kesalahan pelaku gratifikasi seksual dapat berbentuk kesengajaan atau kealpaan. Kesengajaan dimaksudkan sebagai arah dengan sadar dari kehendak melakukan suatu pekerjaan tertentu. Kesengajaan ditunjukkan oleh adanya pilihan secara sadar dari seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Menurut MvT, maka kata sengaja opzet adalah sama dengan diketahui atau dikehendaki willens en wetens. Seseorang yang melakukan perbuatan dengan sengaja, harus menghendaki perbuatan itu dan harus mengetahui akan akibat perbuatannya. Pelaku gratifikasi seksual memiliki kesengajaan apabila dalam menerima manfaat perbuatannya itu. Selain itu, pelaku gratifikasi seksual memiliki kesengajaan jika mengetahui perbuatan itu merupakan tindak pidana korupsi. Bentuk lain dari kesalahan adalah kealpaan. Kealpaan dimaksudkan sebagai suatu perbuatan yang dikehendaki oleh pelaku. Dia tidak menghendaki atau menyetujui timbulnya hal yang dilarang, kekeliruannya ada dalam batinnya sewaktu ia berbuat, 119 sehingga menimbulkan hal-hal yang dilarang. Jadi bukan semata- mata menentang larangan tersebut, akan tetapi dia juga tidak begitu mwngindahkan larangan. Van Hamel mengatakan bahwa kealpaan mengandung dua syarat, yaitu ¬ Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum; ¬ Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum. Hal ini sama dengan pengertian subjective reclessness, terdakwa yang harus menyadari ada resiko dari konsekuensi larangan sebagai konsekuensi dari pelakunya, akan tetapi tetap memutuskan untuk mengambil resiko tersebut. Pelaku gratifikasi seksual memiliki kealpaan jika dalam menerima suatu barang atau uang tidak menghendaki atau menyetujuinya, dan jika mengetahui bahwa uang atau barang itu yang diberikan kepadanya berasal dari tindak pidana korupsi. Kekeliruannya tidak melakukan penduga-dugaan atau melakukan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum, sehingga menimbulkan hal-hal yang dilarang. Jadi bukan semata-mata menentang larangan tersebut, akan tetapi dia juga tidak mengindahkan larangan dan akibat perbuatannya tersebut juga merugikan keuangan negara. Selain itu pelaku gratifikasi dikategorikan memiliki kealpaan apabila tidak melakukan penduga-dugaan bahwa pelaku gratifikasi seksual itu adalah pelaku tindak pidana korupsi. Secara teoritik hasil korupsi tidak semata-mata dinikmati oleh orang perorangan, namun juga dinikmati oleh kumpulan orang atau suatu badan. Berkenaan dengan hal tersebut, maka perlu ditentukan subjek yang dapat dipertanggungjawabkan. Penentuan pertanggungjawaban pidana bagi pelaku gratifikasi seksual selain memiliki dasar secara yuridis dan teoritis juga memiliki dasar secara filosofi. Secara filosofi, konsep monodualisme Pancasila dapat digunakan sebagai pisau analisa terhadap penentuan pertanggungjawaban pidana bagi pelaku gratifikasi seksual. Ide dasar yang ingin diwujudkan dalam konsep ini yaitu berorientasi asas keseimbangan monodualistik antara kepentingan 120 umummasyarakat dan kepentingan individupelaku tindak pidana dan korban tindak pidana. Penentuan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku gratifikasi seksual didasarkan pada pertimbangan kepentingan keterlibatan pelaku gratifikasi seksual dalam memanfaatkan hasil tindak pidana korupsi dan pertimbangan kepentingan masyarakat dan negara yang menjadi korban kehilangan kemanfaatan dari sesuatu yang seharusnya disediakan untuknya. Pengembangan konsep pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari pergulatan pemikiran tentang hakikat dan kedudukan manusia Indonesia. Pembicaraan hakikat dan kedudukan manusia Indonesia harus dihubungkan dengan falsafah bangsa, yaitu Pancasila yang memberikan pedoman dalam memahami kedudukan dan hakikat manusia Indonesia. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, memberikan pedoman bagi kita untuk menyadari bahwa hakikatnya kedudukan manusia Indonesia adalah makhluk Indonesia makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, menimbulkan kesadaran bahwa manusia tunduk dan patuh terhadap ketentuan Tuhan Yang Maha Esa. Berkenaan dengan kepatuhan ini, maka manusia harus menyerahkan seluruh usaha yang dilakukannya kepada ketentuan Tuhan Yang Maha Esa. Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan pribadi menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Penentuan pertanggungjawaban pidana bagi pelaku gratifikasi seksual dapat didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan. Berdasarkan nilai-nilai ketuhanan ini, maka kedudukan manusia sebagai makhluk tuhan memberikan pemahaman bahwa dalam hal-hal tertentu manusia tidaklah bebas menentukan kehendaknya sendiri. Pemahaman ini dikenal dengan konsep determinisme, segala sesuatu mempunyai hubungan sebab akibat yang dapat dicari pada masa lalu, saat ini ataupun masa yang akan datang. Hubungan sebab akibat ini juga dapat terjadi dalam interaksi antara individu di dalam masyarakat. Berdasarkan konsep determinisme, maka ketercelaan dan pertanggungjawaban pidana pelaku gratifikasi seksual memiliki hubungan sebab akibat dengan ketercelaan dan pertanggungjawaban 121 pidana pelaku gratifikasi seksual dalam tindak pidana korupsi. Berdasarkan asumsi ini, maka tercelanya pelaku pelaku tindak pidana korupsi juga pelaku gratifikasi seksual, sehingga kedua- duanya dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Sila Kemanusian Yang Adil Dan Beradab memberikan pedoman dalam memahami harkat dan martabat manusia Indonesia, yaitu mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia. Sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab berisikan nilai kemanusiaan yang dapat dijadikan dasar filosofi penentuan pertanggungjawaban pidana bagi pelaku gratifikasi seksual. Nilai kemanusiaan memberikan pedoman bagi pemahaman kedudukan manusia Indonesia sebagai makhluk yang memiliki kehendak bebas. Konsep seperti ini dikenal sebagai indeterminisme. Konsep kehendak bebas menyebutkan bahwa manusia adalah subjek moralitas yang bertanggung jawab secara moral untuk peristiwa, yang dapat menerima pujian atau dipersalahkan secara moral atas peristiwa dan keadaan tertentu yang dilakukannya. Berdasarkan konsep kehendak bebas, maka pelaku gratifikasi seksual dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana karena pelaku manusia alamiah adalah subjek moralitas, yang bertanggung jawab secara moral untuk peristiwa atau keadaan tersebut. Sebaliknya jika seseorang tidak memiliki kebebasan kehendak, maka yang bersangkutan tidak bertanggung jawab secara moral terhadap apa yang telah dilakukannya. Atas dasar pemikiran tersebut, maka pelaku gratifikasi seksual dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana apabila pelaku memiliki kebebasan untuk memilih dan kemudian menghendaki untuk melakukan gratifikasi seksual. Nilai –nilai kemanusiaan juga dapat dijabarkan melalui sikap mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia dan saling mencintai sesama manusia, serta mengembangkan sikap tenggang rasa. Persamaan hak dan kewajiban, menuntun setiap manusia Indonesia dalam melaksanakan tanggung jawab, baik sebagai manusia pribadi maupun sebagai anggota masyarakat. Pemberian hak dasar kepada manusia Indonesia menunjukkan bahwa kedudukan manusia 122 Indonesia sebagai manusia pribadi diakui, sebaliknya pemberian kewajiban dasar merupakan bentuk pengakuan manusia Indonesia sebagai makhluk sosial. Pelaksanaan hak dan kewajiban manusia Indonesia dibatasi dengan adanya sikap tenggang rasa merupakan alat pembatasan bagi pelaksaan hak agar tidak tidak mengganggu hak orang lain. Tenggang rasa memberikan pengertian untuk menghormati orang lain dan mengerti kewajibannya saling menjaga perasaan orang lain. Masyarakat Indonesia mengenal sikap tenggang rasa dan kesediaan menanggung beban sesama dikenal dengan atas gotong royong. Berdasarkan konsep tenggang rasa sebagai penjabaran nilai- nilai kemanusiaan, maka pelaku gratifikasi seksual dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Pelaku gratifikasi seksual sebagai orang yang mendapatkan manfaat sudah sepantasnya memiliki tenggang rasa untuk ikut bertanggung jawab menerima beban sebagai akibat perbuatannya. Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia memberi pedoman dalam memahami konsep pertanggungjawaban, sebagai berikut: Bersikap adil terhadap sesama; Menghormati hak-hak orang lain; Menolong sesama; Menghargai orang lain. Sila terakhir ini mengandung nilai-nilai keadilan dan dapat dijadikan dasar filosofi penentuan pertanggungjawaban pidana bagi pelaku gratifikasi seksual. Berkenaan dengan kesebandingan pertanggungjawaban pelaku gratifikasi seksual dapat ditemukan dasarnya di dalam istilah latin suum cuique tribuere, yakni bertindaklah sebanding. 103 Berdasarkan adagium ini dapat dijelaskan bahwa perbuatan gratifikasi seksual sebanding dengan pelaku korupsi itu sendiri, karena akibat dari perbuatan tersebut sama-sama dapat merugikan keuangan negara danatau perekonomian negara. Oleh karenanya pelaku gratifikasi seksual dan pelaku tindak pidana korupsi patut dimintakan pertanggungjawaban pidana. 103 Abdul Ghafur Anshori, Filsafat Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2006, hal. 51. 