Komunikasi Nonverbal dan Citra Presiden Joko Widodo (Analisis Semiotika Komunikasi Nonverbal Serta Citra yang terbentuk dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo)

(1)

KOMUNIKASI NONVERBAL DAN CITRA

PRESIDEN JOKO WIDODO

(Analisis Semiotika Komunikasi Nonverbal Serta Citra yang

terbentuk dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo)

SKRIPSI

BELINDA HAREFA

110904036

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(2)

KOMUNIKASI NONVERBAL DAN CITRA

PRESIDEN JOKO WIDODO

(Analisis Semiotika Komunikasi Nonverbal Serta Citra yang

terbentuk dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana Program Strata 1 (S – 1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Diajukan oleh :

BELINDA HAREFA

110904036

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh: Nama : Belinda Harefa

NIM : 110904036

Judul Skripsi : Komunikasi Nonverbal dan Citra Presiden Joko Widodo (Analisis Semiotika Komunikasi Nonverbal Serta Citra yang terbentuk dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo)

Medan, 18 Mei 2015

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Yovita Sabarina Sitepu, M.Si

NIP. 19801107 2006042 002 NIP. 19620828 198701 2 001 Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A

Dekan FISIP USU

19680525 1992031 002 Prof. Dr. Badaruddin, M.Si


(4)

PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip

maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika di

kemudian hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat) maka saya

bersedia diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Nama : BELINDA HAREFA

NIM : 110904036

Tanda Tangan :


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, Bunda Maria, dan Santo Yosef (Keluarga Nazaret), yang Maha Baik dan senantiasa mengasihi peneliti selamanya. Berkat perantaraan dan kasih karunia Mereka-lah peneliti dapat menyelesaikan skripsi, yang merupakan pembuka pintu masa depan yang lebih baik lagi untuk peneliti di masa mendatang. Banyak hal dan tantangan yang peneliti hadapi selama penulisan karya ilmiah ini, namun peneliti yakin bahwa tidak ada yang mustahil bagi seseorang yang mau berusaha untuk mencapai tujuan bagi kebaikan dirinya sendiri, sehingga nantinya, mampu memberikan manfaat bagi bangsa dan negara di masa depan.

Penulisan karya ilmiah berupa skripsi ini, dilakukan sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan S-1 di Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Sumatera Utara (USU). Melalui penulisan skripsi ini, peneliti juga dapat menuangkan serta menggunakan ilmu yang peneliti dapatkan selama duduk di bangku kuliah di Departemen Ilmu Komunikasi, terutama dalam bidang semiotika, komunikasi nonverbal, dan citra. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk perkembangan Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU dan masukan untuk para pembaca, khususnya di bidang Ilmu Komunikasi.

Dalam proses perkuliahan hingga pengerjaan skripsi ini, peneliti menyadari bahwa peneliti tidak sendiri, karena ada banyak pihak yang membantu peneliti. Karenanya, peneliti ingin mengucapkan terimakasih, terutama kepada kedua orangtua peneliti, Drs. Yulianus Harefa, MEd TESOL dan Rahmawaty Zebua, SE, yang senantiasa menyayangi peneliti, mendoakan peneliti, memberikan semangat serta dukungan materil yang penuh dan sangat berharga bagi peneliti. Peneliti juga berterimakasih kepada kedua saudari peneliti, Maris S. C. Harefa, yang senantiasa menjadi tempat bertukar pikiran dalam proses pengerjaan skripsi dan hal-hal yang berkaitan dengan majalah dinding kampus ketika peneliti duduk di bangku kuliah, dan Stephanie Harefa, yang senantiasa mendoakan peneliti. Keduanya juga senantiasa memberikan dukungan penuh


(6)

kepada peneliti selama proses pengerjaan skripsi ini. Selain itu, peneliti juga ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1) Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU).

2) Bapak Drs. Edward, M.S.P., selaku Pembantu Dekan III FISIP USU.

3) Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A., selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

4) Ibu Dra. Dayana, M.Si., selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

5) Bapak Prof. Dr. Drs. Suwardi Lubis, M.S., selaku dosen Pembimbing Akademik peneliti selama proses perkuliahan di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

6) Kak Yovita Sabarina Sitepu, M.Si., selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, membantu, dan memberikan saran serta inspirasi bagi peneliti dalam penyelesaian skripsi ini.

7) Kepada para dosen dan staf pengajar di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, yang telah memberikan waktunya untuk berbagi ilmu yang sangat berharga kepada peneliti saat berada di bangku kuliah.

8) Kepada pihak Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, Bagian Pendidikan, Keuangan, dan Kemahasiswaan FISIP USU, khususnya Kak Maya dan Pak Tangkas, yang telah banyak membantu peneliti dalam hal administratif selama masa perkuliahan dan proses pengerjaan skripsi ini. 9) Kepada sahabat-sahabat peneliti, Pue “Eonni” yang menjadi sahabat dan

teman peneliti untuk bertukar pikiran sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Amel, Nova “Poppy”, Inda “Astha”, dan Andrian yang menjadi sahabat dan penyemangat peneliti sejak dari sekolah menengah atas sampai saat ini.

10)Kepada teman-teman peneliti di perkuliahan, Tabitha, Zikra K., Ardi, Khaidir, Susi, Angel, Eunike, Sally, Apri, Siska, Grace, Sondang, Neni, Meliyani, Rezka, Pita, Ria, David E., Beni, Eva C., Andreas, Davit Sby, Tommy, Nita, Willy, Antoni, Hans, Uum, Eva S., Endo, Elsa, Adhe, Christine, Ewitha, Mey dan semua teman di Departemen Ilmu Komunikasi


(7)

FISIP USU stambuk 2011 yang tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu. Terimakasih untuk pertemanan, bantuan, dan dukungan yang telah diberikan kepada peneliti selama proses perkuliahan dan kepanitiaan di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

11)Divisi Hubungan Masyarakat (Humas) Ikatan Mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi (Imajinasi) periode 2012-2013, Kak Cessy, Kak Indra, Khaidir, dan Susi, selama peneliti menjadi salah satu anggota pengurus di divisi tersebut, dan Divisi Humas Imajinasi periode 2013-2014, Khaidir “Pak Ketua”, Tabitha, Mega, Ayet, dan Trisno atas kerja samanya yang baik dan telah membantu peneliti selama menjadi sekretaris divisi.

12)Kepada teman-teman di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU stambuk 2008, 2009, dan 2010, khususnya Kak Sylviana, Kak Tika, dan Kak Indra atas nasihat-nasihatnya yang membangun selama peneliti duduk di bangku kuliah. Kepada stambuk 2012 dan 2013, khususnya Samuel, Tantika, dan Jane ketika bersama-sama menjadi panitia Paskah dan Natal di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU. Terimakasih untuk pertemanan, bantuan, dan dukungan yang telah diberikan kepada peneliti. 13)Kepada Kak Harvie, Bu Luci, Pak Buana, Pak Rayen, Kak Nova, dan

seluruh pihak dari Hotel Polonia Medan, yang telah membagikan ilmu dan pengalamannya untuk bekerja secara profesional, ketika peneliti melakukan praktek kerja lapangan di tempat tersebut, dan Kak Eli H. dari Radio Sonora yang telah menjadi teman peneliti dan memberikan semangat bagi peneliti.

