iii
S E NA R A I I SI
PRAKATA
i
KATA PENGANTAR
ii
SENARAI ISI
iii
BAB I AWAL PEMIKIRAN A. Tindak Pidana Korupsi Dan Perkembangan Hukum Pidana
Di Indonesia
1
B. Norma-Norma Materil Dan Hukum Pidana
13
C. Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana
14
D. Kenisbian Undang-Undang
14
E. Sifat Melawan Hukum Sebagai Unsur
16
F. Yurisprudensi
17
G. Penafsiran Terhadap Arti Sifat Melawan Hukum
19
BAB II PENGURAIAN PUSTAKA TERPERINCI
A. Tindak Pidana Korupsi Dan Gratifikasi
21
1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
21
2. Pengertian Gratifikasi Seksual
31
3. Pengertian Sistem Pembuktian
33 B.
Layanan Seks Sebagai Korupsi Pasif
37
C. Penegak Hukum Dan Gratifikasi Pasif
43
D. Pembuktian Gratifikasi Seksual Dalam Tindak Pidana Ko- rupsi
48
1. Landasan Formil Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
48
2. Hukum Positif yang Pernah Berlaku
49
3. Intisari Undang-undang Korupsi
55
E. Sistem Pembuktian Gratifikasi Seksual Sebagai Korupsi Pasif
56
F. Gratifikasi Seksual Dalam Perspektif Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
74
BAB III ALUR KONSEPTUAL
A. Dasar Normatif Perumusan Tindak Pidana Gratifikasi Sek- sual
76
1. Formulasi Norma Perbuatan Tindak Pidana Gratifikasi Seksual
76
2. Perumusan Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Gratifi- kasi Seksual dalam Rangka Pembaruan Tindak Pidana di
Indonesia
116
3. Konsep Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Gratifikasi Seksual
118
B. Kebijakan Perumusan Sanksi Tindak Pidana Pelaku Gratifi- kasi Seksual Dalam Rangka Pembaruan Tindak Pidana Ko-
rupsi Di Indonesia
123
C. Sanksi Pidana Tindak Pidana Pelaku Gratifikasi Seksual
124
iv
BAB IV AKHIR PEMIKIRAN A. Konstatir
133
B. Saran
134
SENARAI PEMIKIRAN
135
LAMPIRAN 1
140
LAMPIRAN 2
166
1
BAB I AWAL PEMIKIRAN
A. Tindak Pidana Korupsi Dan Perkembangan Hukum Pidana Di Indonesia
Tindak pidana korupsi merupakan penyakit masyarakat yang penanganannya diperlukan secara luar biasa. Tindak pidana korupsi
juga sangat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, sehingga menghambat pembangunan nasional. Hal ini harus
diberantas secara tuntas dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UUD NRI 1945.
Masalah utama yang dihadapi yaitu meningkatnya modus dan bentuk korupsi tersebut seiring dengan kemajuan kemakmuran dan
teknologi. Pengalaman memperlihatkan semakin maju pembangunan suatu bangsa semakin meningkat juga kebutuhan mendorong orang
untuk melakukan korupsi.
Istilah korupsi berasal dari suatu kata dalam Bahasa Latin yakni corruptio atau corruptus yang disalin ke berbagai bahasa.
Misalnya disalin ke dalam Bahasa Inggris menjadi corruption atau corrupt,
dalam Bahasa Prancis menjadi corruption dan dalam Bahasa Belanda disalin menjadi istilah coruptie. Sepertinya dari Bahasa
Belanda itulah lahir kata korupsi dalam Bahasa Indonesia.
1
Tindak pidana korupsi telah terjadi pada semua bidang tata pemerintahan, baik itu eksekutif, legislatif dan yudikatif dikenal
dengan korupsi birokratis secara luas yakni korupsi dilakukan orang yang memegang kekuasaan kelembagaan negara, baik eksekutif,
legislatif, maupun yudikatif.
2
Bahkan tidak mustahil pada tahun berikutnya jumlah tersebut semakin meningkat. Disinyalir tidak
sedikit yang tergolong catur wangsa hukum seperti Polisi, Jaksa, Hakim dan Pengacara tersangkut tindak pidana korupsi di semua
tingkat peradilan. Hal demikian memperlihatkan integritas rendah
1
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayu Media, 2011, hal. 1.
2
Amir Syamsuddin, Integritas Penegak Hukum, Hakim, Jaksa, Polisi, dan Pengacara
, Kompas, Jakarta, 2008, hal. 135.
2
dan kemampuan terbatas menyebabkan banyak putusan pengadilan dalam kasus korupsi yang tidak mencerminkan rasa keadilan
masyarakat. Berdasarkan pengalaman empiris selama ini terlihat bahwa di dalam penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan
tindak pidana korupsi memerlukan dukungan dan wewenang yang bersifat luar biasa, profesional dan biaya besar, serta tersedianya
waktu untuk penyelidikan dan penyidikan yang cukup.
Upaya keras pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia diwujudkan dengan cara dibuatnya regulasi
mengenai pemberantasan korupsi. Pada Pemerintahan Orde Lama berlaku Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang
Nomor 24Prp1960,
kemudian pada
Pemerintahan Orde Baru berlaku Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU No. 3-1971.
Kini di era Reformasi berlaku Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi UU No. 31-1999 yang kemudian diubah dengan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU No. 20-2001, namun
dengan berlakunya undang-undang tersebut ternyata masih belum mampu mengatasi permasalahan korupsi yang begitu menggurita
dan yang modusnya terus berkembang.
Bentuk subjek hukum dalam tindak pidana yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi adalah manusia alamiah yang dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan yang dilakukan, baik kesengajaan atau kealpaan. Sedangkan unsur
objektif yang diatur adalah: a. Menjanjikan untuk memberikan hadiah
1. Kepada pegawai negeri atau pegawai negeri itu telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan
dengan kewajibannya; 2. Atau kepada hakim, advokat, saksi ahli agar mempengaruhi
putusan atau nasihat dan pertimbangan dan khusus dalam peradilan pidana diperberat sanksinya;
b. Melarang pengawai negeri untuk
3
1. Menggelapkan uang, surat berharga, memberikan dan menolong terjadinya perbuatan itu;
2. Memalsukan menggelapkan, menghancurkan, merusakkan atau membikin tidak dapat dipakai barang-barang, akta-akta,
surat-surat, buku-buku atau daftar-daftar yang khusus yang dikuasainya
karena jabatannya,
membuka, menolong
terjadinya perbuatan tersebut; 3. Menerima hadiah atau janji agar menyalahgunakan atau
sebagai upah setelah melakukan perbuatan tersebut; c. Melarang hakim atau advokat, saksi ahli untuk menerima hadiah
atau janji yang diajukan untuk mempengaruhi putusannya dan mempengaruhi nasihat serta pertimbangan advokat, saksi ahli.
Dalam perkara pidana diperberat sanksinya.
d. Melarang perbuatan untuk menyalahgunakan jabatan untuk 1. Memaksa orang untuk memberikan, membayar atau menerima
pembayaran, mengerjakan sesuatu untuk kepentingan pejabat; 2. Ikut melakukan suatu pekerjaan yang seharusnya diawasinya
agar menguntungkan pejabat itu sendiri atau orang lain; e. Melakukan kejahatan dan pelanggaran atau melawan hukum
1. Melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran; 2. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan;
3. Secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan
Negara atau perekonomian Negara atau Daerah; 4. Merugikan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan
negara atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran masyarakat;
f. Melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran dengan 1. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau badan
2. Secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara atau Daerah;
3. Merugikan suatu badan hukum lain yang mempergunakan modal atau kelonggaran dari negara atau masyarakat;
g. Memberi hadiah atau janji kepada seseorang yang mendapatkan gajiupah dari keuangan NegaraDaerah atau dari suatu badan
yang menerima bantuan dari keuangan NegaraDaerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran
dari negara atau masyarakat
.
4
Pada Pemerintahan Orde Baru hanya terdapat satu undang- undang yang mengatur tentang tindak pidana korupsi, yaitu UU No.
3-1971. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka subjek hukum yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya adalah manusia
alamiah dan bagian tertentu adalah pejabat sebagai salah satu jenis manusia alamiah. Unsur objektif yang dilarang adalah :
1. dengan melawan hukum menyalahgunakan jabatan melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri menguntungkan atau orang lain, atau suatu badan;
2. yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
3. atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara;
4. memberi hadiah kepada pejabat agar menyalahgunakan kewenangannya;
5. melakukan kejahatan yang diatur di dalam beberapa pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP;
6. pejabat yang tidak melporkan pemberian; 7. melakukan percobaan, permufakatan;
8. kewajiban orang yang mempunyai hubungannya dengan pejabat
untuk memberikan keterangan seluruh harta kekayaannya. UU No. 31-1999 Jo UU No. 20-2001 telah mengatur berbagai
ketentuan khusus diantaranya adalah sanksi pidana dan ketentuan hukum acara pidana. Sanksi yang berbeda dengan Undang-Undang
sebelumnya, dalam proses penerapan hukum diharapkan dapat memberikan peranan positif untuk mencegah dan memberantas
tindak pidana korupsi. Sanksi pidana memiliki peranan penting dalam menciptakan kepatuhan hukum.
Tirtaamidjaja menyatakan bahwa untuk menciptakan agar anggota masyarakat mematuhi hukum, maka diperlukan sanksi
hukum. Sanksi hukum itu pula menurut Charles, dimaksudkan agar peraturan tersebut ditaati anggota masyarakat. Sanksi ini kemudian
dipertahankan pemerintah untuk menjadikan anggota masyarakat mematuhi sebagaimana dikehendaki oleh peraturan perundang-
undangan.
Perkembangan pengaturan sanksi dalam perundang-undangan tersebut perlu dikaji untuk mengetahui konsistensi maupun visi
5
pembuat Undang-Undang dalam mengatur sanksi dalam pembuatan perundang-undangan.
Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan sejak diundangkannya UU No. 20-2001 telah mengalami perubahan, baik
dari aspek pelaku tindak pidana dan bentuk sanksi pidananya. Karakteristik sanksi pidana tidak hanya pada UU No. 20-2001,
namun juga pada perundang-undangan lainnya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, telah mengatur tiga sanksi hukum sekaligus, yakni sanksi administratif, perdata dan pidana. Sanksi
pidana pada prinsipnya dijatuhkan sebagai ultimum remedium dengan pengecualian pada keadaan tertentu.
Di dalam UU No. 20-2001, pengaturan sanksi mengalami perkembangan yang sangat dinamis, jika dibandingkan dengan
ketentuan sanksi pidana yang tertera dalam KUHP. Sanksi pidana yang tercantum dalam KUHP hanya dikenal dengan sanksi pidana
tunggal atau utama atau sanksi pidana alternatif terhadap penjatuhan pidana pokok.
Hal ini ditandai dengan kata atau dan batas minimum sanksi pidana penjara dalam KUHP secara umum adalah satu hari dan
paling lama seumur hidup. Sanksi hukum dalam UU No. 20-2001 memiliki ciri khusus yang berbeda dengan sanksi dalam KUHP
KUHP.
Keizer dan Sitorus mengemukakan bahwa
1. Seseorang tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut ketentuan Undang-Undang;
2. Tidak ada penerapan Undang-Undang pidana berdasarkan analogi;
3. Seseorang tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan; 4. Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas;
5. Tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana; 6. Tidak ada pidana lain, kecuali yang ditentukan oleh Undang-
Undang; 7. Penuntutan pidana hanya boleh dilakukan menurut cara yang
ditentukan Undang-Undang. Pada masa Reformasi ketentuan tindak pidana korupsi terdapat
perkembangan subjek hukum dari manusia alamiah kemudian
6
menjadi korporasi. Perkembangan yang sama juga dapat ditemukan pada bentuk pertanggungjawaban yang didasarkan pada kesalahan,
maka diperkenalkan bentuk pertanggungjawaban baru berkenaan dengan korporasi. Selain dari unsur objektif yang dilarang dalam dua
ketentuan pada masa Reformasi ini mengalami perkembangan, yaitu dijadikannya gratifikasi sebagai salah satu tindak pidana korupsi,
selain itu unsur objektif yang dilarang adalah 1. Melakukan perbuatan melawan hukum menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan, sarana yang ada padanya; 2. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
3. Yang dapat merugikan keuangan negara danatau perekonomian Negara;
4. Mengambil alih rumusan Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419,
Pasal 420, Pasal 425, atau Pasal 435 KUHP; 5. Merintangi proses peradilan tindak pidana korupsi;
6. Ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12, rumusannya diubah dengan tidak mengacu Pasal-
Pasal dalam KUHP, tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing Pasal KUHP yang diacu;
7. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya;
8. Tidak melaporkan gratifikasi. Selain Komisi Pemberantasan Korupsi KPK yang terbentuk di
tahun 2003, juga terdapat 6 Enam lembaga pemberantasan korupsi yang pernah dan telah dibentuk di negara ini yakni:
1. Operasi Militer 1957, 2. Tim Pemberantasan Korupsi 1967,
3. Operasi Tertib 1977, 4. Tim Optimalisasi Penerimaan Negara dari sektor pajak 1987,
5. Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi TKPTPK
pada tahun 1999, dan 6. Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Timtas Tipikor pada
tahun 2005.
7
Sebenarnya usaha-usaha untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi telah dilakukan sejak lama, beberapa
kebijakan pemberantasan tindak pidana korupsi upaya baik yang bersifat preventif maupun represif. Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain
itu dikeluarkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Selain beberapa regulasi tersebut diatas, juga telah dibentuk berbagai Tim dan Komisi, seperti Tim Pemberantasan Korupsi pada
tahun 1967 diketuai oleh Jaksa Agung Sugiarto, Komisi 4 Tahun 1970 diketuai Wilopo, Komite Anti Korupsi diketuai Akbar Tanjung,
Operasi Penertiban Inpres Nomor 9 b Tahun 1977 beranggotakan Menpan, Pangkopkamtib, dan Jaksa Agung dibantu Pejabat Daerah
dan Kapolri, Tim Pemberantasan Korupsi tahun 1982 dipimpin MA Mudjono, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 diketuai Adi Handojo dan terakhir Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara
yang diketuai oleh Yusuf Syakir, yang semuanya dimaksudkan untuk mendukung institusi penegak hukum dalam pemberantasan
korupsi.
Upaya pemerintah Republik Indonesia dalam memberantas tindak pidana korupsi di Indonesia, yakni dibentuknya KPK yang
memiliki wewenang penyelidikan, penyidikan, penuntutan sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia UU No. 16-2004 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UU No. 30-2002.
Di Pasal 11 UU No. 30-2002, dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, KPK berwenang
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang:
8
a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara Negara;
b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakaat; danatau c. Menyangkut kerugian Negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00
Satu Miliar Rupiah. Kebijakan-kebijakan dan lembaga pemberantasan korupsi yang
telah ada tersebut ternyata tidak cukup membawa Indonesia menjadi negara yang bersih dari korupsi. Berdasarkan kondisi dimana
Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia tentunya ada beberapa hal yang kurang tepat dalam pelaksanaan kebijakan atau
kinerja dari lembaga pemberantasan korupsi tersebut.
Peraturan Hukum Pidana Khusus biasanya bersifat sementara, karena untuk membantu mengatasi kesulitan yang terjadi pada suatu
waktu tertentu, dan bila telah tercapai equilibrium dalam masyarakat, peraturan tersebut dihapuskan lagi. Salah satu tindak pidana di luar
KUHP atau tindak pidana khusus ini, yaitu tindak pidana korupsi diatur dengan UU No. 3-1971 Jo UU No. 31-1999 yang kemudian
diubah dengan dibuatnya UU No. 20-2001.
Selain itu rumusan tindak pidana korupsi yang diatur oleh UU No. 31-1999 cukup banyak memberikan kategori perbuatan korupsi,
dan paling tidak terdapat 30 jenis perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi, antara lain:
1. Kerugian Negara Pasal 2 dan Pasal 3; 2. Suap-menyuap Pasal 5 Ayat 1 huruf a, huruf b dan Ayat 2;
3. Penggelapan dalam jabatan Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a,
huruf b, dan huruf c; 4. Pemerasan Pasal 12 huruf e, huruf g, dan huruf h;
5. Perbuatan curang Pasal 7 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d dan Ayat 2;
6. Pasal 12 huruf h; 7. Benturan kepentingan pengadaan Pasal 12 huruf l;
8. Gratifikasi Pasal 12 huruf b Jo Pasal 12 huruf c; 9. Tindak pidana lainnya yang berhubungan dengan korupsi
mencegah, menghalang-halangi penyidikan tindak pidana
9
korupsi antara lain Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 31, Pasal 35, Pasal 36.
Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi telah menjadi amanat Bangsa Indonesia yang telah dituangkan dalam Ketetapan
MPR RI Nomor XIMPR1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
– yang diwujudkan dalam UU No. 31-1999. Kendala utama yang dihadapi
selama penerapan UU No. 31-1999 dalam penanganan tindak pidana korupsi yaitu kurangnya dukungan anggaran, sumber daya manusia
yang masih belum memadai dan hambatan-hambatan penyidikan terhadap pejabat-pejabat negara, sulitnya menembus rahasia bank,
hukum acara pidana yang tidak efektif dan efisien, serta rendahnya dukungan semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat
sendiri. Menurut pendapat M. Jasin, tidak berjalannya program- program pemberantasan korupsi di Indonesia selama ini lebih
banyak dikarenakan: 1. Dasar hukum untuk melaksanakan tugas dan fungsi dalam
pemberantasan korupsi tidak kuat, 2. Program pemberantasan korupsi tidak dilakukan secara sistematis
dan terintegrasi, 3. Sebagian lembaga yang dibentuk tidak memiliki mandat atau
tidak melakukan program pencegahan, sementara penindakan tindak pidana korupsi dilaksanakan secara sporadis, sehingga
tidak menyurutkan pelaku korupsi lain dalam melakukan pelanggaran yang sama,
4. Masyarakat mempunyai persepsi bahwa lembaga anti korupsi yang dibentuk berafiliasi kepada golongan atau partai tertentu
sehingga masyarakat tidak mempercayai keberhasilan lembaga tersebut dalam memberantas korupsi,
5. Tidak mempunyai sistem sumber daya manusia yang baik, sistem rekrutmennya tidak transparan, program pendidikan dan
pelatihan tidak dirancang untuk meningkatkan profesionalisme pegawai dalam bekerja, sehingga sumber daya manusia pada
lembaga tersebut tidak memiliki kompetensi cukup melaksanakan tugas pemberantasan korupsi,
6. Tidak didukung sistem manajemen keuangan yang transparan dan akuntabel. Sistem penggajian pegawai yang tidak memadai,
10
mekanisme pengeluaran anggaran yang tidak efisien dan pengawasan penggunaan anggaran yang lemah,
7. Lembaga dimaksud menjalankan tugas dengan benar hanya pada tahun pertama dan kedua, maka setelah itu menjadi lembaga
pemberantas korupsi yang korup dan akhirnya dibubarkan. Dibentuknya KPK pada tahun 2003 dengan lingkup tugas dan
fungsi meliputi koordinasi, supervisi, penindakan, pencegahan, monitoring berdasarkan UU No. 30-2002, berusaha untuk tidak
mengulang kegagalan lembaga-lembaga sebelumnya. Sesuai dengan ketentuan Pasal 43 UU No. 31-1999 sebagaimana telah diubah dengan
UU No. 20-2001 perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi. Pasal 43 UU No. 31-1999 menentukan: 1. Dalam waktu paling lambat 2 dua tahun sejak Undang-Undang
Ini mulai berlaku, dibentuk Komisi pemberantasan Tindak Pidana korupsi;
2. Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3. Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur masyarakat;
4. Ketentuan mengenai pembentukan, susunan, organisasi, tata kerja, pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta
keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 diatur dengan Undang-Undang.
Reformasi mengandung arti perubahan untuk perbaikan, maka di dalam era Reformasi perlu penegakan supremasi hukum pada
segala aspek kehidupan, termasuk juga perbaikan kinerja lembaga hukum dan aparat penegak hukum. Dalam rangka menangani dan
memberantas korupsi yang masif dan sistematis dalam kehidupan Bangsa Indonesia, serta untuk lebih menjamin kepastian hukum,
menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial ekonomi masyarakat serta
perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi maka pemerintah Indonesia memandang perlu adanya perubahan
UU No. 31-1999 dirasakan belum memadai untuk pemberantasan
11
korupsi yang bersifat luar biasa sehingga perlu diamanatkan dalam Ketetapan MPR RI Nomor VIIIMPR2001 tentang Rekomendasi
Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan diwujudkan dalam UU No. 20-2001. Perubahan atas
UU No. 31-1999 yaitu
Pertama :
“Pada rumusan penjelasan Pasal 2 UU No. 31-1999, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12, rumusan pasal-pasal
tersebut tidak mengacu pada pasal-pasal dalam KUHP tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal
KUHP
”;
Kedua :
“Pada UU No. 20-2001, mencantumkan ketentuan mengenai gratifikasi dalam Sistem Pembuktian Terbalik Omkering Vanhet Bewijslast yang
terdapat dalam Pasal 12 huruf b dan Pasal 12 huruf c ”;
Ketiga :
“UU No. 20-2001 juga memberikan kewenangan untuk melakukan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak
pidana. Hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 38 huruf b Ayat 2 UU No. 20-2001 bahwa dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bawa harta
benda sebagaiman dimaksud dalam ayat 1 diperoleh bukan bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari
tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara
”.
Pelaporan gratifikasi meliputi pelaporan terhadap pemberian dalam arti luas yaitu meliputi pemberian uang, barang, rabat,
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang
diterima di dalam maupun luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Bahkan baru-baru ini layanan seksual yang disediakan pihak-pihak tertentu terhadap pejabat publik terkait dengan jabatannya dapat
diartikan sebagai gratifikasi.
Pelaporan ini juga mengandung delik sistem pembalikan beban pembuktian yaitu beban pembuktian berada pada terdakwa dan
proses pembuktian ini hanya berlaku saat pemeriksaan di sidang pengadilan. Penerapan sistem pembalikan beban pembuktian dalam
pelaporan gratifikasi dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi telah diterapkan di Malaysia dan Singapura. Dengan adanya
penerapan delik sistem pembalikan beban pembuktian pada pelaporan gratifikasi dalam UU No. 20-2001, diharapkan pencegahan
12
terhadap tindak pidana korupsi akan lebih optimal dan efektif, setidak-tidaknya dapat mengurangi praktek korupsi yang selama ini
telah terjadi.
Dalam perkembangannya, gratifikasi tidak hanya meliputi suap berupa materi namun merambah pada layanan seksual yang
disediakan oleh pihak penyuap dan menyebabkan penyalahgunaan wewenang pejabat publik
atau pegawai
negeri sehingga menimbulkan kerugian negara. Menurut Bahtiar Ali, saat ini ada
model baru gratifikasi, bukan hanya berupa materi tapi pelayanan plus-plus atau pemberian Pekerja Seks Komersial PSK.
Pemberian gratifikasi itu sudah jelas diatur, tapi soal seks itu tidak disebutkan secara jelas, sehingga menyulitkan penegak hukum
dalam melakukan pembuktian. Oleh karena itu suap seks ini merupakan gratifikasi gaya baru yang sulit dalam pembuktiannya.
Namun demikian ketentuan Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999, menyiratkan
“fasilitas lainnya” sebagai bentuk gratifikasi. Namun diperlukan interpretasi ilmiah terhadap pasal tersebut sehingga dapat digunakan
oleh aparat penegak hukum dalam menjerat para koruptor yang merugikan keuangan negara danatau keuangan negara.
Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001, yaitu 1. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara
Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajibannya atau
tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 Sepuluh Juta Rupiah atau
lebih, pembuktian bahwa grafitasi tersebut bukan merupakan uang suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 Sepuluh Juta Rupiah, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan
oleh Penuntut Umum. Penyelenggara
Negara adalah
Pejabat Negara
yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat
lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku. Penyelenggara Negara menurut ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Republik Nomor 28 Tahun 1999 tentang
13
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme UU No. 28-1999 meliputi
1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara; 2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
3. Menteri; 4. Gubernur;
5. Hakim; 6. Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; dan 7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya
dengan penyelenggaraan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pembuktian dalam tindak pidana korupsi bisa menggunakan asas pembuktian terbalik dan menggunakan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana KUHAP, namun pada hal-hal tertentu diperlukan hukum acara khusus yang telah diatur dalam UU No. 20-
2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Namun demikian diperlukan kajian mendalam mengingat seks atau
layanan seks dalam praktek sangat sulit dalam pembuktiannya.
B . Norma-Norma Materil Dan Hukum Pidana
Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa selain oleh hukum
– kehidupan manusia dalam masyarakat dipedominya moral manusia itu sendiri, diatur oleh agama, oleh kaidah-kaidah susila,
kesopanan, adat kebiasaan dan kaidah-kaidah sosial lainnya.
3
Kaidah-kaidah dapat menjadi tuntutan orang untuk berperilaku, atau menjadi norma-norma berperilaku. Sebagai norma biasanya tidak
dengan sengaja dibuat oleh pembuat norma, akan tetapi berkembang sendiri dalam hidup manusia dari generasi ke generasi. Kaidah-
kaidah moral, agama, susila, kesopanan, adat kebiasaan dan sosial yang selanjutnya menjadi norma perilaku tersebut, ada yang
dikukuhkan menjadi bagian dari hukum perdata, hukum administrasi atau hukum pidana.
4 3
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional
, Lembaga Penelitian Hukum dan kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, tidak bertahun, hal. 3.
4
Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana di Indonesia
, 2002, hal. 2.
14
Negaralah yang menetapkan norma-norma perilaku mana yang akan dikukuhkan menjadi kaedah hukum dengan mengingat
kepentingan-kepentingan yang perlu dilindungi, terutama dari intervensi pihak lain dan tidak semua kepentingan dapat dilayani
oleh hukum, karena kepentingan setiap orang berbeda dan bahkan dapat juga saling bertentangan, lagi pula tidak setiap kepentingan
patut dihormati. Banyak aturan yang diundangkan kurang berhasil. Aturan-aturan itu tidak akan didukung apabila bertentangan dengan
aturan-aturan yang masih dianut dalam masyarakat, sekalipun tidak diundangkan.
Hukum pidana sebagai codex, dan karenanya sifatnya sebagai codex
jauh dari sempurna. Oleh karena itu hakim sering mencari keadilan dalam nilai-nilai masyarakat dan yang sangat mencolok
dalam hukum pidana adalah penegakan norma-normanya, karena penegakan hukum pidana sesungguhnya banyak ditentukan oleh
asas legalitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 KUHP.
C. Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana
Asas “Nullum Delictum Noella Poena Praevia Sine Lege Poenali“ yang pada intinya tidak dapat dipidananya seseorang tanpa pelaku
tindak pidana. Asas ini mengandung asas perlindungan yang secara historis terhadap kesewenang-wenangan.
Dalam perkembangannya dewasa ini justru asas legalitas ini cenderung dipergunakan sebagai legitimasi intervensi Negara secara
sah berdasarkan undang-undang. Dalam kerangka pelayanan hukum dari hukum pidana, legitimasi diperlukan karena merupakan garansi
bagi pelaksanaan kekuasaan negara. Akan tetapi pelaksanaan kekuasaan Negara dengan adanya asas legalitas ini harus diartikan
sebagai memberikan kepastian hukum, bukan sebagai kepastian undang-undang. Karena itu juga tugas kepolisian dan peradilan
bukanlah untuk menegakkan Undang-Undang namun penegakan hukum.
D. Kenisbian Undang-Undang
Hukum pidana adalah hukum undang-undang, demikian selalu dikatakan orang. Pengaruh kodifikasi dan sifat mengagungkan
undang-undang tampak dianutnya ajaran sifat melawan hukum
15
formal, yaitu suatu tindak pidana telah terjadi apabila telah terpenuhi unsur-unsur yang termuat dalam lukisan delik danatau disertai
akibat-akibatnya. Dengan perkataan lain, pengertian melawan hukum adalah sama dengan bertentangan undang-undang. Tidak
ada alasan yang dapat menghapuskan sifat melawan hukum ini, kecuali ditentukan pula oleh undang-undang. Kepastian hukum
yang hendak dijamin oleh Undang-Undang pidana, seperti Pasal 1 Ayat 1 KUHP tidaklah memberikan juga keadilan sepenuhnya.
Menurut Hans Kelsen dengan teori murni tentang hukum reine rechtslehre
dengan dengan teori hukumnya bahwa: a. Ilmu hukum adalah suatu pemahaman normologis tentang makna
hukum positif, walaupun hukum semata-mata hanya mempelajari norma-norma. Ilmu hukum adalah ilmu kognitif yang murni
tentang hukum, yang hanya mempelajari hukum positif. Oleh karena itu, ilmu hukum tidak mempermasalahkan delege ferenda,
teori tentang alasan-alasan bagi hukum dan baik buruknya isi hukum positif;
b. Teori hukum adalah teori umum tentang hukum positif yang mempergunakan metode pemahaman yuristik yang khas secara
murni. Metode yuristik adalah suatu cara untuk memandang hukum sebagai penentuan normatif dari pertanggungjawaban
yang digambarkan dengan skema umum perkaitan normatif antara kondisi-kondisi dan konsekuensi-konsekuensi dari perilaku
yang benar dan yang salah. Metode yuristik yang demikian dapat menjamin suatu pandangan yang utuh tentang objek studinya.
Metode yuristik ini harus bebas dari percampuran dengan pendekatan-pendekatan psikologis, sosiologi, politikologis, dan
etis
konsekuensi dari
penolakan terhadap
sinkretisme metodologis.
5.
Dalam hukum pidan a, adagium “Nullum Delictum
Noella Poena Sine Paraevia Legi Poenali “ menjadi asas hukum yang
menjamin kebebasan individu dari kesewenang-wenangan penguasa dan dikukuhkan dalam Buku I KUHP.
Perumusan delik kesalahan dan melawan hukum adalah syarat umum dapat dipidananya seseorang, dan bahkan dalam definisi
klasik mengenai tindak pidana, diakui sebagai syarat umum bagi
5
Arief Sidharta, Filsafat Hukum Madzab dan Refleksinya, Remaja Karya, Bandung, 1989, hal. 59.
16
terjadinya tindak pidana. Padahal dalam penerapannya, tegasnya dalam kasus konkret, pelanggaran terhadap norma-norma hukum
pidana yang dilakukan seseorang, yang harus dibuktikan oleh seorang penuntut umum adalah unsur-unsur dalam perumusan
tindak pidana yang dituduhkan.
E. Sifat Melawan Hukum Sebagai Unsur
Para legislator karena alasan teknik perundang-undangan, sering kehabisan kata-kata untuk dapat melukiskan gambaran secara
umum, singkat tetapi jelas, tingkah laku atau keadaan-keadaan yang dimaksudkan dengan tindak pidana. Penetapan bahwa dalam isi
rumusan tindak pidana mengharuskan adanya sifat melawan hukum atau dapat dicelanya perbuatan itu, tidak selalu dipenuhi dan
karenanya juga tidak selalu dicantumkan, tetapi sebagai tetap ada. Keberadaan terlihat dari kelakuan-kelakuan tertentu, keadaan-
keadaan tertentu, atau akibat-akibat tertentu yang dilarang atau yang diharuskan.
Ajaran sifat melawan hukum yang formal mengatakan bahwa apabila suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur dalam
rumusan tindak pidana, maka perbuatan tersebut adalah tindak pidana atau perbuatan yang dapat dikenakan pidana. Suatu
perbuatan dapat dikenakan pidana apabila telah memenuhi empat anasir pidana, yaitu:
1. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dapat dikenakan
pidana; 2. Perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan oleh pelaku
tindak pidana; 3. Perbuatan itu berupa kejahatan atau kealpaan;
4. Tiada alasan pemaaf atau pembenar. Jika ada alasan-alasan pembenar atau pemaaf, maka alasan-
alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang- undang. Ajaran sifat melawan hukum yang materil mengatakan
mengatakan bahwa disamping memenuhi syarat-syarat formal, yaitu memenuhi semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik, maka
perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. Karena itu pula ajaran ini
mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang. Dengan
17
perkataan lain bahwa alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis. Konsekuensi pencantuman unsur-unsur dalam
rumusan delik menyebabkan juga beban pembuktian bagi Jaksa Penuntut Umum, sebab dengan menuduhkan pasal tertentu tersebut
mewajibkan Jaksa Penuntut Umum untuk memuat unsur-unsur tindak pidana dalam surat dakwaan dan membuktikan dakwaannya.
Pengertian sifat melawan hukum materil yang dianut oleh Yurisprudensi di Indonesia, setidak-tidaknya dalam perkara korupsi
bahwa menurut kepatutan dalam masyarakat, khususnya dalam tindak pidana korupsi.
6
Apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari seorang lain
dengan maksud menggunakan kekuasaannya atau wewenangnya yang melekat pada jabatannya secara menyimpang, hal itu telah
merupakan perbuataan melawan hukum, karena menurut kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan tercela.
F. Yurisprudensi
Undang-Undang dirasa tidak cukup memuaskan bagi para penegak hukum dan pencari keadilan. Terutama bagi hakim sebagai
penegak hukum dan keadilan, tidak menemukan keadilan hanya dalam Undang-Undang, akan tetapi ia juga tidak dapat untuk tidak
menerapkan Undang-Undang. Oleh karenanya, dalam putusan- putusan hakim sering ditemukan kaidah-kaidah baru sebagai hasil
penyampingkan suatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Putusan-putusan demikian yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap Inkracht van Gewijsde, apalagi telah diikuti oleh putusan- putusan berikutnya.
Praktek di lapangan tersedia seperangkat metode penafsiran yang dapat digunakan hakim, akan tetapi bagi hakim pidana,
lapangan penafsiran yang boleh digunakan jauh lebih sempit daripada hakim pidana.
Pertimbangan hakim yang menjadi dasar putusan pengadilan, apalagi yang telah dikukuhkan sebagai yurisprudensi tetap, jawaban
terhadap ketidakberhasilan pembuat undang-undang memberikan kejelasan maksudnya dalam suatu naskah undang-undang, apalagi
6
Komariah Emong Sapardjaja, ibid, hal. 56.
18
apabila dikaitkan dengan tuntutan keadilan yang seharusnya tercermin dari naskah undang-undang.
Mochtar Kusumaatmadja menyatakan walaupun perundang- undangan adalah teknik utama melaksanakan pembaruan hukum,
pembaruan kaidah-kaidah dan asas serta penemuan arah atau bahan bagi pembaruan kaidah demikian juga menggunakan sumber hukum
lain, yaitu keputusan badan peradilan yurisprudensi, sedangkan tulisan sarjana hukum yang terkemuka disebut sebagai sumber
tambahan.
7
Soepomo menyatakan bahwa di Indonesia, hakim tidak terikat oleh putusan-putusan hakim yang telah ada, akan tetapi dalam
praktek pengadilan, demikian juga dalam praktek pengadilan di Negara-negara Eropa, hakim bawahan sangat memperhatikan
putusan-putusan hakim atasan berhubung pula dengan adanya kemungkinan permohonan banding dan kasasi. Berhubungan
dengan itu, yurisprudensi dari hakim atasan merupakan sumber penting menemukan hukum objektif yang harus diselenggarakan
oleh para hakim.