123 Kesebandingan juga merupakan acuan bagi pengaturan hak dan kewajiban. Bangsa Indonesia berusaha menyelaraskan secara seiombang mengenai hak dan kewajiban. Keadilan sosial berkaitan erat dengan hak. Hanya saja dalam konsepsi keadilan keadilan Bangsa Indonesia, hak itu tidak dapat dipisahkan dari pasangan antinominya, yaitu kewajiban. Keselarasan hak dan kewajiban itu menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk berdimensi monodualistik, yaitu sebagai individual dan sosial. Berdasarkan prinsip keseimbangan hak dan kewajiban tersebut, secara negatif dapat diaplikasikan pada adanya penerimaan manfaat harus disertai dengan kewajiban untuk menerima konsekuensi dari perbuatan tersebut, yaitu kewajiban bertanggung jawab menerima sanksi pidana sebagai konsekuensi dari perbuatan gratifikasi seksual. B. Kebijakan Perumusan Sanksi Tindak Pidana Pelaku Gratifikasi Seksual Dalam Rangka Pembaruan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Dasar-dasar normatif perumusan sanksi pidana gratifikasi seksual ialah a. Pidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4 Empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 Dua Ratus Juta Rupiah dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 Satu Miliar Rupiah diadopsi dari rumusan Pasal 12 huruf b Ayat 2 UU No. 20-2001, sedangkan pidana penjara dalam jangka waktu tertentu ditemukan di dalam peraturan perundang-undangan Negara lain berkenaan dengan sanksi pidana bagi penerima manfaat hasil kejahatan termasuk gratifikasi seksual, yaitu di dalam Article 260 KUHP Jerman, Article 256 KUHP Jepang, Article 112 KUHP Nigeria; b. Sanksi pidana penjara dan denda yang diatur secara alternatif diadopsi dan dimodifikasi berdasarkan sanksi pidana bagi tindak pidana pelaku gratifikasi seksual menerima hasil kejahatan korupsi; c. Pengaturan sanksi pidana dan denda terhadap tindak pidana pelaku gratifikasi seksual secara komulatif dapat ditemukan di dalam peraturan perundangan-undangan, khususnya di dalam 124 UU No. 31-1999 dan UU No. 20-2001, serta di dalam UU No. 15- 2002 Jo UU No. 25-2003 Jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang UU No. 8-2010; d. Perumusan pidana penjara dan denda secara alternatif dan komulatif hanya ditemukan didalam peraturan perundang- undangan Indonesia, yaitu di dalam UU No. 31-1999 dan UU No. 20-2001;

C. Sanksi Pidana Tindak Pidana Pelaku Gratifikasi Seksual

Menurut H.L.Packer, maka sanksi pidana merupakan suatu kebutuhan dan penjamin utama bagi kelangsungan dan keberadaan suatu masyarakat untuk menghadapi bahaya besar yang dapat menghancurkan masyarakat. Selain itu dapat ditambahkan pandangan Immanuel Kant bahwa dasar pemberian sanksi pidana tidak pernah dilaksanakan semata- mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan atau kebaikan lain, baik bagi si pelaku gratifikasi seksual itu sendiri maupun bagi masyarakat, akan tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu tindak pidana. Terkait dengan hal tersebut, maka pengancaman sanksi pidana pada pelaku gratifikasi seksual dibutuhkan negara untuk mencegah terjadinya tindak pidana pelaku gratifikasi seksual, dan dalam hal tindak pidana tersebut telah terjadi, maka sanksi pidana dapat dijadikan alat untuk menindak pelakunya. Hal yang demikian sangat penting untuk dilakukan sebagai upaya pencapaian tujuan berbangsa dan bernegara seperti tercantum di dalam Pembukaan UUD NRI 1945. Menurut aliran retributif, maka sanksi pidana dibenarkan semata-mata didasarkan keinginan masyarakat untuk memberikan sanksi pidana sebagai imbalan yang layak bagi pelaku gratifikasi seksual dan yang dilarang. Pendekatan yang dipakai oleh golongan retributif tersebut lebih banyak bersandar pada prinsip moral. Menurut Immanuel Kant, bahwa pidana merupakan bukti bahwa prinsip moral jelas tidak memerlukan pembenaran dari luar 125 dirinya, bahwa kejahatan itu sendiri pantas dikenakan pidana, dan pidana setimpal atau setara dengan kejahatan yang dilakukan. Demikian juga pandangan Hegel menyatakan perbuatan salah merupakan penyangkalan dari hak dan penolakan harus dilakukan oleh reaksi masyarakat berupa sanksi pidana bagi pelanggar. Berkenaan dengan teori retributif, maka pemberian sanksi pidana pada pelaku gratifikasi seksual merupakan imbalan yang setimpal sebagai konsekuensi bagi pelaku gratifikasi seksual, karena telah melakukan perbuatan yang merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dan ditujukan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sanksi pidana merupakan pengekspresian penolakan masyarakat terhadap perbuatan pelaku gratifikasi seks dari hasil tindak pidana korupsi. Pentingnya merumuskan sanksi pidana dan menegakkannya disebabkan setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya melakukan gratifikasi seksual, karena kalau tidak demikian, maka mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam perbuatan tersebut, yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum. Selain itu sanksi pidana juga merupakan reaksi masyarakat, Bangsa dan Negara Indonesia atas penyangkalan yang dilakukan oleh pelaku gratifikasi seksual terhadap tertib masyarakat berhubungan dengan penguasaan sumber-sumber keuangan bagi warga masyarakat atau warga negara. Pidana seumur hidup atau pidana penjara danatau denda bagi pelaku gratifikasi seksual semata-mata diancamkan sebagai pernyataan balas dendam masyakarat sebagai korban tindak pidana korupsi dan pelaku gratifikasi seksual atas perbuatannya yang telah merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Jenis pidana lainnya yang diancamkan bagi pelaku gratifikasi seksual adalah pidana denda berupa pembayaran sejumlah uang yang wajib dibayar oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan. Pidana denda kecuali sebagai jenis pidana yang berdiri sendiri, dapat dikomplementasikan dengan jenis pidana pencabutan kemerdekaan. Pemberian pidana dilakukan atas dasar adanya nilai kegunaan. Pandangan ini dikemudikan oleh kelompok utilitarian. Menurut kelompok ini, pidana dibenarkan untuk diancamkan dan dijatuhkan semata-mata jika mempunyai manfaat untuk masa yang akan datang. 