Peneliti menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Karenanya, dengan rendah hati, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini membawa manfaat di masa depan.

Medan,


(8)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Belinda Harefa NIM : 110904036 Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas : Sumatera Utara

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

KOMUNIKASI NONVERBAL DAN CITRA PRESIDEN JOKO WIDODO, beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non Ekslusif ini Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencatumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan Pada Tanggal : 18 Mei 2015 Yang Menyatakan


(9)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Komunikasi Nonverbal dan Citra Presiden Joko Widodo”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan makna dari simbol nonverbal serta citra yang terbentuk dari orang yang paling berpengaruh di Indonesia saat ini, yaitu Presiden Joko Widodo (Jokowi). Penelitian ini menggunakan analisis semiotika dengan teori “Semiologi dan Mitologi” dari Roland Barthes. Teori tersebut menjelaskan sebuah tanda yang dimaknai dengan signifikansi dua tahap (two order of signification), yaitu makna denotatif dan makna konotatif, yang terdapat dalam pembacaan lima kode Barthes, yaitu kode hermeneutik, kode semik, kode simbolik, kode proaretik, dan kode gnomik, dengan terlebih dahulu dianalisis dengan konsep lexia. Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis yang berpendapat bahwa sebuah tanda memiliki makna yang dikonstruksi oleh masyarakat. Objek dari penelitian ini adalah simbol-simbol nonverbal dari Jokowi, yaitu kinesik atau gerak tubuh, paralinguistik atau suara, proksemik atau penggunaan ruangan personal dan sosial, dan artifaktual atau penampilan dari beliau. Dalam mempermudah penelitian, peneliti melakukan analisis terhadap ketiga video mengenai kegiatan Jokowi di awal masa kepemimpinannya, yang memiliki jumlah sembilan sequence, dan terdiri dari lima puluh gambar yang dipilih dan dianggap memiliki makna. Adapun simbol-simbol nonverbal dari Jokowi yang peneliti temukan tersebut dapat membentuk citra beliau sebagai seorang pemimpin yang memiliki citra sederhana dan merakyat. Kata Kunci: Semiotika, Komunikasi Nonverbal, Jokowi, Kode Barthes, Citra


(10)

ABSTRACT

This study entitled “Nonverbal Communication and Image of President Joko Widodo”. The purpose of this study was to find the meaning of nonverbal symbols and images which are formed from the most influential people in Indonesia now, he is President Joko Widodo (Jokowi). This study uses a semiotic analysis with “Semiology and Mythology” theory from Roland Barthes. The theory explains a sign that is interpreted by the significance of the two stages (two orders of signification), namely denotative and connotative meanings, which are contained in the five codes reading from Barthes, the hermeneutic code, the semic code, symbolically code, proaretic code, and the gnomic code, by first analyzed with the lexia concept. This study uses a constructivist paradigm that argues that a sign has a meaning which is constructed by people. The object of this study is nonverbal symbols of Jokowi, namely kinesic or gestures, paralinguistic or sound, procsemic or the use of personal and social space, and artifactual or the appearance of him. In facilitating the study, the researcher conducted an analysis of the three videos about Jokowi’s activities at the beginning of his tenure, who had nine sequences, and consists of fifty images which were selected and considered to have meanings. The nonverbal symbols of Jokowi that researcher have found can form his image as a leader who has a simple and populist image. Keywords: Semiotic, Nonverbal Communication, Jokowi, Barthes Code, Image


(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

ABSTRAK ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah ... 1

1.2 Fokus Masalah ... 10

1.3 Pembatasan Masalah ... 10

1.4 Tujuan Penelitian ... 11

1.5 Manfaat Penelitian ... 11

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian ... 12

2.2 Kajian Pustaka ... 14

2.2.1 Komunikasi ... 14

2.2.2 Komunikasi Nonverbal ... 17

2.2.3 Semiotika ... 22

2.2.4 Semiologi dan Mitologi (Roland Barthes) ... 25

2.2.5 Citra ... 29

2.2.6 Pemimpin ... 31

2.3 Model Teoritik ... 35

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian... 36

3.2 Objek Penelitian ... 37

3.3 Subjek Penelitian ... 37

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 39

3.5 Keabsahan Data ... 41

3.6 Teknik Analisis Data ... 42

3.7 Keterbatasan Penelitian ... 44

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penyajian Data ... 46

4.2 Analisis Data ... 50

4.2.1 Analisis Komunikasi Nonverbal Presiden Joko Widodo dalam Video “Jokowi Resmi Dilantik Sebagai Presiden RI―Liputan Berita VOA 20 Oktober 2014” ... 50


(12)

4.2.1.2 Sequence Kedua ... 63

4.2.1.3 Sequence Ketiga ... 73

4.2.2 Analisis Komunikasi Nonverbal Presiden Joko Widodo dalam Video “Rangkaian Blusukan Presiden Jokowi di Kalimantan” ... 83

4.2.2.1 Sequence Pertama ... 83

4.2.2.2 Sequence Kedua ... 93

4.2.2.3 Sequence Ketiga ... 100

4.2.2.4 Sequence Keempat ... 106

4.2.3 Analisis Komunikasi Nonverbal Presiden Joko Widodo dalam Video “Presiden Jokowi Kembali Angkat Bicara Soal Komjen Budi Gunawan” ... 111

4.2.3.1 Sequence Pertama ... 111

4.2.3.2 Sequence Kedua ... 121

4.3 Pembahasan ... 130

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 138

5.2 Saran ... 139

5.3 Implikasi Teoritis ... 140

5.4 Praktis ... 141

DAFTAR REFERENSI ... 142

LAMPIRAN

- Daftar Bimbingan Skripsi - Biodata Peneliti


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1.1 Jokowi Memakai Kemeja Putih dan Celana Hitam 4 ketika Mengumumkan Nama-nama Menteri dalam

Kabinet Kerja

1.2 Jokowi Terlihat Menunjukkan Kedekatannya terhadap 7 Warga disertai Raut Muka yang Ramah Ketika

Melakukan Blusukan

2.1 Peta Tanda Roland Barthes 27 2.2 Bagan Model Teoritik Penelitian Komunikasi Nonverbal 35

Serta Citra yang terbentuk dari Presiden Joko Widodo 4.1 Jokowi terlihat Berdiri dan Mengarahkan Pandangannya

pada Berita Acara Pelantikan yang terdapat di Atas Meja 50 4.2 Jokowi terlihat Membungkukkan Badan dan

Menandatangani Berita Acara Pelantikan di Hadapan

Ketua MPR dan Ketiga Perwakilan MPR 50 4.3 Jokowi terlihat Berdiri di Bagian Panggung ketika

Pelantikannya sebagai Presiden Republik Indonesia di Gedung DPR/MPR yang dihadiri oleh Seluruh Anggota