8
Roeslan Saleh menyatakan bahwa menurut pikiran Bangsa Indonesia hukum dan undang-undang tidak sama. Bahkan sebagian
besar dari hukum kita terdiri dari aturan-aturan tidak tertulis. Benar bahwa hakim terikat kepada sistem hukum yang berlaku. Akan
tetapi hakim Indonesia bebas meninjau secara mendalam, apakah penetapan-penetapan yang diambil pada waktu yang lampau, masih
dapat dan harus dipertahankan terkait munculnya pertumbuhan perasaan-perasakan dan keadilan baru, dan apabila sama diketahui,
bahwa pembentukan Undang-Undang selalu terbelakang dari pertumbuhan dan perkembangan hukum, bagaimanakah dapat
mempertahankan pendapat pula bahwa pengecualian atas sifat-sifat melawan hukumnya perbuatan harus dapat dicantumkan dulu
dalam Undang-Undang, baru dapat digunakan oleh hakim.
9
7
Mochtar Kusumatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Suatu Uraian tentang landsan Pikiran, Pola dan Mekanisme Pembaharuan Hukum di
Indonesia, Binacipta, Bandung, 1976, hal. 12.
8
R.Soepomo, Hukum, Bab-bab tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita Jakarta, 1982, hal. 113.
9
Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum dari Pembuat Pidana, Aksara Baru, Jakarta, hal. 20.
19
Yurisprudensi sebagai hukum yang diciptakan hakim, karena suatu perkara yang diajukan kepadanya. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman UU No. 14-1970 memang telah memberikan
dasar hukumnya yaitu Pasal 27 Ayat 1 yang menyatakan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dalam masyarakat.
G. Penafsiran Terhadap Arti Sifat Melawan Hukum
UU No. 3-1971 lebih merupakan kehendak politik pemerintah untuk memberantas korupsi daripada hasil suatu kerja perundang-
undangan. Dalam perdebatan mengenai raancangan undang-undang tersebut tidak pernah terdapat pembicaraan bagaimana sebaiknya
suatu tindak pidana dirumuskan. Pembicaraan mengenai hal ini lebih berlandaskan politis daripada yuridis. Konsekuensi yuridis hampir
selalu terlupakan. Akibatnya dalam penerapan dan penegakan hukumnya selalu menimbulkan kejanggalan bahkan menyiratkan
rasa ketidakadilan. Akan adil apabila yang sama diperlakukan secara sama pula.
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang bebas dari pengaruh apapun, maka perbedaan pendapat antara hakim yang
satu dengan lainnya tidak dapat dielakkan. Walaupun demikian sesungguhnya perbedaan tersebut dapat dihindarkan apabila hakim
terhindar dari ketunaan ilmu hukum sebagai ilmu pengetahuan yang selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman, dalam arti ilmu
pengetahuan yang bebas dari tekanan politik.
Roscoe Pound, mengklasifikasikan kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum daklam kategori pokok:
1. Kepentingan umum public interest; 2. Kepentingan masyartakat social interest;
3. Kepentingan pribadi private interest.
10
Perbedaan pandangan tentang kepentingan hukum terjadi karena pandangan hakim terhadap kepentingan hukum yang tidak
dilindungi di Indonesia ditujukan kepada kepentingan masyarakat. Ada anggapan bahwa hakim pidana dalam rangka menerapkan Pasal
10
Lili Rasjidi, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu?, Remaja Karya, Bandung, 1988, hal. 228.
20
14 Ayat 1 dan Pasal 27 Ayat 1 UU No. 14-1970 harus dan selalu menemukan hukum. Hakim di Indonesia seolah-olah memberikan
arti yang sangat besar terhadap penemuan hukum ini, akan tetapi apakah dalam rangka penemuan hukum, lalu undang-undang dan
kepastian hukum boleh ditinggalkan. Bagi hakim pidana penemuan hukum dalam rangka penerapan sifat melawan hukum materil
dalam fungsi negatif, yaitu ia boleh lepaskan tuntutan seseorang dari tuntutan hukum, daripada ia menjatuhkan pidana bagi seseorang
yang tidak melakukan tindak pidana.
Penemuan hukum yang dapat diartikan membuat fungsi sifat melawan hukum materil menjadi positif, hal ini dapat dikatakan
sebagai gejala yang tidak sehat, satu sama lainnya mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang pada
gilirannya berpengaruh pula terhadap kepercayaan masyarakat tentang kepastian hukum.
Hakim tidak dapat dipaksa untuk menerapkan hukum yang menurut pendapatnya tidak adil, akan tetapi dalam kebebasannya ia
tetap terikat pada Undang-Undang. Ajaran sifat melawan hukum materil memberikan kebebasan kepada hakim pidana untuk
menggali nilai-nilai hukum yang tidak tertulis dalam masyarakat, namun tidak berarti bahwa nilai-nilai hukum tidak tertulis ini dapat
menjadi dasar penuntutan dalam perkara pidana.
21
BAB II PENGURAIAN
PUSTAKA TERPERINCI
A. Tindak Pidana Korupsi Dan Gratifikasi 1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Tindak pidana strafbaar feit atau delik, perbuatan pidana, peristiwa pidana, maupun perbuatan yang dapat di pidana. Dalam
praktek, para ahli di dalam memberikan definisi tindak pidana berbeda-beda sehingga perkataan tindak pidana mempunyai banyak
arti.
11
Tindak pidana korupsi menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 30-2002 adalah warga suatu tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam UU No. 31-1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20-2001. Para pakar hukum umumnya mengartikan korupsi
sebagai suatu penyalahgunaan kekuasaan demi kepentingan pribadi. Korupsi terjadi bila ada monopoli kekuasaan di tengah ketidakjelasan
aturan dan kewenangan serta tidak terdapat mekanisme akuntabilitas atau pertanggungjawaban kepada publik.
12
Istilah korupsi berasal dari perkataan L atin “coruptio”, atau
corruptus , yang berarti kerusakan atau kebobrokan. Korupsi banyak
dikaitkan dengan ketidakjujuran seseorang di bidang keuangan. Arti secara harfiah korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidak jujuran, dapat disuap, penyimpangan dari kesucian seperti penggelapan uang, penerimaan sogok dan sebagainya.
13
Istilah corruption sebagaimana dalam Black‟s Law Dictionary:
“….an act done with an intent to give some advantage inconsistent with official duty and the rights of other. The act an official or fiduciary person
who unlawfully and wrongfully uses his station or character to procure some benefit for himself or another person, contrary to duty and the rights of
other.
14
….melakukan suatu perbuatan dengan maksud untuk memperoleh
11
Roni Wijayanto, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, Mandar Maju, 2012, hal. 160.
12
Robert Klitgaard, Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintah Daerah, YOI, Jakarta, 2002, hal. 29.
13
Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi
, Mandar Maju, 2002, hal. 8.
14
Henry Campbell, Black‟s Law Dictionary, St. Paul, Minn West Publishing,
1979, hal. 311.
22 suatu keuntungan yang bertentangan dengan hak dan kewajiban orang lain.
Seorang pejabat yang melakukan perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya
atau orang lain, bertentangan dengan hak dan kewajiban orang lain.
Beberapa referensi tentang korupsi memuat beberapa difinisi yang bermanfaat tentang penentuan definisi korupsi. Korupsi di
definisikan sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara, karena keuntungan status atau uang
yang menyangkut pribadi atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi.
Secara historis konsep tersebut merujuk sekaligus pada tingkah laku politik dan seksual, dan kata corrupt menimbulkan serangkaian
gambaran jahat. Setiap zaman, suatu masyarakat cenderung menemukan empat definisi suap yang berbeda, definisi dari kaum
moralis yang lebih maju; definisi hukum sebagaimana tertulis; definisi hukum selama ditegakkan dan definisi praktek yang lazim.
Keberagaman pengertian korupsi tersebut dapat dilihat sebagai suatu dinamika pemahaman korupsi di kalangan masyarakat.
Pengertian korupsi secara umum dapat dijabarkan melalui berbagai pendekatan, misalnya:
1. Menurut ilmu kejahatankriminologi; 2. Menurut Undang-Undang.
Pendekatan kriminologi tidak bisa dilepaskan dari wacana pemahaman korupsi sebagai suatu kejahatan. Korupsi telah menjadi
sub sistem kejahatan secara global. Korupsi adalah suatu bentuk kejahatan yang diformulasikan secara sosiologis oleh masyarakat,
karena korupsi mempunyai nilai negatif yang cenderung destruktif dan berdampak negatif bagi kehidupan masyarakat.
Secara umum bahwa kriminologi dan hukum pidana adalah suatu hal yang berbeda objek dan tujuannya, namun demikian antara
kriminologi dan hukum pidana telah terjalin keterkaitan erat yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.
Ilmu hukum pidana menjadikan aturan hukum yang berkaitan dengan tujuan menggunakan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,
sedangkan kriminologi mempunyai objek orang yang melakukan kejahatan dan bertujuan memahami mengapa seseorang melakukan
kejahatan. Pandangan tentang kejahatan dari sisi ilmu hukum pidana hanyalah sebagai legal definition of crime, artinya suatu perbuatan
23
yang diberi label oleh negara sebagai suatu kejahatan. Namun masyarakat telah diberi label sebagai suatu kejahatan, apabila
perbuatan dianggap menyimpang dari norma-norma atau kebiasaan masyarakat.
Perspektif kriminologi memandang korupsi dalam beberapa tipe yaitu
1. Political Bribery Kekuasaan di bidang legislatif sebagai pembentuk undang-
undang. Secara politis badan tersebut dikendalikan oleh suatu kepentingan, karena dana yang dikeluarkan pada masa pemilihan
umum sering berkaitan dengan aktivitas perusahaan tertentu. Para pengusaha berharap anggota yang duduk di parlemen dapat
membuat aturan yang menguntungkan mereka.
2. Political Kicbacks Kegiatan yang berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan
borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang memberi peluang untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak yang
bersangkutan.
3. Election Fraud Kegiatan
yang berkaitan
langsung dengan
kecurangan- kecurangan pada saat pemilihan umum.
4. Corrupt Campaign Practice Praktek kampanye dengan menggunakan fasilitas Nnegara
maupun uang negara oleh calon yang sedang memegang kekuasaan negara.
5. Discretion Corruption Korupsi yang dilakukan karena ada kebebasan dalam menentukan
kebijaksanaan. 6. Illegal Curruption
Korupsi yang dilakukan dengan mengacaukan bahasa hukum atau interpretasi hukum. Tipe korupsi ini rentan dilakukan oleh
aparat penegak hukum, baik itu dilakukan oleh polisi, jaksa, pengadilan maupun hakim.
7. Ideological Curruption Bentuk korupsi dari perpaduan antara discredionery corruption dan
illegal corruption yang dilakukan untuk tujuan kelompok.
24
8. Political Coruuption Penyelewengan kekuasaan atau kewenangan yang dipercayakan
kepadanya untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok yang berkaitan dengan kekuasaan.
9. Mercenary Corruption Menyalahgunakan kekuasaan semata-mata untuk kepentingan
pribadi. Syed Hussein Alatas, secara sosiologis bahwa korupsi membagi
menjadi tujuh bentuk korupsi, sebagaimana dikutip oleh Mulyana W Kusumah.
1. Korupsi Transaktif
Jenis korupsi yang menunjuk adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima dari keuntungan kedua
belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya keuntungan kedua belah pihak dan dengan aktif diusahakan tercapainya
keuntungan yang biasanya melibatkan dunian usaha dan bisnis dengan pemerintah.
2. Korupsi Perkerabatan Nipotistic Corruption Menyangkut penyalahgunaan dan wewenang untuk berbagai
keuntungan bagi teman atau sanak saudara dan kroninya. 3. Korupsi yang Memeras Extortive Corruption
Korupsi yang dipaksakan kepada suatu pihak disertai ancaman, teror, penekanan terhadap kepentingan orang-orang dan hal-hal
yang dimilinya ;
4. Korupsi Investif Investive Curruption Korupsi dengan memberikan suatu jasa atau barang tertentu
kepada pihak lain demi keuntungan di masa depan. 5. Korupsi Defensif Defensive Corruption
Pihak yang akan dirugikan terpaksa ikut terlibat di dalamnya atau bentuk ini membuat terjebak bahkan menjadi korban perbuatan
korupsi.
6. Korupsi Otogenik Autogenic Corruption Korupsi yang dilakukan seorang diri dan tidak ada orang atau
pihak lain yang terlibat. 7. Korupsi Suportif Supportive Corruption
Korupsi dukungan dan tidak ada orang atau pihak lain yang terlibat.
25
Suyatno berpandangan bahwa definisi korupsi terdiri dari: 1. Discretionary Curruption
Korupsi dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijakan, sekalipun tampaknya bersifat sah, bukanlah praktek
yang dapat diterima oleh para anggota organisasi.
2. Illegal Corruption Jenis tindakan yang mengacaukan bahasa atau maksud-maksud
hukum, peraturan dan regulasi tertentu. 3. Mercenery Curruption
Jenis tindak pidana korupsi untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui sarana penyalahgunaan wewenang dan
kekuasaan.
4. Ideological Corruption Jenis korupsi illegal maupun discretionary yang dimaksudkan
untuk mengejar tujuan kelompok. Menurut Pier Bierne dan James Messerchmidt sebagaimana di
dalam buku karangan Eddy OS Hiariej bahwa korupsi: 1. Political Bribery
Kecurangan yang dilakukan eksekutif, maupun yudikatif. Political bribery
di ranah eksekutif biasanya dalam bentuk suatu kebijakan atau pembuat suatu peraturan. Demikian pula halnya dibidang
legislatif sebagai pembentuk undang-undang, sedangkan di ranah yudikatif biasanya berkaitan dengan penanganan suatu perkara.
2. Political Kickbacks Kegiatan yang berkaitan sistem kontrak pekerjaan borongan
antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang memberi peluang untuk mendatangkan uang bagi pihak bersangkutan.
3. Election Fraud Korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan Pemilihan
Umum Pemilu. 4. Corrupt Campaign Practice
Praktek kampanye dengan menggunakan fasilitas negara maupun uang negara oleh calon yang sedang memegang kekuasaan
negara.
15 15
Eddy OS Hiariej, Menyelamatkan Uang Negara Kajian Akademik Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006,
Pusat kajian Anti Korupsi Fakuiltas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2008, hal. 206.
26
Guy Benveniste berpandangan korupsi dapat diklasifikasikan
dalam beberapa bentuk antara lain 1. Discretionery Corruption
Korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijakan, sekalipun tampaknya terlihat sah,
bukanlah praktek-praktek yang dapat diterima oleh para anggota organisasi.
2. Illegal Corruption Tindakan yang membongkar atau mengacaukan bahasa ataupun
maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu. 3. Mercenary Curruption
Korupsi yang dilakukan lebih karena kepentingan kelompok, karena komitmen ideologis seseorang yang mulai tertanam di atas
kelompok tertentu.
Korupsi sebagaimana diistilahkan dalam beberapa bentuk bahasa merupakan gejala atau perilaku para pejabat badan negara
yang menyalahgunakan jabatan mereka, sehingga memungkinkan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta berbagai ketidakberesan
lainnya. Bentuk-bentuk korupsi yang disebutkan tersebut merupakan konstruksi hukum secara sosiologis.
Tindak pidana korupsi selalu mendapat perhatian apabila dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Korupsi dan kolusi
serta nepotisme adalah suatu perbuatan dalam satu nafas, karena ketiganya melanggar kaidah kejujuran dan norma hukum. Hal ini
dapat menjadikan korupsi sebagai kejahatan serius yang dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, pembangunan
nasional, sosial, politik, ekonomi serta dapat merusak nilai demokrasi dan moralitas, karena lambat laun perbuatan tersebut seakan menjadi
budaya.
Indonesia mempunyai UU No. 31-1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No. 20-2001. Dengan adanya Undang-
Undang ini menjadikan suatu tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana khusus.
Delik korupsi pada umumnya memuat aktivitas yang merupakan manifestasi dari perbuatan-perbuatan korupsi dalam arti
luas mempergunakan kekuasaan atau pengaruh yang melekat pada seorang pegawai negeri atau kedudukan istimewa yang dipunyai
27
oleh seseorang di dalam jabatan umum yang secara tidak patut atau menguntungkan diri sendiri maupun orang lain yang menyuap
dikualifikasikan sebagai delik korupsi dengan segala akibat hukumnya yang berhubungan dengan hukum pidana dan
acaranya.
16
Sementara itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi juga mengandung arti buruk, busuk, rusak, suka memakai
barang yang
dipercayakan padanya,
penyelewengan atau
penggelapan untuk kepentingan pribadi atau orang lain.
17
Di dalam UU No. 20-2001 terdapat istilah hukum yang perlu diperjelas yaitu
tindak pidana korupsi, keuangan Negara atau perekonomian Negara. Jika mengacu rumusan undang-undang tersebut maka pengertian
tindak pidana yaitu: 1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara.
Sementara itu, pengertian keuangan Negara dalam Undang- Undang ini adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun
baik yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan Negara dan segala hak dan
kewajiban yang timbul karena: a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban
pejabat lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun daerah; b. berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban
Badan Usaha Milik NegaraBadan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara,
atau perusahaan, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
Perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan atau
usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan
16
Ibid.
17
Alfitra, Hukum Pembuktian, Raih Asa Sukses, 2012, hal. 146.
28
Pemerintah, baik di tingkat Pusat maupun di Daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan
memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan pada seluruh kehidupan rakyat.
Kebijakan kriminal sebagai salah satu upaya penanggulangan kejahatan memiliki berbagai dimensi. Salah satu dimensinya adalah
dimensi pencegahan yaitu segala upaya untuk menyelesaikan faktor penyebab terjadinya kejahatan. Penyebab utama kejahatan korupsi
adalah birokrasi yang lemah dalam pengawasan, oleh karenanya good govermance
menjadi salah satu solusi mencegah terjadinya korupsi. Dimensi pencegahan juga dapat dilakukan dengan merumuskan
tindak pidana dan sanksi pidana dapat mencegah orang melakukan kejahatan korupsi dan menerima hasil korupsi. Dalam dimensi
pencegahan hukum, usaha yang sesuai dalam menegakkan hukum juga mencegah terjadinya kejahatan.
Penanggulangan kejahatan
korupsi dilakukan
dengan penerapan hukum pidana application of criminal law, yang meliputi
pelaksanaan hukum pidana. Usaha penanggulangan kejahatan juga dipengaruhi oleh sikap masyarakat terhadap kejahatan itu sendiri
dan partisipasi masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.
Salah satu sarana yang digunakan dalam merancang dan melaksanakan kebijakan sosial yaitu dengan menggunakan hukum
dan peraturan perundang-undangan di suatu negara. Kebijakan penanggulangan kejahatan dimulai tahap perumusan peraturan
perundang-undangan hingga penerapan. Norma hukum dapat dibentuk secara tertulis maupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga
yang berwenang membentuknya.
18
Keberlakuan hukum ditentukan oleh daya laku validitas atau karena ia mempunyai keabsahan. Daya laku ini ada apabila norma
dibentuk oleh norma yang lebih tinggi atau lembaga yang berwenang membentuknya.
19
Selain daya laku perlu juga diperhatikan daya laku suatu norma, karena berkaitan dengan ditaatinya aturan tersebut.
Suatu norma memiliki daya guna apabila ditaati.
18
Widodo Eka Tjahyana, Pembentukan Peraturan-Peraturan Perundang- undangan, Dasar-dasar dan Tehnik Penyusunan,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hal. 19.
19
Ibid, hal. 39.
29
Pentingnya perumusan norma yang melarang melakukan tindak pidana korupsi dan pelaku gratifikasi di dalam rumusan
Undang-Undang, didasarkan pada kenyataan di Indonesia, yang mengungkapkan bahwa sebagian besar penegak hukum termasuk di
dalamnya hakim terbiasa menjadi alat untuk melaksanakan dan menegakkan undang-undang. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian
terhadap putusan pengadilan berkenaan dengan tindak pidana korupsi.
Perbuatan gratifikasi seksual merupakan kejahatan tingkat kedua dan dapat merugikan sekelompok masyarakat tertentu, karena
kemanfaatan yang dinikmatinya berasal dari keuangan Negara. Atau dengan kata lain, perekonomian Negara menjadi hilang akibat dana
tersebut dinikmati oleh pelaku korupsi atau mereka yang menerima manfaat dari hasil korupsi tersebut.
Motif perbuatan dan keserakahan yaitu membandingkan kesenangan yang diperoleh dengan melanggar hak orang lain.
Kesemuanya itu tidak akan terbukti sepadan. Ketamakan dan keserakahan untuk penguasaan sumber ekonomi dan finansial,
merupakan salah satu motif yang kuat bagi pelaku gratifikasi seksual di dalam melakukan tindak pidana korupsi, demikian juga dengan
mereka yang menerima atau menikmati hasil tindak pidana korupsi tersebut. Melakukan perbuatan gratifikasi seksual sebagai kejahatan
yang menimbulkan kesengsaraan, menjadi argumen pembentuk undang-undang sebagai perbuatan melanggar hukum atau
pelanggaran. Agar larangan tersebut dihormati, perlu ditetapkan sanksi pidana.
Secara filosofi, maka perbuatan gratifikasi seksual bertentangan dengan nilai-nilai dalam Pancasila. Nilai-nilai Pancasila yang bersifat
objektif berarti sesuai dengan objeknya, umum, dan universal; nilai- nilai Pancasila akan tetap ada sepanjang masa dalam kehidupan
Bangsa Indonesia, baik dalam adat kebiasaan, kebudayaan, kenegaraan maupun hidup keagamaan. Beberapa nilai yang
terkandung dalam Pancasila adalah nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan. Nilai ketuhanan dapat ditemukan pada Sila Ketuhanan
Yang Maha Esa. Berdasarkan sila pertama Pancasila ini, maka perbuatan gratifikasi seksual atau menikmati keuntungan dari hasil
korupsi merupakan perbuatan dilarang agama di Indonesia.
30
Berdasarkan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, maka manusia Indonesia mengakui kedudukannya sebagai makhluk Tuhan.
Pancasila harus dipandang sebagai komitmen Bangsa Indonesia, dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sebagai satu
komitmen, maka keberlanjutannya sangat tergantung pada penerimaan dan kesukarelaan dalam menjaga komitmen tersebut.
Pancasila sebagai sebagai sumber hukum Indonesia menganut paham keseimbangan pengakuan kedudukan Indonesia makhluk
pribadi dan makhluk sosial
– menurut Noto Nagoro adalah asas Monodualistis
. Hal-hal mutlak dari manusia adalah sifat kodratnya merupakan diri pribadi yang harus hidup bersama, manusia
mempunyai sifat kodrat sebagai perseorangan dan sebagai warga negara yang hidup bersama. Konsep monodualisme yang dianut oleh
Pancasila sebenarnya merupakan perpaduan dari prinsip yang berkembang di Barat dan Timur:
1. Negara terdiri atas dasar teori perorangan, teori individualistis,
sebagaimana diajarkan Thomas Hobbes, dan John Locke dan lainnya. Menurut aliaran ini, negara adalah masyarakat hukum
yang didasarkan atas kontrak seluruh perorangan dalam masyarakat;
2. Aliran lainnya ialah teori golongan dari Negara sebagai diajarkan oleh Mark Enggels, Lenin. Negara adalah alatnya golongan yang
mempunyai kedudukan ekonomi yang paling kuat untuk menindas golongan-golongan lain yang mempunyai kedudukan
lembek;
3. Teori integralistik oleh Spinoza, Adam Muler, Hegel abad ke-18 dan abad ke-19. Negara menurut tidak untuk menjamin kepentingan
seseorang atau golongan, akan tetapi menjamin kepentingan rakyat seluruhnya sebagai suatu persatuan.
Pancasila pada dasarnya mengakui dan mengadopsi pemikiran serta aliran-aliran yang secara alamiah berseberangan satu dengan
lainnya, baik berkenaan dengan kedudukan manusia, maupun aliran di dalam bidang budaya, sosial, politik dan ekonomi
– karena Pancasila mengakui kelebihan dan kekurangan masing-masing aliran
secara alamiah tidak ada satu aliran yang sempurna. Pancasila meramu berbagai aliran pemikiran tersebut untuk
memberi pondasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik
31
dalam bidang budaya, sosial, politik dan ekonomi, dan khususnya di bidang hukum.
Sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab adalah sikap dan perilaku manusia yang sesuai dengan kodrat hakikat manusia yang
berbudi, sadar nilai dan budayanya, menjunjung tinggi hak asasi manusia dengan pangkal ide keselarasan antara individu dan
masyarakat, pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan. Berdasarkan sila kedua ini, maka perbuatan
pelaku gratifikasi seksual merupakan perbuatan yang menciderai nilai kemanusiaan, karena perbuatan korupsi dapat menimbulkan
kerusakan dan kerugian kepada masyarakat secara luas. Sila kedua ini merupakan dasar filosofi pelarangan perbuatan gratifikasi seksual
dalam tindak pidana korupsi, karena bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Salah satu asas yang menjabarkan nilai kemanusian
adalah persamaan di hadapan hukum yang merupakan salah satu unsur dalam konsep negara hukum. Belum ditetapkannya perbuatan
menerima hasil korupsi termasuk gratifikasi seksual dan tidak dipidananya penerima hasil korupsi menimbulkan ketidaksetaraan
antara pelaku korupsi dan pelaku gratifikasi seksual yang keduanya sama-sama merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
2. Pengertian Gratifikasi Seksual
Gratifikasi adalah pemberian arti luas. Meliputi pemberian uang, barang, rabat diskon, komisi pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi seksual tersebut baik
yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana
elektronik.
Dalam UU No. 20-2001, setiap gratifikasi yang diperoleh pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap, namun
ketentuan yang sama tidak berlaku apabila penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK yang wajib dilakukan
paling lambat 30 Tiga Puluh hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. Dalam perkembangannya gratifikasi
tidak hanya meliputi pemberian uang, barang, rabat diskon, komisi pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma.
32
Banyak kalangan mengusulkan penyediaan layanan seksual menjadi bagian gratifikasi. Seksual atau seks adalah kegiatan yang
berkaitan dengan manipulasi organ kelamin, khususnya hubungan seksual. Seksualitas menyangkut berbagai dimensi yang sangat luas,
yaitu dimensi biologis, sosial, perilaku dan kultural. Seksualitas dari dimensi biologis berkaitan dengan organ reproduksi dan alat
kelamin, termasuk bagaimana menjaga kesehatan dan memfungsikan secara optimal organ reproduksi dan dorongan seksual. Seksualitas
dari dimensi psikologis erat kaitannya dengan bagaimana menjalankan fungsi sebagai mahluk seksual, identitas peran atau
jenis. Dari dimensi sosial dilihat pada bagaimana seksualitas muncul dalam hubungan antar manusia, bagaimana pengaruh lingkungan
dalam membentuk pandangan tentang seksualitas yang akhirnya membentuk perilaku seks.
Dimensi perilaku menerjemahkan seksualitas menjadi perilaku seksual, yaitu perilaku yang muncul berkaitan dengan dorongan atau
hasrat seksual. Dimensi kultural menunjukan perilaku seks menjadi bagian dari budaya yang ada di masyarakat, sehingga layanan seks
dalam tulisan ini dapat diartikan sebagai suatu pemberian kepada seseorang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dapat
dijadikan sebagai sarana atau tempat melampiaskan hasrat seksual sebagai imbal balik dari perbuatan orang tersebut untuk melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatau sesuai keinginan pemberi layanan seks.
Di Indonesia tujuan pidana selain mengadopsi pemikiran yang berkembang secara universal juga mengadopsi pemikiran yang
berakar dari hukum adat, yaitu: 1. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan
norma hukum demi pengayoman masyarakat; 2. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan,
sehingga menjadikannya orang baik dan berguna; 3. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan kesimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
4. membebaskan rasa pada terpidana. Alternatif pidana tambahan yang dapat dijatuhkan kepada
pelaku gratrifikasi seks adalah perampasan barang atau tagihan
33
tertentu. Pidana perampasan tertentu danatau tagihan juga dapat dijatuhkan, apabila hak pihak ketiga dengan itikad baik akan
terganggu.
Alternatif sanksi pidana tambahan lainnya yaitu pengumuman putusan hakim. Pidana ini bertujuan mengekspresikan pernyataan
penguasa bahwa perbuatan gratifikasi seksual adalah perbuatan yang melanggar hukum. Alternatif pidana tambahan kedepan
sebagai penerima hasil korupsi adalah restitusi.
Tujuan restitusi untuk mendorong kompensasi terhadap korban oleh orang yang bertanggung jawab atas kerugian yang
ditimbulkan oleh para pelaku tindak pidana korupsi. Penentuan jumlah disesuaikan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku
tindak pidana korupsi.
Tindakan perampasan keuntungan yang diperoleh pelaku gratifikasi seksual bertujuan memberi efek jera pada pelaku tindak
pidana korupsi dan pelaku gratifikasi seksual karena keuntungan yang didapat akan dirampas oleh Negara. Selain itu tindakan
tersebut bertujuan untuk mengembalikan keuntungan kepada negara yang seharusnya menikmatinya. Tindakan perbaikan akibat
kejahatan gratifikasi seksual ditujukan melindungi kepentingan masyarakat yang seharusnya menerima manfaat, menikmati hasil
dari keuangan Negara atau perekonomian Negara yang dirampas oleh pelaku tindak pidana korupsi maupun pelaku gratifikasi
seksual. 3. Pengertian Sistem Pembuktian
Apabila hukum acara pidana yang dipergunakan dalam pemeriksaan delik korupsi sebagai suatu sistem, maka hukum
pembuktian merupakan bagian dari sistem. Sistem berasal dari kata systema
Bahasa Yunani yang berarti sesuatu yang terorganisasi. Sistem mengandung arti terhimpunnya bagian atau komponen yang
saling berhubungan secara beraturan dan merupakan bagian dari keseluruhan.
20
Apabila penulis mengacu pada pengertian tersebut, maka sistem hukum pembuktian dapat diartikan sebagai suatu
keseluruhan dari unsur-unsur hukum pembuktian yang berkaitan dan berhubungan satu dengan yang lain serta saling pengaruh
mempengaruhi dalam suatu keseluruhan.
20
Martiman Projohamidjojo, op.cit, hal. 98.
34
Pembuktian pada perkara pidana tindak pidana umum menerapkan pembuktian sesuai dengan KUHAP, sedangkan dalam
pemeriksaan delik korupsi selain KUHAP diterapkan juga hukum acara pidana yaitu Bab IV terdiri atas Pasal 25 sampai dengan Pasal
40 dari UU No. 31-1999, yaitu
Pasal 25 Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang segera menyerahkan
salinan berkas berita acara sidang tersebut pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya.
Pasal 26 Penyelidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap
tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 27 Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka
dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung. Pasal 28
Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan
harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan
tersangka.
Pasal 29 1.
Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta
keterangan kepada bank tentang keuangan tersangka atau terdakwa; 2.
Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana ayat 1 diajukan kepada Gubernur Bank Indonesia melakukan tindak pidana korupsi, maka
keterangan tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3. Gubernur Bank Indonesia berkewajiban untuk memenuhi permintaan
sebagaiman dimaksud dalam ayat 2 dalam waktu selambat-lambatnya 3 tiga hari kerja, terhitung sejak dokumen permintaan diterima secara
lengkap; 4.
Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang
diduga dari hasil korupsi; 5.
Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti yang cukup atas permintaan penyidik, penuntut umum,
atau hakim, bank pada harin itu juga mencabut pemblokiran. Pasal 30
Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat atau kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai
hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa. Pasal 31
1. Dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan
orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang
35 menyebut nama atau pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan
kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor; 2.
Sebelum pemeriksaan dilakukan, larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut;
Pasal 32 1.
Dalam hal penyidik menemukan dan berpendpat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan
secara nyata telah tertdapat kerugian Negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada jaksa
pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan;
2. Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan
hak menuntut kerugian terhadap keuangan Negara. Pasal 33
Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian Negara, makapenyidik segera
menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk
dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
Pasal 34 Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di
sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan Negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita
acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata ahli warisnya.
Pasal 35 1.
Setiap orang memberi keterangan sebagai saksi atau ahli, kecuali ayah, ibu, kakek, nenek, saudara kandung, istri atau suami, anak, dan cucu dari
terdakwa; 2.
Orang yang dibebaskan sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat diperiksa sebagai saksi apabila mereka menghendaki dan
disetujui secara tegas oleh terdakwa; 3.
Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2, mereka dapat memberikan keterangan sebagai saksi tanpa disumpah.
Pasal 36 Kewajiban memberikan kesaksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35
berlaku juga terhadap mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, kecuali petugas agama
yang menurut keyakinannya menyimpan rahasia.
Pasal 37 1.
Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tudak melakukan tindak pidana korupsi;
2. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak
pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan terdakwa;
3. Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya
dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
bersangkutan;
36 4.
Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan
kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan
tindak pidana korupsi;
5. Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ayat 2, ayat 3
dan ayat 4, penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Pasal 38 1.
Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan
diputus tanpa kehadirannya; 2.
Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi
dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang;
3. Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadirn terdakwa diumumkan oleh
Penunut Umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya;
4. Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan
sebagaiman dimaksud ayat 1; 5.
Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa nyang bersangkutan telah
melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita;
6. Penetapan perampasan sebgaimana dimaksud ayat 5 tidak dapat
dimohonkan upaya banding; 7.
Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud
dalam ayat 5 dalam waktu 30 tiga puluh hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat 3.
Pasal 39 Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang byang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer.
Pasal 40 Dalam hal terdapat cukup alasan untuk mengajukan perkara korupsi di
lingkungan Peradilan Militer, maka ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 Ayat 1 huruf g Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31
Tahun1997 tentang Peradilan Militer tidak dapat diberlakukan.
Dalam hal pembuktian, Undang-Undang tersebut menerapkan asas pembuktian terbalik bahwa pembuktian ini tidak sama dengan
hukum pembuktian dalam KUHAP. UU No. 20-2001 juga menganut pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang. Dalam
Penjelasan atas UU No. 31-1999, yang dimaksud dengan pembuktian terbalik bersifat terbatas dan berimbang ialah terdakwa mempunyai
hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakkan tindakan pidana
37
korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda
setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap
berkewajiban membuktikan dakwaannya.
Kata- kata bersifat “terbatas” di dalam memori atas Pasal 37 UU
No. 31-1999 dikatakan apabila terdakwa dapat membuktikan dalilnya, “terdakwa tidak melakukan tindak pidana korupsi”. Ini
bukan berarti terdakwa benar-benar terbukti melakukan tindak pidana korupsi, sebab penuntut umum masih berkewajiban untuk
membuktikan dakwaannya.
Sedangkan kata “berimbang” dimaksudkan penghasilan terdakwa atau sumber penambahan harta benda terdakwa, sebagai
pendapatan terdakwa dan perolehan harta benda terdakwa sebagai output
tidak seimbang. Dengan kata lain antara penghasilan dan harta yang dimiliki tidak seimbang.