126 Manfaat yang hendak ditarik dengan adanya pidana adalah adanya daya pencegah bagi terjadinya perbuatan yang dilarang. Sanksi pidana hanya boleh dijatuhkan jika mempunyai manfaat bagi pelaku gratifikasi seksual maupun pelaku tindak pidana korupsi, khususnya untuk merubah masa depan pelaku kriminal dan orang lain yang mungkin akan tergoda untuk melakukan kejahatan. Pencegahan itu merupakan hal yang logis, karena setiap orang menghendaki kesenangan dan kebahagiaan di dalam hidupnya, dengan demikian seseorang akan selalu menghindarkan diri dari kemungkinan dikenkan pidana, sehingga hal tersebut menutup kemungkinan bagi seseorang untuk melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Berdasarkan pandangan teori utilitarian, pemberian sanksi pidana pada pelaku gratifikasi seksual ditujukan untuk mencegah orang agar tidak melakukan perbuatan tersebut, karena konsekuensi dari perbuatan gratifikasi seksual adalah dikenakannya sanksi pidana yang diancamkan terhadap perbuatan tersebut. Penderitaan yang diberikan oleh sanksi pidana diharapkan akan menjadi alasan seseorang untuk menghindari diri melakukan tindak pidana gratifikasi seksual. Pemberian sanksi pidana juga diharapkan menjadi sarana efektif untuk mencegah seseorang mengulangi tindak pidana gratifikasi seksual. Selain teori retributif dan utilitarian terdapat kelompok teori lain yang juga berusaha mencari dasar pembenar diadakannya sanksi pidana adalah teori behavioral. Beranggapan bahwa pidana dibenarkan karena bermanfaat bagi pelaku gratifikasi seksual. Rehabilitasi adalah tujuan, sifat pelanggaran yang relevan hanya memperbaiki pelaku gratifikasi seksual. Berdasarkan teori ini, maka sanksi pidana yang diancamkan kepada pelaku gratifikasi seksual semata-mata untuk kepentingan perbaikan pelaku gratifikasi seksual agar menjadi warga masyarakat atau warga negara yang patuh terhadap hukum. Ketiga teori tersebut secara keseluruhan bersesuaian juga dengan tujuan penjatuhan sanksi denda dan uang pengganti. Pemberian sanksi pidana selain memiliki dasar-dasar juga memiliki tujuan tertentu. Pada dasarnya teori-teori ini terpengaruh pada dua pandangan dan aliran utama yang telah dibicarakan, yaitu teori 127 retributif dan utilitarian. Teori-teori yang dapat digolongkan pada teori retributif antara lain: × Revenge Theory; dan × Expiation Theory. Sedangkan yang dapat digolongkan sebagai pendukung aliran retributif dan utilitarian antara lain: ם Deterence Theory; ם Special Deterence Theory. Sebagai pelengkap perlu juga dikemukakan kelompok teori behavioral, yaitu incapation theory dan rehabilitation theory. Senada dengan teori-teori tersbut, maka terdapat aliran pemikiran lain yang berusaha merumuskan tujuan pidana, yaitu aliran klasik dan sesudahnya adalah aliarn modern. Aliran klasik timbul untuk memperbaharui sistem hukum yang saat itu dianggap tidak beradab dan melindungi terdakwa dari kesewenang-wenangan penguasa. Oleh karena itu, aliran klasik beragumentasi bahwa pidana harus sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya. Di pihak lain aliran positifis, berusaha menerapkan prinsip dan metode ilmiah pada studi tentang penjahat. Berkenaan dengan hal ini, maka diperlukan kesesuaian antara pidana dengan masing-masing pelaku guna melindungi masyarakat dari pelaku kejahatan. Di Indonesia tujuan pidana selain mengadopsi pemikiran yang berkembang secara universal juga mengadopsi pemikiran yang berakar dari hukum adat, yaitu: ∞ Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; ∞ Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang baik dan berguna; ∞ Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; ∞ Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. UU No. 20-2001 merupakan perkembangan politik hukum pidana nasional yang telah menganut sistem individualisasi pidana, berorientasi pada pelaku dan perbuatan, sehingga jenis sanksi yang diterapkan dalam undang-undang ini meliputi sanksi pidana yang bersifat penderitaan dan sanksi tindakan yang beorientasi pada 128 penyelamatan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Sanksi pidana tambahan yang diatur dalam Pasal 18 UU No. 20-2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, masih tumpang tindih pengaturannya dengan sanksi tindakan. Ketentuan pidana bersyarat tercantum dalam Pasal 14 KUHP yang berlaku sebagai ketentuan umum, kecuali ditentukan secara