MPR dan Beberapa Tamu Negara 51 4.4 Jokowi terlihat Berjabat Tangan dengan Perwakilan

MPR yang berada di Hadapannya dengan Menggunakan

Tangan Sebelah Kanan 51 4.5 Jokowi terlihat Memberikan Senyuman yang Lebar

dengan Rahang yang Kaku, kepada Perwakilan MPR

yang berada di Hadapannya 51 4.6 Jokowi terlihat Memiliki Sikap Tubuh yang Tegap

ketika Membacakan Sumpahnya sebagai Presiden

Republik Indonesia 63 4.7 Jokowi terlihat Merapikan Lengan Jasnya Sebelah Kanan

Menggunakan Tangan Sebelah Kiri 63 4.8 Jokowi terlihat Melangkah dengan Langkah Kaki yang

Panjang Menuju Mimbar Pidato 63 4.9 Jokowi terlihat sedang Melangkah Menuju Mimbar Pidato 64 4.10 Jokowi terlihat Mengarahkan Pandangannya pada

Beberapa Lembar Kertas yang sedang dipegangnya ketika berada di Atas Mimbar Pidato 64 4.11 Jokowi terlihat Mengangkat Tangannya Sebelah Kanan ke

Arah Kumpulan Orang yang berada Dalam Jarak yang Jauh

dengan Beliau 73

4.12 Jokowi terlihat Menunjuk Seseorang dengan


(14)

4.13 Jokowi terlihat Memegang Salah Satu Kancing

Jasnya Menggunakan Tangan Sebelah Kanan 74 4.14 Jokowi terlihat Membuka Pecinya selama Berjalan

Menuju Istana Merdeka 74 4.15 Jokowi terlihat Memasuki Sebuah Ruangan dengan

Gerakan yang Seragam/Serentak dengan Mantan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 74 4.16 Jokowi terlihat Berdiri dengan Jarak yang Dekat

dengan Istrinya dan Beberapa Jarak dari Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 75 4.17 Alis Mata Jokowi terlihat Naik diikuti dengan Gerakan

Tangan yang Membuka Lebar ketika sedang Berbicara 83 4.18 Jokowi terlihat Merapikan Rambutnya Menggunakan

Tangan Sebelah Kiri 84 4.19 Jokowi terlihat Menukar Tangannya yang Memegang Mic 84 4.20 Jokowi terlihat Menunjuk ke Suatu Arah dengan Jari

Telunjuk Tangan Sebelah Kanan 84 4.21 Alis Mata Jokowi terlihat naik diikuti Bola Mata yang

Mengarah ke Atas dan Dahi yang Mengernyit ketika

sedang Mendengar Keluh Kesah Warga 85 4.22 Jokowi terlihat Mengisi Rongga Mulut atau Pipinya

dengan Udara 85

4.23 Jokowi terlihat sedang Membuat Bibirnya Menyamping 85 4.24 Jokowi terlihat Menggantungkan Tangannya Sebelah Kiri

di Bagian Dada atau Depan Tubuhnya 86 4.25 Jokowi terlihat Menggaruk Bagian Jambang Rambutnya

Menggunakan Tangan Sebelah Kiri dan disertai dengan

Anggukan Kepala 86

4.26 Jokowi terlihat Memegang Lehernya dengan Tangan

Sebelah Kiri dan Menunjukkan Ekspresi Yang Murung 93 4.27 Jokowi terlihat Memanjat Menara Pos Pemantauan

Perbatasan di Pulau Sebatik 93 4.28 Jokowi Terlihat Melakukan Pembicaraan dengan Dua

Prajurit TNI AL di Atas Menara Pos Perbatasan

Pemantauan Perbatasan di Pulau Sebatik 94 4.29 Jokowi terlihat Menunjukkan Ekspresi Wajah yang

Murung 94

4.30 Kepala Jokowi terlihat Menunduk dan Cenderung ke Arah Sebelah Kiri disertai dengan Alis Mata Sebelah Kiri yang Naik ketika Mendengarkan Pertanyaan dari

Wartawan 100

4.31 Jokowi terlihat Mengernyitkan Dahi dan diikuti Kedua

Alis yang Naik 100

4.32 Jokowi terlihat Membentuk Tanda “OK” 101 4.33 Jokowi terlihat Memberikan Salam kepada Warga


(15)

4.34 Jokowi terlihat sedang Mengangkat Tangannya ke Arah Sebelah Kiri dan Menggoyang-goyangkan Tangannya

Tersebut ketika Mengunjungi SMPN 1 Sebatik 107 4.35 Jokowi terlihat sedang Memberikan Sebuah Kantongan

Dana dan Memberikan Jabatan Tangan kepada Kepala

Sekolah SMPN 1 Sebatik dan Perwakilannya 107 4.36 Telapak Tangan Jokowi terlihat saling Berhadapan,

Namun Tidak saling Bersentuhan 111 4.37 Bibir Jokowi terlihat Cenderung Maju ketika Berbicara 112 4.38 Alis Mata Jokowi terlihat Naik saat Berbicara 112 4.39 Jokowi terlihat Menyatukan Ujung Jari Telunjuk dan

Jari Jempolnya, sedangkan Jari yang Lain Mengepal ke

Dalam Telapak Tangan 112 4.40 Jokowi terlihat Mengatupkan Kedua Matanya dengan

Waktu yang Lebih Lama dari Biasanya di Sela-Sela

Pembicaran dan disertai dengan Dahi yang Mengernyit 113 4.41 Jokowi terlihat Menggelengkan Kepalanya setelah

Mengucapkan Kata “Tidak” 113 4.42 Jokowi terlihat Mengangkat Kedua Tangannya dengan

Menampakkan Telapak Tangan Bagian Dalam ke Luar 113 4.43 Jokowi terlihat sedang Tersenyum Lebar dengan Ujung

Bibir Cenderung ke Arah Mata 121 4.44 Jokowi terlihat Melakukan Gerakan Tangan seperti

sedang Menghitung 121 4.45 Jokowi terlihat Melakukan Gerakan Tangan seperti

sedang Menangkap Udara dengan Kedua Tangannya 122 4.46 Kepala Jokowi terlihat Cenderung Maju ke Depan disertai

Alis Mata yang Naik ketika Mendengarkan Pertanyaan dari

Wartawan 122

4.47 Jokowi terlihat Melakukan Gerakan Tangan seperti

sedang Membelah Udara dengan Tangan Kanannya 122 4.48 Bibir Jokowi terlihat Mengulum setelah Berbicara 123 4.49 Jokowi terlihat Mengangkat Kedua Tangannya dengan