B. Layanan Seks Sebagai Korupsi Pasif
UU No. 20-2001 telah mengatur berbagai jenis tindak pidana korupsi mengelompokkan ada tujuh kelompok korupsi yakni
ҹ Kerugian keuangan negara; ҹ Suap menyuap;
ҹ Penggelapan dalam jabatan; ҹ Pemerasan;
ҹ Perbuatan curang; ҹ Benturan kepentingan dalam pengadaan;
ҹ Gratifikasi.
Oleh karena penulisan ini berangkat dari beberapa fakta penangkapan oleh KPK sering kali terdapat wanita yang diduga
sebagai pekerja seks komersial sebagai suap bentuk baru, baik dalam satu paket uang, barang berharga, tiket tempat hiburan termasuk
penyediaan pekerja seks komersial maupun terpisah. Maka perlu kiranya penulis membuat suatu analisis mendalam mengenai
gratifikasi dan bentuk-bentuknya atau jenis-jenisnya yang tercakup sesuai dengan aturan perundang-undangan.
38
Gratifikasi merupakan suatu hal yang baru dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia. Gratifikasi diatur dalam
Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001, yang berbunyi 1. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan dkewajiban atau
tugasnya dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 Sepuluh Juta Rupiah atau
lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi ;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 Sepuluh Juta Rupiah, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan
oleh penuntut umum. 2. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara
sebagaimana dimaksud adalam Ayat 1 adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 Empat tahun
dan paling lama 20 Dua Puluh tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 Dua Ratus Juta Rupiah dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 Satu Miliar Rupiah.
Dalam rumusan Pasal 12 huruf b UU No. 31-1999 tersebut tidak semuanya berisi tentang ketentuan tindak pidana menerima
gratifikasi hukum pidana materil, tetapi juga memuat ketentuan hukum pidana formil khusus mengenai pembuktian bagi tindak
pidana menerima gratifikasi tersebut, sedangkan mengenai hukum pidana materil menerima gratifikasi dimuat dalam ayat 1 pada
kalimat sebelum huruf a dan huruf b, sedangkan mengenai ancaman pidananya dimuat dalam ayat 2, yaitu pidana bagi pegawai negeri
atau penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 Empat tahun dan paling lama 20 Dua Puluh tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 Dua Ratus Juta
Rupiah dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 Satu Miliar Rupiah.
Tindak pidana korupsi menerima gratifikasi seksual ini merupakan tindak pidana baru yang dalam UU No. 3-1971 belum
diatur. Namun mengenai dicantumkannya alasan peniadaan penuntutan pidana berupa melaporkan penerimaan gratifikas
i” oleh pegawai
negeri yang
menerima gratifikasi
pada Komisi
39
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menurut pasal 12 C ayat 1, rupanya meniru ketentuan Pasal 1 Ayat 1 huruf e Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perbedaannya pada ketentuan Pasal 1 Ayat 1 tempat melapor
adalah Polisi, sedangkan Pasal 12 huruf c Ayat 1 adalah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perbedaan lain adalah
tenggang waktu melapor, jika pada UU No. 20-2001, bahwa tenggang waktu 30 hari, sedangkan pada UU No. 3-1971 hanya sesingkat-
singkatnya. Gratifikasi menurut Pasal 12 huruf b Ayat 1 berhubungan erat dengan uang atau barang yang dapat dinilai
dengan uang, sehingga layanan seksual sangat sulit dikategorikan sebagai gratifikasi karena memiliki kerelatifan nilai dinilai dengan
uang.
Dalam penjelasan Pasal 12 huruf b Ayat 1 UU No. 20-2001 berbunyi “yang dimaksud dengan “gratifikasi” dalam ayat ini adalah
pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,
fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam
negeri maupun luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik maupun tanpa sarana elektronik.
21
Apabila dicermati penjelasan Pasal 12 huruf b Ayat 1 UU No. 20-2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
di atas, kalimat yang termasuk definisi gratifikasi adalah sebatas kalimat pemberian dalam arti luas, sedangkan kalimat setelah itu
merupakan bentuk-bentuk gratifikasi. Dari penjelasan Pasal 12 huruf b Ayat 1 juga dapat dilihat bahwa pengertian gratifikasi
mempunyai makna yang netral, artinya tidak terdapat makna tercela atau negatif dari arti kata gratifikasi tersebut. Apabila penjelasan ini
dihubungkan dengan rumusan Pasal 12 huruf b dapat dipahami bahwa tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum,
melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam unsur Pasal 12 huruf b saja.
Sedangkan kalimat “....dan fasilitas lainnya” memiliki arti yang sangat luas, sehingga jika ditafsirkan secara
ektensif oleh hakim dapat juga termasuk layanan seksual yang disediakan. Namun demikian harus pula memenuhi unsur sesuai
21
Doni Muhardiasyah, Buku Saku Memahami Gratifikasi, KPK, 2010, hal. 3.
40
Pasal 12 huruf b ters ebut yakni “apabila berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan dkewajiban atau tugasnya”. Adami Chazawi menyimpulkan mengenai penjelasan Pasal 12
huruf b Ayat 1 UU No. 20-2001 adalah sebagai berikut: 1. Bahwa ternyata pengertian gratifikasi adalah sama dengan
pengertian suap pasif, khususnya pegawai negeri yang menerima suap berupa penerimaan dari pemberian-pemberian dalam arti
luas yang terdiri atas benda, jasa, fasilitas dan sebagainya.
2. Karena berupa penyuapan pasif, berarti tidak termasuk pengertian suap aktif, maksudnya tidak mempersalahkan dan
mempertanggungjawabkan pidana dengan menjatuhkan pidana pada pemberi suap gratifikasi menurut Pasal 12 huruf b ini.
3. Dengan demikian, luasnyapengertian suap gratifikasi seperti yang diterangkan dalam penjelasn mengenai Pasal 12 huruf b Ayat 1
tadi, tidak bisa tidak bahwa tindak pidana korupsi suap gratifikasi ini menjadi tumpang tindih dengan pengertian tindakpidana suap
pasif pada Pasal 5 Ayat 2, Pasal 6 Ayat 2, dan Pasal 12 huruf a, b dan c.
22
Dalam Pasal 5 Ayat 2 UU No. 20-2001, menentukan bahwa bagi pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima
pemberian atau janji sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana sama sebagaimana dimaksud
dalam ayat 1.
Dalam Pasal 6 Ayat 2 UU No. 20-2001, menentukan bahwa bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana
dimaksud ayat 1 huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf b, dipidana
dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat 1.
Dalam Pasal 12 UU No. 20-2001, menentukan dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
Empat tahun dan paling lama 20 Dua Puluh tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 Dua Ratus Juta Rupiah dan
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 Satu Miliar Rupiah: a. pegawai negeri atau penyelengara Negara yang menerima hadiah
atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau
22
Adami Chazawi, op.cit, hal. 284.
41
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah
tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal; diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
Betapa gigihnya pembentuk UU No. 20-2001 ini, sehingga berupaya menjerat pelaku korupsi sedemikian rupa sehingga tidak
mungkin lolos dari jerat hukum. Walaupun disadari oleh pembentuk Undang-Undang bahwa pada saat penerapannya nanti dapat
menimbulkan tumbapng tindih dan mungkin membingungkan. Sifat ketentuan hukum yang tumpang tindah tersebut terjadi ketika
penerapannya membingungkan.
Pemberian layanan seksual pernah dianalogikan sebagai faktor pemberat hukuman. Dalam kasus korupsi yang melibatkan Al Amin
Nasution, pengadilan banding memperberat hukuman dari 8 tahun menjadi 10 tahun penjara karena faktor “perempuan”. Dalam
persidangan dibuka transkrip perbincangan soal “pake” perempuan antara Al Amin Nasution, Ahmad Fatonah dan Lutfi Hasan Ishaq
serta tersangka-tersangka lainnya. Namun ditingkat kasasi hukuman Al Amin diturunkan lagi menjadi 8 tahun penjara. Hal ini
menandakan bahwa betapa sulitnya hakim menafsirkan gratifikasi seluas-luasnya karena gratifikasi hanya menyangkut uang dan
barang, sementara wanita termasuk kasus terbaru Ahmad Fathonah dengan Maharani Suciono, termasuk didalamnya layanan seks tidak
tercantum secara eksplisit dalam UU No. 20-2001. Jika kita melihat rumusan pasal tersebut yakni setiap gratifikasi, kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara dan dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan
dengan dkewajiban atau tugasnya.
Secara ekstensif, makna “fasilitas lainnya” dalam Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001 sangatlah luas. Layanan seksual yang disediakan
42
dengan maksud mempengaruhi pegawai negeri atau penyelenggara negara untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan jabatannya tentu dapat dikategorikan sebagai gratifikasi. Sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 12 huruf c UU No.
20-2001, maka pegawai negeri atau penyelenggara negara tidak dipidana apabila melaporkan mengenai penerimaan gratifikasi, yang
harus disampaikan paling lambat 30 Tiga Puluh hari kerja terhitung sejak gratifikasi tersebut diterima. Dalam waktu paling lambat 30
Tiga Puluh hari kerja sejak Komisi Pemberantaran Korupsi menerima laporan, komisi telah dapat menetapkan gratifikasi terebut
dapat menjadi milik penerima gratifikasi atau milik negara. Dari rumusan tersebut, tidaklah mungkin pegawai negeri penerima
gratifikasi akan melaporkan setiap gratifikasi yang diterima dalam bentuk layanan seks kepada KPK berkaitan dengan etika moral dan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. KPK dapat memanggil penerima gratifikasi untuk dimintai keterangan berkaitan dengan
penerimaan gratifikasi tersebut. Status kepemilikan gratifikasi ditetapkan dengan keputusan pimpinan KPK. Jika ditetapkan sebagai
milik negara maka gratifikasi tersebut diserahkan pada Menteri Keuangan. Bagaimana dengan layanan seksual? akankah menjadi
milik negara? Oleh karena itu menurut pendapat penulis, ketentuan Pasal 12 huruf c hanya berlaku jika gratifikasi yang diterima pegawai
negeri atau penyelenggara negara berupa uang atau benda berharga lainnya.
Pegawai Negeri yang dimaksud ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No. 31-1999 adalah Pegawai Negeri meliputi:
a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Kepegawaian;
b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana;
c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan Negara atau daerah;
d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuaan dari keuangan Negara atau Daerah;
e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal dan fasilitas dari Negara atau masyarakat.
43
Sedangkan korporasi adalah sekumpulan orang atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan
badan hukum. Sedangkan gratifikasi yang berupa layanan seksual, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak dapat
menentukan status kepemilikan objek gratifikasi, karena objeknya berupa perbuatan, bukan benda atau barang.
C. Penegak Hukum Dan Gratifikasi Pasif
Anthon Freddy Susanto menyatakan bahwa undang-undang bagi seorang hakim hanyalah teks yang belum selesai dan bukan teks
yang sudah final, bukan hanya berlaku bagi hakim, namun juga bagi penegak hukum lainnya dan bagi penyelenggara pemerintahan.
Undang-undang yang berisi norma hukum yang bersifat umum dan abstrak hanya mengatur secara garis besar hal-hal yang wajib
dilakukan obligattere, yang dilarang dilakukan prohibere dan yang boleh dilakuan permitere.
Rincian operasionalnya diatur lebih lanjut oleh penyelenggara pemerintahan yang lebih mengetahui bagaimana melaksanakan
undang-undang sebagaimana mestinya. Dalam berbagai undang- undang selalu terdapat pendelegasian kewenangan untuk mengatur
lebih lanjut sesuatu hal dengan peraturan pemerintahan atau peraturan presiden.
Hukum pada dasarnya merupakan sistem terbuka, tetapi dalam sistem hukum itu terdapat sistem terbuka dan sistem
tertutup.
23
Pengertian sistem terbuka berarti juga bahwa peraturan- peraturan dalam sistem hukum membuka kemungkinan untuk
perbedaan interpretasi. Karena interpretasi itu, maka peraturan- peraturan itu selalu berubah.
Dalam pandangan Dworkin seperti dikutip Anton Freddy Susanto dikemukakan “bilamana hukum merupakan konsep
interpretatif, ilmu hukum apapun yang ingin dianggap layak menyebut ilmu haruslah dibangun atas dasar suatu interp
retasi”.
24
Sementara itu Paul Scholten mengemukakan interpretasi sistematis sudah ada terletak didalam hukum itu sendiri.
25
Alasannya
23
Ibid.
24
Anthon Freddy Susanto, Semiotika Hukum, Bandung, 2005, hal. 152.
25
Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, Bandung, 2003, hal. 31.
44
aturan-aturan itu secara logika berada dan saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya, mewujudkan satu kesatuan.
Kemudian Anthon Freddy Susanto mengemukakan “...tetapi sistem norma itu sendiri tetap terbuka untuk ditafsirkan. Ketika norma
dibuat, akan berbeda dengan norma yang telah disahkan dan norma yang telah disahkan akan berbeda pula dengan norma setelah
ditafsirkan
”.
26
Keinginan untuk kembali kepada makna formal dari norma biasanya merupakan gangguan serius terhadap bagaimana
norma itu ditangkap oleh si penerima norma. Selain penafsiran hukum oleh akademisi, penemuan hukum
oleh hakim dapat terjadi jika terdapat kekosongan hukum. Bagaimana mengkualifikasikan hukumnya terhadap peristiwa
konkret tertentu. Tidak selalu mudah untuk menemukan hukumnya, karena dalam praktek dapat saja dijumpai aturan hukum tertulisnya
ada, tetapi tidak jelas, tidak lengkap atau bahkan tidak ada sama sekali.
Hakikatnya tidak ada perundang-undangan yang sempurna, pasti didalamnya ada kekurangan dan keterbatasannya. Tidak ada
aturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya atau jelas sejelas-jelasnya dalam mengatur seluruh kegiatan
manusia.
27
Aturan perundangan bersifat statis dan kaku, sedangkan perkembangan kegiatan manusia selslu meningkat dari waktu ke
waktu, baik jenis maupun jumlahnya, sehingga dapat dimengerti kalau kemudian muncul suatu ungkapan “Het recht hink achter de
feiten ann
”, bahwa hukum tertulis selalu ketinggalan dengan peristiwanya.
Peraturan perundang-undangan yang tidak jelas harus dijelaskan terlebih dahulu, sedangkan peraturan perundang-
undangan yang tidak lengkap harus dilengkapi terlebih dahulu agar dapat diterapkan dalam peristiwanya. Peraturan perundang-
undangan yang tidak jelas atau tidak lengkap tidak dapat secara langsung diterapkan terhdap peristiwanya. Oleh karena itu peristiwa
konkret harus ditemukan dengan menjelaskan, menafsirkan atau melengkapi
peraturan perundang-undangannya.
Menjelaskan,
26
Anthon Freddy Susanto, op.cit, hal 91
27
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, UII Press, Yogyakarta, 2006, hal. 78.
45
menafsirkan, melengkapi dan menciptakan aturan hukunya dilakuan agar hukumnya dapat diketemukan. Untuk menemukan hukumnya
dalam suatu peristiwa diperlukan metode penemuan hukum. Dalam upaya menemukan hukumnya terdapat metode penemuan hukum
yang selama ini sudah dikenal, yaitu interpretasi penafsiran, argumentasi penalaran, rendenering, reasoning dan eksposisi
konstruksi hukum. Apabila aturan perundang-undangan tidak jelas digunakanlah metode interpretasi, apabila peraturan perundang-
undangan tidak lengkap atau tidak ada digunakan metode argumentasi dan apabila peraturan perundang-undangan tidak
lengkap atau tidak ada maka digunakan metode argumentasi dan apabila peraturan perundang-undangannya tidak ada digunakan
metode konstruksi hukum eksposisi.
28
Tidak semua kata, istilah dan kalimat yang menunjukkan suatu kaidah hukum, baik yang
dikemukakan dengan lisan atau dinyatakan dengan tertulis dalam bentuk perundangan itu sudah jelas dan mudah dipahami.
Metode interpretasi adalah metode untuk menafsirkan terhdap teks perundang-undangan yang tidak jelas, agar perundang-
undangan tersebut dapat diterapkan terhadap peristiwa konkret tertentu. Ajaran interpretasi dalam penemuan hukum ini sudah lama
dikenal yang disebut dengan hermeneutika yuridis.
Bagi praktek hukum, terutama di pengadilan, hermeneutika memegang arti penting terutama bagi hakim dalam melakukan
penemuan hukum. Penafsiran tidak hanya dilakukan oleh hakim, tetapi juga peneliti hukum dan mereka yang berhubungan dengan
kasus dan peraturan-peraturan hukum. Yang dimaksud penafsiran oleh hakim adalah penafsiran dan penjelasan yang harus menuju
kepada penerapan atau tidak menerapkan suatu peraturan hukum umum terhdap peristiwa konkret yang dapat diterima oleh
masyarakat. Ini bukan metode penafsiran yang dapat digunakan semaunya, tetapi pelbagai kegiatan yang kesemuanya harus
dilaksanakan bersamaan untuk mencapai tujuan, yaitu penafsiran undang-undang. Sesuai dengan Pasal 16 Undang Undang Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman UU No. 4-2004 Jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48
Nomor 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman UU No. 48-2009
28
Ibid.
46
dijelaskan bahwa hakim berkewajiban menerima, memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Jadi tugas penting
hakim ialah menyesuaikan Undang-Undang dengan hal-hal nyata di masyarakat.
Apabila Undang-Undang tidak dapat dijalankan menurut arti katanya, hakim harus menafsirkannya. Dengan kata lain apabila
undang-undangnya tidak jelas, hakim wajib menafsirkannya, sehingga ia dapat membuat suatu keputusan yang adil dan sesuai
dengan maksud hukum yaitu mencapai kepastian hukum sesuai dengan Pasal 27 UU No. 14-1970. Dan atas dasar tersebut orang dapat
mengatakan bahwa menafsirkan undang-undang adalah kewajiban hukum dari hakim. Sekalipun penafsiran merupakan kewajiban
hukum dari hakim, terdapat beberapa pembatasan mengenai kemerdekaan hakim untuk menafsirkan undang-undang tersebut.
Logeman mengatakan bahwa hakim harus tunduk pada kehendak pembuat Undang-Undang.
29
Dalam hal kehendak itu tidak dapat dibaca begitu saja dari kata-kata peraturan perudangan, hakim harus mencarinya dalam
sejarah kata-kata tersebut, dalam sistem Undang-Undang atau dalam arti kata-kata seperti itu yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari.
Hakim wajib mencari kehendak pembuat Undang-Undang, karena ia tidak boleh membuat tafsiran yang tidak sesuai dengan kehendak itu.
Setiap tafsiran adalah tafsiran yang dibatasi oleh kehendak pembuat Undang-Undang. Atas dasar itu hakim tidak diperkenankan
menafsirkan Undang-Undang secara sewenang-wenang. Hakim tidak boleh menafsirkan kaidah yang mengikat, kecuali hanya
penafsiran yang sesuai dengan maksud pembuat Undang-Undang saja yang menjadi tafsiran yang tepat.
30
Dalam praktek, tidak ada prioritas dalam penggunaan metode interpretasi. Oleh karena itu metode interpretasi dapat digunakan
sendiri-sendiri, dapat pula disinergikan dengan beberapa metode interpretasi sekaligus. Dalam hal ini hakim mempunyai kebebasan
atau tidak terikat harus menggunakan metode tertentu, tetapi yang terpenting bagi hakim adalah memilih metode yang tepat agar dapat
mempergunakan undang-undang terhadap peristiwanya.
29
Bambang Sutiyoso, op.cit, hal. 78.
30
Ibid, hal. 83.
47
Dalam hal menafsirkan Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001, dapat digunakan interpretasi historis dan interpretasi ekstensif. Interpretasi
historis adalah penafsiran makna Undang-Undang menurut terjadinya dengan jalan meneliti sejarah, baik sejarah lembaga
hukumnya maupun sejarah terjadinya undang-undang tersebut. Setiap ketentuan peraturan perundang-undangan mempunyai
sejarahnya sendiri. Karena itu bagi para hakim yang bermaksud mengetahui makna kata atau kalimat dalam suatu undang-undang,
dia harus meneliti sejarah kelahiran pasal tertentu itu dirumuskan. Sejarah yang dimaksud adalah sejarah terjadinya peraturan tertentu
dan apa yang merupakan latar belakang, maksud dan tujuan peraturan itu ditetapkannya Jadi yang dilihat bukan kata-demi kata
atu kalimat demi kalimat, melainkan kebulatan peraturannya atau Pasal-pasalnya. Sedangkan interpretasi ekstensif adalah metode
penafsiran yang membuat interpretasi melebihi batas-batas hasil interpretasi gramatikal. Jadi interpretasi ekstensif digunakan untuk
menjelaskan suatu ketentuan undang-undang dengan melampaui batas yang diberikan oleh interpretasi gramatikal bahasa.
Sebagai pengecualian dalam hukum pidana, ada dua pandangan mengenai interpreasi ekstensif yaitu pihak yang
menganggap antara interpretasi ekstensif dengan analogi tidak ada perbedaan, maka dari itu interpretasi ekstensif juga dilarang
digunakan untuk perkara pidana karena melanggar asas legalitas.
Di pihak lain, menganggap antara dua interpretasi dimaksud berbeda, maka dari itu penggunaan interpretasi ekstensif ini dalam
perkara pidana tidak apa-apa.
31
Pada umumnya interpretasi historis menurut Undang-Undang dan interpretasi teleologis bersifat
memperluas makna suatu ketentuan undang-undang. Sedangkan interpretasi ekstensif dan restriktif didasarkan pada hasil dan akibat
dari penemuan hukum perlbagai metode interpretasi.
Penegak hukum memiliki kebebasan untuk menafsirkan gratifikasi pada Pasal 12 huruf b UU No. 14-1970, sesuai dengan
kaidah-kaidah penafsiran yang diperbolehkan dalam hukum pidana apabila dibutuhkan dalam perkembangan motif tindak pidana
korupsi dalam masyarakat yang dapat disebut sebagai penemuan hukum. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya seluruh
31
Ibid, hal. 91.
48
penyelesaian masalah hukum terutama di pengadilan membutuhkan metode penemuan hukum agar aturan hukumnya dapat diterapkan
terhadap peristiwanya, sehingga akan dapat terwujud putusan yang dikehendaki yaitu mengandung aspek keadilan, kepastian hukum
dan kemanfaatan.
D. Pembuktian Gratifikasi Seksual Dalam Tindak Pidana Korupsi 1. Landasan Formil Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Setelah kita merdeka, pembaruan juga dilakukan setapak demi setapak. Berdasarkan Pasal 1 Ayat 3 UUD NRI Tahun 1945
menyebutkan “Negara Indonesia adalah negara hukum rechtstaat berarti bukan atas kekuasaan belaka machtsstaat
” sehingga melahirkan konsep negara hukum Indonesia. Kehidupan kenegaraan
dan kemasyarakatan diatur oleh undang-undang yang pada dasarnya adalah kesamaan hukum.
Pada akhir tahun 1970 nampak perubahan-perubahan sikap terhadap perundang-undangan dimana keseimbangan antara
kehendak untuk mengadakan perubahan melalui perundang- undangan dan kesadaran hukum bahwa dalam usaha yang demikian
perlu diperhatikan nilai-nilai kenyataan yang hidup di masyarakat.
32
Dalam pemikiran filsafat hukum sikap demikian dianjurkan oleh Eugen Ehrlic, yang menyelesaikan pandangan kontroversial
antara Von Savigny dan Jeremy Bentham. Konsep dasar pemikiran Eugen Ehrlic
tentang hukum yang merupakan kunci bagi teorinya adalah apa yang dinama
kan “living law”: “Hukum positif yang baik dan karenanya efektif adalah hukum yang sesuai dengan “living
law” dalam arti selama dengan kenyataan hidup di tentah pergaulan dan mencerminkan nilai-
nilai yang hidup didalamnya”.
33
Sejak diberlakukannya KUHAP pada tanggal 31 Desember 1981, maka untuk pertama kalinya Bangsa Indonesia memiliki
undang-undang yang mengatur Hukum Acara Pidana yang sepenuhnya buatan Bangsa Indonesia sendiri. Undang-undang ini
dibentuk dalam waktu sekitar 2 Dua tahun sebagai suatu karya agung, yang didalamnya mengatur seluruh tahap atau poses acara
pemeriksaan perkara pidana, mulai dari tingkat penyidikan yang
32
Martiman Projohamidjojo, op.cit, hal. 98.
33
Ibid, hal. 2.
49
dilakukan oleh kepolisian Republik Indonesia, tingkat penuntutan yang dilakukan oleh Kejaksaan, sampai tingkat pemeriksaan dan
penjatuhan putusan pengadilan oleh Hakim Pengadilan Negeri. Bahkan sampai tingkat Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung
dalam hal terjadi upaya hukum, baik upaya hukum biasa banding atau kasasi maupun upaya hukum luar biasa kasasi demi
kepentingan hukum dan peninjauan kembali.
Dengan diberlakukannya KUHAP maka peraturan perundang- undangan yang mengatur prosedur atau tata cara beracara pidana
yang ada sebelumnya yakni Het Herziene Inlandsch Reglement atau HIR Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44 yang selama kurang lebih 30
tahun dijadikan pedoman bagi Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara pidana berdasarkan Pasal 6
Undang-Undang Nomor 1 Darurat Tahun 1951, dinyatakan tidak berlaku lagi. Lahirnya KUHAP bukan hanya sekadar pengganti dari
HIR, tetapi lebih dari itu merupakan perubahan warna dan cakrawala hukum nasional, karena KUHAP disusun berdasarkan
landasan filosofi, landasan konstitusional UUD 1945 serta landasan operasional Ketetapan MPR Nomor IVMPR1979 dan UU No. 14-
1970. Disamping itu pembentuk undang-undang ini dengan sengaja telah menciptakan cakrawala hukum acara pidana yang penuh
ditaburi hiasan perlindungan hak asasi manusia.
Pada era Reformasi, munculnya UU No. 31-1999 yang kemudian diubah dengan UU No. 20-2001 bukan hanya
mengakomodasi hukum materil tindak pidana korupsi, akan tetapi juga terkandung hukum formil dalam delik korupsi. Namun
demikian ketentuan dalam KUHAP tidak seluruhnya tergantikan oleh munculnya undang-undang tersebut, namun ada beberapa
ketentuan khusus yang tersemat dalam undang-undang tindak pidana korupsi seperti sistem pembuktian terbalik yang berlawanan
dengan asas
“Presumption of Innocent.”
2. Hukum Positif yang Pernah Berlaku
Martiman Prodjohamidjojo membandingkan peraturan tentang korupsi yang pernah belaku di Indonesia sebagai berikut:
34
1. Peraturan Penguasa Militer No. PrtPM-061957
34
Martiman Projohamidjojo, op.cit, hal. 14.
50
Pemerintah Indonesia sejak tahun 1957 melalui Kepres No. 481957 Kepala Staf Angkatan Darat KSAD Abdul Haris Nasution
selaku penguasa militer menetapkan Peraturan Penguasa Militer No. PrtPM061957 tentang Pemberantasan Korupsi. Salah satu aspek
penting dalam peraturan tersebut adalah membentuk suatu unit kerja yang bertugas menilik harta benda setiap orang yang disangka,
didakwa atau sepatutnya disangka melakukan korupsi, termasuk harta benda suami, istri, anak atau badaninstitusi yang diurus oleh
orang tersebut.
Rumusan korupsi menurut Peraturan Penguasa Militer No. PrtPM-061957dikelompokkan menjadi dua, yakni:
a. tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga baik kepentinangan sendiri, kepentingan orang lain atau untuk
kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian keuangan atau perekonomian negara.
b. tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah daru suatu badan yang menerima
bantuan dari keuangan negara atau daerah, yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenagnan atau kekuasaan
yang diberikan kepadanya oleh jabatan langsung atau tidak langsung membawa keuntungan keuangan atau material baginya.
2. Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat No. Prt013Peperpu0131958
Rumusan korupsi dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat tersebut diatas, dikelompokkan menjadi dua
kelompok besar dan tidap kelompok dibagi lagi menjadi sub kelompok, sehingga menjadi lima sub kelompok jenis korupsi, yakni:
a. Korupsi pidana
1. perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau sesuatu badan yang secara langsung atau tidak
langsung merugikan
keuangan Negara
atau perekonomian Negara atau dareah atau merugikan suatu
badan keuangan atau daerah dan badan hukum lain yang mempergunakan modal atau kelonggaran-kelonggaran dari
masyarakat.
51
2. perbuatan yang dengan atau karena melakukan sesuatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu badan, serta yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan.
3. kejahatan-kejahatan yang tercantum dalam Pasal 209, Pasal 210, Pasal 418, Pasal 419 dan Pasal 420 KUHP.
a. Pasal 209 KUHP menentukan 1. Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
1. barangsiapa memberi ataau menjanjikan sesuatu pada
seorang pejabat dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
2. barangsiapa memberi sesuatu kepada seorang pejabat karena atau berhubung dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajiban, dilakukan dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Pencabutan
hak tersebut dalam Pasal 35 KUHP dapat dijatuhkan, yaitu:
1. Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim
dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang ini, atau dalam aturan
umum lainnya ialah: 1. hak memegang jabatan pada umumnya atau
jabatan yang tertentu; 2. hak untuk memasuki Angkatan Bersenjata;
3. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
4. hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali,
wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;
5. hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian, atau pengampuan atas anak sendiri;
6. hak menjalani mata pencarian tertentu;
52
2. Hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya, jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan
penguasa lain untuk pemecatan itu. b. Pasal 210 KUHP menentukan :
1. Diancam dengan pidana paling lama tujuh tahun 1. barangsiapa member atau menjanjikan sesuatu kepada
seorang hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan tentang perkara yang diserahkan kepadanya
untuk diadili;
2. barangsiapa memberi atau menjanjikan kepada seorang yang menurut ketentuan undang-undang
ditentukan menjadi penasihat atau adviser untuk menghadiri sidang atau pengadilan, dengan maksud
untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang
diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
2. Jika pemberian atau janji dilakukan dengan maksud supaya dalam perkara pidana dijatuhkan pemidanaan,
maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun;
3. Pencabutan berdasarkan Pasal 35 No. 1 sd 4 dapat dijatuhkan.
c. Pasal 418 KUHP menentukan: 1. bahwa seorang pejabat yang menerima hadiah atau janji
padahal diketahui atau sepatutnya harus diduganya, bahwa hadiah atau janji itu diberikan itu karena
kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang
memberi hadiah atau janji itu ada hubungan dengan jabatannya, diancam dengan pidana penjara paling lama
enam bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
d. Pasal 419 KUHP menentukan: 1. Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun,
seorang pejabat: a. yang
menerima hadiah
atau janji,
padahal diketahuinya bahwa hadiah atau janji itu diberikan
53
untuk menggerakkan supaya melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam
jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya; b. yang menerima hadiah mengetahui bahwa hadiah itu
diberikan sebagai akibat atau oleh karena si penerima telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
2. Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun: a. seorang hakim yang menerima hadiah atau janji,
padahal diketahui bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang
menjadi tugasnya;
b. barangsiapa menurut ketentuan undang-undang ditunjuk menjadi penasihat untuk menghadiri sidang
pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk
mempengaruhi nasihat tentang perkara yang harus diputus oleh pengadilan itu;
3. Jika hadiah atau janji itu diterima dengan sadar bahwa hadiah atau janji itu diberikan supaya dipidana dalam
suatu perkara pidana, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
b. Korupsi perdata: 1. perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan
perbutan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak
langsung merugikan keuangan Negara atau Daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari
keuangan negara atau daerah, atau badan lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari
masyarakat.
2. perbuatan seseorang yang dengan atau karena kaya diri sendiri atau orang lain atau seuatu badan dan yang dilakukan dengan
dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan. 3. Undang-Undang No. 24PrpTahun 1960
Disebut juga
sebagai Undang-Undang
Anti Korupsi
merupakan peningkatan dari berbagai peraturan. Sifat dari perpu ini
54
masih bersifat kedaruratan, menurut Pasal 96 UUDS 1950, pasal 139 Konstitusi RIS 1949 yang kemudian dicabut melalui Dekrit Presiden
Repulik Indonesia 5 Juli 1959. Undang-Undang Anti Korupsi Nomor 24PrpTahun 1960 mengandung hal-hal baru yang belum ada
dalam undang-undang korupsi sebelumnya yakni: a. delik percobaan dan delik permufakatan;
b. kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara; c. ada delik pemberian hadiah atau janji kepada pegawai negeri;
d. kewajiban lapor bagi pegawai negeri yang menerima hadiah atau
janji; e. rumusan mengenai pegawai negeri diperluas;
Dengan masuknya pemberian hadiah atau janji dan kewajiban lapor bagi pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji
merupakan awal dari terbentuknya gratifikasi, walaupun belum secara eksplisit dituliskan sebagai suap gratifikasi.
4. UU No. 3-1971
Rumusan delik korupsi pada UU No. 3-1971 mengambil oper rumusan delik korupsi dari Undang-Undang Nomor 24 Prp tahun
1960, baik redaksi mengenai perbuatan-perbuatan maupun sistematikanya. Sehingga karena itu ada dua kelompok delik korupsi,
yaitu delik korupsi yang selesai voltooid dan delik percobaan poging
serta delik permufakatan convenant. Yang terpenting dalam rumusan Pasal 1 sub 1 huruf d :
“Barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam pasal 2 dengan mengingat suatu kekuasaan dan wewenang
yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu”.
Rumusan pasal 1 sub 1 huruf e:
“Barang siapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkat- singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya
seperti yang tersebut dalam pasal-pasal 418, 419 dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian itu atau janji tersebut kepada yang berwajib”.
35
Rumusan Pasal 1 sub 1 huruf d tersebut mulai memasukkan gratifikasi ke dalam Undang-Undang, namun secara eksplisit belum
dinakaman gratifikasi. 5. UU No. 31-1999
Rumusan delik korupsi dengan mengoper sebagian besar dari delik korupsi UU No. 3-1971, dengan perubahan sebagai hal yang
35
Martiman Projohamidjojo, op.cit, hal. 18.
55
menarik untuk diperhatikan, sebagai berikut memperluas subjek delik kerupsi, memperluas pengertian pegawai negeri, memperluas
pengertian delik korupsi, memperluas berbagai modus operandi keuangan negara, delik korupsi dirumuskan secara tegas sebagai
delik formil, subjek korporasi dikenakan sanksi. Sanksi pidana bebeda dengan sanksi pidana Undang-Undang sebelumnya. Akan
dibentuk tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung, agar dalam proses penanganan delik keorupsi tersangkaterdakwa
memperoleh
perlindungan hak-hak
asasi. Dan
diterapkan pembuktian terbalik terbatas dan partisipasi masyarakat berperan
dalam pemberantasan delik korupsi. 6. UU No. 20-2001
Merupakan perubahan dari UU No. 31-1999. Ditambahkan Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001 yang menyematkan gratifikasi
didalamnya dan merupakan hal baru yang bukan dari Undang- Undang sebelumnya.