khusus dalam peraturan perundang-undangan. Pengaturan sanksi merupakan perwujudan politik hukum nasional yang didasarkan pada dua teori pemidanaan, yaitu pencegahan damn retributif. Alternatif pertama pidana tambahan yang dapat dijatuhkan kepada pelaku gratifikasi seksual adalah pidana perampasan barang atau tagihan tertentu. Perampasan barang pidana perampasan barang tertentu danatau tagihan dapat dapat dijatuhkan jika pihak terpidana hanya dikenakan tindakan. Pidana perampasan barang yang bukan milik terpidana tidak dapat dijatuhkan jika hak pihak ketiga dengan itikad baik akan terganggu. Tujuan penjatuhan pidana ini adalah untuk mencegah agar pelaku gratifikasi seksual tidak lagi mengulangi perbuatannya pada masa yang akan datang. Selain itu pidana tambahan ini ditujukan untuk member jaminan akan dilaksanakannya pidana denda yang ditetapkan kepada pelaku gratifikasi seksual. Alternatif sanksi pidana tambahan lainnya yang dapat diancamkan bagi pelaku gratifikasi seksual adalah pengumuman hakim. Pidana tambahan ini bertujuan untuk mengekpresikan pernyataan penguasa bahwa perbuatan gratifikasi seksual adalah perbuatan yang melanggar hukum. Alternatif pidana tambahan yang diusulkan sebagai pidana tambahan pelaku gratifikasi seksual adalah membayar restitusi, yang dimaksudkan sebagai ganti kerugian yang harus diberikan oleh pelaku gratifikasi seks. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong kompensasi terhadap korban dalam hal ini negara oleh orang yang bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan korban kejahatan. Penentuan jumlah disesuaikan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku gratifikasi seksual, sedangkan metodenya adalah dengan mengajukan permohonan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK sebagaimana dimaksud 129 dalam UU No. 13-2006, sebelum adanya putusan hakim pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Perumusan sanksi pidana pelaku gratifikasi seksual berupam pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara dalam waktu tertentu dan denda sebagai pidana pokok, serta pidana untuk membayar restitusi, perampasan barang-barang yang diduga hasil dari tindak pidana korupsi yang dinikmati oleh pelaku gratifikasi. Secara teoritik, maka perumusan sanksi pidana yang tepat secara integral akan memberi jaminan bagi keberhasilan penanggulangan tindak pidana, khususnya di Indonesia. Perumusan sanksi pidana haruslah berlandaskan nilai Ketuhanan, nilai Kemanusiaan dan nilai Keadilan secara seimbang, sebagaimana tercermin dalam ide kesimbangan monodualistik antara kepentingan masyarakat kepentingan individu; ide yang keseimbangan antara pidana yang berorientasi pada pelaku dan korban; ide pemaafan hakim; ide mengutamakan keadilan dari kepastian hukum. Perumusan tujuan pemidanaan, bentuk dan jenis serta berat ringannya pidana dan pedoman pemidanaan harus disesuaikan dengan nilai-nilai tersebut. Tujuan pemidanaan, bentuk dan jenis serta berat ringannya pidana dan pedoman pemidanaan seharusnya memiliki ciri-ciri khas Indonesia. Pemberian sanksi pidana seharusnya disesuaikan dengan harkat dan martabat manusia Indonesia. Manusia Indonesia harus diperlakukan sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial secara bersamaan pula. Kedudukan manusia Indonesia yang multi dimensional tersebut sesuai dengan prinsip monodualisme atau prinsip kebersamaan. Penentuan sanksi yang sesuai bagi pelaku gratifikasi seksual secara filosofi didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Salah satu nilai tersebut adalah nilai ketuhanan. Nilai ketuhanan mengarahkan penentuan sanksi pidana bagi pelaku gratifikasi seksual disesuaikan dengan kedudukan sebagai makhluk Tuhan. Berdasarkan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, maka pelaksanaan pemberian maaf atas suatu kesalahan dapat dibebaskan. Oleh karena itu tidak setiap pelaku gratifikasi seksual yang terbukti melakukan perbuatan gratifikasi seksual harus dijatuhi sanksi pidana yang diancamkan. 130 Berkenaan dengan ide pemberian maaf pada terpidana dikenal dengan asas pemberian maaf dengan tidak menjatuhkan sanksi pidana atau tindakan apapun kepada pelaku, diimbangi pula dengan adanya asas “culpa in causa.” Berdasarkan asas ini diberi kewenangan kepada hakim untuk tetap mempertanggungjawabkan si pelaku tindak pidana walaupun ada alasan penghapus pidana, jika si pelaku patut dicela atas terjadinya keadaan yang menjadi alasan penghapus pidana tersebut. Jadi kewenangan hakim untuk memaafkan atau tidak menjatuhkan pidana diimbangi dengan kewenangan untuk tetap memidana sekalipun adanya alasan penghapus atau peniadaan pidana. Asas ini sejalan dengan asas pemberian maaf yang juga dikenal dengan istilah lain, yaitu asas pemaafan hakim yang memberikan kewenangan kepada hakim berdasarkan hikmat kebijaksanaannyan untuk tidak menjatuhkan pidana berdasarkan pertimbangan telah tercapainya tujuan