Menampakkan Telapak Tangan Bagian Dalam ke Luar 123 4.50 Jokowi terlihat Melangkahkan Kakinya dengan Cepat

dan Menjauh dari Kumpulan Wartawan yang


(16)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Komunikasi Nonverbal dan Citra Presiden Joko Widodo”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan makna dari simbol nonverbal serta citra yang terbentuk dari orang yang paling berpengaruh di Indonesia saat ini, yaitu Presiden Joko Widodo (Jokowi). Penelitian ini menggunakan analisis semiotika dengan teori “Semiologi dan Mitologi” dari Roland Barthes. Teori tersebut menjelaskan sebuah tanda yang dimaknai dengan signifikansi dua tahap (two order of signification), yaitu makna denotatif dan makna konotatif, yang terdapat dalam pembacaan lima kode Barthes, yaitu kode hermeneutik, kode semik, kode simbolik, kode proaretik, dan kode gnomik, dengan terlebih dahulu dianalisis dengan konsep lexia. Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis yang berpendapat bahwa sebuah tanda memiliki makna yang dikonstruksi oleh masyarakat. Objek dari penelitian ini adalah simbol-simbol nonverbal dari Jokowi, yaitu kinesik atau gerak tubuh, paralinguistik atau suara, proksemik atau penggunaan ruangan personal dan sosial, dan artifaktual atau penampilan dari beliau. Dalam mempermudah penelitian, peneliti melakukan analisis terhadap ketiga video mengenai kegiatan Jokowi di awal masa kepemimpinannya, yang memiliki jumlah sembilan sequence, dan terdiri dari lima puluh gambar yang dipilih dan dianggap memiliki makna. Adapun simbol-simbol nonverbal dari Jokowi yang peneliti temukan tersebut dapat membentuk citra beliau sebagai seorang pemimpin yang memiliki citra sederhana dan merakyat. Kata Kunci: Semiotika, Komunikasi Nonverbal, Jokowi, Kode Barthes, Citra


(17)

ABSTRACT

This study entitled “Nonverbal Communication and Image of President Joko Widodo”. The purpose of this study was to find the meaning of nonverbal symbols and images which are formed from the most influential people in Indonesia now, he is President Joko Widodo (Jokowi). This study uses a semiotic analysis with “Semiology and Mythology” theory from Roland Barthes. The theory explains a sign that is interpreted by the significance of the two stages (two orders of signification), namely denotative and connotative meanings, which are contained in the five codes reading from Barthes, the hermeneutic code, the semic code, symbolically code, proaretic code, and the gnomic code, by first analyzed with the lexia concept. This study uses a constructivist paradigm that argues that a sign has a meaning which is constructed by people. The object of this study is nonverbal symbols of Jokowi, namely kinesic or gestures, paralinguistic or sound, procsemic or the use of personal and social space, and artifactual or the appearance of him. In facilitating the study, the researcher conducted an analysis of the three videos about Jokowi’s activities at the beginning of his tenure, who had nine sequences, and consists of fifty images which were selected and considered to have meanings. The nonverbal symbols of Jokowi that researcher have found can form his image as a leader who has a simple and populist image. Keywords: Semiotic, Nonverbal Communication, Jokowi, Barthes Code, Image


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Konteks Masalah

Sejak lahirnya era reformasi dan tumbangnya rezim orde baru hingga saat ini, Indonesia masih mengalami krisis kepemimpinan dan belum tampak adanya perbaikan yang signifikan. Beberapa tindakan kekerasan dan kesejahteraan rakyat yang tidak merata masih menjadi masalah utama di negeri ini, bahkan tindak pidana korupsi semakin marak terjadi di kalangan para pejabat dan elite politik. Pada saat kampanye, calon wakil rakyat mengatakan membela kepentingan rakyat. Namun, setelah menjabat sebagai wakil rakyat, mereka justru memperjuangkan kesejahteraan diri sendiri dan partai. Selain itu, banyak pemimpin bangsa ini yang membuat jarak pemisah dengan rakyat. Mereka memposisikan diri di tempat yang “tinggi”, hingga kurang dapat melihat secara dekat beserta permasalahan yang sedang dihadapi dan dirasakan oleh masyarakat (Aditya, 2014: 3-4).

Di tengah krisis kepercayaan dan kepemimpinan di negeri ini, hadir satu sosok yang memiliki citra sederhana namun tegas. Meskipun berasal dari desa dan anak “orang biasa”, prestasi dan jiwa kepemimpinannya telah mendunia. Sosok tersebut adalah Joko Widodo atau Jokowi yang saat ini telah menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019. Nama Jokowi mulai dikenal masyarakat sebagai salah satu tokoh politik ketika menjadi Wali Kota Solo bersama FX Hadi Rudyatmo, sebagai Wakil Wali Kota Solo, untuk dua periode, yang terhitung dari tanggal 28 Juli 2005 sampai 1 Oktober 2012. Pada tanggal 3 Januari 2012, Jokowi berkomitmen untuk menggunakan Esemka, yaitu mobil rakitan siswa SMK 2 Solo dan SMK Warga Solo, sebagai mobil dinas. Niat beliau tersebut menjadi fenomenal karena sempat menjadi polemik di tingkat nasional, baik karena menyangkut dasar hukum penggunaan mobil dinas pejabat, sampai dengan penilaian yang dianggap terburu-buru karena Esemka belum diuji emisi (Ambarita, 2014: 180).


(19)

Saat Pemilukada DKI Jakarta tahun 2012, Jokowi menjadi salah satu calon gubernur bersama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai calon wakil gubernurnya. Pasangan Jokowi-Ahok saat itu harus berhadapan dengan calon lainnya yang dianggap lebih kuat, diantaranya calon incumbent, Fauzi Bowo (Foke) yang berpasangan dengan Nahrowi Ramli (Nara). Selain itu, Hidayat Nur Wahid yang pernah menjadi ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) juga ikut menjadi calon Gubernur DKI Jakarta. Akhirnya, setelah melalui dua putaran pilkada, pada tanggal 29 September 2012, Jokowi dan Ahok ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih untuk periode 2012-2017 (Aditya, 2014: 85 dan 107). Selama proses menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, beliau mendapat banyak dukungan dari masyarakat, terutama kalangan bawah, dan para wartawan yang selalu meliput kegiatan “blusukan” Jokowi. Blusukan tersebut merupakan kegiatan beliau yang bertujuan untuk meninjau permasalahan yang terdapat di dalam masyarakat dengan langsung turun ke lapangan.

Setelah menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta, Jokowi dipilih rakyat Indonesia sebagai Presiden Republik Indonesia untuk periode 2014-2019, dan dilantik pada tanggal 20 Oktober 2014. Jokowi tidak hanya dikenal di kalangan nasional, namun juga dunia. Satu minggu setelah pelantikannya sebagai presiden, Jokowi menjadi cover majalah Time, edisi 27 Oktober 2014, dan dinobatkan sebagai “A New Hope” bagi Republik Indonesia. Sebelumnya, ketika menjabat sebagai Wali Kota Solo, Jokowi juga dinobatkan oleh The City Mayors Foundation pada bulan Januari 2013 sebagai wali kota terbaik ketiga di dunia. The City Mayors Foundation merupakan organisasi nirlaba yang didirikan pada tahun 2003 untuk mempromosikan, mendorong, dan memfasilitasi pemerintahan lokal yang terbuka dan kuat. Organisasi ini memberikan penghargaan bagi para wali kota di seluruh dunia yang unggul dan berkualitas (Ambarita, 2014: 175). Dikutip dari Jokowi sebagai salah satu wali kota terbaik karena menjadikan Solo sebagai destinasi pariwisata bagi dunia internasional, kampanye melawan korupsi, menolak untuk mengambil gaji, pribadinya yang rendah hati, dermawan dan pendekatannya kepada masyarakat, dan beliau juga dianggap memiliki kualitas


(20)

yang baik karena mau langsung terjun ke lapangan atau melakukan blusukan untuk melihat permasalahan yang sedang dialami oleh masyarakat.

Ketika Jokowi menjadi Presiden Republik Indonesia, beliau dianggap sebagai pemimpin yang memiliki citra sederhana di awal masa kepemimpinannya. Pada umumnya, pemimpin atau pejabat lebih memilih untuk menggunakan busana ataupun setelan jas yang mahal, akan tetapi beliau tetap lebih memilih untuk menggunakan setelan kemeja putih dan celana hitam yang terlihat sederhana, bahkan sejak menjabat sebagai Wali Kota Solo. Citra sederhana yang melekat padanya tersebut pun mengundang banyak tanya, apakah kesederhanaannya hanya sekedar pencitraan ataukah bukan. Terlepas dari hal tersebut, ketika berkomunikasi dengan masyarakat dan media, Jokowi tidak hanya menunjukkan bahasa verbal namun juga bahasa nonverbal yang apa adanya yang mendukung citranya tersebut. Karenanya, sikapnya yang sederhana dalam bertingkah laku dan berbicara menjadi salah satu karakter yang paling disukai rakyat Indonesia pada saat ini (Aditya, 2014: 236).

Jokowi sebagai presiden ketujuh di Indonesia, juga membawa kebiasaannya yang sederhana dalam hal pemilihan busana kepada para menteri yang ditunjuknya untuk menjalankan tugas bersamanya. Ketika mengumumkan nama-nama menteri dalam Kabinet Kerja yang telah dibentuknya tersebut, seluruh menteri terlihat hadir menggunakan setelan yang serupa, kemeja putih dan celana hitam. Gerak atau langkah cepat yang sering dilakukannya ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta juga diterapkannya kepada seluruh menteri yang ada. Kejadian tersebut terjadi pada tanggal 26 Oktober 2014 di halaman Istana Negara, Jakarta, yang juga dihadiri oleh istri Jokowi, Iriana Widodo, dan Jusuf Kalla beserta istrinya. Ketika melakukan blusukan ke beberapa daerah, Jokowi juga lebih memilih setelan yang serupa, kemeja putih dan celana hitam.


(21)

Gambar 1.1

Jokowi Memakai Kemeja Putih dan Celana Hitam ketika Mengumumkan Nama-nama Menteri dalam Kabinet Kerja

Sumber: hariansib.co

Selain menggunakan setelan kemeja putih dan celana hitam, ketika menjabat sebagai presiden, Jokowi juga menggunakan batik dan setelan jas. Dalam beberapa kesempatan, beliau menggunakan batik, misalnya ketika melakukan kegiatan kenegaraan seperti menerima tamu negara ketika baru saja dilantik menjadi presiden dan ketika melakukan blusukan keluar negeri. Pada saat tertentu, Jokowi juga menggunakan setelan jas, seperti ketika menghadiri APEC CEO Summit di Beijing. Sebelumnya, Majalah Tempo edisi 31 Agustus 2014, mengatakan bahwa Jokowi sempat terlihat tidak nyaman menggunakan setelan jas. Jokowi menggunakan setelan jas tersebut karena permintaan Majalah Tempo untuk melakukan sesi wawancara di Kantor Redaksi Majalah Tempo. Menurut majalah tersebut, Jokowi mengaku bahwa beliau lebih nyaman menggunakan setelan kemeja putih, celana hitam, dan sepatu kets yang dipakainya ketika bermain bola pada acara tujuh belasan beberapa waktu yang lalu.

Dari segi penampilan, Jokowi memang tidak seperti pemimpin pada umumnya yang sangat memperhatikan penampilan. Namun, beliau merupakan tipe pemimpin yang dianggap mau belajar. Selain itu, beliau juga dianggap mampu mendapatkan berbagai jawaban dari permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat dengan melakukan peninjauan langsung ke lapangan. Hal tersebut dikarenakan beliau memiliki pandangan bahwa para pemimpin harus turun ke bawah (Ambarita, 2014: 248). Pandangan ini tidak terlepas pula dari rasa empati yang dimiliki Jokowi terhadap orang-orang di sekitarnya. Karena Jokowi pernah


(22)

merasakan kehidupan yang prihatin, seperti pernah tinggal di Bantaran Kali Anyar sewaktu masih kecil, beliau pun mampu berkomunikasi dengan kalangan bawah. Beliau menyadari dalam kondisi susah, orang akan mampu menghargai tindakan-tindakan manusiawi, dari sinilah beliau belajar untuk menjadi rendah hati

493130327379382). Rasa empati ini pun secara tidak langsung mampu mempengaruhi komunikasi verbal dan nonverbal serta citra yang terbentuk dari Jokowi.

Kesederhanaan Jokowi dapat dikatakan sebagai suatu simbol yang dapat menjadi sebuah citra yang tersirat dari komunikasi nonverbal yang dimilikinya. Adapun dalam wawasan Saussurean, simbol adalah diagram yang mampu menampilkan gambaran suatu objek, meskipun objek itu tidak dihadirkan. Misalnya, peta bisa memberikan gambaran hubungan objek-objek tertentu meskipun objek itu tidak dihadirkan. Simbol memiliki arti sebagai media primer dalam proses komunikasi yang dapat berupa bahasa, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya (Elbadiansyah, 2014: 63). Sedangkan menurut Eickelman dan Piscatori, simbol merupakan tanda yang menunjuk kepada nilai-nilai, dan seringkali simbol ini diungkapkan melalui bahasa. Kadang-kadang juga diungkapkan melalui citra di samping bahasa. Keterkaitan antara nilai, simbol, dan bahasa, menurut mereka, memiliki pengaruh yang sangat kuat. Hal ini sejalan dengan pendapat Pekonen, yaitu dimana ungkapan simbolik yang saling terjalin dan diartikulasikan melalui bahasa, merupakan sarana sosialisasi yang sekaligus dapat menciptakan suatu ikatan sosial antara individu dan kelompok, sebab peran-peran dan relasi sosial yang ada di masyarakat disampaikan melalui bahasa (Sobur, 2004: 176).

Simbol meliputi apa yang dirasakan atau dialami. Simbol tersebut adalah objek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada suatu hal. Semua simbol, baik kata-kata yang terucapkan, sebuah objek seperti sebuah bendera, suatu gerak tubuh seperti melambaikan tangan, sebuah tempat seperti masjid atau gereja, atau suatu peristiwa seperti perkawinan, merupakan bagian-bagian suatu sistem simbol. Clifforg Geertz mengatakan makna hanya dapat disimpan di dalam simbol. Hal ini terjadi karena manusia berpikir, berperasaan, dan bersikap dengan


(23)

ungkapan-ungkapan yang simbolis. Setiap orang, dalam arti tertentu membutuhkan sarana atau media untuk berkomunikasi. Media ini terutama ada dalam bentuk-bentuk simbolis sebagai pembawa atau pelaksana makna atau pesan yang akan dikomunikasikan. Makna atau pesan yang sesuai dengan maksud pihak komunikator diharapkan dapat ditangkap dengan baik oleh pihak lain (Sobur, 2004: 177-178).

Kaum profesional dan eksekutif pada umumnya berharap akan produk-produk berkelas, bercita rasa tinggi dan bernilai tinggi untuk membentuk suatu pesan atau citra positif. Meskipun Jokowi saat ini telah menjabat sebagai pejabat negara dan di sisi lain juga sebagai pengusaha di bidang bisnis perkayuan, beliau tetap bersikap low profile dengan terlihat nyaman menggunakan pakaian yang berkisar seratusan ribu rupiah (Putra dkk., 2014: 120). Menurut Desmond Morris, sekurangnya ada tiga fungsi mendasar dari pakaian yang dikenakan manusia, yakni memberikan kenyamanan, sopan-santun, dan pamer (display). Setiap bentuk dan apapun yang mereka kenakan, baik secara gamblang maupun samar-samar, akan menyampaikan penanda sosial (social signals) tentang si pemakainya (Sobur, 2004: 170).

Komunikasi nonverbal Jokowi memiliki kemungkinan berasal dari pengalaman hidupnya yang pernah merasa susah. Karenanya, gaya hidup yang dijalaninya selama ini pun terlihat lebih sederhana dibandingkan pejabat negara pada umumnya. Orang yang punya status tertentu kerap kali dihubungkan dengan gaya hidup, terutama bagi para pejabat yang biasanya dihubungkan dengan gaya hidup mewah. Gaya hidup merupakan istilah menyeluruh yang meliputi cita rasa seseorang dalam fashion, mobil, hiburan dan rekreasi, bacaan, dan lainnya. Gaya menggambarkan bagaimana seseorang berpakaian dan bertingkah laku (Sobur, 2004: 167).


(24)

Gambar 1.2

Jokowi Terlihat Menunjukkan Kedekatannya terhadap Warga disertai Raut Muka yang Ramah Ketika Melakukan Blusukan

Sumber: google.com

Citra sederhana yang diikuti oleh kedekatan Jokowi dengan masyarakat dan wartawan dianggap tidak terlepas dari asas yang kuat dalam mengadakan komunikasi yang baik antara dirinya sendiri dengan orang lain. Jokowi memiliki citra yang mampu diterima banyak masyarakat, dimana beliau juga mampu memberikan pengaruh kepada mereka. Hal ini dibuktikan dengan terpilihnya Jokowi dari Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga menjadi Presiden Republik Indonesia pada periode 2014-2019 dan tetap dekat dengan rakyat. Komunikasi yang telah terjalin tersebut mampu meningkatkan aspirasi masyarakat dan membantu pemimpin negara dalam membuat keputusan di tengah kehidupan bermasyarakat (Nasution, 2004: 103). Cara berkomunikasi secara verbal maupun nonverbal sangat menentukan citra diri seorang pemimpin, seperti cara berkomunikasi Jokowi yang dinilai sangat sederhana dan merakyat.

Komunikasi verbal dan nonverbal merupakan komponen yang wajib hadir dalam setiap proses komunikasi. Komunikasi verbal merupakan penyampaian pesan melalui kata-kata, baik lisan maupun tulisan. Sedangkan komunikasi nonverbal adalah penyampaian pesan tanpa kata-kata (Sobur, 2004: 122). Komunikasi verbal dan komunikasi nonverbal memiliki perbedaan dan persamaan yang turut ambil bagian dalam proses penelitian ini. Adapun persamaan yang dimiliki oleh keduanya adalah aturan-perintah dan kesengajaan. Aturan-aturan dalam pesan nonverbal dapat diidentifikasi seperti halnya dalam pesan verbal. Beberapa pola aturan tersebut berkaitan dengan produksi pesan nonverbal dan


(25)

emosi yang ditampilkan. Misalnya, bagaimana pesan verbal dan nonverbal seseorang dalam pertemuan pertama dengan orang lain. Seperti pesan verbal, beberapa pola pesan nonverbal bersifat umum dan dapat menjadi perilaku perseorangan. Misalnya, ekspresi (mimik) muka sedih, gembira, terkejut, dan takut, yang terlepas dari budaya seseorang. Persamaan lainnya adalah kesengajaan. Bahasa digunakan secara sadar oleh orang untuk tujuan pengiriman pesan, baik lisan maupun tulisan. Hal ini juga sering terjadi dalam komunikasi nonverbal (Ruben, 2013: 171).

Perbedaan komunikasi verbal dan nonverbal adalah kesadaran dan perhatian, aturan terbuka dan tertutup, pengendalian, status umum versus status pribadi, dan spesialisasi belahan otak. Kesadaran dan perhatian orang pada umumnya lebih tertuju kepada komunikasi verbal dibandingkan komunikasi nonverbal. Dalam dunia pendidikan, keterampilan seseorang berkomunikasi secara verbal dianggap sebagai salah satu keterampilan dasar, dibandingkan komunikasi nonverbal yang kurang mendapatkan perhatian. Mengenai aturan, komunikasi verbal bersifat terbuka. Informasi aturannya adalah berupa struktur dan penggunaan bahasa yang tersedia dalam berbagai sumber. Sedangkan komunikasi nonverbal bersifat tertutup, dimana terdapat pola-pola berupa ekspresi kasih sayang, cara berjabat tangan, dan sebagainya, yang adalah bukan kesepakatan universal (Ruben, 2013: 172-174).

Selain itu, pengendalian juga merupakan perbedaan antara komunikasi verbal dan nonverbal yang terlihat mencolok. Di saat seseorang mampu mengendalikan komunikasi verbal, terkadang orang tersebut tetap tidak dapat mengendalikan komunikasi nonverbalnya. Misalnya, tata bahasa seseorang ketika berbicara di depan umum adalah baik, namun diucapkan dengan suara yang gemetar dan keringat yang mengucur deras. Dalam hal status, komunikasi verbal atau pola penggunaan bahasa dianggap sebagai topik yang sesuai untuk diskusi publik dan pengawasan dibandingkan komunikasi nonverbal yang berupa penampilan, gerak-gerik, tingkah laku, dan posisi badan. Akan tetapi, saat ini terdapat aturan untuk membahas perilaku nonverbal, terutama nonverbal para tokoh masyarakat. Banyak perhatian yang diberikan ke berbagai bagian tubuh atau pakaian yang digunakan oleh tokoh-tokoh tersebut. Perbedaan terakhir dari


(26)

komunikasi verbal dan nonverbal adalah spesialisasi belahan otak, dimana otak kiri memainkan peran utama dalam proses bahasa atau komunikasi verbal, dan otak kanan yang merupakan spesialisasi komunikasi nonverbal yang mampu mengenali gambar, tubuh, seni, dan musik (Ruben, 2013: 174-175).