Dari sejarah perkembangan peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, menurut pandangan
penulis bahwa upaya pembuat Undang-Undang untuk selalu mengikuti perkembangan masyarakat dan adanya upaya membentuk
jaring hukum seluas-luasnya untuk menjerat pelaku delik korupsi dengan modus yang selalu berkembang.
Mengenai masuknya gratifikasi yang merupakan hal baru dalam Undang-Udang tindak pidana korupsi tidak lepas dari niat
pembuat Undang-Undang untuk mencegah dan memberantas korupsi demiki menyelamatkan perekonomian Negara, sehingga
tidak berlebihan jika kata “fasilitas lainnya” dalam Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999, secara ekstensif ditafsirkan termasuk layanan seksual yang disediakan untuk pegawai negeri atau penyelenggara Negara
untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang berhubungan dengan tugas dan tanggung jawabnya yang dapat
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. 3. Intisari Undang-undang Korupsi
UU No. 31-1999 Jo UU No. 20-2001 dimaksudkan untuk mengganti UU No. 3-1971 yang tidak lagi memenuhi kebutuhan
masyarakat dengan harapan dapat memberantas secara efektif
56
berbagai delik korupsi yang makin canggih, merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dan kepentingan masyarakat.
Perluasan subjek delik korupsi yang meliputi korporasi, perluasan pengertian pegawai negeri dari Pasal 92 KUHP maupun
Pasal 1 huruf a UU No. 8-1974, kemudian dimasukkannya korupsi suap menerima gratifikasi, maka UU No. 20-2001, diharapkan
mampu menjangkau lebih banyak pelaku-pelaku delik korupsi.
Pasal 92 KUHP menentukan: a. Yang disebut pejabat, termasuk juga orang-orang yang dipilih
dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum, begitu juga orang-orang yang bukan karena pemilihan,
menjadi anggota badan pembentuk undang-undang, badan pemerintahan, atau badan perwakilan rakyat, yang dibentuk oleh
pemerintah atau atas nama pemerintah; begitu juga semua anggota dewan subak, dan semua kepala rakyat Indonesia asli dan
kepala golongan Timur Asing, yang menjalankan kekuasaan yang sah;
b. Yang disebut pejabat dan hakim termasuk juga hakim wasit; yang disebut hakim termasuk juga orang-orang yang menjalankan
peradilan administratif, serta ketua-ketua dan anggota-anggota pengadilan agama;
c. Semua anggota Angkatan Perang juga dianggap sebagai pejabat. Demikian juga pemberian sanksi pidana yang lebih berat
daripada Undang-Undang sebelumnya. Dalam UU No. 20-2001, memberikan prioritas penanganan delik korupsi dari perkara pidana
umum. Undang-Undang ini juga memungkinkan pemeriksaan terdakwa secara in absensia dengan harapkan untuk menyelamatkan
keuangan negara.
E. Sistem Pembuktian Gratifikasi Seksual Sebagai Korupsi Pasif
Pembuktian dalam hukum acara pidana merupakan suatu bagian penting, karena pada dasarnya setiap proses hukum pidana
mulai tingkat peyidikan sampai tingkat pengadilan tidak luput dari proses membuktikan. Bagi polisi bahkan sejak proses penyelidikan
yang merupakan proses bagaimana menemukan bukti permulaan, pada tahap penyidikan bagaimana menemukan bukti yang
mengkaitkan tersangka terhadap tindak pidana yang disangkakan.
57
Begitu pula dengan proses penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum JPU adalah membuktikan bahwa terdakwa benar-benar melakukan
tindak pidana sesuai dengan yang didakwakan, sedangkan penasihat hukum membuktikan sebaliknya. Hakim memutuskan dengan
mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan dan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan.
Sebenarnya seluruh kegiatan dalam proses hukum perkara pidana, mulai penyelidikan sampai putusan akhir dibacakan di muka
persidangan oleh majelis hakim adalah kegiatan yang berhubungan dengan pembuktian atau kegiatan untuk membuktikan. Walaupun
hukum pembuktian perkara pidana terfokus pada proses pembuktian di sidang pengadilan, namun sebenarnya proses
membuktikan telah ada di penyidikan bahkan saat penyelidikan.
36
Alfitra menyatakan bahwa hukum pembuktian merupakan seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian,
yakni segala proses, dengan menggunakan alat bukti yang sah, dan dilakukan tindakan- tindakan dengan prosedur khusus guna
mengetahui fakta-fakta yuridis di persidangan, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti
tersebutr serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.
37
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan.
Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan dengan undang-
undang
“tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa “dibebaskan” dari hukuman
sesuai Pasal 191 Ayat 1 KUHAP. Pasal 191 KUHAP menentukan bahwa jika berpendapat bahwa
hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakaan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Sebaliknya jika kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang
disebut dalam Pasal 184, terdakwa dinyatak
an “bersalah” dan kepadanya akan dijatuhkan pidana yang sesuai dengan Pasal 193
36
Adami Chazawi, loc.cit, hal. 9.
37
Alfitra, loc.cit, hal. 21.
58
Ayat 1 KUHAP. Menurut ketentuan Pasal 197 KUHAP surat putusan pemidanaan harus memuat:
a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA“;
b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan
terdakwa; c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan
disidang yang menjadi dasar penentuana kesalahan terdakwa; e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal perturan perundang-
undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah dipenuhi semua unsur
dalam rumusan
tindak pidana
disertai dengan
kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan; i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan
menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letak kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap
palsu; k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau
dibebaskan; l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim
yang memutus dan nama panitera. Karenanya hakim haruslah berhati-hati, cermat dan matang
dalam menilai
serta mempertimbangkan nilai pembuktian
pertimbangan hukumnya. Tidak dipenuhinya ketentuan dalam Pasal 197 Ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf
g, huruf h, huruf i, huruf j, huruf k dan huruf l KUHAP mengakibatkan putusan batal demi hukum. Kewajiban hakim juga
59
m eneliti sampai dimana batas minimum “kekuatan pembuktian”
atau bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP. Lebih lanjut Alfitra menyebutkan sumber hukum
pembuktian terdiri dari: 1. Undang-undang;
2. Doktrin atau pendapat para ahli hukum; dan 3. Yurisprudensi;
Karena hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana, sumber hukum yang utama adalah Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1981 Nomor 76 dan Penjelasannya yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209. Dan apabila
dalam praktek menemui kesulitan dalam menerapkan hukumnya atau menjumpai kekurangan atau kekosongan hukum sehingga tidak
dapat memenuhi kebutuhan, maka dipergunakan doktrin atau yurisprudensi.
Van Bummulen
dan Moeljatno
menyatakan bahwa
membuktikan adalah memberikan kepastian yang layak menurut akan redelijk tentang Apakah hal yang tertentu itu sungguh-
sungguh terjadi? dan Apa sebabnya demikian. Senada dengan hal terebut, Martiman Prodjohamidjojo mengemukak
an “membuktikan” mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas
suatu peristiwa sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut.
Alat bukti yang sah adalah alat bukti yang dapat dinilai dan dipertimbangkan hakim dalam rangka membentuk keyakinan untuk
tujuan satu-satunya membuat putusan perkara pidana. Merupakan bukti yang didapat dari alat bukti yang diajukan dan diperiksa dalam
persidangan. Bukan bukti yang didapat dari hasil penyidikan. Bukti yang didapat dari hasil penyidikan hanyalah dapat digunakan oleh
JPU sebagai dasar menyusun surat dakwaan. Didalam sidang pengadilan, bukti atau alat bukti yang didapat dari pekerjaan
penyidikan hanyalah berfungsi membantu menemukan bukti. Memberi arah bagi hakim, penuntut umum maupun penasihat
hukum dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan berdialog terhadap saksi-saksi dan terdawa, antara hakim dengan jaksa
60
penuntut umum maupun dengan penasihat hukum hukum satu sama lain. Kegiatan pembuktian dalam sidang pengadilan, tidak
terfokus lagi pada pencarian alat-alat bukti yang memuat bukti- bukti dan mengurai bukti-bukti, akan tetapi memeriksa alat-alat
bukti yang sudah terlebih dahulu disiapkan oleh penyidik dan diajukan JPU dalam sidang untuk diperiksa bersama hakim, jaksa
dan penasihat hukum.
KUHAP menentukan bahwa pihak yang membuktikan kesalahan terdakwa adalah jaksa penuntut umum, sedangkan
terdakwa bersifat pasif, artinya untuk menolak dan membela diri adalah hak dasar yang dimilikinya. Sebagaimana sifat hak ialah boleh
digunakan boleh juga tidak. Tetapi bagi jaksa penuntut umum untuk membuktikan kesalahan terdakwa adalah kewajiban, bukan hak.
Karena itu membuktikan tentang kesalahan terdakwa bagi JPU bersifat imperatif. Namun demikian hasil pembuktian JPU bukanlah
bersifat final, karena yang menentukan pada tahap akhir dari seluruh kegiatan pembuktian ada pada hakim. Dalam memutuskan hakim
berpijak pada Pasal 183 KUHAP dimana terdapat ketentuan tentang standar pembuktian atau disingkat standar bukti.
Tindak pidana korupsi sebagai hukum pidana yang bersumber pada undang-undang khusus hukum pidana, disamping memuat
hukum pidana materil juga memuat hukum pidana formil. Dalam hal hukum
pembuktian korupsi
memiliki perbedaan
dengan pembebanan pembuktian di KUHAP. Dalam hal-hal tertentu dan
pada tindak pidana tertentu terdapat perbedaan dimana beban pembuktian tidak mutlak berada pada JPU, namun ada pula pada
terdakwa atau kedua belah pihak secara berlawanan. Dalam hukum pembuktian
tindak pidana
korupsi sistem
pembebanan pembuktiannya tidak hanya pada JPU, namun apabila terdakwa
didakwa selain tindak pidana korupsi yakni harta benda terdakwa, maka beban pembuktian harta tersebut ada pada terdakwa.
Dalam konteks yang komprehensif, tidak dapat dipungkiri bahwa korupsi merupakan
“White Collar Crime” dengan perbuatan yang selalu mengalami dinamisasi modus operandinya dari segala
sisi, sehingga dikatakan sebagai “Invisible Crime” yang sangat sulit
memperoleh prosedural pembuktiannya, karena memerlukan pendekatan sistem terhadap pemberantasannya.
61
Di dalam rancangan undang-undang tentang tindak pidana korupsi Pasal 12 huruf a, sistem pembuktian beban pembuktian, telah
dicantumkan secara tegas dan jelas oleh Andi Hamzah mengenai rumusan deliknya yang berkaitan dengan Pasal 419 dan Pasal 420
KUHP.
Menurut Indriyanto Seno Adji berdasarkan alasan pendekatan historis diperlukan suatu cara atau metode untuk membangunkan
ketentuan atau Pasal suap tersebut dalam pembaruan terhadap perundang-undangan tindak pidana korupsi.
38
Memang harus diakui perumusan ketentuan Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001 ini dari sisi pendekatan hukum pidana meniadakan
makna asas pembalikan beban pembuktian manakala unsur yang berhubungan dengan jabatan dan yang melakukan pekerjaan
bertentangan dengan kewajiban, artinya kewajiban pembuktian adalah imperatif pada JPU untuk membuktikannya. Namun apabila
dicermati secara seksama, dengan perubahan tekstual rumusan delik antara Pasal rancangan dengan Pasal barunya, yaitu Pasal 12 huruf b
UU No. 20-2001, memang telah terjadi pergeseran, bukan peniadaan, atas makna rumusan deliknya, yaitu:
▲ Tidak jelas lagi berstanddeel delik dari rumusan deliknya,
sedangkan delik inti ini sangat menentukan perbuatan yang dapat dikenakan pidana dan siapa yang harus membuktikannya;
▲ Bahwa dengan rumusan delik tersebut, baik pemberian gratifikasi maupun unsur yang berhubungan dengan jabatannya
dan yang berlawanan dengan jabatannya atau tugasnya kembali menjadi kewajiban JPU untuk membuktikannya.
Pembebanan pembuktian
sistem pembuktian
terbalik berimbang adalah pembuktian oleh terdakwa tentang kekayaan
terdakwa yang seimbang dengan sumber pendapatannya harta diperoleh secara halal. Namun bagi jaksa tetap dibebani pembuktian
perihal tindak pidana yang didakwakan dalam perkara pokok.
39
Namun apabila Jaksa Penuntut Umum mendakwa terdakwa dengan korupsi suap menerima gratifikasi yang nilainya sepuluh juta
rupiah atau lebih sesuai Pasal 12 huruf b Ayat 1 huruf a UU No. 20-
38
Indriyanto Seno Adji, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum Pidana, Diadit Media, Jakarta, 2007, hal. 350.
39
Adami Chazawi, loc.cit, hal. 6.
62
2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999, maka beban pembuktiannya ada pada terdakwa. Namun apabila
terdakwa atau penasihat hukumnya tidak dapat membuktikan, maka ketidak mampuan terdakwa membuktikan tersebut dapat digunakan
oleh JPU untuk memperkuat alat bukti yang telah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Dalam sistem semi
terbalik ini antar jaksa dan terdakwapenasihat hukumnya sama- sama membuktikan hal yang berlawanan. Jaksa membuktikan
terdakwa bersalah artinya secara positif dan terdakwapenasihat hukum membuktikan tidak bersalah atau secara negatif.
Dimulainya proses pembuktian dalam sidang pengadilan antara JPU, Penasihat Hukum dan Majelis Hakim adalah sama, akan
tetapi mengenai perihal berakhirnya tidak sama. Pembuktian akan berakhir pada saat kesimpulan tentang
terbukti atau tidaknya tindak pidana yang didakwakan tersebut. Masing-masing peran berdasarkan berakhirnya pembuktian adalah
sebagai berikut: Jaksa Penuntut Umum
“berakhir saat kesimpulan dibuat dalam bentuk surat tuntutan, yang dapat dipertegas atau disempurnakan
dalam repliknya ”;
Penasihat Hukum “berakhir saat kesimpulan dibuat dalam nota
pembelaan yang dapat disempurnakan dalam duplik ”;
Majelis Hakim “berakhir saat kesimpulan dibuat dalam bentuk
putusan akhir yang dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum
”. Proses pembuktian oleh Majelis Hakim dapat dilakukan pada
tingkat banding, namun pada tingkat kasasi tidak lagi dilakukan proses pembuktian, karena pada dasarnya dalam tingkat kasasi
memeriksa 4 Empat hal yakni: 1. Judex factie tidak menerapkan hukum yang ada dan seharusnya
diterapkan; 2. Judex factie menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya;
3. Judex factie telah menjalankan proses pengadilan yang menyalahi hukum;
4. Judex factie dalam mengadili dan memutus telah melampaui batas wewenangnya.
63
Berdasarkan pemahaman arti pembuktian sidang pengadilan di atas, pembuktian dapat dibedakan menjadi 2 Dua bagian yaitu:
1. Kegiatan mengungkapkan fakta; 2. Pekerjaan menganalisis fakta yang sekaligus menganalisis hukum.
Bagian pembuktian yang pertama adalah kegiatan pemeriksaan alat-alat bukti yang diajukan dimuka sidang pengadilan oleh JPU dan
Penasihat Hukum ádè charge atau atas kebijakan Majelis Hakim. Proses pembuktian bagian pertama ini akan berakhir pada saat ketua
Majelis Hakim mengucapkan secara lisan bahwa pemeriksaan perkara telah selesai.
Bagian pembuktian kedua adalah pembuktian yang berupa menganalisa fakta-fakta yang didapat dalam persidangan dan
menganalisa hukum masing-masing oleh tiga pihak tersebut requisitoir, pledooi dan vonis. Sebagian besar praktisi mengartikan
pembuktian adalah pembuktian sebagaimana pembuktian bagian kedua saja, sehingga pembuktian kedua ini dapat pula diartikan
sebagai pembuktian dalam arti sempit. Sedangkan pembuktian dalam arti luas adalah seluruh proses pembuktian baik yang pertama
dan bagian kedua, sehingga dapat disimpulkan sementara bahwa keseluruhan ketentuan hukum yang mengatur segala segi tentang
pembuktian itulah yang disebut dengan hukum pembuktian. Dan telah kita ketahui bahwa kegiatan pembuktian telah diatur dalam
KUHAP untuk hukum umum dan bisa ditambah dengan aturan khusus diluar kodifikasi seperti pembuktian dalam tindak pidana
korupsi.
Jenis-jenis alat bukti yang boleh dipergunakan dan kekuatan pembuktian serta cara bagaimana dipergunakannya alat-alat bukti
tersebut untuk membuktikan di sidang pengadilan adalah hal paling pokok dalam hukum pembuktian dengan sistem negatif. Tiga hal
pokok itu telah tertuang dalam Pasal-pasal dalam bagian keempat KUHAP. Mengenai macam-macam alat bukti dimuat dalam Pasal 184
KUHAP. Sedangkan mengenai cara mempergunakan alat-alat bukti dan kekuatan pembuktian alat-alat bukti dimuat dalam Pasal 185
hingga Pasal 189 KUHAP.
Pasal 185 termaktub bahwa mengenai macam-macam alat bukti yang sah dan boleh dipergunakan untuk membuktiakan yang telah
ditentukan dalam Pasal 184 Ayat 1 KUHAP ialah
64
1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli;
3. Surat; 4. Petunjuk;
5. Keterangan terdakwa.
Keterangan saksi menurut ketentuan Pasal 185 KUHAP yaitu 1. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan
di sidang pengadilan; 2. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya;
3. Ketentuan sebagaimana dalam ayat 2 tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya;
4. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang kejadian atau keadaan yang dapat digunakan sebagai suatu alat
bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan
adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu;
5. Baik pendapat maupun rekanan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi dalam menilai
kebenaran keteraangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan:
a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan lainnya; b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c. alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk
memberikan keterangan tertentu; d. cara hidup daan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang
pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya;
6. Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila
keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah
yang lain; a. Keterangan ahli menurut ketentuan Pasal 186 KUHAP ialah
apa yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan;
65
b. Bukti Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 Ayat 1 huruf c KUHAP, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan
sumpah adalah 1. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat
oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian
atau keadaan yang disengar, dilihat atau yang didalamnya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangan ahli itu;
2. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang- undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal
yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian suatu
keadaan;
3. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu
keadaan yang diminta secara resmi dari padanya; 4. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya
dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Petunjuk menurut ketentuan Pasal 188 KUHAP yaitu:
1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya;
2. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa;
3. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi
bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Keterangan terdakwa menurut ketentuan Pasal 189 KUHAP yaitu:
1. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri
atau alami sendiri; 2. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat
digunakan untuk membantu untuk menemukan bukti disidang,
66
asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya;
3. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri;
4. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Jika dibandingkan dengan alat-alat bukti dalam Pasal 295 HIR,
maka alat-alat bukti dalam Pasal 184 Ayat 1 KUHAP ada perbedaan yaitu
Alat bukti pengakuan menurut HIR, yang dalam KUHAP
diperluas menjadi keterangan terdakwa, pengertian keterangan terdakwa lebih luas dari sekadar pengakuan.
Dalam KUHAP ditambahkan alat bukti baru yang dulu dalam HIR bukan merupakan alat bukti, yakni keterangan ahli.
Pembuktian adalah usaha untuk membuktikan sesuatu melalui alat-alat bukti yang dapat dipergunakan dengan cara-cara tertentu
untuk menyatakan apakah itu bukti atau tidak menurut ketentuan Undang-Undang. Kesulitan dalam memberantas tindak pidana
korupsi terletak pada kesulitan dalam hal membuktikan kejahatan korupsi di sidang pengadilan. Hukum konvensional dalam KUHAP
yang berpijak pada asas Presumption of Innocent tidak mempermudah pembuktian perkara korupsi di sidang pengadilan. Karenanya upaya
luar biasa perlu dilakukan dengan memasukkan sistem pembebanan terbalik dan semi terbalik dalam hukum acara pembuktian delik
korupsi Omkering Vanhet Bewijslast.
Telah disebutkan diatas mengenai pengertian sempit pembuktian dimana mengacu pada ketentuan tentang standar-
standar dalam hal membuktikan sesuatu in casu kesalahan terdakwa dalam melakukan tindak pidana yang didakwakan seperti dalam
negatif wettelijk
menurut undang-undang yang terbatas seperti pada Pasal 183 KUHAP, standar bukti untuk menyatakan terbuktinya
kesalahan terdakwa ialah 1. Harus ada atau sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan
2. Keyakinan hakim, artinya dari dua alat bukti itu hakim
memperoleh keyakinan bahwa telah terjadi tindak pidana.
67
Mengenai sistem pembebanan mengacu pada pihak mana yang dibebankan kewajiban untuk membuktikan dan hal apa yang harus
dibuktikan, dan juga sebagai standar ukur untuk menentukan terbukti tidaknya pembuktian.
Mengacu pada definisi sistem pembuktian dan sistem pembebanan pembuktian tersebut, maka kekhususan dalam hukum
acara tindak pidana korupsi lebih mengacu pada sistem pembebanan pembuktian. Secara umum sistem pembuktiannya sama dengan
sistem pembuktian yang mengacu pada Pasal 183 KUHAP, khususnya bagi hakim dalam menilai alat-alat bukti. Standar yang
harus diikuti dalam menyatakan terbukti atau tidaknya tindak pidana korupsi dan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana
tetap terikat pada Pasal 183 KUHAP. Menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Inilah asas pokok dalam hukum acara pidana yang
tidak mudah dikesampingkan oleh hukum pembuktian acara pidana khusus.
Jadi sungguh berbeda dengan apa yang sering di dengar, bahwa sistem pembuktian dalam tindak pidana korupsi telah
menganut sistem pembuktian terbalik. Sesungguhnya yang dimaksud adalah sistem pembebanan pembuktian terbalik.
40
Dalam sistem pembebanan pembuktian khusus tindak pidana korupsi
disamping memuat ketentuan pihak mana JPU atau terdakwa yang dibebani untuk membuktikan, memuat pula berbagai ketentuan
antara lain:
y Tentang tindak pidana atau dalam hal mana berlakunya beban
pembuktian pada jaksa penuntut umum atau penasihat hukum atau keduanya misalnya dalam hal gratifikasi, jika nilainya kurang
dari Rp 10.000.000,00 Sepuluh Juta Rupiah, maka beban pembuktianya ada pada Jaksa Penuntut Umum, namun jika
nilainya Rp 10.000.000,00 Sepuluh Juta Rupiah atau lebih, beban pembuktiannya ada pada terdakwa;
40
Adami Chazawi, loc.cit, hal. 72.
68
y Untuk kepentingan apa beban pembuktian itu diberikan pada satu
pihak, seperti pada sistem terbalik, untuk membuktikan harta yang belum didakwakan adalah kewajiban terdakwa untuk
membuktikan bahwa harta itu bukan hasil korupsi agar tidak dijatuhkan atau dijatuhkan pidana perampasan barang terhadap
harta yang dimiliki dan belum didakwakan;
y Hukum pembuktian khusus korupsi juga memuat hukum formil
pembuktian yakni tentang cara membuktikan. Pada sistem pembuktian semi terbalik mengenai harta benda yang diduga
membpunyai
hubungan dengan
perkara korupsi
yang didakwakan. Dilakukan terdakwa dengan cara terdakwa
membuktikan bahwa kekayaannya, kekayaan istri atau suami atau anaknya atau siapa saja yang dapat dihubungkan dengannya
adalah sesuai dengan sumber pendapatan atau sumber tambahan kekayaannya tersebut;
y Akibat hukum dari pembuktian tersebut telah jelas yakni hakim
akan menyatakan tidak terbukti apabila terdakwa dapat membuktikan bahwa tidak melakukan tindak pidana korupsi
dalam sistem pembuktian terbalik. Yang diikuti dengan amar putusan bebas vrijspraak terdakwa. Atau apabila terdakwa tidak
dapat membuktikan bahwa harta benda yang dimilikinya yang belum didakwakan bukan hasi korupsi, akibat hukumnya harta
benda tersebut dianggap sebagai hasil korupsi dan hakim akan memutus barang tersebut dirampas untuk negara.
Ketentuan mengenai pembuktian dalam perkara khusus tindak pidana korupsi dapat dilihat pada Pasal 12 huruf b Ayat 1 huruf a
dan huruf b; Pasal 37; Pasal 37 huruf a; dan Pasal 37 huruf b UU No. 20-2001. Dan jika dicermati ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal
tersebut dapat diklasifikasikan tentang tiga sistem pembebanan pembuktian yang berlaku yaitu
o Sistem biasa, sesuai dengan KUHAP yakni pembebanan
pembuktian ada pada jaksa penuntut umum dengan prinsip negatif berdasarkan undang-undang yang terbatas;
o Sistem terbalik, beban pembuktian ada pada terdakwa yakni
terdakwa membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini dilakukan terdakwa apabila menerima
gratifikasi yang nilainya Rp 10.000.000,00 Sepuluh Juta Rupiah
69
atau lebih, terdakwa dianggap bersalah, sehingga terdakwa wajib membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Sistem pembebanan
pembuktian ini berlawanan dengan asas praduga tak bersalah;
o Sistem berimbang atau semi terbalik, yakni kewajiban
pembebanan pembuktian ada pada jaksa penuntut umum dan terdakwa sekaligus secara berimbang.
Dalam hal gratifikasi yang berupa layanan seksual sesuai dengan penjelasan Pasal 12 huruf b Ayat 1 UU No. 20-2001, maka
sistem pembuktian yang diterapkan haruslah dihubungkan dan dikupas Pasal demi Pasal tentang hukum formilnya dan
dihubungkan dengan asas-asas umum dalam hukum pidana mengingat layanan seksual sangat sulit jika ditentukan nilainya misal
lebih dari Rp 10.000.000,00 Sepuluh Juta Rupiah atau kurang.
Ketentuan Pasal 37 Ayat 1 UU No. 31-1999 yang menyatakan bahwa “terdakwa berhak membuktikan bahwa dirinya tidak
melakukan tindak pidana korupsi”, hal ini secara umum merupakan hak yang secara akusatoir dianut dalam KUHAP, hak yang demikian
ditegaskan atau tidak sama saja. Artinya pada Pasal 37 Ayat 1 UU No. 31-1999 tersebut merupakan hak dasar dari terdakwa untuk
membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah yang memang melekat pada terdakwa sejak dirinya ditetapkan sebagai tersangka atau
terdakwa. Sedangkan ketentuan Pasal 37 Ayat 2 UU No. 31-1999 yang berbunyi “dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia
tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan
bahwa dakwaan tidak terbukti”, hal inilah sebagai dasar hukum beban pembuktian terbalik hukum acara pidana korupsi. Jika
dikaitkan dengan Pasal 12 huruf b, bahwa sistem terbalik yang berimbang pada Pasal 37 UU No. 31-1999 berlaku pada tindak pidana
korupsi menerima gratifikasi yang nilainya Rp 10.000.000,00 Sepuluh Juta Rupiah atau lebih, dengan kata lain beban pembuktian
terbalik ini diterapkan apabila gratifikasi yang diterima pegawai negeri atau penyelenggara negara adalah benda berharga atau yang
dapat disamakan dengan benda berharga yang nilainya Rp 10.000.000,00 Sepuluh Juta Rupiah atau lebih, sehingga gratifikasi
yang berbentuk layanan seks sulit sekali untuk diterapkan beban pembuktian terbalik jika mengacu pada Pasal 12 huruf b tersebut.
70
Sedangkan Pasal 37 huruf a Ayat 3 UU No. 20-2001 bahwa sistem terbalik menurut Pasal 37 UU No. 20-2001, berlaku dalam hal
pembuktian tentang sumber asal harta benda terdakwa diluar perkara pokok pasal-pasal yang disebutkan dalam Pasal 37 huruf a in
casu
hanyalah tindak pidana korupsi suap gratifikasi yang tidak disebut dalam Pasal 37 huruf a Ayat 3 UU No. 31-1999. Namun
demikian ada beberapa hal yang perlu dicermati mengenai ketentuan-ketentuan pada Pasal 12 huruf b yang menurut Adami
Chazawi aneh dan tidak lazim
41
seperti: Dalam rumusan korupsi suap menerima gratifikasi nampak
seolah-oleh subjek hukumnya adalah si penyuap, sesungguhnya bukan, melainkan pegawai negeri yang menerima suap karena
tidak diberikan ancaman pidana pada pemberi suap gratifikasi dalam Pasal 12 huruf b. Justru yang diancam pidana pada Ayat 2
adalah pegawai negeri atau penyelenggaran negara yang menerima suap gratifikasi. Karena itu rumusan suap menerima
gratifikasi bukan ditujukan pada subjek hukum pemberi suap, tetapi ditujukan pada penerima suap gratifikasi, karena ancaman
pidananya jelas ditujukan pda pegawai negeri yang menerima suap. Walaupun pemberi suap gratifikasi tidak diancam pidana
berdasrkan Pasal 12 huruf b, tetapi si penyuap dipastikan diancam pidana menurut pasal-pasal korupsi suap aktif mana yang paling
sesuai dengan perbuatannya. Bukan berarti si pemberi suap gratifikasi tidak bisa dituntut. Korupsi suap aktif yang dimaksud
adalah Pasal 5 Ayat 1 huruf a atau huruf b; atau Pasal 6 Ayat 1 huruf a atau Pasal 13 bisa saja salah satunya didakwakan dan
dituntutkan pada pemberi suap gratifikasi.
Pasal 5 UU No. 20-2001 menentukan: Ayat 1: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
satu tahun dan paling lama 5 Lima tahun danatau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,000 Lima Puluh Juta Rupiah dan paling
banyak Rp 250.000.000,00 Dua Ratus Lima Puluh Juta Rupiah setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai Negara atau
penyelenggara Negara dengan maksud supaya pegawai negeri
41
Adami Chazawi, loc.cit, hal. 78.
71
atau penyelenggara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya, atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan
dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Pasal 6 Ayat 1 UU No. 20-2001 menentukan: 1. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tiga tahun dan
paling lama 15 Lima Belas tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 Seratus Lima Puluh Juta Rupiah dan
paling banyak Rp 750.000.000,00 Tujuh Ratus Lima Puluh Juta Rupiah setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan
maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili, atau
b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan
menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang
akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
Hal ini tergantung pada bentuk pemberi suap yang mana yang
paling sesuai. Penyidik dan penuntut umum wajib mengajukan salah satu pasal yang sesuai tersebut.
Rumusan suatu tindak pidana yang sempurna, ialah
mencantumkan subjek hukumnya, unsur-unsurnya unsur perbuatan, objek tindak pidana, unsur-unsur lain sekitar atau
yang melekat pada perbuatan dan atau melekat pada objek tindak pidana, dan unsur mengenai batin dan mencantumkan pula
ancaman pidana. Terkadang perlu dicantumkan kualifikasi. Tidak demikian halnya mengenai rumusan tindak pinda korupsi suap
menerima gratifikasi Pasal 12 huruf b. Perhatikan rumusan Pasal 12 huruf b A
yat 1 disebut “setiap gratifikasi kepada pegwai negeri atau penyelenggara negara dianggap menerima suap,
apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,...” sedangkan pengertian
gratifikasi dijelaskan dalam penjelasan Pasal 12 huruf b tersebut
72
adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut, baik yang
diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa
sarana elektronik.
Mencantumkan kata “dianggap” dalam rumusan pada ayat 1
mengandung makna bahwa rumusan korupsi suap menerima gratifikasi ayat 1 ini pada dasarnya bukan suap, tetapi dianggap
saja. Gratifikasi memang bukan bentuk tindak pidana korupsi, melainkan pengertian harfiah ialah pemberian dalam arti luar .
Dari ketiga hal yang dikemukakan Adami chazawi tersebut, dapat dimengerti bahwa gratifikasi bukan merupakan jenis atau
kualifikasi dari delik. Yang dijadikan delik bukan gratifikasinya melainkan perbuatan “menerima” gratifikasi tersebut. Dalam praktek
sulit dibuktikan telah terjadi gratifikasi seksual, kecuali tertangkap tangan yang disertai dengan alat bukti lainnya. Kewajiban terdakwa
membuktikan bahwa itu bukan gratifikasi, namun proses membuktikan ters
ebut merupakan “hak” terdakwa. Namun dalam sistem akusatoir, maka hak terdakwa membela diri bahwa tidak
sepeser pun ia menerima sesuatu yang masuk pengertian gratifikasi. Persoalannya ialah dalam hukum pembuktian dalam acara pidana,
sesuatu yang wajib dibuktikan adalah mengenai sesuatu yang ada, misal suatu keadaan atau kejadian. Yang harus dibuktikan adalah
sesuatu yang positif bukan yang negatif. Oleh karenanya memang sulit bagi terdakwa untuk membuktikan bahwa ia tidak menerima
suatu pemberian dan yang mudah adalah mengenai cara terdakwa membuktikan bahwa yang diterimanya bukan merupakan tindak
pidana korupsi menerima gratifikasi.
Adami Chazawi berpendapat bahwa bekerjanya suatu kegiatan pembuktian bergantung dari objek yang harus dibuktikan. Jika
terdakwa didakwa korupsi suap menerima gratifikasi maka objek pembuktiannya ada 4 Empat.
42
Empat Objek tersebut adalah 1. Objek apa yang diterima dalam hal gratifikasi seksual berupa
layanan seks atau atau pekerja seks komersial;
42
Ibid, hal. 84.
73
2. Objek yang didakwakan bukan terdakwa yang menerimanya, atau dibuktikan orang lain yang menerimanya;
3. Tidak adanya hubungan antara objek apa yang diterima dengan dengan jabatan dan kedudukan terdakwa;
4. Dengan diterimanya objek tersebut, tidak mempengaruhi atau tidak berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya.
Mengenai objek pertama memang sulit dalam proses pembuktiannya, apalagi gratifikasi dalam bentuk layanan seks yang
telah diterima atau dilakukan terdakwa sangatlah sulit untuk dibuktikan karena begitu luasnya pengertian gratifikasi. Mengenai
pembuktian dalam tindak pidana gratifikasi dalam bentuk layanan seks atau perempuan yang merupakan salah satu bagian dari
gratifikasi dalam arti luas sesuai Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001, penulis berpendapat beban pembuktiannya ada pada terdakwa,
dalam arti terdakwa wajib membuktikan bahwa:
S Tidak ada sesuatu yang diterimanya layanan seks, baik dalam
satu paket dengan barang atau uang maupun secara terpisah, atau mengenai gratifikasi seksual bukanlah dirinya yang
menerima;
S Jika memang benar telah menerima layanan seks tersebut,
terdakwa wajib membuktikan bahwa yang diterimanya tersebut bukanlah gratifikasi sesuai yang dimaksud Pasal 12 huruf b UU
No. 20-2001;
S Atau jika benar telah menerima layanan seks sebagai gratifikasi,
maka terdakwa wajib membuktikan bahwa yang diterimanya itu tidak ada hubungannya dengan jabatannya; atau tidak
berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya;
Apabila terdakwa dapat membuktikan salah satu dari tiga keadaan tersebut, tanpa melihat dan mempertimbakan hasil
pembuktian jaksa penuntut umum, dalam sistem beban pembuktian terbalik, maka akibat hukumnya adalah terdakwa tidak akan dijatuhi
pidana atau dengan kata lain terdakwa dibebaskan. Namun perlu diingat bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
huruf b Ayat 1 UU No. 20-2001, tidak belaku jika penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam tempo 30 Tiga Puluh
74
hari Pasal 12 huruf c dapat diartikan sebagai alasan peniadaan penuntutan pidana vervolgingsluitings gronde.
Dalam tindak pidana korupsi menerima gratifikasi dalam bentuk seks, ketentuan Pasal 12 huruf c UU No. 20-2001, yakni
laporan pegawai negeri yang menerima layanan seks nampaknya akan sulit dilakukan, mengingat perbuatan menerima layanan seks
melanggar norma-norma yang hidup dan berkembang di masyarakat disamping ketentuan dalam UU No. 20-2001.
F. Gratifikasi Seksual Dalam Perspektif Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Kejaksaan sering gagal dalam memenangkan perkara korupsi, vonis hakim yang dijatuhkan pada umumnya jauh lebih ringan
ketimbang tuntutan jaksa bahkan ada koruptor yang dinyatakan bebas oleh hakim. Kegagalan jaksa penuntut umum disebabkan
karena kurangnya alat dan barang bukti yang diperoleh oleh jaksa penuntut umum untuk membuktikan terdakwa benar-benar
melakukan tindak pidana korupsi, atau di sini Kejaksaan sulit untuk membuktikan bahwa terdakwa telah merugikan keuangan Negara
dan harta kekayaannya hasil dari korupsi.
43
Kesulitan yang dihadapi penegak hukum adalah dalam hal pembuktian. Minimnya alat bukti dan saksi dalam membuktikan
apakah terdakwa telah menerima layanan seks dan kemudian apakah layanan seks itu berhubungan dengan jabatannya atau
mempengaruhi tugas dan tanggung jawabnya untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang dapat merugikan negara.
Perihal yang dapat dikategorikan sebagai layanan seks sehubungan dengan alat bukti yang dapat diajukan oleh penuntut
umum sangatlah subjektif. Menurut Koordinator Masyarakat Transparansi Indonesia MTI Jamil Mubarok, ada banyak modus
suap syahwat. Ada yang diberikan di awal sebagai pelicin, di tengah perundingan, atau di akhir sebagai hadiah atas bantuan si penerima.
Lebih dari itu pola yang sering dilakukan oleh penerima layanan seks biasanya pelayan seks itu sebagai alat negosiasi. Menurut Jamil
Mubarok apabila penyuapan seks terjadi pada bagian akhir, hal
43
Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Aspek Internasional
, Mandar Maju, Bandung, 2004, hal. 55.
75
tersebut mengindikasikan hadiah dari si pemberi atas semua proses telah dilakukan si penerima. Uang telah diberi, kebijakan telah
diubah, kemudian suap seks diberikan sebagai hadiah cuma-cuma. Tetapi sebenarnya itu juga bukan suap cuma-cuma, justru sebagai
saham untuk memperlancar suap selanjutnya.
44
Mengenai alat bukti, Pasal 184 Ayat 1 KUHAP memuat keterangan saksi, keterangan terdakwa, keterangan ahli, dan bukti
petunjuk penyadapan bagi KPK, dan dengan dua alat bukti telah cukup menjerat para penerima layanan seks sebagai gratifikasi,
apalagi terdakwa tertangkap tangan dengan perempuan yang memberikan layanan seks yang ada kaitannya dengan perbuatan
terdakwa yang telah diduga melakukan tindak pidana korupsi.
Salah satu penyebab kurang berhasilnya pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini adalah perumusan tindak pidana
korupsi yang saat ini berlaku tidak dapat menjangkau pemberian gratifikasi seksual, apalagi kedua pelakunya, baik pemberi maupun
penerima gratifikasi seksual adalah bukan pegawai negeri atau penyelenggara negara.
44
Ibid.
76
BAB III ALUR KONSEPTUAL
A. Dasar Normatif Perumusan Tindak Pidana Gratifikasi Seksual 1. Formulasi Norma Perbuatan Tindak Pidana Gratifikasi Seksual
Kebijakan kriminal sebagai salah satu upaya penanggulangan kejahatan memiliki berbagai dimensi. Salah satu dimensinya adalah
dimensi pencegahan, dimensi ini mengarahkan segala upaya untuk menyelesaikan faktor penyebab terjadinya kejahatan.
Penyebab utama kejahatan korupsi adalah birokrasi birokrasi yang lemah dalam pengawasan, oleh karenanya konsep
“good governance
” menjadi salah satu solusi untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Selain itu dimensi pencegahan juga dapat
dilakukan dengan merumuskan tindak pidana dan sanksi pidana secara tepat juga dapat mencegah orang melakukan kejahatan
korupsi dan gratifikasi seksual. Pada dimensi pencegahan hukum, usaha yang sesuai dalam menegakkan hukum juga dapat mencegah
terjadinya kejahatan, termasuk kejahatan gratifikasi seksual.
Penanggulangan kejahatan termasuk di dalamnya kejahatan korupsi juga dilakukan dengan penerapan hukum pidana yang
meliputi pelaksanaan hukum pidana. Usaha penanggulangan kejahatan juga dipengaruhi oleh sikap masyarakat terhadap
kejahatan
itu sendiri
dan partisipasi
masyarakat dalam
menanggulangi tindak pidana gratifikasi seksual. Salah satu sarana yang digunakan dalam merancang dan
melaksanakan kebijakan sosial adalah dengan dengan menggunakan hukum dan peraturan perundang-undangan pada suatu negara.
Kebijakan penanggulangan kejahatan dimulai dari tahap formulasi atau perumusan perturan perundang-undangan yang dilanjutkan
dengan penerapan.
Menurut Montesque, penggunaan hukum positif sebagai salah satu cara menanggulangi kejahatan harus memperhatikan nilai-nilai
yang hidup dan berkembang dalam masyarakat suatu bangsa. Hukum positif harus mutlak mencerminkan sebab pertama keadilan
yang tertulis di alam semesta, maka hukum positif itu juga harus
77
mencerminkan kondisi khas masyarakat yang dituju oleh penyusun hukum tersebut.
Hukum harus sesuai dengan dengan masyarakat yang menjadi tempat penerapannya. Hal ini disebabkan karena hukum itu menurut
Carl Von Savigny timbul bersama-sama masyarakat tidak bisa
terpisahkaan dari masyarakat tersebut. Hukum harus didasarkan pada keyakinan umum masyarakat
volkgieist. Hukum dianggap oleh Carl Von Savigny sebagai produk
dari kehidupan masyarakat sebagai manifestasi dan semangat bangsa. Dengan demikian, hukum memiliki sumber umum pada
kesadaran masyarakat.
Norma hukum dapat dibentuk secara tertulis maupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga yang berwenang membentuknya.
45
Berkenaan dengan peembentukan dan penghapusan norma dipengaruhi oleh sistem norma tersebut. Terdapat dua sistem norma,
yaitu sistem norma statik dan sistem norma dinamik. Menurut Hans Kelsen suatu norma itu berlapis dan berjenjang dalam suatu susunan
hierarki, norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasarkan pada norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi berlaku
dan bersumber juga bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya hingga
akhirnya “regresus”. Hal ini berhenti pada suatu norma dasar grundnorm. Norma dasar merupakan
norma tertinggi yang berlakunya tidak bersumber dan tidak berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi. Berkenaan dengan hal ini, maka
pencipta norma gratifikasi seksual harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan lainnya, baik secara vertikal maupun secara
horizontal dan pada akhirnya berdasarkan pada grundnorm, yaitu UUD NRI 1945.
Wujud penampakan norma yaitu dalam peraturan perundang- undangan dimana mengandung tiga unsur, yaitu:
Norma hukum; Berlaku keluar;
Bersifat umum dalam arti luas. Sifat norma dalam peraturan perundang-undangan berupa:
▫ Perintah; ▫ Larangan;
45 Widodo Eka Tjahjana, hal. 19.
78
▫ Pengizinan; ▫ Pembebasan.
Usulan norma yang dirumuskan di dalam tindak pidana gratifikasi seksual berbentuk larangan untuk dilakukan. Keberlakuan
norma hukum ditentukan oleh daya laku atau validitas karena ia mempunyai keabsahan. Daya laku ini ada apabila norma ini dibentuk
oleh norma yang lebih tinggi atau oleh lembaga yang berwenang membentuknya. Selain daya laku perlu juga diperhatikan daya guna
suatu norma, karena berkaitan dengan ditaatinya aturan tersebut, dan suatu norma mempunyai daya guna apabila ditaatinya.
Pentingnya perumusan yang melarang gratifikasi seksual di dalam rumusan undang-undang, didasarkan pada kenyataan di
Indonesia sekarang mulai marak terjadi, yang mengungkapkan bahwa sebagian besar penegak hukum termasuk di dalamnya hakim
terbiasa menjadi alat untuk melaksanakan dan menegakkan undang- undang.
Berkenaan dengan peraturan perundang-undangan hukum pidana, maka dekriminalisasi dan kriminalisasi merupakan hal yang
penting, dan berkaiatan dengan penghapusan dan perumusan beberapa aturan pidana. Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu
kebijakan dalam menerapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi suatu perbuatan yang dapat dikenakan
pidana. Pada hekekatnya kebijakan kriminalisasi merupakan bagaian dari kebijakan kriminal criminal policy dengan menggunakan sarana
hukum pidana penal dan oleh karena itu termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana penal policy, khususnya kebijakan
formulasi.
Kebijakan hukum
pidana mengantarkan
proses penuntutan pilihan untuk merumuskan atau tidak merumuskan
suatu perbuatan sebagai suatu tindak pidana. Kriminalisasi pada hakikatnya merupakan kebijakan untuk
mengangkatmenetapkanmenunjuk suatu perbuatan yang semula tidak merupakan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana. Oleh
karena itu, tindak pidana pada hakikatnya merupakan perbuatan yang diangkat atau merupakan perbuatan yang ditunjuk atau
ditetapkan sebagai perbuatan yang dapat dikenakan pidana oleh pembuat undang-undang.
79
Secara teoritik beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan oleh pembentuk Undang-Undang, antara lain prinsip kebaikan
publik dan manfaat. Kebijakan publik hendaknya menjadi tujuan legislator, karena manfaat umum menjadi landasan penalarannya.
Mengetahui kebaikan sejati masyarakat adalah hal yang membentuk ilmu legislasi, ilmu tersebut tercapai dengan menemukan cara untuk
merealisasikan kebaikan tersebut. Seperti diungkapkan Jeremy Bentham
, maka perumusan norma harus memiliki manfaat tertentu untuk kebaikan bagi bagian terbesar masyarakat. Perumusan norma
gratifikasi seksual di dalam suatu rumusan tindak pidana ditujukan untuk mencegah bagian terbesar masyarakat untuk menerima
manfaat atau menikmati keuntungan dari sesuatu yang diketahui atau patut diduga merupakan tindak pidana gratifikasi seksual.
Perumusan suatu kejahatan dalam suatu peraturan perundang- undangan yang berasal dari suatu tindakan yang buruk yang dapat
dibagi menjadi dua bagian pokok yaitu: Kejahatan yang menimpa individu tertentu;
Kejahatan yang berasal dari kejahatan pertama dan kejahatan ini
menyebar keseluruh komunitas masyarakat. Sejalan dengan argumentasi tersebut, maka Helbert L Parker
mengemukakan dasar perumusan suatu perbuatan sebagai tindak pidana adalah perbuatan tersebut bertentangan dengan moral dan
perbuatan merugikan kepentingan, baik kepentingan individu, masyarakat bangsa dan negara.
Salah satu motif perbuatan korupsi berupa gratifikasi seksual adalah ketamakan dan keserakahan, yaitu jika membandingkan
kesenangan yang diperoleh dengan melanggar hak orang lain dengan penderitaan yang terjadi karena peristiwa itu, semuanya
tidak akan terbukti sepadan. Ketamakan dan keserakahan untuk penguasaan sumber ekonomi dan financial merupakan salah satu
motif yang kuat bagi pelaku di dalam melakukan perbuatan tindak pidana korupsi berupa gratifikasi seksual.
Perbuatan korupsi berupa gratifikasi seksual sebagai suatu kejahatan yang menimbulkan kesengsaraan menjadi dasar bagi
pembentuk Undang-Undang
untuk menyatakannya
sebagai perbuatan yang melanggar hukum atau pelanggaran dan agar
larangan itu ditaati, maka perlu ditetapkan sanksinya.
80
Berdasarkan teori dualisme yang memisahkan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana maka perumusan tindak
pidana beserta sanksinya yang biasanya dirumuskan pada pasal tertentu dalam Undang-Undang pidana untuk menunjukkan
perbuatan yang dilarang dan pantang dilakukan. Pada umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa
elemen, unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi, sehingga dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan
lain yang tidak dilarang.
Perumusan tidak pidana pada umumnya dilakukan dengan menentukan elemen dan unsur dari tindak pidana tersebut, yaitu:
Ι kekuatan dan akibat; Ι hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;
Ι keadaan tambahan yang memberatkan pidana; Ι unsur melawan hukum yang objektif.
Secara filosofi, maka perbuatan tindak pidana gratifikasi seksual bertentangan dengan nilai dalam Pancasila dan UUD NRI
1945. Nilai Pancasila dapat ditelaah dari dua sudut pandang
subjektif. Nilai Pancasila yang bersifat objektif berarti sesuai dengan objeknya, umum dan universal, nilai Pancasila akan tetap ada
sepanjang masa dalam kehidupan Bangsa Indonesia, baik dalam adat kebiasaan, kebudayaan, kenegaraan, dan keagamaan.
Beberapa nilai yang terkandung di dalam Pancasila adalah nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan keadilan. Nilai ketuhanan dapat
ditemukan pada Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perbuatan
gratifikasi seksual merupakan perbuatan yang dilarang oleh agama yang ada di Indonesia. Berdasarkan nilai ketuhanan, maka manusia
Indonesia harus mengakui sebagai makhluk Tuhan. Berkenaan dengan hal tersebut, maka religious magis yang terdapat di dalam
hukum adat yang merupakan turunan dari nilai-nilai ketuhanan dapat menjadi dasar bagi pelarangan perbuatan gratifikasi seksual.
Prinsip religious magis mengakui adanya kepercayaan terhadap Tuhan sebagai penguasa yang bersifat abstrak dari kehidupan di
alam semesta, termasuk juga kehidupan manusia dan masyarakat.
81
Perbuatan diatur agar selalu berada dalam keseimbangan hak dan kewajibannya sebagai bagian dari masyarakat dan alam semesta.
Selanjutnya, Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab dalah sikap dan perilaku manusia yang sesuai dengan kodrat hakikat
manusia yang berbudi, sadar nilai dan budayanya, menjunjung tinggi hak asasi manusia dengan pangkal ide keselarasan antara
individu dan masyarakat, pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan.
Berdasarkan sila kedua ini, maka perbuatan gratifikasi seksual merupakan perbuatan yang menciderai nilai kemanusiaan, karena
perbuatan korupsi menimbulkan kerusakan dan kerugikan bagi masyarakat secara luas. Sila kedua ini merupakan dasar filosofi
pelarangan perbuatan gratifikasi seksual, karena bertentangan dengan nilai kemanusiaan.
Salah satu asas yang menjabarkan nilai kemanusiaan yaitu persamaan di hadapan hukum.
46
Asas ini memberikan kesetaraan di antara warga negara dalam hak dan kewajibannya. Asas persamaan
dihadapan hukum ini dikenal pula dengan asas “Equality Before The
L aw”, yang merupakan salah satu unsur dalam negara hukum. A V
Dicey mengartikan prinsip persamaan hak di hadapan hukum ini
atau penundukan yang sama di semua golongan. Hal ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat
maupun warga negara biasa berkewajiban untuk mentaati hukum yang sama.
47
Asas kesamaan di hadapan hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 Ayat 1 UUD NRI bahwa
“Segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu, dengan tidak ada kecuali. Istilah dalam bahasa Inggris
“equal” berasal dari bahasa Latin oequus
yang berarti sama. Dari kebanyakan analisis terhadap kondisi manusia, tidak ditemukan bahwa manusia itu sama. Padahal dalam
doktrin tentang hak-hak alamiah, dinyatakan bahwa semua manusia
46 Dimyati, Khudzaifah,Teirisasi ilmu Hukum, Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1950,
Muhammadyah University Press, Surakarta, hal. 195.
47 Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukuim Bagi Rakyat Indonesia, Peradaban, Surabaya, 2005, hal. 75.
82
memiliki hak-hak yang sama.
48
Dalam Black‟s Law Dictionary kata equality didefinisikan sebagai
”The condition of possessing substantially the same rights, privileges, and immunities, and being liable to substantially the same duties. „Equality‟
quaranteed under equal protection clause is equality under the same conditions among persons similarly situated; classifications must not be
arbitrary and must be based upon some differences in classes having
substantial relation to legitimate object to be accomplished”.
49
“Keadaan memiliki wujud terhadap hak-hak yang sama, hak istimewa dan imunitas,
da n memiliki tanggung jawab yang sama. „Persamaan‟ menjamin
perlindungan yang sama dalam keadaan yang sama antara pribadi dalam situasi yang sama; pembahagian tidak boleh dilakukan secara semena-mena
dan haruslah dilakukan perbedaan-perbedaan dalam klasifikasi yang memiliki hubungan yang sah terhadap objek yang hendak diselesaikan”.
Persamaan hak dihadapan hukum pada awalnya dicetuskan sebagai puncak Revolusi Perancis yang terjadi pada tahun 1789.
Dalam Article 1 The French Declaration of the Rights of Man and Citizen Declaration des Droits de I‟ home et du Citoyen dinyatakan bahwa
“Man are born and remain free and equal in rights; social distinctions may be based only upon general usefulness”.
50
Prinsip persamaan hak yang lahir dari Revolusi Perancis, menjalar sampai didaratan Amerika. Pada pernyataan kemerdekaan
berdirinya Negara Amerika Serikat The United States Declaration of Independence 1776
juga dinyatakan
“We hold these truths to be self-evident, that all men are created equal; that they are endowed by their Creator with certain unalienable rights; that
among these are life, liberty, and the pursuit of happiness”.
51
Kami memegang kenyataan bahwa semua manusia diciptakan sama; bahwa mereka
diberi oleh sang pencipta hak-hak tertentu yang tidak boleh disimpangi; diantaranya adalah hak untuk hidup, kemerdekaan, dan upaya untuk
mencapai kebahagiaan.
Article 1 Universal Declaration of Human Rights 1948 menentukan
bahwa
“All human being are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a
spirit of brotherhood ”. Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai
martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan budi dan hendaknya bergaul satu sama lainnya dengan semangat persaudaraan.
48
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hal. 192.
49
Walter Laquer Barry Rubin, The Human Rights Reader, New American Library, New York, 1979, hal. 118.
50
Ibid, hal. 194.
51
Ibid, hal. 197.
83
Hukum memperlakukan sama semua orang tanpa perbedaan yang didasarkan atas ras keturunan, agama, kedudukan sosial dan
kekayaan.
52
Menurut Sudikno Mertokusumo bahwa asas kesamaan menghendaki setiap orang dianggap sama dalam hukum. Yang
dianggap adil ialah apabila setiap orang memperoleh hak yang sama, setiap orang minta diperlakukan sama, tidak dibeda-bedakan.
Secara umum perlindungan hukum bagi masyarakat dibedakan dalam dua macam perlindungan, yaitu perlindungan hukum
preventif dan perlindungan hukum yang represif. Selain itu juga hukum adalah merupakan sarana perlindungan terhadap Hak Asasi
Manusia HAM.
Sarana perlindungan hukum preventif terutama berkaitan dengan asas freis ermessen discretionary power. Discretionary power
diartikan sebagai kebebasan melakukan tindakan atau mengambil keputusan menurut pendapatnya sendiri. Henry Campbell Black
mendefinisikan discretionary power sebagai the power to do or refrain from doing a certain thing.
53
Wewenang diskresi dapat ditemukan di KUHAP khususnya Pasal 5 Ayat 1 huruf a angka 4 Jo Pasal 7 Ayat 1 huruf j. Bahwa
penyelidik dan penyidik berwenang mengadakan langkah menurut hukum yang bertanggung jawab dan berdasarkan atas:
a. tindakannya tidak bertentangan dengan aturan hukum; b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukan
tindakan jabatan; c. tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam
lingkungan jabatan; d. atas pertimbangan layak berdasarkan keadaan yang memaksa;
e. menghormati HAM. Perlindungan hukum represif menurut pendapat Philipus M
Hadjon bahwa hukum tata negara Republik Indonesia adalah berlandaskan pada dua asas penting yaitu asas negara hukum dan
52
.Mochtar Kusumaatmaja Bernard Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum,
Buku 1, Alumni, Bandung, 2000, hal. 135.
53
Henry Campbell Black, Black‟s Law Dictionary, West Publishing Co. St. Paul.
Minn, 1990, hal. 467.
53
Ismu Gunadi, Perlindungan Hukum Dalam Kaitannya Penggunaan Wewenang Diskresi Penyidik Berkenaan dengan Alat Bukti berupa Keterangan Akhli Dalam Tindak
Pidana Pornografi,
Disertasi, Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2002, hal. 116.
84
asas demokrasi.
54
Secara garis besar, dalam sistem hukum di dunia modern dewasa ini terdiri atas dua sistem induk yaitu civil law system
dan common law system. Dalam sistem hukum yang berbeda melahirkan perbedaan mengenai bentuk dan jenis sarana
perlindungan hukum bagi rakyat berkaitan dengan perlindungan hukum represif.
Negara berdasarkan civil law system mengakui adanya dua set pengadilan yaitu pengadilan umum biasa dan pengadilan
administrasi. Sedangkan Negara dengan common law system hanya mengenai satu set pengadilan yaitu ordinary court. Menyimpang dari
dua sistem tersebut, di Swedia telah dikembangkan suatu jenis perlindungan hukum bagi rakyat dengan nama ombudsman.
Pada umumnya para ahli keluarga sistem hukum civil law dianut oleh Indonesia, lebih mengarahkan kepada law as it is written
in the books yang pola ini mendapatkan penguatan pada abad ke -19,
yakni setelah Hans Kelsen mengintrodusir ajaran hukum murni reine rechtslehre-
nya. Perubahan dan penataan lembaga-lembaga negara di Indonesia
dalam era demokratisasi, juga memunculkan Komisi Ombudsman Nasional atau lazim disebut Ombudsman Nasional. Lembaga ini
dibentuk pada tanggal 10 Maret 2000 dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi
Ombudsman Nasional Keppres No. 44-2000.
Menurut Pasal 2 Keppres No. 44-2000, Ombudsman Nasional adalah lembaga pengawasan masyarakat yang berasaskan Pancasila
dan bersifat mandiri, berwenang melakukan klarifikasi, pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara
khususnya pelaksanaan oleh aparatur pemerintahan termasuk lembaga peradilan terutama dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat.
Menurut Galang Asmara, pembentukan lembaga ombudsman bertujuan membantu menciptakan dan mengembangkan kondisi
kondusif dalam melaksanakan pemberantasan KKN melalui peran serta masyarakat. Selain itu dalam Pasal 3 Keppres No. 44-2000
54
Philipus M. Hadjon, Pancasila Sebagai Dasar Negara dan Hukum Tata Negara,
Makalah yang disampaikan dalam seminar sehari tentang Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka, di FH Unair Surabaya, 1998, hal. 10.
85
dipertegas bahwa pembentukan Ombudsman Nasional juga merupakan upaya meningkatkan perlindungan hak-hak masyarakat
agar memperoleh pelayanan umum, keadilan dan kesejahteraan secara lebih baik.
Dengan demikian, maka Lembaga Ombudsman Nasional tersebut dalam sistem ketatanegaraan dan sistem pemerintahan
Negara Republik Indonesia adalah sebagai lembaga pengawasan sekaligus juga sebagai lembaga perlindungan hukum bagi rakyat
Indonesia.
55
Demikian pula sistem pengawasan terhadap aparatur negara dan aparatur pemerintah juga telah dikembangkan melalui
sistem birokrasi dan administrasi negara. Instansi vertikal yang secara hierarki berkedudukan lebih tinggi, secara otomatis akan
mengawasi instansi yang lebih rendah.
Selain itu, dibentuk pula lembaga fungsional pemerintah yang menjalankan pengawasan seperti Badan Pemeriksa Keuangan dan
Pembangunan BPKP, Inspektorat Jenderal Irjen di lingkungan departemen pada pemerintahan pusat, Badan Pengawas Daerah
Bawasda yang dahulu disebut Inspektorat Wilayah Irwil di tingkat pemerintahan daerah dan lain-lain. Pemerintah dalam hal ini
telah mengembangkan sistem pengawasan melekat, serta sistem pengawasan eksternal oleh masyarakat dengan Tromol Pos 5000 di
kantor Wakil Presiden dan kotak pos di beberapa instansi pemerintah yang berfungsi menampung pengaduan masyarakat menyangkut
pelaksanaan pemerintahan.
Uraian terhadap sarana perlindungan hukum represif yang dimaksud diatas, membenarkan pendapat Philipus M Hadjon bahwa
hukum tata negara Republik Indonesia berlandaskan pada dua asas penting yaitu asas negara hukum dan asas demokrasi
56
. Menurut Robert A Dahl, demokrasi mewakili semua kebajikan
kehidupan politik yang baik, termasuk kebebasan, kesetaraan dan keadilan.
57
Demokrasi dalam penjabarannya menghargai martabat manusia. Bahwa martabat manusia itu sendiri timbul dari suatu
55
Galang Asmara, Ombudsman Nasional Dalam Sistem Pemerintahan Negara
Republik Indonesia, LaskBang Pressindo, Yogyakarta, 2005, hal. 1-2.
56
Philipus M. Hadjon, Pancasila Sebagai Dasar Negara dan Hukum Tata Negara,
Makalah yang disampaikan dalam seminar sehari tentang Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka
, FH Unair, Surabaya, 1998, hal. 10.
57
Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis, Rajawali, Jakarta, 1985, hal. 9-10.
86
sumber yang lebih dalam yaitu kodrat manusia. Manusia memiliki martabat sebagai pribadi. Ia bukan hanya sesuatu, melainkan
seseorang. Ia mampu mengenal diri dan kapasitasnya sendiri, menjadi tuan atas dirinya, ia mengabdikan diri dalam kebebasan, dan
hidup dalam kebersamaan dengan orang lain.
Perlindungan terhadap HAM telah dibuat norma-norma yang dikodifikasikan dan bersifat universal, antara lain adalah Magna
Chartha 1215, Bill of Rights 1968 di Inggris, Declara
tion des droits de I‟ home et du Citoyen 1791 Bill of Right 1978
di Amerika, Declaration of Human Rights
1948 oleh PBB di San Fransisco Amerika Serikat, serta Pancasila dan UUD 1945 di Indonesia. Norma-norma perlindungan
terhadap HAM secara spesifik di Indonesia telah diatur dalam undang-undang tentang hak asasi manusia. Hak-hak dasar yang
bersifat universal itu walaupun mudah dipahami tetapi sering berbenturan dengan hak-hak dasar yang bersifat integral yang
berlaku di setiap negara yang kenyataannya berbeda di antara negara yang satu dengan lainnya. Pembangunan hukum nasional, agar
masyarakat dapat menghayati hak dan kewajibannya serta dapat meningkatkan pembinaan sikap dan perilaku pelaksana penegak
hukum di lapangan sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing- masing ke arah tegak dan mantapnya hukum sehingga terciptanya
suatu kehidupan masyarakat yang aman tertib dan damai.
Subekti dalam negara hukum mengemukakan bahwa penghayatan, pengamalan dan pelaksanaan HAM maupun hak serta
kewajiban warga negaranya untuk menegakkan keadilan tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warga negaranya, setiap penyelenggara
negara, setiap lembaga negara dan lembaga kemasyarakatan baik di pusat maupun di daerah.
58
Hak-hak asasi seseorang yang berkaitan dengan prinsip-prinsip Miranda Rule merupakan hak yang ada dan
melekat pada diri seseorang sejak lahir. Hak tersebut merupakan bagian dari hak untuk memperoleh keadilan.
59
Sebagai pembuat kebijaksanaan, maka pemerintah menjalankan fungsi pemerintahan
dalam bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Tentu dalam lingkup pemahaman ini adalah membuat dan
58
Subekti, Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam KUHAP, Pustaka Kartini,
Jakarta, 1994, hal. 4-6.
59
M.Sofyan Lubis M.Haryanto,Pelanggaran Miranda Rule Dalam Praktik
Peradilan di Indonesia, Juxtapose, Bantul Yogyakarta, 2008, hal. 21.
87
merumuskan kebijakan-kebijakan hukum pidana. Muladi juga menegaskan bahwa evolusi asas-asas, standar dan
norma yang terdapat dalam instrumen perlindungan Hak Asasi Manusia internasional yang bersifat deklaratif dan preskriptif soft
law, tidak akan banyak gunanya apa bila tidak diikuti dengan tahap-
tahap enforcement and criminalization dalam apa yang dinamakan hard Iaw.
60
Sesuatu yang bukan imperatif atau imperatif, waktu, perilaku, tingkat eksekusi yang dibiarkan pada
donee‟s discretion dan pandangan sosiologi bahwa kejahatan adalah kesalahan masyarakat
secara menyeluruh. Norma-norma perlindungan terhadap HAM secara spesifik di
Indonesia telah diatur dalam undang-undang hak asasi manusia dan Undang-Undang pengadilan hak asasi manusia. Menurut Hans
Kelsen , hak ialah hukum dalam pengertian subjektif, merupakan
kekuatan kehendak yang diberikan oleh tatanan hukum.
61
Asas-asas perlindungan dalam Whistleblower Protection Act WPA, ACJC panduan mengungkapkan pendapat di Queensland
antara lain: Ù Hak berpendapat bagi komisi sektor kekayaan umum yang
digantikan atas perlindungan dari sebuah pembalasan; Ù Hak memberi keputusan terkait kedisiplinan, transfer, perjanjian
atau perlakukan yang tidak senonoh; Ù Menyediakan pertahanan awal bagi pemberi kesaksian untuk
mencegah adanya kontroversi; Ù Melindungi yang tidak bersalah dari kesalahan dengan membuat
pelanggaran yang di pidana maksimal 2 tahun penjara; Ù Mengetahui jika ditanyakan orang yang memberikan kesaksian
tentang kebenaran informasi dan hasilnya. Terdapat beberapa model perlindungan korban di beberapa
negara, yang diuraikan Sheryl Groneweg yaitu 1. Model di Amerika Serikat
The United Stated adopted whistleblower protection in the from of the Whistleblower Protection Act WPA on July 9, 1989. The American model
is based on a multilateral system whereby whistleblower can petition two
60
Muladi, op.cit, hal.109-110.
61
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif,
Nusamedia Nuansa, Bandung, hal. 152.
88 government executive branch agencies for protection against retelition due to
their reporting of whistful or illegal. Amerika Serikat mengadopsi perlindungan memberi suara dalam bentuk aksi perlindungan pemberi suara
WPA bulan Juli 1989. Model perlindungan Amerika Serikat berdasarkan berbagai sistem bagi pemberi suara yang bisa memberi dua cabang petisi
pemerintah untuk memberikan perlindungan melawan laporan yang merupakan aktivitas ilegal.
2. Model di Inggris
The British public sector has only recently adopted whistleblower protections in the Public Interest Disclosure Bill passed in July 1999. For public servants
specifically, amendments have been made to the Employment Rights Act of 1996. Model di Inggris, sektor umum di Inggris hanya mengadopsi
perlindungan pembuat keputusan di Publik Interest Disclosure Bill, bulan Juli 1999. Untuk sepesifikasi pelayanan umum, amandemen sudah dibuat
untuk aksi pekerja tahun 1996.
3. Model di Queensland Australia
The Queenland scheme is the most broad in making many avenues open to employees who wish to make s public interest disclosure, whereas the United
Kingdom model is the most restrictive. The United States, being a system predicated on the ideology of freedom of speech, allows for disclosures of any
sort even those that are self-seeving in nature. Skema di Queensland Australia merupakan yang paling bebas bagi pekerja yang ingin membuat
kesaksian umum. Di Inggris merupakan yang paling membatasi tentang kesaksian. Di Amerika Serikat, walaupun idiologinya memiliki kebebasan
berpendapat, tapi contoh paling tepat untuk perlindungan saksi adalah di Queensland, dimana pekerja diijinkan membuat kesaksian dan melawan
fitnah.
Menurut Soerjono Soekanto bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum oleh sebab itu jika terjadi atau timbul suatu masalah
haruslah diselesaikan sesuai dengan hukum yang berlaku serta menjunjung tinggi HAM dan asas praduga tak bersalah. Selanjutnya
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa:
o Menjunjung tinggi HAM dan menjamin seluruh warga negaranya
bersamaan kedudukannya didalam hukum dan Pemerintahan tersebut dengan tidak ada kekecualiannya;
o Menjunjung tinggi asas peradilan yang bebas dalam arti tidak
tunduk kepada kekuasaan yang lainnya.
62
Pandangan Subekti tentang perlindungan HAM adalah
”Dalam negara hukum bahwa penghayatan, pengamalan dan pelaksanaan HAM maupun hak serta kewajiban warga negaranya untuk menegakkan
keadilan tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warga negaranya, setiap penyelenggara negara, setiap lembaga negara dan lembaga kemasyarakatan
62
Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali, Jakarta, 1982, hal. 4-5.
89 baik di pusat maupun di daerah
”.
63
Perlindungan HAM dalam negara hukum bahwa penghayatan, pengamalan dan pelaksanaan HAM maupun hak serta kewajiban
warga negaranya untuk menegakkan keadilan tidak boleh ditinggalkan oleh setiap warga negaranya, setiap penyelenggara
negara, setiap lembaga negara dan lembaga kemasyarakatan baik di pusat maupun di daerah.
Berdasarkan pembahasan tentang hukum sebagai sarana perlindungan terhadap HAM, maka dalam perspektif sistem
peradilan pidana dan administrasi peradilan pidana di Indonesia haruslah ditempatkan dalam kerangka supremasi hukum, yang
keduanya adalah merupakan bagian yang integral dari indek demokrasi yang sementara berlangsung di Indonesia.
Senada juga, Muladi berpendapat bahwa HAM dalam adimistrasi peradilan pidana hanya dapat diawasi dan ditegakkan
apabila terdapat kesadaran dan kerja sama sistemik antara pemerintah dalam hal ini penegak hukum, lembaga, organisasi
media massa, individual dan masyarakat Internasional. Ia juga menegaskan bahwa evolusi asas-asas, standar dan norma yang
terdapat dalam instrumen perlindungan HAM Internasional yang bersifat deklaratif dan preskriptif, tidak akan banyak gunanya apa
bila tidak diikuti dengan tahap-tahap enforcement and criminalization dalam apa yang dinamakan hard Iaw.
64
Masyarakat diartikan sebagai indvidu secara perseorangan, karena masyarakat merupakan pelaku
dari peristiwa pidana yang merupakan perbuatan yang menurut hukum pidana dapat dikenakan pidana.