pemidanaan. Selain nilai ketuhanan sebagai penjabaran nilai-nilai Pancasila, maka nilai Kemanusian juga dapat dijadikan dasar bagi perumusan sanksi pidana yang sesuai bagi pelaku gratifikasi seksual. Berdasarkan nilai kemanusiaan, maka penjatuhan pidana tidak dibenarkan merendahkan harkat dan martabat manusia. Selain itu sanksi pidana tidaklah dibenarkan untuk membuat manusia menderita, dengan kata lain kecuali beberapa kebaikan dapat dilihat dengan melakukannya. Asas lain yang merupakan penjabaran dari nilai kemanusiaan adalah asas elastisitas pemidanaan yang diformulasikan dalam pedoman dan aturan pemidanaan bertujuan mempertahankan sisi kemanusiaan terpidana dengan jalan memberikan pedoman kepada hakim agar di dalam menjatuhkan sanksi pidana diupayakan sanksi tersebut merupakan pilihan terbaik untuk terpidana. Nilai kemanusiaan lebih berorientasi kepada perbaikan pelaku gratifikasi seksual, sehingga sanksi pidana yang dijatuhkan diarahkan untuk kepentingan masa depan pelaku gratifikasi seksual agar dapat menjadi manusia seutuhnya yang taat pada hukum. Sanksi pidana hanya boleh dijatuhkan jika mempunyai manfaat bagi pelaku maupun calon pelaku kejahatan. 131 Sanksi pidana bagi pelaku gratifikasi seksual juga ditujukan untuk memperbaiki persepsi pelaku gratifikasi seksual. Anggapan bahwa pelaku gratifikasi seksual sebagai perbuatan yang benar, harus diubah menjadi suatu anggapan bahwa melakukan perbuatan gratifikasi seksual merupakan perbuatan tercela. Selain nilai Kemanusiaan dan nilai kemanusiaan, maka nilai keadilan juga dapat dijadikan dasar dalam merumuskan sanksi pidana yang sesuai bagi pelaku gratifikasi seksual. Keadilan adalah kehendak yang ajeg dan tetap untuk memberikan kepada masing- masing bagiannya. Khusus berkenaan dengan sanksi pidana, mak hal tersebut sejalan dengan model keadilan, yaitu keadilan vindikatif. Keadilan vindikatif adalah keadilan didasarkan kepada kesepadanan antara penjatuhan sanksi pidana dengan perbuatan pidana yang dilakukan. Konsep keadilan demikian dapat dijadikan dasar perumusan sanksi pidana yang sesuai bagi pelaku gratifikasi seksual. Berdasarkan konsep ini, maka sanksi pidana ditujukan memenuhi kepentingan pelaku dan korban sekaligus. Rumusan sanksi pidana dapat menjadi solusi yang terbaik dan dapat diterima serta bermanfaat bagi pelaku, korban dan masyarakat, bangsa dan Negara. Selain itu perumusan sanksi pidana perbuatan gratifikasi seksual sebanding dengan perbuatan yang telah dilakukannya. Tujuan ini tidak mungkin dapat dipenuhi oleh satu jenis sanksi, oleh karenanya perlu beberapa jenis sanksi yang secara sekaligus diancamkan pada perbuatan gratifikasi seksual, yaitu pidana pokok berupa pidana penjara seumur hidup, pidana penjara dalam waktu tertentu, pidana denda. Pidana tambahan ini dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok atau dijatuhkan secara berdiri sendiri tanpa harus dijatuhkan terlebih dahulu pidana pokok. Pidana tambahan yang sesuai dengan perbuatan gratifikasi seksual adalah perampasan barang-barang yang diduga diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi. Sanksi pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu semata-mata untuk melindungi kepentingan Negara dalam rangka mengembalikan kerugian yang dideritanya dengan mendapat 132 jaminan dengan menahan atau merampas harta yang dikuasai oleh terpidana cukup untuk mengembalikan kerugian Negara. Perumusan sanksi pidana tambahan pengumuman putusan hakim, ditujukan untuk menegaskan bahwa perbuatan gratifikasi seksual adalah perbuatan yang melanggar hukum dan menyatakan bahwa terpidana bersalah telah melakukan perbuatan gratifikasi seksual dan telah pula dikenakan sanksi pidana yang sepadan. Tindakan perbaikan akibat tindak pidana ditujukan untuk melindungi kepentingan korban dan masyarakat yang seharusnya menerima manfaat dari keuangan Negara atau perekonomian Negara yang dirampas oleh pelaku kejahatan gratifikasi seksual. 133 BAB IV AKHIR PEMIKIRAN

A. Konstatir

Berdasarkan kajian pada bab-bab sebelumnya, maka penulis mengkonstatir sebagai berikut: 1. Layanan seks dapat dikategorikan sebagai gratifikasi dalam tindak pidana korupsi artinya bahwa k alimat “... dan fasilitas lainnya” memiliki arti yang sangat luas sehingga dapat ditafsirkan secara ektensif sebagai layanan seksual yang disediakan oleh pemberi suap. Namun demikian harus pula memenuhi unsur sesuai Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tersebut yakni “apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya ”. Namun apabila tidak berhubungan dengan jabatannya dan tidak berlawanan dengan kewajibannya, maka tidak dapat dikatakan sebagai gratifikasi. Sehingga yang harus dibuktikan oleh terdakwa, yaitu apakah terdakwa menerima layanan seks? Jika ya, apakah layanan seks tersebut berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban dan tugas-tugasnya. Sistem pembebanan pembuktian yang berlaku dalam