Komunikasi verbal dan nonverbal tersebut saling berkaitan. Akan tetapi, menurut Birdwhistell, “barangkali tidak lebih dari 30% sampai 35% makna sosial percakapan atau interaksi dilakukan dengan kata-kata.” Sisanya dilakukan dengan pesan nonverbal. Mehrabian, penulis The Silent Message, bahkan memperkirakan 93% dampak pesan diakibatkan oleh pesan nonverbal. Komunikasi nonverbal sangat penting dalam mencapai komunikasi yang efektif. Dale G. Leathers, penulis Nonverbal Communication Systems, menyebutkan enam alasan mengapa komunikasi nonverbal sangat dibutuhkan (Rakhmat, 2007: 287).

Pertama, faktor-faktor nonverbal sangat menentukan makna dalam komunikasi interpersonal. Ketika berkomunikasi tatap muka, kita banyak menyampaikan gagasan dan pikiran kita lewat pesan-pesan nonverbal. Kedua, perasaan dan emosi lebih cermat disampaikan lewat pesan nonverbal daripada pesan verbal. Misalnya, menurut Mehrabian, hanya 7% perasaan kasih sayang dapat dikomunikasikan dengan kata-kata. Selebihnya, 38% dikomunikasikan lewat suara, dan 55% dikomunikasikan melalui ungkapan wajah (senyum, kontak mata, dan sebagainya). Ketiga, pesan nonverbal menyampaikan makna dan maksud yang relatif bebas dari penipuan, distorsi, dan kerancuan. Dalam situasi komunikasi yang disebut “double binding”―ketika pesan nonverbal bertentangan

dengan pesan verbal―orang bersandar pada pesan nonverbal (Rakhmat, 2007:

288).

Alasan selanjutnya mengenai pentingnya komunikasi nonverbal adalah pesan nonverbal mempunyai fungsi metakomunikatif yang sangat diperlukan untuk mencapai komunikasi yang berkualitas tinggi, dimana fungsi tersebut memiliki arti memberikan informasi tambahan yang memperjelas maksud dan makna pesan. Yang kelima, pesan nonverbal merupakan cara komunikasi yang lebih efisien dibandingkan dengan pesan verbal. Pesan verbal membutuhkan lebih banyak waktu untuk mengungkapkan apa yang ada di pikiran seseorang dibandingkan menyampaikan pesan secara nonverbal. Alasan terakhir mengapa


(27)

pesan nonverbal sangat dibutuhkan, karena pesan nonverbal merupakan sarana sugesti yang paling tepat. Sugesti yang dimaksud dalam hal ini adalah menyarankan sesuatu kepada orang lain secara implisit (secara tersirat) (Rakhmat, 2007: 288).

Komunikasi sangat dibutuhkan dalam kehidupan. Dengan berkomunikasi, kita dapat menyamakan pendapat dan mencapai tujuan yang diinginkan. Seperti komunikasi diantara pemimpin negara dengan masyarakatnya. Komunikasi juga dapat diasosiasikan sebagai simbol, dimana sebuah label arbitrer atau representasi terdapat dari fenomena. Dalam berkomunikasi, terdapat proses sosial dimana individu-individu menggunakan simbol-simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna dalam lingkungan mereka (West, 2009: 7). Simbol-simbol tersebut pun pada akhirnya dapat diketahui dengan jelas pada komunikasi nonverbal seseorang. Karenanya, peneliti merasa tertarik untuk meneliti komunikasi nonverbal, yang dalam hal ini adalah komunikasi nonverbal dari Joko Widodo atau Jokowi ketika menjadi Presiden Republik Indonesia serta citra apa saja yang terbentuk darinya.

1.2 Fokus Masalah

Berdasarkan konteks masalah di atas, peneliti merumuskan bahwa fokus masalah yang diteliti lebih lanjut adalah: “Bagaimana pemaknaan simbol nonverbal serta citra yang terbentuk dari Presiden Joko Widodo?”

1.3 Pembatasan Masalah

Batasan masalah dalam penelitian ini adalah komunikasi nonverbal serta citra yang terbentuk dari Presiden Joko Widodo dalam tiga video mengenai aktifitas beliau di awal masa kepemimpinannya (20 Oktober 2014 - Januari 2015) yang masing-masing berdurasi di bawah 4 menit. Video tersebut merupakan media dokumentasi yang dipilih dan diambil oleh peneliti secara acak dari website

Youtube. Adapun video yang dipilih tersebut mewakili ketiga pakaian yang sering digunakan oleh beliau dalam berbagai kegiatannya sebagai presiden, yaitu setelan jas dan celana berwarna hitam, kemeja berwarna putih dan celana berwarna hitam, serta baju batik dan celana berwarna hitam.


(28)

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan makna dari simbol nonverbal serta citra yang terbentuk dari orang yang paling berpengaruh di Indonesia saat ini, dimana yang dimaksud oleh peneliti adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi).

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara akademis, penelitian diharapkan bermanfaat bagi perkembangan Ilmu Komunikasi FISIP USU. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan dan refrensi bagi penelitian serupa di hari dan masa yang akan datang. Dalam penelitian ini, peneliti berharap dapat memberikan kontribusi untuk memahami cara berkomunikasi dari seorang pemimpin yang memiliki citra sederhana dan dianggap berbeda dengan para pemimpin sebelumnya.

2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan pula dapat memberikan kontribusi pengetahuan di bidang Ilmu Komunikasi yang berkaitan dengan analisis semiotika. Adapun yang dimaksud dalam penelitian ini adalah menganalisis makna dari komunikasi nonverbal dari Presiden Joko Widodo serta citra yang terbentuk darinya.

3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada siapa saja yang ingin menganalisis komunikasi nonverbal dan citra seseorang melalui analisis semiotika. Peneliti juga berharap pembaca dapat lebih memahami makna dari simbol yang terdapat pada seseorang yang sangat berpengaruh di saat penelitian ini dilakukan, yaitu Joko Widodo atau Jokowi (Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019).


(29)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Kajian

Paradigma yang dipakai dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme. Menurut von Glasersfeld, pengertian konstruktif kognitif muncul dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Akan tetapi, bila ditelusuri lebih jauh, awal mula konstruktivisme berasal dari gagasan pokok konstruktivisme Giambatissa Vico, seorang epistemolog dari Italia. Pada tahun 1710, Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia menyatakan filsafatnya bahwa, “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan.” Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti “mengetahui bagaimana membuat sesuatu.” Artinya, seseorang baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Menurut Vico, hanya Tuhan yang dapat mengerti alam raya ini karena hanya Dia yang tahu bagaimana membuatnya dan dari apa Dia membuatnya. Sementara itu, orang hanya dapat mengetahui sesuatu yang telah dikonstruksikannya (Suparno, 1997: 24-25).