Menurut Larry J Siegel yaitu
“The law of criminal procedure guarantees citizens certain rights and privileges when they are accused of crime. Procedural laws control the action
of the agencies of justice and difine the rights of criminal defendants ”.
65
Hukum acara pidana menjamin hak-hak masyarakat ketika mereka dituntut pidana. Hukum Acara mengontrol para penegak hukum mendefinisikan hak-
hak yang dimiliki pelaku tindak pidana.
Menurut W. Clifford bahwa meningkatnya kejahatan telah cukup untuk menarik perhatian pada tidak efisiennya struktur
63
Subekti, Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam KUHAP, Pustaka Kartini,
Jakarta, 1994, hal. 4-6.
64
Muladi, op.cit, hal. 109-110.
65
Larry J Siegel, Criminology, West Publishing Company, New York, hal. 399.
90
peradilan pidana yang sekarang ada sebagai suatu mekanisme pencegahan kejahatan.
66
Dengan berjalannya materi hukum, aparat penegak hukum dan kesadaran hukum masyarakat, maka
diharapkan keteraturan ditengah masyarakat akan terjamin, sehingga menuju masyarakat madani yang dicita-citakan akan terlaksana.
Konsep negara hukum Pancasila tidak identik dengan makna negara hukum rule of law, namun demikian tidak berarti seluruh
ajaran rule of law tidak dapat diterima di Indonesia. Khusus ajaran persamaan di hadapan hukum, maka hal ini diterima oleh Negara
Indonesia. Asas persamaan dihadapan hukum ini mendudukkan sesuai dengan harkat dan martabat yang sama satu sama lainnya.
Kebersamaan yang didasarkan pada kesetaraan hak dan kewajiban akan mempermudah pelaksanaan prinsip gotong royong.
Konsep gotong royong adalah konsep masyarakat hukum adat, dengan demikian untuk memahaminya harus dilakukan dengan cara
menelusuri kehidupan masyarakat hukum adat, yang dimaksudkan gotong royong adalah kekeluargaan.
Prinsip gotong royong atau kekeluargaan mengacu pada sifat senasib dan seperjuangan. Prinsip ini didasarkan pada keinginan
untuk membagi atau menanggung beban bersama-sama, yang berarti bahwa adanya bermacam-macam perasaan yang merupakan dasar
mengikat kesatuan sosial seperti rasa cinta, kasih dan sayang simpati dan lainnya, rasa solidaritas yang kuat dengan jiwa saling asah,
saling asuh, saling asih, baik ke dalam maupun ke luar, rasa kebersamaan yang kuat. Kekeluargaan, gotong royong dan tolong
menolong merupakan asas Indonesia yang menjadi pemikiran dalam perancangan UUD 1945.
Mien Rukmini berpendapat undang-undang dasar kita tidak bisa lain dan mengandung sistem kekeluargaan.
67
Kekeluargaan tidak berarti kehilangan hak individu sama sekali seperti
dikemukakan oleh Mohammad Hatta yang tetap memberikan hak kepada warga negara untuk mengeluarkan pendapat. Adanya
pemberian hak dan kewajiban yang sama oleh negara dikenal dengan
66
Muladi-Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,
hal. 196.
67
Mien Rukmini, Perlindungan Ham Melalui Asas Praduga Tak Bersalah dan Asas Kebersamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia,
Alumni, Bandung, 2003, hal. 46.
91
asas kesamaan dihadapan hukum, yang dimaksudkan oleh Mohammad Hatta tersebut mensyaratkan kesetaraan warga negara
diimplementasikan dalam norma hukum berkenaan dengan hak dan kewajiban asasi manusia Indonesia diakui di dalam konstitusi
Negara Indonesia.
Prinsip yang dirumuskan dalam Pasal 28 huruf d Ayat 1 perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 5 Ayat 1
UU No. 14-1970 merupakan asas yang bersifat universal. Pasal 7 Universal Declaration of Human Rights
menjelaskan bahwa all are equal before the law are entitled without discrimination to equal protection of law.
Dikaitkan dengan sistem peradilan terpadu, bahwa jenis kelamin, agama, ras, warna kulit, etnis, status sosial, status ekonomi maupun
ideologi politik tidak boleh menjadi dasar untuk memperlakukan orang secara berbeda dan doktrin yang dikemukakan Dicey berbunyi
all person wheather hight official or ordinary citiens are subject to the same law administered by ordinary court,
semakin menguatkan asas persamaan hak ini.
Dalam UUD NRI 1945 terdapat Pasal-pasal yang menyangkut HAM, yaitu Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33
dan Pasal 34. Dengan tidak ditetapkannya perbuatan gratifikasi seksual dan tidak dipidananya pemberi dan penerima gratifikasi
seksual menimbulkan ketidaksetaraan antara pemberi dan penerima gratifikasi seksual, keduanya sama-sama merugikan keuangan
Negara atau perekonomian Negara. Selain bertentangan dengan nilai ketuhanan dan kemanusiaan, maka gratifikasi seksual juga
bertentangan dengan nilai keadilan.
Nilai keadilan sosial dapat ditemukan di dalam sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia yang
diterjemahkan dalam Pasal 23, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30 dan Pasal 31, Pasal 33, Pasal 34 UUD NRI 1945:
a. Pasal 23 Ayat 1 “Anggaran pendapatan dan belanja Negara sebagai wujud dari
pengelolaan keuangan Negara ditetapkan setiap tahun dengan Undang- Undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ”;
Ayat 2 “Rancangan Undang-Undang anggaran pendapatan dan belanja
Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat
”;
92 Ayat 3
“Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja Negara yang diusulkan Presiden,
Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ”.
b. Pasal 23 huruf a “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara
diatur dengan Undang-Undang ”.
c. Pasal 23 huruf b “Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan Undang-Undang”.
d. Pasal 23 huruf c “Hal-hal lain mengenai keuangan Negara diatur dengan Undang-Undang”.
e. Pasal 23 huruf d “Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan,
kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan Undang- Undang
”. f. Pasal 23 huruf e
Ayat 1 “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang
keuangan Negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri
”; Ayat 2
“Hasil pemeriksaan keuangan Negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya ”;
Ayat 3 “Hal pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh perwakilan danatau
badan sesuai dengan Undang-Undang ”.
g. Pasal 23 huruf f Ayat 1
“Anggota Badan Pemeriksa Keuangan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
Daerah dan diresmikan oleh Presiden ”;
Ayat 2 “Pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan dipilih dari dan oleh
anggota ”.
h. Pasal 23 huruf g Ayat 1
“Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibu kota Negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi
”; Ayat 2
“Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Pemeriksa Keuangan diatur dengan Undang-Undang
”. i. Pasal 27
Ayat 1 “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya
”; Ayat 2.
“Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
”; Ayat 3
“Setiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembebasan Negara
”. j. Pasal 28
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang
”. k. Pasal 28 huruf a
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya
”.
93 l. Pasal 28 huruf b
Ayat 1 “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah ”;
Ayat 2 “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
”. m. Pasal 28 huruf c
Ayat 1 “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia ”;
Ayat 2 “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat ”.
n. Pasal 28 huruf d Ayat 1
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum
”; Ayat 2
“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perbuatan yang adil dan layak dalam hubungan kerja
”; Ayat 3
“Setiap warga Negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan
”; Ayat 4
“Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan”. o. Pasal 28 huruf e
Ayat 1 “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah Negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali ”;
Ayat 2 “Setiap orang berhak atas kebebasan untuk meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya ”;
Ayat 3 “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat ”.
p. Pasal 28 huruf f “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, penyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia ”.
q. Pasal 28 huruf g Ayat 1
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya serta
berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi
”; Ayat 2
“Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka
politik dari Negara lain ”.
r. Pasal 28 huruf h Ayat 1
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh layanan kesehatan ”;
94 Ayat 2
“Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan ”;
Ayat 3 “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat ”;
Ayat 4 “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik
tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun ”.
s. Pasal 28 huruf l Ayat 1
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hatu nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun ”;
Ayat 2 “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perbuatan yang bersifat diskriminatif itu
”; Ayat 3
“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban
”; Ayat 4
“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara terutama pemerintah
”; Ayat 5
“Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi
manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang- undangan
”. t. Pasal 28 huruf j
Ayat 1 “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain
dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ”;
Ayat 2 “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tundeuk pada pembatasan yang ditetapkan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis
”. u. Pasal 29
Ayat 1 ” Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”;
Ayat 2 “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu
”. v. Pasal 30
Ayat 1 “Tiap-tiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha
pertahanan dan keamanan Negara ”;
Ayat 2 “Usaha pertahanan dan keamanan Negara dilaksanakan melalui
sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan
rakyat sebagai kekuatan pendukung ”;
Ayat 3 “Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat,
Angkatan Laut dan Angkatan Udara sebagai alat Negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan
Negara ”;
95 Ayat 4
“Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat Negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi,
mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum ”;
Ayat 5 “Susunan dan Kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian
Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia di dalam menjalankan tugasnya, syarat-syarat
keikut sertaan warga Negara dalam usaha pertahanan dan keamanan Negara, serta hal-hal yang terkait dengan pertahanan dan keamanan diatur dengan
Undang-Undang
”. w. Pasal 31
Ayat 1 “Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan”;
Ayat 2 “Setiap warga Negara wajib mengikti pendidikan dasar pemerintah
wajib membayarnya ”;
Ayat 3 “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional, yang meninhgkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur
dengan Undang-Undang ”;
Ayat 4 “Negara memperioritaskan anggaran pendidikan sekurang-
kurangnya dua puluh prosen dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional ”;
Ayat 5 “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia
”. x. Pasal 32
Ayat 1 “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah
peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya
”; Ayat 2
“Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional
”. y. Pasal 33
Ayat 1 “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan ”;
Ayat 2 “Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara ”;
Ayat 3 “Bumi, air dan kekayaaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
”; Ayat 4
“Perkonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional
”. z. Pasal 34
Ayat 1 “Fakir miskin dan anaknya-anak yang terlantar dipelihara oleh
Negara ”;
Ayat 2 “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat
dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan
”;
96 Ayat 3
“Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak
”; Ayat 4
“Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal ini diatur dalam Undang-Undang
”.
Perbuatan gratifikasi seksual merupakan perbuatan yang dapat menghambat usaha-usaha untuk mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, dan oleh karena itu perlu dilarang dan diancam sanksi pidana bagi pelaku gratifikasi seksual.
Konsep keadilan itu memberikan bermacam penafsiran, namun sebagai upaya mencari dasar pelarangan terhadap perbuatan
gratifikasi seksual. Ulpianus menyatakan bahwa keadilan adalah kehendak yang ajeg dan tetap untuk memberikan kepada masing-
masing bagiannya. Pemikiran Ulpianus sejalan dengan pemikiran Thomas Aquinas
, yang menyatakan bahwa keadilan khusus adalah keadilan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan khusus
dibedakan menjadi : ø
Keadilan distributif Justitia Distributiva; ø
Keadilan Komulatif Justitia Kommulativa; ø
Keadilan Vindikatif Justitia Vindicativa. Keadilan distributif adalah keadilan secara proporsionalitas
sesuai dengan kemampuan seseorang. Keadilan Komulatif adalah keadilan yang mempersamakan antara prestasi dan kontra prestasi.
Keadilan yang dimaksud dalam UUD NRI 1945, perlu ditelusuri dan dimaknai apa sebenarnya keadilan yang merupakan salah satu
tujuan hukum itu diadakan.
Ulpianus 200 TM, seorang pengemban hukum kekaisaran
Romawi pernah menuliskan “lustitia est constans et perpetua voluntas
ius suum cuique tribuendi ” yang mengandung makna bahwa keadilan
adalah kehendak yang bersifat tetap dan yang tak ada akhirnya untuk memberikan kepada tiap-tiap orang, apa yang menjadi
haknya.
Paradigma keadilan tersebut diserap dan di jabarkan lebih lanjut oleh Justinianus 527-565 TM dalam Corpus luris Civilis, dasar
hukum sipil Romawi yang menyebutkan “Juris praecepta sunt haec
honeste vivere, alterum non laedere, suum cuique tribuere ”, yang
bermakna peraturan dasar dari hukum adalah hidup dengan patut, tidak merugikan orang lain dan memberi pada orang lain apa yang
menjadi bagiannya.
97
Tugas pertama dalam teori keadilan adalah menentukan situasi awal sedemikian rupa, sehingga prinsip-prinsip yang dihasilkan
mengungkapkan konsepsi keadilan yang benar dari sudut pandang filosofis. Berarti bahwa ciri khas dari situasi ini harus menunjukkan
batasan yang masuk akal terhadap argumen untuk menerima prinsip bahwa prinsip yang disepakati harus sesuai keyakinan tentang
keadilan dalam keseimbangan pemikiran.
68
Immanuel Kant memberikan elaborasi lebih lanjut dalam
tesisnya yang terkenal tentang prinsip hukum umum Bertindaklah dengan sebuah maksim yang dalam waktu yang sama, Anda dapat
menghendaki maksim tersebut menjadi hukum umum ”.
69
Peran hukum adalah untuk menciptakan keadilan yang didambakan setiap orang dan yang menjadi takaran keadilan adalah
hukum justice according to the law. Karena itu Agustinus 343-430 TM berani menegaskan dalam suatu postulatnya yang terkenal bahwa
hukum yang tidak adil itu bukanlah hukum lex iniusta non est lex
– an unjust law is no law.
Herbert L. A Hart pernah meminjam kata-kata Agustinus untuk
menyoroti Negara yang tidak adil dalam membuat dan menjalankan hukum
“What are states without justice but robber-bands enlarged?“.
70
Sebagai hasil karya manusia, hukum yang digunakan untuk menjadi takaran keadilan, dapat saja tidak sempurna merefleksikan
keadilan itu. Karena itu menurut Gustav Radbruch, hukum bisa saja tidak adil, tetapi hukum hanyalah hukum karena maunya adil.
Kiranya pernyataan Gustav Radbrudh tersebut dapat dipahami dari optik positivisme hukum, karena Bodin dalam karyanya Six livres de la
republique menegaskan
La loi sans I‟èquite est un corps sans ame, dautant queelle ne touche que les choses gènèrales et I‟èquite tant que elles
cincomstances particulières. Disini Bodin sebenarnya ingin mengatakan bahwa hukum tanpa
keadilan dapat disamakan dengan badan tanpa jiwa, seperti Zombie yang gentayangan mencari korban. Sementara dialektika antara
68
John Rawls, A Theory of Justice, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 569.
69
Immanuel Kant, Groundwork of the Metaphysic of Moral 1785, 2003, hal. 421,
sebagaimana dikutip dari H.B. Acton,
Kant‟s Moral Philosophy, Macmillan and Co Ltd.
1970, versi Indonesia: Dasar-dasar Filsafat Moral: Elaborasi Terhadap Pemikiran Etika Immanuel Kant
, diterjemahkan oleh Muhamad Hardani, Pustaka Eureka, Surabaya, hal. 62.
70
H.L.A Hart, The Consept of Law, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 569.
98
hukum dan keadilan, Van Dunne mengulas apa yang pernah dikatakan Paul Scholten bahwa dalam suatu keputusan hukum, kita
mencari keadilan, yang mengandung hukum dalam dirinya. Hukum menuntut keadilan, tetapi keadilan juga menuntut hukum.
71
Hukum dan keadilan memiliki hubungan yang tidak boleh ditafsirkan secara terpisah, dan saling bersinergi, dapatlah dipahami
mengapa nilai keadilan sangatlah relatif, sehingga tidak mungkin untuk menemukan sebuah keadilan yang mutlak. Itulah sebabnya
dalam memasuki penjelajahan ilmiahnya terhadap hukum, Aristoteles berusaha membedakan keadilan yaitu
≠ Keadilan kumulatif, yaitu keadilan yang terjadi dalam hak setiap orang mendapatkan bagian yang
sama dengan tidak mempertimbangkan prestasinya masing-masing; ≠ Keadilan distributif,
yaitu tercipta apabila setiap individu mendapatkan bagian sesuai dengan peran dan kontribusinya masing-masing;
≠ Keadilan indikatif, yaitu apabila suatu hukuman setimpal dengan kejahatan;
≠ Keadilan kreatif, yaitu keadilan yang harus ada perlindungan kepada orang yang kreatif para
penemu atau pencipta; ≠ Keadilan legalis,
yaitu keadilan tersirat dalam undang-undang.
72
Keadilan yang sesuai diberikan terhadap hak korban tindak pidana yaitu keadilan indikatif yang merupakan kesimbangan antara
hak-hak korban dengan tindakan pelaku kejahatan, dan keadilan legalis yang telah diatur secara legal formal dalam Undang-Undang.
Keadilan menurut Aristoteles adalah merupakan landasan dan tujuan sebuah negara didirikan, karena adanya negara adalah
ditujukan untuk kepentingan umum, berdasarkan keadilan yang adalah merupakan keseimbangan kepentingan dan neraca Themis
dewa keadilan dalam mitologi Yunani kuno.
Prinsip Aristotelian menyatakan umat manusia menikmati pelaksanaan kemampuan yang mereka sadari dan kesenangan ini
meningkat ketika kemampuan meningkat kompleksitasnya. Manfaat seseorang ditentukan oleh rencana hidup rasional yang akan ia pilih
71
Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia,
Kanisius, Yogyakarta, 1990.
72
Mochtar Kusumaatmadja Bernard Arief Shidarta, Pengantar Ilmu Hukum,
Alumni, Bandung, 2000, hal. 10.
99
dengan pertimbangan rasionalitas dari banyak kelompok rencana maksimal.
73
Dalam praktek penegakan hukum, cita-cita hukum untuk menegakkan keadilan, direfleksikan dalam suatu adagium hukum
“Fiat justitia et pereat mundus”. Ada juga yang menyebutnya “Fiat Justitia, ruat caelum
”. Keduanya mengacu pada satu pengertian “Tegakkan keadilan sekalipun langit runtuh”.
Betul, sepanjang manusia mengenai sejarah, langit belum pernah runtuh. Namun apabila suatu saat langit runtuh, tetap saja
keadilan harus ditegakkan, karena itulah cita-cita mulia yang harus dicapai hukum. Keadilan harus ditegakkan apapun resikonya. Itulah
sebabnya profesi di bidang hukum disebut sebagai profesi yang mulia proficium nobile.
Keadilan senantiasa mengandung penghargaan, penilaian dan pertimbangan. Maka mekanisme bekerjanya hukum digambarkan
sebagai suatu neraca keadilan. Keadilan menuntut bahwa dalam keadaan yang sama, tiap orang harus menerima bagian yang sama
pula. Sehubungan dengan keadilan tersebut, hukum bersifat kompromistis karena keadilan manusia tidaklah mutlak karena
manusia adalah makhluk yang tidak sempurna dimana kekhilafan adalah merupakan sifat insani manusia errare humanum est. Aliran
hukum alam meyakini bahwa keadilan itu hanya bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa, tetapi manusia juga diberi kecakapan dan
kemampuan untuk untuk meraba atau merasakan apa yang dinamakan adil itu. Aliran hukum alam percaya bahwa apa yang
diamati dalam segala kejadian alam sekitar manusia, sudah menumbuhkan dasar-dasar keadilan itu pada manusia.
74
Wacana keadilan dari waktu ke waktu, telah berkembang sedemikian rupa. Para filsuf Yunani seperti Socrates, Plato dan
Aristoteles telah memberikan kontribusi pemikiran mereka tentang
keadilan. Pada abad pencerahan, tidak kurang muncul pemikir- pemikir seperti Jeremy Bentham, John Austin dan Gustav Radbruch.
Pada jaman moderen juga muncul para teoritisi hukum seperti Herbert L. A. Hart, John Rawls, Ronald Dworkin, Robert Nozick, John
73
John Rawls, A Theory Of Justice, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 552.
74
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu
Media, Malang, 2006, hal. 5-6.
100
Finnis, Lon Fuller dll. Seperti para pendahulunya, mereka berusaha
memberikan landasan ilmiah mengapa keadilan itu diperlukan dan karena itu keadilan harus direfleksikan dan menjadi bagian dari
substansi hukum itu sendiri.
Kinerja hukum yang konsisten dalam penerapan dan prosedur yang relatif sama terhadap suatu perilaku yang menyimpang dari
norma hukum, adalah menjamin tercapainya keadilan yang substansial seperti dikatakan oleh John Rawls Thus it is maintained
that where we find formal justice, the rule of law and the honoring of legitimate expectations, we are likely to find substan
tive justice as well”.
75
Sebagaimana diungkapkan John Rawls, ini merupakan cara mempertahankan untuk mendapatkan keadilan formal, peraturan-
peraturan hukum yang menghargai harapan legitimasi, jika ingin mendapatkan keadilan yang sebenar-benarnya.
Menurut John Rawls, suatu konsep keadilan efektif mengatur masyarakat apabila konsep keadilan tersebut dapat diterima secara
umum, sedangkan keadilan formal cenderung dipakai secara sepihak oleh penguasa. Hukum sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan
dapat saja tidak adil jika bertentangan dengan kesejahteraan manusia, demikian menurut Thomas Aquinas.
Menurut Denis Lloyd ...justice is little more than the idea of rational order and coherence and therefore operates as a principle of procedure rather
than of substanc e“
76
yaitu keadilan hanya sekadar ide pengaturan rasional dan koheren, akan tetapi ia bekerja atas dasar prinsip
prosedural ketimbang substansinya. Dalam pengertian ini meski keadilan adalah merupakan salah
satu tujuan utama dibuatnya hukum, namun proses memperoleh keadilan itu, sudah dimulai sejak awal pemeriksaan terjadinya suatu
tindak pidana.
Johnny Ibrahim berpendapat bahwa keadilan memang bukan saja belum tercapai dengan adanya ketertiban, karena keadilan itu
memang lebih dari sekadar ketertiban, dan juga karena keadilan itu bekerja lebih sebagai prinsip prosedur ketimbang substansi.
75
John Rawls, The Theory of Justice, Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, 1971, hal. 60.
76
Denis Lloyd, The Idea of Law, Penguin Books, Harmondsworth, 1964, hal.
123.
101
Pengalaman sejarah membuktikan bahwa ketertiban yang berusaha ditegakkan dalam Pemerintahan Orde Baru, ternyata telah
mengabaikan tujuan utama hukum untuk menciptakan keadilan.
77
Masalah untuk mewujudkan keadilan dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana khususnya terhadap korban perkosaan,
bukanlah suatu perkara yang mudah untuk direalisasikan. Menyangkut keadilan secara umum saja, berdasarkan fakta empiris
membuktikan bahwa meskipun telah sangat jelas diatur dalam hukum dasar di Indonesia, yaitu dalam UUD NRI 1945 dan dalam
rechtsidee
yaitu Pancasila, namun upaya untuk menegakan keadilan sering kali dikesampingkan untuk alasan-alasan praktis dari para
penegak hukum. Model peradilan pidana menurut Roeslan Saleh, yaitu
memberikan elaborasi tentang cara kerja penerapan hukum terhadap fakta hukum dimana harus ditentukan titik penghubung di antara
keduanya itu, kemudian dilakukan silogisme sebagai berikut: Mayor : kejadian objektif
Minor : peraturan hukum Konklusi : keputusan yaitu sanksi yang telah ditetapkan dan
ditunjuk oleh aturan hukum. Jadi peranan dipegang oleh cara-cara berpikir menurut sistem
tertentu.
78
Bernard Arief Sidharta menjelaskan bahwa memang rumusan logika seperti yang dimaksudkan oleh Roeslan Saleh di atas dalam
penerapannya tidak selalu berjalan secara ajeg, karena aturan hukum yang dipandang sebagai premis mayor selalu, memerlukan
kualifikasi atau interpretasi dalam konteks kenyataan faktual yang konkret berkaitan dengan peristiwa hukum yang terjadi. Faktor lain
adalah dinamika kehidupan juga selalu memunculkan situasi baru yang belum ada aturan hukum yang dapat diterapkan. Itulah
sebabnya aturan hukum selalu mengalami pembentukan dan pembentukan ulang.
79 77
Johnny Ibrahim, op.cit, hal. 7.
78
Roeslan Saleh, Hukum Pidana Sebagai Konfrontasi Manusia dan Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hal. 9-10.
79
Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1999, hal. 209.
102
Roscoe Pound pernah memunculkan gagasan tentang hukum
sebagai alat pembaruan masyarakat melalui bukunya “An Intoduction
to The Philosopy of Law” yang diterbitkan pada tahun 1954, dan telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Filsafat Hukum.
Hukum menurut Roscoe Pound, harus digunakan sebagai sarana pembaruan masyarakat. Sehubungan dengan pemikiran Roscoe Pound
tersebut di Indonesia muncul sebuah istilah yang populer tentang “Law as Tool of Social Engineering”.
Roscoe Pound menulis a bit with of social enginering tanpa ada
tambahan istilah tool yang di Indonesia diberi tambahan dan dielaborasi menjadi law as a tool of social engineering yang diartikan
dalam konteks dan fungsinya sebagai social control ….”should be
applied in the contec of ju dicial and an administrative process…which
emphasizes the ideal element of the law, which is absent in legal positivism”.
80
Terjemahan dalam Bahasa Indonesia yaitu kontrol sosial harus diterapkan pada konteks peradilan dan proses administratif
... yang menekankan bagian-bagian yang ideal dalam hukum yang tidak dapat ditemukan dalam aliran positivisme hukum.
Sehubungan dengan apa yang dikemukakan oleh Roscoe Pound tersebut diatas, dalam konteks hukum pidana, Made Sadhi Astuti
menegaskan sebagai berikut:
“Negara melalui alat-alat perlengkapan negara harus bersikap dan bertindak adil. Selain itu, negara juga mempunyai tugas untuk mempertahankan tata
tertib hukum dalam masyarakat. Langkah untuk mempertahankan tata tertib ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan menggunakan
hukum. Hukum dapat dipandang sebagai salah satu sarana. Hukum pidana misalnya, diciptakan sebagai alat rasional untuk memelihara tata tertib dan
melindungi anggota masyarakat dari gangguan dan kerugian sosial”.
81
Idealnya norma pengaturan dalam masyarakat Indonesia, khususnya dalam hukum pidana dan hukum acara pidana,
sesungguhnya telah diamanatkan dalam UUD NRI 1945 yaitu mewujudkan cita hukum yang ingin dicapai dan diwujudkan di
Indonesia sesuai dengan Pancasila sebagaimana di atur dalam Pembukaanm UUD NRI 1945.
Cita hukum Pancasila tidak nampak dalam norma-norma pengaturan KUHP karena ia adalah peninggalan Belanda, yang lebih
80
Roscoe Pound, Social Control Through Law, Transaction Publisher, London, 1997, hal. 267.
81
Made Sadhi Astuti, op.cit, hal. 1.
103
cocok digunakan pemerintahan kolonial Belanda untuk melestarikan kekuasaannya di Negara jajahan.
Istilah social engineering untuk memberikan upaya sistematis dari para pengemban kekuasaan negara untuk memengaruhi sikap
dan perilaku rakyat dalam skalanya yang lebih luas. Dalam wacana hukum, kebijakan dan pelaksanaan kerja rekayasa sosial ini
dilakukan dengan mendayagunakan hukum negara berikut beraneka ragam sanksinya, baik yang bersifat pidana maupun sanksi
administratif untuk mempengaruhi atau mengubah pola hubungan sosial antar manusia dalam masyarakatnya. Oleh karena penggunaan
kekuatan sanksi pidana sebagai sarana pemaksa inilah acap kali mengesankan dan mengundang tuduhan, bahwa
”social engineering” itu menyiratkan adanya manuver-manuver yang manipulatif.
82
Instrumen hukum yang digunakan sebagai sarana pembaruan itu dapat berupa undang-undang atau yurisprudensi bahkan
kombinasi keduanya dan bukan sejenis judge made law seperti halnya dalam tradisi Negara-negara yang menganut sistem common law. Bagi
Indonesia, peran yang menonjol adalah melalui aturan perundangan, karena peran yurisprudensi tidak begitu mengikat dalam proses
penegakkan hukum sebagaimana yang dapat dilihat pada negara- negara dengan sistem common law karena case law adalah merupakan
bagian yang inheren dalam proses penegakan hukum.
Menurut Herbert Packer, hukum pidana secara tradisional memiliki dua sisi yang sering kali diperdebatkan, seperti yang
dikemukakannya sebagai berikut:
“... the criminal law is caught between two fires. On the other hand, there is a view that punishment of the morally derelict is its own justification. On the
other, there is a view that the only proper goal of the criminal process is the prevention of anti social behaviour. ... .that man is a responsible moral agent
to whom rewards are due when he makes right moral choices and to whom punishment is due when h
e makes wrong”.
83
hukum pidana terperangkap dalam dua kepentingan. Pada satu pihak, ada pandangan bahwa tugasnya
adalah untuk menghukum pelanggaran moral, sedang pada pihak lainnya, ada pandangan bahwa satu-satunya tujuan utama proses pidana adalah
untuk mencegah prilaku anti sosial. ... bahwa manusia adalah agen moral
82
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum dalam Masyarakat, Perkembangan dan Masalah
, Bayu Media, Malang, 2008, hal.119.
83
Herbert L. Packer, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, California, hal. 9.
104 yang memperoleh penghargaan apabila ia membuat pilihan moral yang
benar, dan menerima hukuman bila melakukan pilihan yang keliru.
Ketertiban sebagai conditio sine quanon untuk menjamin kontinuitas bagi kehidupan dan ketertiban sosial, mungkin tidak
seorangpun membantunya. Karena tanpa terciptanya tertib sosial, cukup sulit membayangkan kemungkinan survivalitas eksistensi
komunistas sosial mampu berkembang secara berkelanjutan.
Menurut Thomas
Hobbes ,
tanpa tertib
sosial akan
mengakibatkan situasi homo homini lupus maupun bellum omnium contra omnes
yang situasi tersebut hanya dapat diatasi dengan kehadiran pemerintahan dan negara yang kuat, penguasa yang
otoriter, serta hukum yang keras lex dura sed tamen scipta. Tidak mengherankan apabila Ulpianus, mengemukakan kredo tentang ubi
societas ibi ius
, yang bermakna bahwa di mana terdapat suatu komunitas sosial, secara inheren di dalamnya selalu norma hukum.
Hukum dan masyarakat, hukum dan ketertiban, serta hukum dan keadilan bagaikan dua sisi dari mata uang yang sama. Kehadiran
norma hukum berfungsi mengatur perilaku warga sosial, agar berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu agar tercipta keteraturan
dan ketertiban. Namun demikian tujuan akhir hukum dan penegakan hukum tidak berhenti hanya pada pencapaian kepastian
dan ketertiban semata.
Kepastian hukum dan ketertiban memangh merupakan tujuan pertama, namun hal tersebut bukanlah merupakan tujuan akhir
diciptakannya hukum dan penegakan hukum. Terdapat tujuan lain diciptakan hukum dan penegakan hukum, yaitu keadilan serta
kemanfaatan yang juga harus dicapai secara integral dan stimulan.
Hukum dan keadilan tidaklah berada dalam ruang yang hampa steril, melainkan ia berada ditengan-tengah proses dan
progres kehidupan sosial nyata beserta segala kopmpleksitas maupun konstekstualitasnya law and society. Konsep hukum dan
ketertiban law and order haruslah difahami bukan dalam maknanya yang statis, dimana hukum tersebut dibuat hanya untuk hukum itu
sendiri, melainkan dalam maknanya yang dinamis. Dalam pengertian hukum akan, dan harus terus diproses, berprogres,
berinteraksi serta beradaptasi terhadap dinamika perkembangan dan perubahan sosial. Konsep hukum dan ketertiban haruslah dipahami
berada pada bingkai hukum dan kemasyarakatan.
105
Hukum, termasuk putusan pengadilan, idealnya mampu secara stimulan merefleksikan nilai dasar kepastian validitas yuridis , nilai
dasar kemanfaatan validitas sosiologis serta dasar keadilan validitas filosofi, berkepastian, bermanfaat sekaligus berkeadilan.
Walaupun dalam prakteknya, untuk mewujudkan kketiganya secara integral dan stimulan tidaklah mudah. Lebih mudah menteorikan
daripada menerapkan dalam praktek kenyataan.
Dalam kenyataannya empiris telah terbukti bahwa suatu Undang-Undang, bahkan kodifikasi, tidak pernah lengkap mengatur
segala persoalan yang terjadi maupun yang akan terjadi dalam pertimbangan masyarakat. Materi muatan suatu undang-undang
pada dasarnya merefleksikan pikiran dan pandangan pada legislator sesuai dengan konstektualitas zamannya. Andaikata pun undang-
undang mengandung sifat prediktif dan antipatif, namun hal tersebut sangatlah terbatas jangkauannya dan tidak mungkin pembuat
undang-undang mengatur sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
Pembuat Undang-Undang tidaklah memiliki teropong untuk mampu memprediksikan secara tepat dsan akurat segala apa yang
akan terjadi pada masa yang akan datang. Lebih-lebih apabila proses pembuatan suatu undang-undang tidak dilakukan kajian secara
visioner dan mendalam terhadap aspek-aspek yang bersifat fundamental dan substansial. Acapkali perbuatan suatu undang-
undang hanya dilakukan secara instan dan semata-mata hanya atas pertimbangan rektif dan pragmatis, disebabkan karena para
legislator terjebak dalam pusaran kepentingan yang bersifat transaksional. Produk legislatif yang demikian tersebut niscaya tidak
akan memiliki kemampuan prdiktif dan antisipatif jauh ke depan. Undang-Undang atau aturan hukum yang demikian itu akan
berumur pendek, karena lekas menjadi usang dan kepentingan zaman.
Roscoe Pound dalam gagasannya tentang social engineering yang
selanjutnya berkembang menjadi “Law as Tool of Social Engineering”
sebenarnya juga diperkuat oleh gagasan Yeheskiel Dror yang melalui
106
karyanya ”Law as a Tool of Directed Social Change”.
84
Menurut Yeheskiel Dror
, penggunaan hukum sebagai alat yang diarahkan untuk perubahan sosial, telah digunakan secara luas baik di negara maju
maupun negara yang masih terbelakang, juga digunakan baik oleh negara demokrasi maupun negara totalitarian sekalipun
– komponen utamanya sebagai berikut
a. Substansi hukum: konstitusional, aturan perundang-undangan, putusan-hakim, administrasi.
b. Hukum prosedural: konstitusional, aturan perundang-undangan, putusan hakim, administrasi.
c. Manusia: para hakim, pengacara, pembuat undang-undang, polisi, lembaga penegak hukum dan tenaga pendukung administrasi.
d. Organisasi: lembaga pembuat undang-undang, sistem peradilan, kepolisian, firma hukum, dan lembaga administratif.
e. Sumber-sumber: anggaran, informasi dan kapasitas pengolahan informasi, fasilitas fisik.
f. Aturan keputusan, kebiasaan memutuskan: formal, informal, implisit.