hukum acara pembuktian tindak pidana korupsi yakni sistem pembuktian biasa sesuai KUHAP; sistem pembuktian terbalik, beban pembuktian ada pada terdakwa; praduga tak bersalah yakni kewajiban pembebanan pembuktian ada pada Penuntut Umum, sehingga sistem pembuktian pada tindak pidana korupsi adalah sistem pembuktian terbalik yang berimbang; 2. Gratifikasi seksual menggunakan sistem beban pembuktian terbalik sebagai sistem pembuktian yang memungkinkan untuk dipergunakan mengingat sulitnya dalam pembuktian. Sebaiknya adanya regulasi baru yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, sehingga tidak terjadi kekosongan hukum yang menyebabkan kesulitan dalam penerapannya bagi aparat penegak hukum; 3. Korupsi saat ini hanya lebih dikaitkan kepada uang danatau benda berharga lainnya, sehingga perlu adanya perubahan 134 terhadap UU No. 20-2001 adanya regulasi baru yang menyangkut tindak pidana korupsi bagi pihak yang menerima dan memberi gratifikasi seks, sehingga makna gratifikasi dapat diperluas dan disebutkan secara eksplisit mengenai layanan seks sebagai salah satu bentuk gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001; 4. Ketentuan Pasal 12 huruf c UU No. 20-2001, mengenai pelaporan pegawai negeri yang menerima gratifikasi dalam waktu 30 hari kerja untuk menentukan kepemilikan objek gratifikasi apakah milik negara atau milik pegawai negeri penerima gratifikasi tersebut sekaligus sebagai alasan peniadaan penuntutan pidana vervolgingsluitingsgronde, karena telah melaporkan menerima gratifikasi tersebut sangat mengganggu semangat pemberantasan tindak pidana korupsi. Oleh karenanya perlu dipertimbangkan oleh pembuat Undang-Undang, khusus untuk gratifikasi yang berbentuk layanan seks atau penyediaan wanita penghibur tidaklah masuk dalam ketentuan Pasal 12 huruf c UU No. 20-2001 tersebut, karena pada prakteknya sulit dalam pembuktiannya.

B. Saran 1. Guna memberikan kepastian hukum, maka regulasi baru tentang

arti gratifikasi seks sudah selayaknya dimasukkan dalam Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, hal tersebut dimaksudkan agar pelaku penerima dan pemberi gratifikasi seks dapat dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi; 2. Bagi aparat penegak hukum, khususnya catur wangsa hukum sebaiknya banyak memberikan masukan terhadap keberadaan gratifikasi seks dalam praktek, sehingga keberadaan Undang- Undang Tindak Pidana Korupsi dapat menjerat pelaku tindak pidana gratifikasi seks yang pada kenyataannya dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. 135 SENARAI PEMIKIRAN Abdul Ghafur Anshori, 2006, Filsafat Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Adami Chazawi, 2011, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia , Bayu Media, Malang. Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Amir Syamsuddin, 2008, Integritas Penegak Hukum, Hakim, Jaksa, Polisi, dan Pengacara , Kompas, Jakarta. Alfitra, 2012, Hukum Pembuktian, Raih Asa Sukses. Anthon Freddy Susanto, 2005, Semiotika Hukum, Bandung. Arief Sidharta,1989, Filsafat Hukum Madzab dan Refleksinya, Remaja Karya, Bandung. Bambang Sutiyoso, 2006, Metode Pemuan Hukum, UII Press, Yogyakarta. Bernard Arief Sidharta, 1999, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung. Donald Black, 1976, The Behaviour of Law, Academic Press Inc, New York. Doni Muhardiasyah, 2010, Buku Saku Memahami Gratifikasi, KPK, Jakarta. Denis Lloyd, 1964, The Idea of Law, Penguin Books, Harmondsworth. Eddy OS Hiariej, 2008, Menyelamatkan Uang Negara Kajian Akademik Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006, Pusat kajian Anti Korupsi Fakuiltas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Galang Asmara, 2005, Ombudsman Nasional Dalam Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia, LaskBang Pressindo, Yogyakarta. Geoffrey Sawer, 1973, Law In Sociaety, Clarendon Press, Oxford. Gunawan Setiardja, 1990, Dialektika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Kanisius, Yogyakarta. Hans Kelsen, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Nusamedia Nuansa, Bandung. H.L.A. Hart, The Consept of Law, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Henry Campbell Black, 1990, Black‟s Law Dictionary, West Publishing Co. St. Paul. Minn. Herbert L. Packer, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, California. 136 Immanuel Kant, 2003, Groundwork of the Metaphysic of Moral 1785 sebagaimana dikutip dari H.B. Acton, Kant‟s Moral Philosophy, Macmillan and Co Ltd. 1970, versi Indonesia: Dasar-dasar Filsafat Moral: Elaborasi Terhadap Pemikiran Etika Immanuel Kant , diterjemahkan oleh Muhamad Hardani, Pustaka Eureka, Surabaya. Indriyanto Seno Adji, 2007, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, Diadit Media, Jakarta. Ismu Gunadi, 2002, Perlindungan Hukum Dalam Kaitannya Penggunaan Wewenang Diskresi Penyidik Berkenaan dengan Alat Bukti berupa Keterangan Akhli Dalam Tindak Pidana Pornografi, Disertasi, Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya. John Rawls, A Theory Of Justice, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media, Malang. Khudzaifah Dimyati Teirisasi Ilmu Hukum, Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1950, Muhammadyah University Press, Surakarta. Komariah Emong Sapardjaja, 2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana di Indonesia . Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal System: A Social Science Perspective , Russel Sage Foundation, New York. Larry J Siegel, Criminology, West Publishing Company, New York. Lili Rasjidi, 1988, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu?, Remaja Karya, Bandung. Martiman Prodjohamidjojo, 2002, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi , Mandar Maju, Bandung. Mien Rukmini, 2003, Perlindungan Ham Melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan Asas Kebersamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung. Mochtar Kusumaatmadja, Tidak Bertahun, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional , Lembaga Penelitian Hukum dan kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung. _______________________, 1976, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Suatu Uraian tentang landsan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaruan Hukum di Indonesia, Binacipta, Bandung. _______________________ Bernard Arief Shidarta, 2000, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Bandung. Muladi-Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung. Paul Scholten, 2003, Struktur Ilmu Hukum, Bandung. 137 Philipus M Hadjon, 1998, Pancasila Sebagai Dasar Negara dan Hukum Tata Negara , Makalah yang disampaikan dalam seminar sehari tentang Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka, di FH Unair Surabaya. _________________, 2005, Perlindungan Hukuim Bagi Rakyat Indonesia, Peradaban, Surabaya. Philippe Nonet Philip Selznick, 1978, Law and Society in Transition: Toward Responsible Law, Harper Row Publisher, New York. Priyono H, 1993, Teori Keadilan Rawls, dalam: Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan , Tim Redaksi Driyarkara ed, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Robert A. Dahl, 1985, Dilema Demokrasi Pluralis, Rajawali, Jakarta. Robert Klitgaard, 2002, Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintah Daerah , Jakarta. Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum dari Pembuat Pidana, Aksara Baru, Jakarta. Roeslan Saleh, 1983, Hukum Pidana Sebagai Konfrontasi Manusia dan Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta. Romli Atmasasmita, 2004, Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Aspek Internasional , Mandar Maju, Bandung. Roni Wijayanto, 2012, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, Mandar Madju, Bandung. Roscoe Pound, 1997, Social Control Through Law, Transaction Publisher, London. Soepomo, R, 1982, Hukum, Bab-bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita Jakarta. Soetandyo Wignjosoebroto, 2008, Hukum dalam Masyarakat, Perkembangan dan Masalah , Bayu Media, Malang. Sofyan Lubis, M Haryanto,M, 2008, Pelanggaran Miranda Rule Dalam Praktik Peradilan di Indonesia, Juxtapose, Bantul Yogyakarta. Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali, Jakarta. Satijpto Rahardjo, 1981, Hukum Dalam Perspektif Sosial, Alumni, Bandung. Subekti, 1994, Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam KUHAP, Pustaka Kartini, Jakarta. Walter Laquer Barry Rubin, 1979, The Human Rights Reader, New American Library, New York. Widodo Eka Tjahjana, 2008, Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, Dasar-dasar Tehnik Penyusunan, Citra Aditya Bakti, Bandung. 138 Yeheskiel Dror, 1970, Law as a Tool of Directed Social Change, A Framework for Policy-Making , Sage Publications, London. 139 CATATAN F 140 LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945; b. bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi; c. bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena itu perlu diganti dengan Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c perlu dibentuk Undang-undang yang baru tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 20 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XIMPR1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI 141

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. 2. Pegawai Negeri adalah meliputi: a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepegawaian; b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang- undang Hukum Pidana; c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan e. dari keuangan negara atau daerah; atau f. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan g. modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat. 3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.

BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI