Konsep Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Gratifikasi Seksual

118

3. Konsep Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Gratifikasi Seksual

Secara teoritik berdasarkan teori pertanggungjawaban pidana bagi pelaku gratifikasi seksual berupa manusia alamiah di dalamnya harus terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Prinsip ini di dalam hukum pidana dikenal dengan prinsip liability based on fault atau dikenal juga dengan tiada pidana tanpa adanya kesalahan asas culpabilitas, khusunya yang berhubungan dengan masalah kesengajaan dolus dan kealpaan culpa. Pelaku gratifikasi seksual memiliki kesalahan, karena ditinjau dari sudut pandang masyarakat, pelaku kejahatan gratifikasi seksual dapat dicela. Kesalahan dapat juga diartikan sebagai keadaan jiwa pembuat, yang memiliki cukup akal, dan kemauan, dan oleh karena cukup mampu untuk menentukan kemauannya. Keadaan jiwa sedemikian rupa terdapat pada orang-orang normal. Pelaku gratifikasi seksual dapat dicela, jika memiliki perkembangan jiwa yang normal dan cukup mengerti makna perbuatannya dan sesuai dengan makna tersebut menentukan kemauannya. Dalam hal ini kemampuan bertanggung jawab dan tidak ada alasan menghapuskan pertanggungjawaban pidana si pembuat. Kesalahan pelaku gratifikasi seksual dapat berbentuk kesengajaan atau kealpaan. Kesengajaan dimaksudkan sebagai arah dengan sadar dari kehendak melakukan suatu pekerjaan tertentu. Kesengajaan ditunjukkan oleh adanya pilihan secara sadar dari seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Menurut MvT, maka kata sengaja opzet adalah sama dengan diketahui atau dikehendaki willens en wetens. Seseorang yang melakukan perbuatan dengan sengaja, harus menghendaki perbuatan itu dan harus mengetahui akan akibat perbuatannya. Pelaku gratifikasi seksual memiliki kesengajaan apabila dalam menerima manfaat perbuatannya itu. Selain itu, pelaku gratifikasi seksual memiliki kesengajaan jika mengetahui perbuatan itu merupakan tindak pidana korupsi. Bentuk lain dari kesalahan adalah kealpaan. Kealpaan dimaksudkan sebagai suatu perbuatan yang dikehendaki oleh pelaku. Dia tidak menghendaki atau menyetujui timbulnya hal yang dilarang, kekeliruannya ada dalam batinnya sewaktu ia berbuat, 119 sehingga menimbulkan hal-hal yang dilarang. Jadi bukan semata- mata menentang larangan tersebut, akan tetapi dia juga tidak begitu mwngindahkan larangan. Van Hamel mengatakan bahwa kealpaan mengandung dua syarat, yaitu ¬ Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum; ¬ Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum. Hal ini sama dengan pengertian subjective reclessness, terdakwa yang harus menyadari ada resiko dari konsekuensi larangan sebagai konsekuensi dari pelakunya, akan tetapi tetap memutuskan untuk mengambil resiko tersebut. Pelaku gratifikasi seksual memiliki kealpaan jika dalam menerima suatu barang atau uang tidak menghendaki atau menyetujuinya, dan jika mengetahui bahwa uang atau barang itu yang diberikan kepadanya berasal dari tindak pidana korupsi. Kekeliruannya tidak melakukan penduga-dugaan atau melakukan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum, sehingga menimbulkan hal-hal yang dilarang. Jadi bukan semata-mata menentang larangan tersebut, akan tetapi dia juga tidak mengindahkan larangan dan akibat perbuatannya tersebut juga merugikan keuangan negara. Selain itu pelaku gratifikasi dikategorikan memiliki kealpaan apabila tidak melakukan penduga-dugaan bahwa pelaku gratifikasi seksual itu adalah pelaku tindak pidana korupsi. Secara teoritik hasil korupsi tidak semata-mata dinikmati oleh orang perorangan, namun juga dinikmati oleh kumpulan orang atau suatu badan. Berkenaan dengan hal tersebut, maka perlu ditentukan subjek yang dapat dipertanggungjawabkan. Penentuan pertanggungjawaban pidana bagi pelaku gratifikasi seksual selain memiliki dasar secara yuridis dan teoritis juga memiliki dasar secara filosofi. Secara filosofi, konsep monodualisme Pancasila dapat digunakan sebagai pisau analisa terhadap penentuan pertanggungjawaban pidana bagi pelaku gratifikasi seksual. Ide dasar yang ingin diwujudkan dalam konsep ini yaitu berorientasi asas keseimbangan monodualistik antara kepentingan 120 umummasyarakat dan kepentingan individupelaku tindak