Yeheskiel Dror menaruh prioritas pada hukum yang substantif
yang bermuara pada keadilan substantif, dan juga hukum prosedural yang mengarah pada keadilan prosedural. Ia juga menegaskan
bahwa penggunaan hukum sebagai sarana perubahan sosial haruslah mempertimbangkannya dalam lingkup lebih luas sebagai instrumen
pembuatan
kebijaksanaan seperti
misalnya dalam
upaya meningkatkan ekonomi masyarakat. Jika demikian perubahan sosial
tersebut dapat juga digunakan dalam upaya menekan terjadinya kasus-kasus tindak pidana perkosaan dalam masyarakat.
Selain itu dapat dilihat bahwa Yeheskiel Dror juga menghendaki bahwa untuk memahami cara beroperasinya hukum sebagai sarana
perubahan sosial, maka haruslah dipelajari juga dampak sosial yang dimunculkannya berkaitan dengan komponen lain dalam sebuah
sistem hukum dan juga variabel-variabel kebijakan lain yang relevan.
Pendapat Yeheskiel Dror yang telah diulas di atas, diperkaya banyak analisis terhadap hukum yang dibuat oleh para ahli sosiologi
84
Yeheskiel Dror, Law as a Tool of Directed Social Change, A Framework for Policy-Making
, dalam Law and Social Change, Editor: Stuart S. Nagel, Sage Publications, London, 1970, hal. 75-81.
107
yang cukup berbobot seperti misalnya karya Donald Black “The
Behaviour of Law ”, yang melihat hukum dari perspektif sosiologis,
saat ia menyatakan bahwa kehidupan sosial manusia memiliki banyak ekspresi, dan ekspresi-ekspresi tersebut bertambah dan
berkurang dari waktu ke waktu dan memungkinkan untuk merumuskan masalah-masalah sehingga dapat meramalkan jumlah
kuantitasnya serta menerangkan setiap tingkah laku yang sesuai. Donald Black
berpendapat bahwa hukum adalah variabel kuantitatif faktor yang banyaknya tidak tetap dan banyaknya bertambah dan
berkurang begitu juga susunannya, dan ini memungkinkan untuk mengukur kuantitas hukum dalam banyak cara.
85
Lawrence M Friedman melihat hukum dalam perspektif sosial,
yang memberikan elaborasi ilmiah terhadap berbagai komponen yang membangun suatu sistem hukum yang memengaruhi kinerja
penegakkan hukum. Tokoh ini lebih menyederhanakan berbagai komponen utama hukum hanya dalam tiga komponen yang saling
berinteraksi yaitu struktur, substansi, dan kulturbudaya hukum. Ketiga komponen tersebut secara dinamis mempengaruhi positif
berhasilnya penegakan hukum.
86
Struktur adalah menyangkut sistem dan aparat penegak hukum polisi, jaksa, hakim dan advokad, substansi adalah isi
aturan hukum, dan budaya hukum, adalah pandangan atau penilaian masyarakat terhadap hukum. Elaborasi Lawrence M Friedman dari
perspektif ilmu sosial tersebut ternyata mampu memberikan penjelasan bahwa pembangunan hukum haruslah dilakukan secara
serentak yang meliputi berbagai komponen tersebut agar penegakan hukum dapat berjalan dengan baik. Pembangunan hukum secara
parsial hanya akan menimbulkan kekacauan hukum.
Menurut Lili Rasjidi dan Thania Rasjidi bahwa hukum yang baik hendaknya sesuai dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat. Jadi hukum itu mesti mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat.
87
85
Donald Black, The Behaviour of Law, Academic Press Inc, New York, 1976, hal. 1-2.
86
Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York, 1975, hal. 13-15.
87
Lili Rasjidi Thania Rasjidi, op.cit, hal. 79-80.
108
Hukum sebagai sarana pembaruan misalnya melalui Rancangan KUHP yang baru disertai pembaruan KUHAP berikut
aturan-aturan hukum yang moderen yang mendukungnya, jika disusun dengan tepat dan melihat secara prediktif perkembangan
masyarakat Indonesia di era globalisasi, akan menempatkan Negara Indonesia siap menghadapi efek negatif globalisasi, serta
menempatkan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat yang dinamis dan tangguh menghadapi persaingan dengan bangsa lain.
Hal yang demikian itu dapat terjadi karena cita hukumnya sesuai dengan Pancasila, yang diyakini sebagai pandangan hidup Bangsa
Indonesia.
Pemerkayaan gagasan pembaruan hukum di Indonesia yang berkembang kuat adalah pemikiran hukum yang muncul belakangan
ini ada dalam simpul yang titik beratnya dilihat dari aspek Jurisprudence and Social Sciences
yang bertumpu pada Sociological Jurisprudence
. Pemikiran seperti itu datang dari Philippe Nonet dan Philip Selznick
dalam karyanya ”Law and Society in Transition: Toward
Responsive Law”.
88
Philippe Nonet dan Philip Selznick membagi kategorisasi hukum dalam repressive law, autonomous law, dan
responsive law.
89
Repressive law ciri-cirinya antara lain:
a. Legal institutions are directly accessible to political power: law is identified with
the state and subordinated to raison d‟ètat. b.
The conservation of authority is an overriding preoccupation of legal officialdom. In the “official perspective” that ensues, the benefit of the doubt goes to the
system, and administrative convenience weighs heavily. c.
Specialized agencies of control, such as tha police, become independent centers of power; they are isolated from moderating social context and capable of resisting
political authority. d.
a regime of „dual law‟ institutionalizes class justice by consolidating and legitimating patterns of social subordination.
e. The criminal code mirrors the dominant mores ; legal moralism prevails.
90
Hukum yang represif seperti yang diuraikan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick nampak sekali dalam pola kehidupan hukum
dalam masa penjajahan pemerintahan kolonial Belanda dan pada Pemerintahan Orde Lama serta paruh pertama Pemerintahan Orde
88
Philippe Nonet Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward Responsible Law,
Harper Row Publisher, New York, 1978.
89
Ibid, hal. 16.
90
Ibid, hal. 33.
109
Baru. Pola penerapan hukum yang represif misalnya diungkapkan dalam karya ilmiah yang ditulis oleh Geoffrey Sawer sebagai berikut:
In societies with a tradition of constutitional instability, such as many of South African countries, or which have not yet settled down after a transfer
of sovereignty from a former colonial powr such as Pakistan, Indonesia, and new African states, the law of the constitution, wheter in form rigid or
flexible, is unmistacably under the control of governing elite and one of the methods by which it expresses change in policy. This is especially clear where
as in Ghana and Indonesia the constitution exists as the pleasure of a charismatic leader.
91
Dalam masyarakat tradisional dengan ketidakstabilan konstitusional, seperti kebanyakan Negara di Afrika Selatan, atau belum
tuntasnya peralihan kedaulatan dari pemerintahan kolonial seperti Pakistan, Indonesia, dan negara-negara baru di Afrika, hukum konstitusi, apakah
dalam bentuk yang kaku ataupun fleksibel, adalah dibawah kekuasaan kaum elite yang berkuasa dan merupakan cara bagaimana merubah kebijakan. Hal
ini seperti yang dapat dilihat di Ghana dan Indonesia dimana keberadaan konstitusi hanya untuk menyenangkan pemimpinnya yang kharismatis.
Represif yang dilakukan atas nama kelanggengan kekuasaan dan ketertiban, selama periode pemerintahan kolonial dan pasca
kolonial yaitu Pemerintahan Orde Lama dan paruh pertama Pemerintahan Orde Baru tersebut sangatlah terasa. Hukum
dilaksanakan hanya untuk memuaskan elit politik, khususnya pemimpin yang kharismatis. Dalam hubungan ini, Philippe Nonet dan
Philip Selznick
menuliskan:
”... a critical assessment af repressive law must proceed from a sympathetic understanding of how it comes about. Thus, we argue, a common source of
repression is the poverty of resources available to governing elites. For this reason repression is a highly probable accompaniment of the formation and
maintenance of political order, and can occur unwittingly in the pursuit of the behing intentions.
92
“... penilaian kritis hukum represif harus dimulai dari pemahaman yang simpatik tentang bagaimana ia bisa muncul. Jadi kami
berpendapat bahwa sumber yang umum bagi suatu represi adalah minimnya sumber-sumber yang tersedia bagi elit-elit yang memerintah. Karena alasan
ini, represi adalah sesuatu yang besar kemungkinannya mengiringi pembentukan dan terpeliharanya tatanan politik dan dapat tejadi tanpa
disengaja dalam upaya mencapai tujuan-tujuan yang baik.
Dalam praktek hukum yang represif, maka norma-norma pemidanaan menempatkan anak bangsa yang memiliki pola
pemikiran yang tidak sama, atau bahkan berseberangan dengan konsep dan pemikiran resmi pemerintah, dianggap sebagai musuh.
Pasal-pasal hatzai artikelen dalam KUHP dihidupkan untuk
91
Geoffrey Sawer, Law in Society, Clarendon Press, Oxford, 1973, hal. 133.
92
Philippe Nonet Philip Selznic, op.cit, hal. 33.
110
membungkam oposisi. Keterangan pemerintah adalah satu-satunya sumber resmi dan tak ada keterangan lain yang dapat
mengalahkannya. Pancasila pun harus ditafsirkan oleh pemerintah, dan tidak boleh ada penafsiran lain selain dari penafsiran resmi
pemerintah.
Reformasi yang diiringi dengan penerapan prinsip good governance
pada institusi negara berpengaruh besar dalam pembuatan aturan hukum secara kuantitatif dan penerapannya
pasca Pemerintahan Orde Baru. Selaras dengan angin perubahan dalam kehidupan demokrasi di Indonesia saat ini, elemen demokrasi
partisipatif dapat saja memberikan masukan positif dalam kehidupan masyarakat hukum di indonesia. Jika ini terjadi maka Philippe Nonet
dan Philip Selznick mengidentifikasikan arah perubahannya sebagai sebuah proses memasuki tahapan yang dinamakan hukum yang
otonom. Adapun karakter khas dari hukum yang otonom menurut Philippe Nonet
dan Philip Selznick antara lain adalah
1. Law is separated from politics. Charachteristically the system proclaims the
independence of judiciary and draws alin between legislative and judicial functions.
2. The legal orders espouses the “model of rules”. A focus on rules helps enforce a
measure of official accountability; at the same time, it limits both the creativity of legal institutions and the risk of their intrusion into the political domain.
3. “Procedure is the heart of law”. Regularity and fairness not substantive justice,
are the first ends and the main competence of the legal order. 4.
“Fidelity of law”. Is understood as strict obedience to the rules of positive law. Criticism of existing law must be channeled through the political process.
93
Dihadapkan pada karakter hukum represif, maka hukum otonom pada dasarnya memiliki substansi yang jauh lebih baik
terhadap upaya-upaya penegakan hukum rule of law, namun sumber utama transisi dari hukum represif ke hukum otonom, adalah
pencarian akan legitimasi. Dapat dilihat bahwa setiap karakter hukum otonom pada dasarnya dapat dipahami sebagai sebuah
strategi legitimasi. Maka munculah kritik-kritik tajam terhadap otoritas yang ada. Tujuan kritik-kritik tersebut adalah untuk
membangun sebuah dinamika perubahan guna membangkitkan harapan-harapan bahwa hukum memberikan respons secara fleksibel
terhadap masalah dan tuntutan-tuntutan baru. Pada tahap ini tampil visi untuk menghadirkan hukum yang responsif, yang lebih terbuka
93
Philippe Nonet Philip Selznick, op.cit, hal. 54.
111
terhadap pengaruh sosial dan lebih efektif dalam menangani permasalahan sosial. Lembaga hukum responsif menganggap
tekanan-tekanan sosial sebagai sumber pengetahuan dan kesempatan melakukan koreksi diri.
Dorongan ke arah munculnya hukum yang responsif menurut Philippe Nonet
dan Philip Selznick akibat
1. The dynamics of legal development increase the authority of purpose in legal
reasoning. 2.
Purpuse makes legal obligation more problematic, thereby relaxing law‟s claim to obedience and opening the possibility of a less rigid and more civil conception of
public order. 3.
As law gains openness and flexibility, legal advocacy takes on a political dimension, generating forces that help correct and change legal institutions but
threaten to undermine institutional integrity. 4.
Finally, we return to the most difficult problem of responsive law. In an environment of pressure the continuing authority of legal purpose and the
integrity of the legal order depend on the design of more competent legal institutions.
94
Selanjutnya Philippe Nonet dan Philip Selznick membedakan ada 3 tiga tipe hukum dan fungsinya pada masyarakat, yaitu:
1. Tipe hukum represif; 2. Tipe hukum otonom;
3. Tipe hukum responsif, yaitu hukum sebagai sarana respon atas
kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Apabila karakter hukum represif versi Philippe Nonet dan Philip
Selznick tujuan hukumnya adalah ketertiban, sedang hukum otonom
tujuannya adalah sebuah legitimasi, maka dalam hukum responsif, kompetensi adalah merupakan tujuan yang ingin dicapai. Pada
hukum represif peraturan perundang-undangan bersifat keras dan rinci, namun tingkat keberlakuannya pada pembuat hukum sangat
lemah. Pada hukum otonom peraturan perundang-undangan dibuat luas dan rinci serta mengikat penguasa maupun yang dikuasai.
Sedangkan pada hukum responsif, aturan perundang-undangan adalah merupakan sub ordinat dari prinsip dan kebijakan. Pada
tataran hukum responsif, keadilan substantiflah yang ingin dicapai, ketimbang keadilan prosedural pada hukum otonom.
95
Siklus perjalanan hukum dari hukum represif menuju hukum otonom dan selanjutnya mencapai tingkat ideal menjadi hukum
94
Ibid, hal. 78.
95
Ibid, hal. 16.
112
responsif, dapat digunakan untuk memberikan refleksi pada pembuatan peaturan perundang-undangan di Indonesia.
Pertanyaannya adalah apakah hukum pidana di Indonesia tergolong hukum represif, ataukah hukum otonom bahkan hukum
responsif. Apakah elemen-elemen pendukung bagi ditegakkannya Hukum Pidana yang bernuansa Indonesia misalnya beroperasinya
peradilan yang restoratif dapat terlaksana?.
Sejarah membuktikan bahwa pada Pemerintahan Orde Lama, hukum merupakan ekspresi pemerintah yang represif terhadap
pemenuhan hak-hak masyarakat. Periode ini terus berlangsung sampai pada akhir Pemerintahan Orde Baru dan memunculkan
dimensi hukum yang menuju kearah hukum yang lebih otonom, bahkan ada tanda-tanda mulai mencoba mengagas pencarian
memasuki ranah hukum yang responsif sebagaimana yang diuraikan Philippe Nonet
dan Philip Selznick di atas. Namun Philippe Nonet dan Philip Selznick mengingatkan tahap
yang paling kritis yang dihadap pada masa transisi antara hukum yang otonom dan hukum yang responsif sebagai berikut:
“... the critical step is the generalization of law‟s objective. Particular rules, policies, and procedures come to be regarded as instrumental and expendable.
They may be respected as funded experience, but they cease to difine the commitments of the legal order. Instead, the emphasis shifts to more general
ends that contain in the premises of policy and tell “business we are realy in”. Thus a distinctive feature and responsife law is the search for implicit
values in rules and policies.
96
... tahap yang paling kritis adalah generalisasi tujuan-tujuan hukum. Sejumlah peraturan, kebijakan dan prosedur tertentu
menjadi dianggap penting dan dapat digunakan. Perangkat-perangkut hukum tersebut mungkin tetap dihormati sebagai sekumpulan pengalaman,
namun semua itu berhenti mendefinisikan komitmen tatanan hukum. Justru penekanan yang dilakukan bergeser pada tujuan yang bersifat lebih umum,
yang berisikan premis-premis kebijakan dan sekadar
menyampaikan “urusan yang sedang kita tangani”. Dengan demikian, ciri khas hukum responsif
adalah mencari nilai-nilai yang tersirat yang terkandung dalam peraturan dan kebijakan.
Dalam masa peralihan antara hukum otonom dan hukum responsif, identitas hukum di Indonesia haruslah mencerminkan
identitas yang maksudkan para pendiri republik ini yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Dalam hal inilah pendapat Made
Sadhi Astuti yang menegaskan bahwa hampir sebagian negara, tidak
96
Ibid, hal. 78-79.
113
terkecuali Indonesia, hukum pidana umumnya telah ketinggalan zaman.
97
Dengan mengutip pendapat Hermann Mannheim, menegaskan bahwa masalah utama yang dihadapi oleh hukum pidana, dalam hal
ketinggalan zaman ialah tentang sistem pemidanaan atau penjatuhan pidana. Dalam konteks ini KUHP yang merupakan produk penguasa
zaman kolonial, jelas telah ketinggalan zaman dan tidak lagi memadai untuk menjadi sarana mewujudkan demokrasi di
Indonesia. Demikian pula KUHAP meskipun merupakan produk hukum pasca kolonial, namun sangat terasa kekurangan-
kekurangannya
dalam menghadirkan
keadilan prosedural,
mengingat perkembangan perilaku masyarakat dewasa ini serta tuntutan untuk mewujudkan peradilan yang murah dan cepat
sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang kekuasaan pokok kehakiman.
Dalam kerangka hukum responsif yang bisa dipakai sebagai pisau analisa dalam perumusan norma kedudukan korban perkosaan
sebelum dan setelah berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban. Teori Philippe Nonet dan Philip Selznick mengemukakan bahwa hukum yang responsif sebagai sarana respon atas kebutuhan-
kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Fungsi hukum untuk mencapai kepastian hukum demi terciptanya keamanan, ketertiban dan keadilan dalam masyakat,
kepastian hukum mengharuskan adanya peraturan-peraturan umum atau norma-norma yang berlaku umum, dan peraturan-peraturan
tersebut harus ditegakkan serta dilaksanakan dengan tegas. Inti daripada kepastian hukum bukanlah terletak pada batas-batas daya
berlakunya hukum tersebut menurut wilayah atau golongan- golongan dalam masyarakat akan tetapi justru terletak pada
kepastian tentang bagaimana warga masyarakat menyelesaikan pertikaian yang terjadi yang setiap saat timbul di masyarakat itu
sendiri, bahwa kepastian hukum secara pasti terwujud dalam aturan- aturan tertulis. Kesadaran hukum masyarakat menurun karena
mereka tidak melihat dan merasakan bahwa hukum melindungi kepentingannya dan kepastian hukum yang bersifat umum adalah
97
Made Sadhi Astuti, op.cit, hal. 6.
114
keadilan Iebih menekankan faktor yang utama, yang membuat ketenteraman dan keamanan dalam kehidupan bermasyakat,
berbangsa dan bernegara.
98
Bahwa ketertiban yang terganggu berarti bahwa keteraturan dan karenanya kepastian tidak lagi terjamin. Jadi suatu tatanan
hukum tidak bisa dilepaskan begitu saja dari keadilan. Atau dengan kata lain, memandang hukum atau sistem hukum secara formal
bukan cara memandang hukum yang realistik dan hanya memberikan kepuasan proses berpikir belaka. Bahwa hukum
menjamin keteraturan dan ketertiban, ini bukanlah tujuan akhir dari hukum, karena inilah yang disebutkan dengan fungsi hukum. Hal ini
wajib dipahami karena tujuan hukum tidak dapat dilepaskan dari tujuan akhir dari hidup bermasyarakat yang tidak dapat dilepaskan
dari nilai-nilai dan falsafah hidup yang menjadi dasar hidup masyarakat itu, yang akhirnya semuanya kelak bermuara pada
keadilan.
99
Pada tataran ini, keadilan menjadi sesuatu yang sukar didefinisikan, tetapi bisa dirasakan dan karenanya ia merupakan
unsur yang tidak bisa tidak harus ada dan tidak dapat dipisahkan dari hukum sebagai perangkat asas dan kaidah yang menjamin
adanya keteraturan kepastian dan ketertiban dalam masyarakat. Bahwa tujuan hukum dalam hukum postif di Indonesia tentu tidak
bisa dipisahkan dari aspirasi dan tujuan perjuangan bangsa sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dan keadilan
sosial yang merupakan bagian penting dari sistem nilai Bangsa Indonesia.
100
Berkaitan dengan asas keadilan sosial dalam hukum positif nasional, maka hal ini berkaitan dengan prinsip-prinsip keadilan dan
asas keseimbangan yang dibahas dalam uraian berikut ini. Dalam upaya menghadirkan keadilan bagi korban perkosaan,
perlu kiranya memahami apa saja yang menjadi asas-asas atau
98
Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Perspeklif Sosial, Alumni, Bandung, 1981, hal. 95-99.
99
Mochtar Kusuma Atamadja Bernard Arief Shidarta, op.cit, hal. 52.
100
Priyono H, Teori Keadilan Rawls, dalam Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan
, Tim Redaksi Driyarkara ed, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hal. 53.
115
prinsip-prinsip penting keadilan. Menurut pendapat John Rawls, ada dua prinsip utama keadilan yaitu
1. Each person is to have an equal right to the most extensive basic liberty
compatible with a similiar liberty for others. 2.
Social and economic inequalities are to bw arranged so that they are both: a.
reasonably espected to be everyone‟s advantage, and b.
attached to positions and offices open to all.
101
Nampaknya John Rawls ingin mengemukakan ketergantungan reflektif antara prinsip pertama dan prinsip kedua. Aspek-aspek
sistem sosial yang mendefinisikan dan menjamin kebebasan warga Negara dan aspek-aspek yang menunjukkan dan mengukuhkan
ketimpangan sosial ekonomi. Bahwa kebebasan berbicara dan berserikat, kebebasan berkeyakinan dan kebebasan berpikir,
kebebasan seseorang seiring kebebasan mempertahankan hak milik dan kebebasan dari penangkapan secara semena-mena sebagaimana
didefinisikan dalam konsep
”rule of law”. Kebebasan-kebebasan inilah oleh prinsip pertama milik John Rawls yang diharuskan setara.
Prinsip kedua adalah berkenaan dengan pendapatan dan kekayaan. Sementara distribusi kekayaan dan pendapatan menurut
John Rawls tidak perlu sama, harus demi keuntungan semua orang.
Masyarakat yang menerapkan prinsip kedua tersebut, membuat posisinya terbuka bagi semua orang, sehingga tunduk dengan
batasan akan mengatur ketimpangan sosial ekonomi sedemikian rupa hingga semua orang diuntungkan. Jika kedua prinsip tersebut
diterapkan secara konsisten, maka pada dasarnya ketidakadilan dari sudut pandang ini adalah ketimpangan yang tidak menguntungkan
bagi semua orang. Disini, ia melihat bahwa hukum haruslah menjadi penuntun agar setiap orang dapat mengambil posisi dengan tetap
memperhatikan kepentingan individu lainnya.
Priyono melihat bahwa dari kaca mata dan pemikiran John Rawls
tersebut, maka prinsip keadilan versinya harus mengerjakan dua hal yaitu prinsip keadilan harus memberikan penilaian konkret
tentang adil tidaknya institusi dan praktek institusional serta prinsip keadilan harus membimbing kita dalam memperkembangkan
116
kebijakan dan hukum untuk mengoreksi ketidakadilan dalam struktur dasar masyarakat tertentu.
102
Apakah institusi penegak keadilan dalam konsep negara hukum itu telah menjalankan fungsinya sebagaimana yang
diharapkan, maka dalam bidang hukum pidana, keadilan vindikatif merujuk pada keadilan dalam hal menjatuhkan hukuman atau ganti
kerugian pada para pelaku tindak pidana. Seorang dianggap adil apabila ia dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya
hukuman yang telah ditentukan atas tindak pidana yang dilakukannya.
Perbuatan pelaku gratifikasi seksual bertentangan dengan asas iustitia est costans et perpetua voluntas ius suumcuique tribendi
, sudah sepantasnya jika pelaku gratifikasi seksual menerima sanksi yang
diancamkan. Selain itu perbuatan pelaku gratifikasi seksual juga bertentangan dengan asas justitia distributive, karena pelaku
gratifikasi seksual sudah seharusnya secara proporsional menerima sanksi dari perbuatannya seperti halnya dengan pelaku gratifikasi
seksual dalam tindak pidana korupsi. Perbuatan gratifikasi seksual juga bertentangan dengan dengan prinsip keadilan komulatif karena
pelaku gratifikasi seksual sudah sepantasnya menerima kontra prestasi berupa sanksi pidana sebagai konsekuensi dari prestasinya.
Perbuatan gratifikasi seksual juga bertentangan dengan prinsip keadilan vindikatif, karena sudah sepantasnya jika pelaku gratifikasi
seksual menerima sanksi yang sepadan dengan tindakannya. 2.
Perumusan Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Gratifikasi Sek- sual dalam Rangka Pembaruan Tindak Pidana di Indonesia
Konsep pertanggungjawaban pidana dapat dianggap sebagai salah satu unsur dari perbuatan pidana, namun ada juga pendapat
yang memisahkan pertanggungjawaban pidana dari perbuatan pidana. Perbuatan pidana berkaitan dengan tercelanya perbuatan,
sedangkan pertanggungjawaban berkaiatan dengan tercelanya pelaku.
Penelaahan perkembangan asas pertanggungjawaban pidana yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan negara lain.
102
Priyono H, Teori Keadilan Rawls, dalam Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan
, Tim Redaksi Driyarkara ed, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hal. 37.
117
Peraturan perundang-undangan Indonesia diperlukan untuk mengetahui perkembangan akhir dalam hukum positif dan sebagai
bahan perbandingan bagi penyusunan konsep pertanggungjawaban pidana, khususnya yang berkaitan dengan kejahatan korupsi di
Indonesia. Rumusan bentuk pertangungjawaban pidana bahwa setiap orang
sebagai manusia alamiah disebut dengan sengaja melakukan gratifikasi seksual, apabila menghendaki untuk menerima manfaat
atau keuntungan dari suatu hal yang diketahuinya berasal dari tindak pidana korupsi. Diadopsi dan dimodifikasi dari ketentuan
mngenai kesengajaan sebagai salah satu bentuk kesalahan di dalam Section 15 jo Article257, 259, 260, 261 2 KUHP Jerman,
Section 5 2, Section 6
KUHP Finlandia, Article 256 KUHP Jepang, Article 191
KUHP Cina, Article 5 Prevention of Corruption Act Singapore
dan Article 23 Akta Pencegahan Rasuah Malaysia. Rumusan bentuk pertanggungjawaban pidana bahwa setiap orang
dikatakan memiliki kealpaan dalam melakukan gratifikasi seksual, apabila tidak melakukan penghati-hatian dan tidak melakukan
penduga-dugaan sebagaimana diharuskan oleh hukum pelaku gratifikasi seksual manfaat atas suatu hal yang di dapat dari
tindak pidana korupsi, diadopsi dan dimodifikasi berdasarkan ketentuian tentang kealpaan sebagai salah satu bentuk kesalahan
di dalam Article 261 5 KUHP Jerman, Section 4 KUHP Finlandia, Article 15
Jo 112 KUHP Cina. Selain itu ditemukan juga di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia seperti diatur di dalam
Pasal 480 KUHP. Selain itu dipersalahkan pelaku gratifikasi seksual danatau dicelanya pelaku gratifikasi seksual;
Rumusan bentuk pertanggungjawaban pidana bahwa setiap orang dapat dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana sepanjang
perbuatan gratifikasi seksual dilakukan dengan itikad baik, di adopsi dan dimodifikasi dari ketentuan itikad baik sebagai
pengecualian terhadap pertanggungjawaban pidana ditemukan dalam rumusan Article 23 KUHP Nigeria. Hal ini sepadan dengan
alasan pemaaf yang diatur dalam Pasal 51 Ayat 2 KUHP, berkenaan dengan seseorang yang melaksanakan perintah jabatan
tanpa mengetahui bahwa perintah itu melanggar hukum.
118
3. Konsep Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Gratifikasi Seksual
Secara teoritik berdasarkan teori pertanggungjawaban pidana bagi pelaku gratifikasi seksual berupa manusia alamiah di dalamnya
harus terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Prinsip ini di dalam hukum pidana dikenal dengan
prinsip liability based on fault atau dikenal juga dengan tiada pidana tanpa adanya kesalahan asas culpabilitas, khusunya yang
berhubungan dengan masalah kesengajaan dolus dan kealpaan culpa.
Pelaku gratifikasi seksual memiliki kesalahan, karena ditinjau dari sudut pandang masyarakat, pelaku kejahatan gratifikasi seksual
dapat dicela. Kesalahan dapat juga diartikan sebagai keadaan jiwa pembuat, yang memiliki cukup akal, dan kemauan, dan oleh karena
cukup mampu untuk menentukan kemauannya. Keadaan jiwa sedemikian rupa terdapat pada orang-orang normal. Pelaku
gratifikasi seksual dapat dicela, jika memiliki perkembangan jiwa yang normal dan cukup mengerti makna perbuatannya dan sesuai
dengan makna tersebut menentukan kemauannya. Dalam hal ini kemampuan bertanggung jawab dan tidak ada alasan menghapuskan
pertanggungjawaban pidana si pembuat.
Kesalahan pelaku gratifikasi seksual dapat berbentuk kesengajaan atau kealpaan. Kesengajaan dimaksudkan sebagai arah
dengan sadar dari kehendak melakukan suatu pekerjaan tertentu. Kesengajaan ditunjukkan oleh adanya pilihan secara sadar dari
seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Menurut MvT, maka kata sengaja opzet adalah sama dengan
diketahui atau dikehendaki willens en wetens. Seseorang yang melakukan perbuatan dengan sengaja, harus menghendaki
perbuatan itu dan harus mengetahui akan akibat perbuatannya.
Pelaku gratifikasi seksual memiliki kesengajaan apabila dalam menerima manfaat perbuatannya itu. Selain itu, pelaku gratifikasi
seksual memiliki kesengajaan jika mengetahui perbuatan itu merupakan tindak pidana korupsi.
Bentuk lain dari kesalahan adalah kealpaan. Kealpaan dimaksudkan sebagai suatu perbuatan yang dikehendaki oleh
pelaku. Dia tidak menghendaki atau menyetujui timbulnya hal yang dilarang, kekeliruannya ada dalam batinnya sewaktu ia berbuat,
119
sehingga menimbulkan hal-hal yang dilarang. Jadi bukan semata- mata menentang larangan tersebut, akan tetapi dia juga tidak begitu
mwngindahkan larangan. Van Hamel mengatakan bahwa kealpaan mengandung dua syarat, yaitu
¬
Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum;
¬ Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh
hukum. Hal ini sama dengan pengertian subjective reclessness, terdakwa
yang harus menyadari ada resiko dari konsekuensi larangan sebagai konsekuensi dari pelakunya, akan tetapi tetap memutuskan untuk
mengambil resiko tersebut.
Pelaku gratifikasi seksual memiliki kealpaan jika dalam menerima suatu barang atau uang tidak menghendaki atau
menyetujuinya, dan jika mengetahui bahwa uang atau barang itu yang diberikan kepadanya berasal dari tindak pidana korupsi.
Kekeliruannya tidak melakukan penduga-dugaan atau melakukan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum, sehingga
menimbulkan hal-hal yang dilarang. Jadi bukan semata-mata menentang larangan tersebut, akan tetapi dia juga tidak
mengindahkan larangan dan akibat perbuatannya tersebut juga merugikan keuangan negara.
Selain itu pelaku gratifikasi dikategorikan memiliki kealpaan apabila tidak melakukan penduga-dugaan bahwa pelaku gratifikasi
seksual itu adalah pelaku tindak pidana korupsi. Secara teoritik hasil korupsi tidak semata-mata dinikmati oleh
orang perorangan, namun juga dinikmati oleh kumpulan orang atau suatu badan. Berkenaan dengan hal tersebut, maka perlu ditentukan
subjek yang dapat dipertanggungjawabkan.
Penentuan pertanggungjawaban pidana bagi pelaku gratifikasi seksual selain memiliki dasar secara yuridis dan teoritis juga
memiliki dasar secara filosofi. Secara filosofi, konsep monodualisme Pancasila dapat
digunakan sebagai
pisau analisa
terhadap penentuan
pertanggungjawaban pidana bagi pelaku gratifikasi seksual. Ide dasar yang ingin diwujudkan dalam konsep ini yaitu
berorientasi asas keseimbangan monodualistik antara kepentingan
120
umummasyarakat dan kepentingan individupelaku tindak pidana dan korban tindak pidana.
Penentuan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku gratifikasi seksual didasarkan pada pertimbangan kepentingan
keterlibatan pelaku gratifikasi seksual dalam memanfaatkan hasil tindak pidana korupsi dan pertimbangan kepentingan masyarakat
dan negara yang menjadi korban kehilangan kemanfaatan dari sesuatu yang seharusnya disediakan untuknya. Pengembangan
konsep pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari pergulatan pemikiran tentang hakikat dan kedudukan manusia
Indonesia. Pembicaraan hakikat dan kedudukan manusia Indonesia harus dihubungkan dengan falsafah bangsa, yaitu Pancasila yang
memberikan pedoman dalam memahami kedudukan dan hakikat manusia Indonesia.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, memberikan pedoman bagi kita untuk menyadari bahwa hakikatnya kedudukan manusia
Indonesia adalah makhluk Indonesia makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, menimbulkan kesadaran bahwa manusia tunduk dan
patuh terhadap ketentuan Tuhan Yang Maha Esa. Berkenaan dengan kepatuhan ini, maka manusia harus menyerahkan seluruh usaha
yang dilakukannya kepada ketentuan Tuhan Yang Maha Esa. Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan
agama dan kepercayaan pribadi menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Penentuan pertanggungjawaban pidana bagi pelaku gratifikasi seksual dapat didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan. Berdasarkan
nilai-nilai ketuhanan ini, maka kedudukan manusia sebagai makhluk tuhan memberikan pemahaman bahwa dalam hal-hal tertentu
manusia tidaklah bebas menentukan kehendaknya sendiri.
Pemahaman ini dikenal dengan konsep determinisme, segala sesuatu mempunyai hubungan sebab akibat yang dapat dicari pada
masa lalu, saat ini ataupun masa yang akan datang. Hubungan sebab akibat ini juga dapat terjadi dalam interaksi antara individu di dalam
masyarakat.
Berdasarkan konsep determinisme, maka ketercelaan dan pertanggungjawaban pidana pelaku gratifikasi seksual memiliki
hubungan sebab akibat dengan ketercelaan dan pertanggungjawaban
121
pidana pelaku gratifikasi seksual dalam tindak pidana korupsi. Berdasarkan asumsi ini, maka tercelanya pelaku pelaku tindak
pidana korupsi juga pelaku gratifikasi seksual, sehingga kedua- duanya dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Sila Kemanusian Yang Adil Dan Beradab memberikan pedoman dalam memahami harkat dan martabat manusia Indonesia,
yaitu mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia. Sila Kemanusiaan Yang Adil Dan
Beradab berisikan nilai kemanusiaan yang dapat dijadikan dasar filosofi penentuan pertanggungjawaban pidana bagi pelaku
gratifikasi seksual. Nilai kemanusiaan memberikan pedoman bagi pemahaman kedudukan manusia Indonesia sebagai makhluk yang
memiliki kehendak bebas. Konsep seperti ini dikenal sebagai indeterminisme.
Konsep kehendak bebas menyebutkan bahwa manusia adalah subjek moralitas yang bertanggung jawab secara moral untuk
peristiwa, yang dapat menerima pujian atau dipersalahkan secara moral atas peristiwa dan keadaan tertentu yang dilakukannya.
Berdasarkan konsep kehendak bebas, maka pelaku gratifikasi seksual dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana karena pelaku
manusia alamiah adalah subjek moralitas, yang bertanggung jawab secara moral untuk peristiwa atau keadaan tersebut. Sebaliknya jika
seseorang tidak memiliki kebebasan kehendak, maka yang bersangkutan tidak bertanggung jawab secara moral terhadap apa
yang telah dilakukannya.
Atas dasar pemikiran tersebut, maka pelaku gratifikasi seksual dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana apabila pelaku
memiliki kebebasan untuk memilih dan kemudian menghendaki untuk melakukan gratifikasi seksual.
Nilai –nilai kemanusiaan juga dapat dijabarkan melalui sikap
mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia dan saling mencintai sesama
manusia, serta mengembangkan sikap tenggang rasa. Persamaan hak dan kewajiban, menuntun setiap manusia Indonesia dalam
melaksanakan tanggung jawab, baik sebagai manusia pribadi maupun sebagai anggota masyarakat. Pemberian hak dasar kepada
manusia Indonesia menunjukkan bahwa kedudukan manusia
122
Indonesia sebagai manusia pribadi diakui, sebaliknya pemberian kewajiban dasar merupakan bentuk pengakuan manusia Indonesia
sebagai makhluk sosial.
Pelaksanaan hak dan kewajiban manusia Indonesia dibatasi dengan adanya sikap tenggang rasa merupakan alat pembatasan bagi
pelaksaan hak agar tidak tidak mengganggu hak orang lain. Tenggang rasa memberikan pengertian untuk menghormati orang
lain dan mengerti kewajibannya saling menjaga perasaan orang lain. Masyarakat Indonesia mengenal sikap tenggang rasa dan kesediaan
menanggung beban sesama dikenal dengan atas gotong royong.
Berdasarkan konsep tenggang rasa sebagai penjabaran nilai- nilai kemanusiaan, maka pelaku gratifikasi seksual dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana. Pelaku gratifikasi seksual sebagai orang yang mendapatkan manfaat sudah sepantasnya memiliki
tenggang rasa untuk ikut bertanggung jawab menerima beban sebagai akibat perbuatannya.
Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia memberi pedoman dalam memahami konsep pertanggungjawaban, sebagai
berikut: Bersikap adil terhadap sesama;
Menghormati hak-hak orang lain; Menolong sesama;
Menghargai orang lain. Sila terakhir ini mengandung nilai-nilai keadilan dan dapat
dijadikan dasar filosofi penentuan pertanggungjawaban pidana bagi pelaku gratifikasi seksual.
Berkenaan dengan kesebandingan pertanggungjawaban pelaku gratifikasi seksual dapat ditemukan dasarnya di dalam istilah latin
suum cuique tribuere, yakni bertindaklah sebanding.
103
Berdasarkan adagium ini dapat dijelaskan bahwa perbuatan gratifikasi seksual
sebanding dengan pelaku korupsi itu sendiri, karena akibat dari perbuatan tersebut sama-sama dapat merugikan keuangan negara
danatau perekonomian negara. Oleh karenanya pelaku gratifikasi seksual dan pelaku tindak pidana korupsi patut dimintakan
pertanggungjawaban pidana.
103
Abdul Ghafur Anshori, Filsafat Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2006, hal. 51.
123
Kesebandingan juga merupakan acuan bagi pengaturan hak dan kewajiban. Bangsa Indonesia berusaha menyelaraskan secara
seiombang mengenai hak dan kewajiban. Keadilan sosial berkaitan erat dengan hak. Hanya saja dalam konsepsi keadilan keadilan
Bangsa Indonesia, hak itu tidak dapat dipisahkan dari pasangan antinominya, yaitu kewajiban. Keselarasan hak dan kewajiban itu
menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk berdimensi monodualistik, yaitu sebagai individual dan sosial.
Berdasarkan prinsip keseimbangan hak dan kewajiban tersebut, secara negatif dapat diaplikasikan pada adanya penerimaan manfaat
harus disertai dengan kewajiban untuk menerima konsekuensi dari perbuatan tersebut, yaitu kewajiban bertanggung jawab menerima
sanksi pidana sebagai konsekuensi dari perbuatan gratifikasi seksual.
B. Kebijakan Perumusan Sanksi Tindak Pidana Pelaku Gratifikasi Seksual Dalam Rangka Pembaruan Tindak Pidana Korupsi Di
Indonesia Dasar-dasar normatif perumusan sanksi pidana gratifikasi
seksual ialah a. Pidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4
Empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 Dua Ratus Juta Rupiah dan
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 Satu Miliar Rupiah diadopsi dari rumusan Pasal 12 huruf b Ayat 2 UU No. 20-2001,
sedangkan pidana penjara dalam jangka waktu tertentu ditemukan di dalam peraturan perundang-undangan Negara lain
berkenaan dengan sanksi pidana bagi penerima manfaat hasil kejahatan termasuk gratifikasi seksual, yaitu di dalam Article 260
KUHP Jerman, Article 256 KUHP Jepang, Article 112 KUHP Nigeria;
b. Sanksi pidana penjara dan denda yang diatur secara alternatif diadopsi dan dimodifikasi berdasarkan sanksi pidana bagi tindak
pidana pelaku gratifikasi seksual menerima hasil kejahatan korupsi;
c. Pengaturan sanksi pidana dan denda terhadap tindak pidana pelaku gratifikasi seksual secara komulatif dapat ditemukan di
dalam peraturan perundangan-undangan, khususnya di dalam
124
UU No. 31-1999 dan UU No. 20-2001, serta di dalam UU No. 15- 2002 Jo UU No. 25-2003 Jo Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang UU No. 8-2010;
d. Perumusan pidana penjara dan denda secara alternatif dan komulatif hanya ditemukan didalam peraturan perundang-
undangan Indonesia, yaitu di dalam UU No. 31-1999 dan UU No. 20-2001;
C. Sanksi Pidana Tindak Pidana Pelaku Gratifikasi Seksual
Menurut H.L.Packer, maka sanksi pidana merupakan suatu kebutuhan dan penjamin utama bagi kelangsungan dan keberadaan
suatu masyarakat untuk menghadapi bahaya besar yang dapat menghancurkan masyarakat.
Selain itu dapat ditambahkan pandangan Immanuel Kant bahwa dasar pemberian sanksi pidana tidak pernah dilaksanakan semata-
mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan atau kebaikan lain, baik bagi si pelaku gratifikasi seksual itu sendiri maupun bagi
masyarakat, akan tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu tindak
pidana.
Terkait dengan hal tersebut, maka pengancaman sanksi pidana pada pelaku gratifikasi seksual dibutuhkan negara untuk mencegah
terjadinya tindak pidana pelaku gratifikasi seksual, dan dalam hal tindak pidana tersebut telah terjadi, maka sanksi pidana dapat
dijadikan alat untuk menindak pelakunya. Hal yang demikian sangat penting untuk dilakukan sebagai upaya pencapaian tujuan berbangsa
dan bernegara seperti tercantum di dalam Pembukaan UUD NRI 1945.
Menurut aliran retributif, maka sanksi pidana dibenarkan semata-mata didasarkan keinginan masyarakat untuk memberikan
sanksi pidana sebagai imbalan yang layak bagi pelaku gratifikasi seksual dan yang dilarang. Pendekatan yang dipakai oleh golongan
retributif tersebut lebih banyak bersandar pada prinsip moral.
Menurut Immanuel Kant, bahwa pidana merupakan bukti bahwa prinsip moral jelas tidak memerlukan pembenaran dari luar
125
dirinya, bahwa kejahatan itu sendiri pantas dikenakan pidana, dan pidana setimpal atau setara dengan kejahatan yang dilakukan.
Demikian juga pandangan Hegel menyatakan perbuatan salah merupakan penyangkalan dari hak dan penolakan harus dilakukan
oleh reaksi masyarakat berupa sanksi pidana bagi pelanggar. Berkenaan dengan teori retributif, maka pemberian sanksi pidana
pada pelaku gratifikasi seksual merupakan imbalan yang setimpal sebagai konsekuensi bagi pelaku gratifikasi seksual, karena telah
melakukan perbuatan yang merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dan ditujukan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Sanksi pidana merupakan pengekspresian penolakan masyarakat terhadap perbuatan pelaku gratifikasi seks dari hasil
tindak pidana korupsi. Pentingnya merumuskan sanksi pidana dan menegakkannya disebabkan setiap orang seharusnya menerima
ganjaran dari perbuatannya melakukan gratifikasi seksual, karena kalau tidak demikian, maka mereka semua dapat dipandang sebagai
orang yang ikut ambil bagian dalam perbuatan tersebut, yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum. Selain itu sanksi
pidana juga merupakan reaksi masyarakat, Bangsa dan Negara Indonesia atas penyangkalan yang dilakukan oleh pelaku gratifikasi
seksual terhadap tertib masyarakat berhubungan dengan penguasaan sumber-sumber keuangan bagi warga masyarakat atau warga negara.
Pidana seumur hidup atau pidana penjara danatau denda bagi pelaku gratifikasi seksual semata-mata diancamkan sebagai
pernyataan balas dendam masyakarat sebagai korban tindak pidana korupsi dan pelaku gratifikasi seksual atas perbuatannya yang telah
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
Jenis pidana lainnya yang diancamkan bagi pelaku gratifikasi seksual adalah pidana denda berupa pembayaran sejumlah uang
yang wajib dibayar oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan. Pidana denda kecuali sebagai jenis pidana yang berdiri sendiri, dapat
dikomplementasikan dengan jenis pidana pencabutan kemerdekaan.
Pemberian pidana dilakukan atas dasar adanya nilai kegunaan. Pandangan ini dikemudikan oleh kelompok utilitarian. Menurut
kelompok ini, pidana dibenarkan untuk diancamkan dan dijatuhkan semata-mata jika mempunyai manfaat untuk masa yang akan datang.
126
Manfaat yang hendak ditarik dengan adanya pidana adalah adanya daya pencegah bagi terjadinya perbuatan yang dilarang.
Sanksi pidana hanya boleh dijatuhkan jika mempunyai manfaat bagi pelaku gratifikasi seksual maupun pelaku tindak pidana
korupsi, khususnya untuk merubah masa depan pelaku kriminal dan orang lain yang mungkin akan tergoda untuk melakukan kejahatan.
Pencegahan itu merupakan hal yang logis, karena setiap orang menghendaki kesenangan dan kebahagiaan di dalam hidupnya,
dengan demikian seseorang akan selalu menghindarkan diri dari kemungkinan dikenkan pidana, sehingga hal tersebut menutup
kemungkinan bagi seseorang untuk melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.
Berdasarkan pandangan teori utilitarian, pemberian sanksi pidana pada pelaku gratifikasi seksual ditujukan untuk mencegah
orang agar tidak melakukan perbuatan tersebut, karena konsekuensi dari perbuatan gratifikasi seksual adalah dikenakannya sanksi
pidana yang diancamkan terhadap perbuatan tersebut. Penderitaan yang diberikan oleh sanksi pidana diharapkan akan menjadi alasan
seseorang untuk menghindari diri melakukan tindak pidana gratifikasi seksual. Pemberian sanksi pidana juga diharapkan
menjadi sarana efektif untuk mencegah seseorang mengulangi tindak pidana gratifikasi seksual.
Selain teori retributif dan utilitarian terdapat kelompok teori lain yang juga berusaha mencari dasar pembenar diadakannya sanksi
pidana adalah teori behavioral. Beranggapan bahwa pidana dibenarkan karena bermanfaat
bagi pelaku gratifikasi seksual. Rehabilitasi adalah tujuan, sifat pelanggaran yang relevan hanya memperbaiki pelaku gratifikasi
seksual. Berdasarkan teori ini, maka sanksi pidana yang diancamkan kepada pelaku gratifikasi seksual semata-mata untuk kepentingan
perbaikan pelaku gratifikasi seksual agar menjadi warga masyarakat atau warga negara yang patuh terhadap hukum.
Ketiga teori tersebut secara keseluruhan bersesuaian juga dengan tujuan penjatuhan sanksi denda dan uang pengganti.
Pemberian sanksi pidana selain memiliki dasar-dasar juga memiliki tujuan tertentu. Pada dasarnya teori-teori ini terpengaruh pada dua
pandangan dan aliran utama yang telah dibicarakan, yaitu teori
127
retributif dan utilitarian. Teori-teori yang dapat digolongkan pada teori retributif antara lain:
× Revenge Theory; dan × Expiation Theory.
Sedangkan yang dapat digolongkan sebagai pendukung aliran retributif dan utilitarian antara lain:
ם Deterence Theory; ם Special Deterence Theory.
Sebagai pelengkap perlu juga dikemukakan kelompok teori behavioral, yaitu incapation theory dan rehabilitation theory.
Senada dengan teori-teori tersbut, maka terdapat aliran pemikiran lain yang berusaha merumuskan tujuan pidana, yaitu
aliran klasik dan sesudahnya adalah aliarn modern. Aliran klasik timbul untuk memperbaharui sistem hukum yang saat itu dianggap
tidak beradab dan melindungi terdakwa dari kesewenang-wenangan penguasa. Oleh karena itu, aliran klasik beragumentasi bahwa pidana
harus sesuai dengan kejahatan yang dilakukannya. Di pihak lain aliran positifis, berusaha menerapkan prinsip dan metode ilmiah
pada studi tentang penjahat. Berkenaan dengan hal ini, maka diperlukan kesesuaian antara pidana dengan masing-masing pelaku
guna melindungi masyarakat dari pelaku kejahatan.
Di Indonesia tujuan pidana selain mengadopsi pemikiran yang berkembang secara universal juga mengadopsi pemikiran yang
berakar dari hukum adat, yaitu: ∞ Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan
norma hukum demi pengayoman masyarakat; ∞ Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan,
sehingga menjadikannya orang baik dan berguna; ∞ Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
∞ Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. UU No. 20-2001 merupakan perkembangan politik hukum
pidana nasional yang telah menganut sistem individualisasi pidana, berorientasi pada pelaku dan perbuatan, sehingga jenis sanksi yang
diterapkan dalam undang-undang ini meliputi sanksi pidana yang bersifat penderitaan dan sanksi tindakan yang beorientasi pada
128
penyelamatan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Sanksi pidana tambahan yang diatur dalam Pasal 18 UU No. 20-2001 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, masih tumpang tindih pengaturannya dengan sanksi tindakan.
Ketentuan pidana bersyarat tercantum dalam Pasal 14 KUHP yang berlaku sebagai ketentuan umum, kecuali ditentukan secara
khusus dalam peraturan perundang-undangan. Pengaturan sanksi merupakan perwujudan politik hukum nasional yang didasarkan
pada dua teori pemidanaan, yaitu pencegahan damn retributif.
Alternatif pertama pidana tambahan yang dapat dijatuhkan kepada pelaku gratifikasi seksual adalah pidana perampasan barang
atau tagihan tertentu. Perampasan barang pidana perampasan barang tertentu danatau tagihan dapat dapat dijatuhkan jika pihak
terpidana hanya dikenakan tindakan. Pidana perampasan barang yang bukan milik terpidana tidak dapat dijatuhkan jika hak pihak
ketiga dengan itikad baik akan terganggu. Tujuan penjatuhan pidana ini adalah untuk mencegah agar pelaku gratifikasi seksual tidak lagi
mengulangi perbuatannya pada masa yang akan datang. Selain itu pidana tambahan ini ditujukan untuk member jaminan akan
dilaksanakannya pidana denda yang ditetapkan kepada pelaku gratifikasi seksual.
Alternatif sanksi pidana tambahan lainnya yang dapat diancamkan bagi pelaku gratifikasi seksual adalah pengumuman
hakim. Pidana tambahan ini bertujuan untuk mengekpresikan pernyataan penguasa bahwa perbuatan gratifikasi seksual adalah
perbuatan yang melanggar hukum.
Alternatif pidana tambahan yang diusulkan sebagai pidana tambahan pelaku gratifikasi seksual adalah membayar restitusi, yang
dimaksudkan sebagai ganti kerugian yang harus diberikan oleh pelaku gratifikasi seks. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong
kompensasi terhadap korban dalam hal ini negara oleh orang yang bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan korban
kejahatan. Penentuan jumlah disesuaikan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh pelaku gratifikasi seksual, sedangkan metodenya
adalah dengan mengajukan permohonan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK sebagaimana dimaksud
129
dalam UU No. 13-2006, sebelum adanya putusan hakim pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Perumusan sanksi pidana pelaku gratifikasi seksual berupam pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara dalam waktu
tertentu dan denda sebagai pidana pokok, serta pidana untuk membayar restitusi, perampasan barang-barang yang diduga hasil
dari tindak pidana korupsi yang dinikmati oleh pelaku gratifikasi.
Secara teoritik, maka perumusan sanksi pidana yang tepat secara
integral akan memberi
jaminan bagi keberhasilan
penanggulangan tindak pidana, khususnya di Indonesia. Perumusan sanksi pidana haruslah berlandaskan nilai Ketuhanan, nilai
Kemanusiaan dan nilai Keadilan secara seimbang, sebagaimana tercermin dalam ide kesimbangan monodualistik antara kepentingan
masyarakat kepentingan individu; ide yang keseimbangan antara pidana yang berorientasi pada pelaku dan korban; ide pemaafan
hakim; ide mengutamakan keadilan dari kepastian hukum.
Perumusan tujuan pemidanaan, bentuk dan jenis serta berat ringannya pidana dan pedoman pemidanaan harus disesuaikan
dengan nilai-nilai tersebut. Tujuan pemidanaan, bentuk dan jenis serta berat ringannya
pidana dan pedoman pemidanaan seharusnya memiliki ciri-ciri khas Indonesia. Pemberian sanksi pidana seharusnya disesuaikan dengan
harkat dan martabat manusia Indonesia. Manusia Indonesia harus diperlakukan sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial secara
bersamaan pula. Kedudukan manusia Indonesia yang multi dimensional tersebut sesuai dengan prinsip monodualisme atau
prinsip kebersamaan.
Penentuan sanksi yang sesuai bagi pelaku gratifikasi seksual secara filosofi didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila. Salah satu nilai tersebut adalah nilai ketuhanan. Nilai ketuhanan mengarahkan penentuan sanksi pidana bagi pelaku
gratifikasi seksual disesuaikan dengan kedudukan sebagai makhluk Tuhan. Berdasarkan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, maka
pelaksanaan pemberian maaf atas suatu kesalahan dapat dibebaskan. Oleh karena itu tidak setiap pelaku gratifikasi seksual yang terbukti
melakukan perbuatan gratifikasi seksual harus dijatuhi sanksi pidana yang diancamkan.
130
Berkenaan dengan ide pemberian maaf pada terpidana dikenal dengan asas pemberian maaf dengan tidak menjatuhkan sanksi
pidana atau tindakan apapun kepada pelaku, diimbangi pula dengan adanya asas
“culpa in causa.” Berdasarkan asas ini diberi kewenangan kepada hakim untuk
tetap mempertanggungjawabkan si pelaku tindak pidana walaupun ada alasan penghapus pidana, jika si pelaku patut dicela atas
terjadinya keadaan yang menjadi alasan penghapus pidana tersebut. Jadi kewenangan hakim untuk memaafkan atau tidak menjatuhkan
pidana diimbangi dengan kewenangan untuk tetap memidana sekalipun adanya alasan penghapus atau peniadaan pidana. Asas ini
sejalan dengan asas pemberian maaf yang juga dikenal dengan istilah lain, yaitu asas pemaafan hakim yang memberikan kewenangan
kepada hakim berdasarkan hikmat kebijaksanaannyan untuk tidak menjatuhkan pidana berdasarkan pertimbangan telah tercapainya
tujuan pemidanaan.
Selain nilai ketuhanan sebagai penjabaran nilai-nilai Pancasila, maka nilai Kemanusian juga dapat dijadikan dasar bagi perumusan
sanksi pidana yang sesuai bagi pelaku gratifikasi seksual. Berdasarkan nilai kemanusiaan, maka penjatuhan pidana tidak
dibenarkan merendahkan harkat dan martabat manusia. Selain itu sanksi pidana tidaklah dibenarkan untuk membuat manusia
menderita, dengan kata lain kecuali beberapa kebaikan dapat dilihat dengan melakukannya.
Asas lain yang merupakan penjabaran dari nilai kemanusiaan adalah asas elastisitas pemidanaan yang diformulasikan dalam
pedoman dan aturan pemidanaan bertujuan mempertahankan sisi kemanusiaan terpidana dengan jalan memberikan pedoman kepada
hakim agar di dalam menjatuhkan sanksi pidana diupayakan sanksi tersebut merupakan pilihan terbaik untuk terpidana.
Nilai kemanusiaan lebih berorientasi kepada perbaikan pelaku gratifikasi seksual, sehingga sanksi pidana yang dijatuhkan
diarahkan untuk kepentingan masa depan pelaku gratifikasi seksual agar dapat menjadi manusia seutuhnya yang taat pada hukum.
Sanksi pidana hanya boleh dijatuhkan jika mempunyai manfaat bagi pelaku maupun calon pelaku kejahatan.
131
Sanksi pidana bagi pelaku gratifikasi seksual juga ditujukan untuk memperbaiki persepsi pelaku gratifikasi seksual. Anggapan
bahwa pelaku gratifikasi seksual sebagai perbuatan yang benar, harus diubah menjadi suatu anggapan bahwa melakukan perbuatan
gratifikasi seksual merupakan perbuatan tercela.
Selain nilai Kemanusiaan dan nilai kemanusiaan, maka nilai keadilan juga dapat dijadikan dasar dalam merumuskan sanksi
pidana yang sesuai bagi pelaku gratifikasi seksual. Keadilan adalah kehendak yang ajeg dan tetap untuk memberikan kepada masing-
masing bagiannya. Khusus berkenaan dengan sanksi pidana, mak hal tersebut sejalan dengan model keadilan, yaitu keadilan vindikatif.
Keadilan vindikatif adalah keadilan didasarkan kepada kesepadanan antara penjatuhan sanksi pidana dengan perbuatan pidana yang
dilakukan.
Konsep keadilan demikian dapat dijadikan dasar perumusan sanksi pidana yang sesuai bagi pelaku gratifikasi seksual.
Berdasarkan konsep ini, maka sanksi pidana ditujukan memenuhi kepentingan pelaku dan korban sekaligus. Rumusan sanksi pidana
dapat menjadi solusi yang terbaik dan dapat diterima serta bermanfaat bagi pelaku, korban dan masyarakat, bangsa dan Negara.
Selain itu perumusan sanksi pidana perbuatan gratifikasi seksual sebanding dengan perbuatan yang telah dilakukannya.
Tujuan ini tidak mungkin dapat dipenuhi oleh satu jenis sanksi, oleh karenanya perlu beberapa jenis sanksi yang secara sekaligus
diancamkan pada perbuatan gratifikasi seksual, yaitu pidana pokok berupa pidana penjara seumur hidup, pidana penjara dalam waktu
tertentu, pidana denda.
Pidana tambahan ini dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok atau dijatuhkan secara berdiri sendiri tanpa harus
dijatuhkan terlebih dahulu pidana pokok. Pidana tambahan yang sesuai dengan perbuatan gratifikasi seksual adalah perampasan
barang-barang yang diduga diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi.
Sanksi pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu semata-mata untuk melindungi kepentingan Negara dalam
rangka mengembalikan kerugian yang dideritanya dengan mendapat
132
jaminan dengan menahan atau merampas harta yang dikuasai oleh terpidana cukup untuk mengembalikan kerugian Negara.
Perumusan sanksi pidana tambahan pengumuman putusan hakim, ditujukan untuk menegaskan bahwa perbuatan gratifikasi
seksual adalah perbuatan yang melanggar hukum dan menyatakan bahwa terpidana bersalah telah melakukan perbuatan gratifikasi
seksual dan telah pula dikenakan sanksi pidana yang sepadan.
Tindakan perbaikan akibat tindak pidana ditujukan untuk melindungi kepentingan korban dan masyarakat yang seharusnya
menerima manfaat dari keuangan Negara atau perekonomian Negara yang dirampas oleh pelaku kejahatan gratifikasi seksual.
133
BAB IV AKHIR PEMIKIRAN
A. Konstatir
Berdasarkan kajian pada bab-bab sebelumnya, maka penulis mengkonstatir sebagai berikut:
1. Layanan seks dapat dikategorikan sebagai gratifikasi dalam tindak pidana korupsi artinya bahwa k
alimat “... dan fasilitas lainnya” memiliki arti yang sangat luas sehingga dapat ditafsirkan secara
ektensif sebagai layanan seksual yang disediakan oleh pemberi suap. Namun demikian harus pula memenuhi unsur sesuai Pasal
12 huruf b UU No. 20-2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tersebut yakni “apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya
”. Namun apabila tidak berhubungan dengan jabatannya dan tidak
berlawanan dengan kewajibannya, maka tidak dapat dikatakan sebagai gratifikasi. Sehingga yang harus dibuktikan oleh
terdakwa, yaitu apakah terdakwa menerima layanan seks? Jika ya, apakah layanan seks tersebut berhubungan dengan jabatannya
dan berlawanan dengan kewajiban dan tugas-tugasnya. Sistem pembebanan pembuktian yang berlaku dalam hukum acara
pembuktian tindak pidana korupsi yakni sistem pembuktian biasa sesuai KUHAP; sistem pembuktian terbalik, beban pembuktian
ada pada terdakwa; praduga tak bersalah yakni kewajiban pembebanan pembuktian ada pada Penuntut Umum, sehingga
sistem pembuktian pada tindak pidana korupsi adalah sistem pembuktian terbalik yang berimbang;
2. Gratifikasi seksual menggunakan sistem beban pembuktian terbalik sebagai sistem pembuktian yang memungkinkan untuk
dipergunakan mengingat sulitnya dalam pembuktian. Sebaiknya adanya regulasi baru yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan
dan norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat, sehingga tidak terjadi kekosongan hukum yang menyebabkan
kesulitan dalam penerapannya bagi aparat penegak hukum;
3. Korupsi saat ini hanya lebih dikaitkan kepada uang danatau benda berharga lainnya, sehingga perlu adanya perubahan
134
terhadap UU No. 20-2001 adanya regulasi baru yang menyangkut tindak pidana korupsi bagi pihak yang menerima dan memberi
gratifikasi seks, sehingga makna gratifikasi dapat diperluas dan disebutkan secara eksplisit mengenai layanan seks sebagai salah
satu bentuk gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b UU No. 20-2001;
4. Ketentuan Pasal 12 huruf c UU No. 20-2001, mengenai pelaporan pegawai negeri yang menerima gratifikasi dalam waktu 30 hari
kerja untuk menentukan kepemilikan objek gratifikasi apakah milik negara atau milik pegawai negeri penerima gratifikasi
tersebut sekaligus sebagai alasan peniadaan penuntutan pidana vervolgingsluitingsgronde,
karena telah melaporkan menerima gratifikasi tersebut sangat mengganggu semangat pemberantasan
tindak pidana korupsi. Oleh karenanya perlu dipertimbangkan oleh pembuat Undang-Undang, khusus untuk gratifikasi yang
berbentuk layanan seks atau penyediaan wanita penghibur tidaklah masuk dalam ketentuan Pasal 12 huruf c UU No. 20-2001
tersebut, karena pada prakteknya sulit dalam pembuktiannya.
B. Saran 1. Guna memberikan kepastian hukum, maka regulasi baru tentang
arti gratifikasi seks sudah selayaknya dimasukkan dalam Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, hal tersebut
dimaksudkan agar pelaku penerima dan pemberi gratifikasi seks dapat dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi;
2. Bagi aparat penegak hukum, khususnya catur wangsa hukum sebaiknya banyak memberikan masukan terhadap keberadaan
gratifikasi seks dalam praktek, sehingga keberadaan Undang- Undang Tindak Pidana Korupsi dapat menjerat pelaku tindak
pidana gratifikasi seks yang pada kenyataannya dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
135
SENARAI PEMIKIRAN
Abdul Ghafur Anshori, 2006, Filsafat Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Adami Chazawi, 2011, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia
, Bayu Media, Malang. Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi.
Amir Syamsuddin, 2008, Integritas Penegak Hukum, Hakim, Jaksa, Polisi, dan Pengacara
, Kompas, Jakarta. Alfitra, 2012, Hukum Pembuktian, Raih Asa Sukses.
Anthon Freddy Susanto, 2005, Semiotika Hukum, Bandung. Arief Sidharta,1989, Filsafat Hukum Madzab dan Refleksinya, Remaja
Karya, Bandung. Bambang Sutiyoso, 2006, Metode Pemuan Hukum, UII Press,
Yogyakarta. Bernard Arief Sidharta, 1999, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum,
Mandar Maju, Bandung. Donald Black, 1976, The Behaviour of Law, Academic Press Inc, New
York. Doni Muhardiasyah, 2010, Buku Saku Memahami Gratifikasi, KPK,
Jakarta.
Denis Lloyd, 1964, The Idea of Law, Penguin Books, Harmondsworth. Eddy OS Hiariej, 2008, Menyelamatkan Uang Negara Kajian Akademik
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006, Pusat kajian Anti
Korupsi Fakuiltas
Hukum Universitas
Gajah Mada,
Yogyakarta. Galang Asmara, 2005, Ombudsman Nasional Dalam Sistem Pemerintahan
Negara Republik Indonesia, LaskBang Pressindo, Yogyakarta.
Geoffrey Sawer, 1973, Law In Sociaety, Clarendon Press, Oxford. Gunawan Setiardja, 1990, Dialektika Hukum dan Moral Dalam
Pembangunan Masyarakat Indonesia, Kanisius, Yogyakarta.
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif,
Nusamedia Nuansa, Bandung.
H.L.A. Hart, The Consept of Law, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Henry Campbell Black, 1990,
Black‟s Law Dictionary, West Publishing Co. St. Paul. Minn.
Herbert L. Packer, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, California.
136
Immanuel Kant, 2003, Groundwork of the Metaphysic of Moral 1785
sebagaimana dikutip dari H.B. Acton,
Kant‟s Moral Philosophy,
Macmillan and Co Ltd. 1970, versi Indonesia: Dasar-dasar Filsafat Moral: Elaborasi Terhadap Pemikiran Etika Immanuel Kant
, diterjemahkan oleh Muhamad Hardani, Pustaka Eureka,
Surabaya. Indriyanto Seno Adji, 2007, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan
Hukum Pidana, Diadit Media, Jakarta.
Ismu Gunadi, 2002, Perlindungan Hukum Dalam Kaitannya Penggunaan Wewenang Diskresi Penyidik Berkenaan dengan Alat Bukti berupa
Keterangan Akhli Dalam Tindak Pidana Pornografi,
Disertasi, Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
John Rawls, A Theory Of Justice, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Bayu Media, Malang. Khudzaifah Dimyati Teirisasi Ilmu Hukum, Studi Tentang Perkembangan
Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1950, Muhammadyah
University Press, Surakarta. Komariah Emong Sapardjaja, 2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum
Materiel Dalam Hukum Pidana di Indonesia .
Lawrence M. Friedman, 1975, The Legal System: A Social Science Perspective
, Russel Sage Foundation, New York. Larry J Siegel, Criminology, West Publishing Company, New York.
Lili Rasjidi, 1988, Filsafat Hukum, Apakah Hukum Itu?, Remaja Karya, Bandung.
Martiman Prodjohamidjojo, 2002, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi
, Mandar Maju, Bandung. Mien Rukmini, 2003, Perlindungan Ham Melalui Asas Praduga Tak
Bersalah dan Asas Kebersamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia,
Alumni, Bandung. Mochtar Kusumaatmadja, Tidak Bertahun, Fungsi dan Perkembangan
Hukum dalam Pembangunan Nasional , Lembaga Penelitian
Hukum dan kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.
_______________________, 1976, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Suatu Uraian tentang landsan Pikiran, Pola dan
Mekanisme Pembaruan Hukum di Indonesia, Binacipta, Bandung.
_______________________ Bernard Arief Shidarta, 2000, Pengantar
Ilmu Hukum, Alumni, Bandung.
Muladi-Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung.
Paul Scholten, 2003, Struktur Ilmu Hukum, Bandung.
137
Philipus M Hadjon, 1998, Pancasila Sebagai Dasar Negara dan Hukum Tata Negara
, Makalah yang disampaikan dalam seminar sehari
tentang Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka, di FH Unair Surabaya.
_________________, 2005, Perlindungan Hukuim Bagi Rakyat Indonesia, Peradaban, Surabaya.
Philippe Nonet Philip Selznick, 1978, Law and Society in Transition: Toward Responsible Law,
Harper Row Publisher, New York. Priyono H, 1993, Teori Keadilan Rawls, dalam: Diskursus
Kemasyarakatan dan Kemanusiaan , Tim Redaksi Driyarkara ed,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Robert A. Dahl, 1985, Dilema Demokrasi Pluralis, Rajawali, Jakarta.
Robert Klitgaard, 2002, Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintah Daerah
, Jakarta. Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum dari Pembuat Pidana, Aksara Baru,
Jakarta. Roeslan Saleh, 1983, Hukum Pidana Sebagai Konfrontasi Manusia dan
Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Romli Atmasasmita, 2004, Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Aspek Internasional
, Mandar Maju, Bandung. Roni Wijayanto, 2012, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, Mandar
Madju, Bandung. Roscoe Pound, 1997, Social Control Through Law, Transaction
Publisher, London. Soepomo, R, 1982, Hukum, Bab-bab tentang Hukum Adat, Pradnya
Paramita Jakarta. Soetandyo Wignjosoebroto, 2008, Hukum dalam Masyarakat,
Perkembangan dan Masalah , Bayu Media, Malang.
Sofyan Lubis, M Haryanto,M, 2008, Pelanggaran Miranda Rule
Dalam Praktik Peradilan di Indonesia, Juxtapose, Bantul
Yogyakarta. Soerjono Soekanto, 1982, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum,
Rajawali, Jakarta. Satijpto Rahardjo, 1981, Hukum Dalam Perspektif Sosial, Alumni,
Bandung.
Subekti, 1994, Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam KUHAP,
Pustaka Kartini, Jakarta. Walter Laquer Barry Rubin, 1979, The Human Rights Reader, New
American Library, New York. Widodo Eka Tjahjana, 2008, Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, Dasar-dasar Tehnik Penyusunan, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
138
Yeheskiel Dror, 1970, Law as a Tool of Directed Social Change, A Framework for Policy-Making
, Sage Publications, London.
139
CATATAN
F
140
LAMPIRAN 1
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945;
b. bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga
menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi;
c. bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena itu perlu diganti dengan Undang-undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c perlu dibentuk Undang-undang yang baru
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Mengingat :
1. Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 20 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor XIMPR1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
141
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan
badan hukum. 2. Pegawai Negeri adalah meliputi:
a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Kepegawaian;
b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang- undang Hukum Pidana;
c. orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
d. orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan
e. dari keuangan negara atau daerah; atau f. orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang
mempergunakan g. modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.
BAB II TINDAK PIDANA KORUPSI