pidana dan korban tindak pidana. Penentuan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku gratifikasi seksual didasarkan pada pertimbangan kepentingan keterlibatan pelaku gratifikasi seksual dalam memanfaatkan hasil tindak pidana korupsi dan pertimbangan kepentingan masyarakat dan negara yang menjadi korban kehilangan kemanfaatan dari sesuatu yang seharusnya disediakan untuknya. Pengembangan konsep pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari pergulatan pemikiran tentang hakikat dan kedudukan manusia Indonesia. Pembicaraan hakikat dan kedudukan manusia Indonesia harus dihubungkan dengan falsafah bangsa, yaitu Pancasila yang memberikan pedoman dalam memahami kedudukan dan hakikat manusia Indonesia. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, memberikan pedoman bagi kita untuk menyadari bahwa hakikatnya kedudukan manusia Indonesia adalah makhluk Indonesia makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, menimbulkan kesadaran bahwa manusia tunduk dan patuh terhadap ketentuan Tuhan Yang Maha Esa. Berkenaan dengan kepatuhan ini, maka manusia harus menyerahkan seluruh usaha yang dilakukannya kepada ketentuan Tuhan Yang Maha Esa. Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan pribadi menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Penentuan pertanggungjawaban pidana bagi pelaku gratifikasi seksual dapat didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan. Berdasarkan nilai-nilai ketuhanan ini, maka kedudukan manusia sebagai makhluk tuhan memberikan pemahaman bahwa dalam hal-hal tertentu manusia tidaklah bebas menentukan kehendaknya sendiri. Pemahaman ini dikenal dengan konsep determinisme, segala sesuatu mempunyai hubungan sebab akibat yang dapat dicari pada masa lalu, saat ini ataupun masa yang akan datang. Hubungan sebab akibat ini juga dapat terjadi dalam interaksi antara individu di dalam masyarakat. Berdasarkan konsep determinisme, maka ketercelaan dan pertanggungjawaban pidana pelaku gratifikasi seksual memiliki hubungan sebab akibat dengan ketercelaan dan pertanggungjawaban 121 pidana pelaku gratifikasi seksual dalam tindak pidana korupsi. Berdasarkan asumsi ini, maka tercelanya pelaku pelaku tindak pidana korupsi juga pelaku gratifikasi seksual, sehingga kedua- duanya dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Sila Kemanusian Yang Adil Dan Beradab memberikan pedoman dalam memahami harkat dan martabat manusia Indonesia, yaitu mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia. Sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab berisikan nilai kemanusiaan yang dapat dijadikan dasar filosofi penentuan pertanggungjawaban pidana bagi pelaku gratifikasi seksual. Nilai kemanusiaan memberikan pedoman bagi pemahaman kedudukan manusia Indonesia sebagai makhluk yang memiliki kehendak bebas. Konsep seperti ini dikenal sebagai indeterminisme. Konsep kehendak bebas menyebutkan bahwa manusia adalah subjek moralitas yang bertanggung jawab secara moral untuk peristiwa, yang dapat menerima pujian atau dipersalahkan secara moral atas peristiwa dan keadaan tertentu yang dilakukannya. Berdasarkan konsep kehendak bebas, maka pelaku gratifikasi seksual dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana karena pelaku manusia alamiah adalah subjek moralitas, yang bertanggung jawab secara moral untuk peristiwa atau keadaan tersebut. Sebaliknya jika seseorang tidak memiliki kebebasan kehendak, maka yang bersangkutan tidak bertanggung jawab secara moral terhadap apa yang telah dilakukannya. Atas dasar pemikiran tersebut, maka pelaku gratifikasi seksual dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana apabila pelaku memiliki kebebasan untuk memilih dan kemudian menghendaki untuk melakukan gratifikasi seksual. Nilai –nilai kemanusiaan juga dapat dijabarkan melalui sikap mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia dan saling mencintai sesama manusia, serta mengembangkan sikap tenggang rasa. Persamaan hak dan kewajiban, menuntun setiap manusia Indonesia dalam melaksanakan tanggung jawab, baik sebagai manusia pribadi maupun sebagai anggota masyarakat. Pemberian hak dasar kepada manusia Indonesia menunjukkan bahwa kedudukan manusia 122 Indonesia sebagai manusia pribadi diakui, sebaliknya pemberian kewajiban dasar merupakan bentuk pengakuan manusia Indonesia sebagai makhluk sosial. Pelaksanaan hak dan kewajiban manusia Indonesia dibatasi dengan adanya sikap tenggang rasa merupakan alat pembatasan bagi pelaksaan hak agar tidak tidak mengganggu hak orang lain. Tenggang rasa memberikan pengertian untuk menghormati orang lain dan mengerti kewajibannya saling menjaga perasaan orang lain. Masyarakat Indonesia mengenal sikap tenggang rasa dan kesediaan menanggung beban sesama dikenal dengan atas gotong royong. Berdasarkan konsep tenggang rasa sebagai penjabaran nilai- nilai kemanusiaan, maka pelaku gratifikasi seksual dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Pelaku gratifikasi seksual sebagai orang yang mendapatkan manfaat sudah sepantasnya memiliki tenggang rasa untuk ikut bertanggung jawab menerima beban sebagai akibat perbuatannya. Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia memberi pedoman dalam memahami konsep pertanggungjawaban, sebagai berikut: Bersikap adil terhadap sesama; Menghormati hak-hak orang lain; Menolong sesama; Menghargai orang lain. Sila terakhir ini mengandung nilai-nilai keadilan dan dapat dijadikan dasar filosofi penentuan pertanggungjawaban pidana bagi pelaku gratifikasi seksual. Berkenaan dengan kesebandingan pertanggungjawaban pelaku gratifikasi seksual dapat ditemukan dasarnya di dalam istilah latin suum cuique tribuere, yakni bertindaklah sebanding. 103 Berdasarkan adagium ini dapat dijelaskan bahwa perbuatan gratifikasi seksual sebanding dengan pelaku korupsi itu sendiri, karena akibat dari perbuatan tersebut sama-sama dapat merugikan keuangan negara danatau perekonomian negara. Oleh karenanya pelaku gratifikasi seksual dan pelaku tindak pidana korupsi patut dimintakan pertanggungjawaban pidana. 103 Abdul Ghafur Anshori, Filsafat Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2006, hal. 51. 123 Kesebandingan juga merupakan acuan bagi pengaturan hak dan kewajiban. Bangsa Indonesia berusaha menyelaraskan secara seiombang mengenai hak dan kewajiban. Keadilan sosial berkaitan erat dengan hak. Hanya saja dalam konsepsi keadilan keadilan Bangsa Indonesia, hak itu tidak dapat dipisahkan dari pasangan antinominya, yaitu kewajiban. Keselarasan hak dan kewajiban itu menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk berdimensi monodualistik, yaitu sebagai individual dan sosial. Berdasarkan prinsip keseimbangan hak dan kewajiban tersebut, secara negatif dapat diaplikasikan pada adanya penerimaan manfaat harus disertai dengan kewajiban untuk menerima konsekuensi dari perbuatan tersebut, yaitu kewajiban bertanggung jawab menerima sanksi pidana sebagai konsekuensi dari perbuatan gratifikasi seksual. B. Kebijakan Perumusan Sanksi Tindak Pidana Pelaku Gratifikasi Seksual Dalam Rangka Pembaruan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Dasar-dasar normatif perumusan sanksi pidana gratifikasi seksual ialah a. Pidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4 Empat tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 Dua Ratus Juta Rupiah dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 Satu Miliar Rupiah diadopsi dari rumusan Pasal 12 huruf b Ayat 2 UU No. 20-2001, sedangkan pidana penjara dalam jangka waktu tertentu ditemukan di dalam peraturan perundang-undangan Negara lain berkenaan dengan sanksi pidana bagi penerima manfaat hasil kejahatan termasuk gratifikasi seksual, yaitu di dalam Article 260 KUHP Jerman, Article 256 KUHP Jepang, Article 112 KUHP Nigeria; b. Sanksi pidana penjara dan denda yang diatur secara alternatif diadopsi dan dimodifikasi berdasarkan sanksi pidana bagi tindak pidana pelaku gratifikasi seksual menerima hasil kejahatan korupsi; c. Pengaturan sanksi pidana dan denda terhadap tindak pidana pelaku gratifikasi seksual secara komulatif dapat ditemukan di dalam peraturan perundangan-undangan, khususnya di dalam 124 UU No. 31-1999 dan UU No. 20-2001, serta di dalam UU No. 15- 2002 Jo UU No. 25-2003 Jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang UU No. 8-2010; d. Perumusan pidana penjara dan denda secara alternatif dan komulatif hanya ditemukan didalam peraturan perundang- undangan Indonesia, yaitu di dalam UU No. 31-1999 dan UU No. 20-2001;

C. Sanksi Pidana Tindak Pidana Pelaku Gratifikasi Seksual