Konstruktivisme berada di titik temu dua aliran besar dalam sejarah sosiologi, yaitu sosiologi pengetahuan (sociology of knowledge) dan sosiologi sains (sociology of science). Sosiologi pengetahuan dibentuk oleh pandangan tiga pemikir cemerlang: Marx, Mannheim, dan Durkheim. Ketiganya saling memberi akibat dari faktor-faktor sosial dalam bentuk kepercayaan individu (Kukla, 2003: 11). Dalam pandangan konstruktivisme, terdapat penolakan terhadap positivisme yang memisahkan subjek dan objek komunikasi. Bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Tetapi, subjek yang ada memiliki kemampuan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu atau terhadap objek yang ada.

Paradigma konstruktivisme melihat suatu realitas sosial sebagai hasil konstruksi sosial, dan kebenaran tersebut bersifat relatif. Paradigma ini berada


(30)

dalam perspektif interpretivisme (penafsiran) yang terbagi dalam tiga jenis, yaitu interaksi simbolik, fenomenologis, dan hermeneutik. Menurut paradigma konstruktivisme realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan kepada semua orang. Konsep mengenai konstruksionis diperkenalkan oleh sosiolog interpretatif, Peter L. Berger bersama Thomas Luckman. Dalam konsep kajian komunikasi, teori konstruksi sosial dapat disebut berada diantara teori fakta sosial dan defenisi sosial (Eriyanto, 2004: 13). Karenanya, konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia.

Manusia mengkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar apabila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai. Bagi kostruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lainnya, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Tiap orang harus mampu mengkonstruksi pengetahuan karena pengetahuan bukanlah sesuatu yang telah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang secara terus-menerus (Suparno, 1997: 28).

Sedangkan konstruktivisme sosial berpandangan bahwa pengetahuan merupakan hasil penemuan sosial dan sekaligus merupakan faktor dalam perubahan sosial. Menurut Berger dan Luckmann, kenyataan dibentuk secara sosial dan ditentukan secara sosial. Berger mendasarkan pengetahuannya pada kenyataan sehari-hari. Dia melihat bahwa kenyataan hidup sehari-hari merupakan dunia yang dialami bersama dengan orang lain. Menurut Weber, perilaku manusia adalah sebagai agen yang mengkonstruksi realitas sosial mereka sendiri. Dengan begitu, substansi bentuk kehidupan di masyarakat tidak hanya dilihat dari penilaian objektif saja, melainkan dilihat dari tindakan setiap orang yang timbul dari alasan-alasan subjektif. Karenanya, Weber juga melihat bahwa tiap individu akan memberikan pengaruh dalam masyarakatnya (Suparno, 1997: 47).

Konstruktivisme sosial menekankan bahwa pengetahuan ilmiah merupakan konstruksi sosial, bukan konstruksi individual. Kelompok ini menekankan lingkungan, masyarakat, dan dinamika pembentukan ilmu


(31)

pengetahuan. Mereka cenderung mengambil fungsi dan peran masyarakat begitu saja dalam pembentukan pengetahuan manusia. Konstruksivisme sosial mempertahankan bahwa pengetahuan ilmiah dibentuk dan dibenarkan secara sosial. Suasana, lingkungan, dan dinamika pembentukan ilmu pengetahuan adalah sangat penting. Mekanisme psikologi individu dikesampingkan, sebaliknya lingkungan sosial menentukan kepercayaan individu.

2.2 Kajian Pustaka 2.2.1 Komunikasi

Komunikasi adalah proses personal karena makna atau pemahaman yang kita peroleh pada dasarnya bersifat pribadi. Karenanya, menurut John R. Wenburg dan William W. Wilmot, komunikasi adalah usaha untuk memperoleh makna. Ketika mendengarkan seseorang yang berbicara, sebenarnya pada saat itu terjadi proses pengiriman pesan secara nonverbal (isyarat tangan, ekspresi wajah, nada suara, dan sebagainya) kepada pembicara tersebut. Komunikasi dalam hal ini bersifat intersubjektif, yang dalam bahasa Rosengren disebut komunikasi penuh manusia. Penafsiran seseorang atas perilaku verbal dan nonverbal orang lain yang dikemukakan seseorang tersebut akan mengubah penafsiran orang lainnya atas pesan-pesan yang telah disampaikan, dan pada gilirannya, mengubah penafsiran pribadi seseorang tersebut atas pesan-pesannya, begitu seterusnya. Hal ini secara singkat disimpulkan oleh Karl Erik Rosengren, bahwa komunikasi adalah interaksi subjektif purposif melalui bahasa manusia yang berartikulasi ganda berdasarkan simbol-simbol (Mulyana, 2008: 74-76).

Pada tahun 1986, Lee Thayer, dalam bukunya Komunikasi dan Sistem Komunikasi (Communication and Communication System), memberikan pandangan mengenai komunikasi. Thayer menekankan komunikasi sebagai proses yang dinamis, dimana individu menciptakan dan menginterpretasikan informasi yang dilihatnya sebagai sesuatu kompleks yang dinamis dan sangat pribadi. Model komunikasi yang digambarkan Thayer adalah dinamis dan bertumpu pada beberapa ide kunci. Adapun ide kunci tersebut adalah pesan yang diperoleh penerima tidak pernah identik dengan yang dikirim seseorang sumber, penerima mendapatkan sejumlah pesan dengan kemampuan memproses atau memahaminya


(32)

dalam cara yang berbeda-beda, orang bisa bertindak sebagai pengirim sekaligus penerima pesan, dan pergantian dari satu kepada yang lainnya adalah tidak selalu jelas, dan informasi yang diterima dapat berfungsi sebagai umpan balik (Ruben, 2013: 51).

Selain komunikasi yang menekankan proses menciptakan dan menginterpretasi pada informasi yang diterima, komunikasi juga memiliki beberapa arti yang berkaitan dengan penggunaan simbol yang dapat diinterpretasi oleh seorang individu. Bernard Berelson dan Gary A. Steiner mengatakan bahwa:

“Komunikasi adalah transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan, dan sebagainya, dengan menggunakan simbol-simbol―kata-kata, gambar, figur, grafik, dan sebagainya. Tindakan atau proses transmisi itulah yang biasanya disebut komunikasi” (Mulyana, 2008: 68).

Sedangkan menurut Raymond S. Ross,

“Komunikasi adalah suatu proses menyortir, memilih, dan mengirimkan simbol-simbol sedemikian rupa sehingga membantu pendengar membangkitkan makna atau respons dari pikirannya yang serupa dengan yang dimaksudkan komunikator” (Mulyana, 2008: 69).

Komunikasi sebagai proses, memegang peranan penting untuk menciptakan iklim kerja harmonis dan menciptakan kredibilitas organisasi terhadap masyarakat lingkungan. Komunikasi merupakan kebutuhan hakiki umat manusia. Manusia menggunakan proses komunikasi untuk 80% waktu yang dimilikinya. Hanya waktu tidur manusia tidak melakukan proses komunikasi. Agar manusia sukses dalam kehidupan, ia harus mampu melaksanakan proses komunikasi efektif. Makna efektif disini dapat bersifat konstruktif apabila digunakan untuk mencapai tujuan yang bersifat konstruktif. Pemrakarsa proses komunikasi sebelum melakukan proses komunikasi perlu melakukan langkah empati, yaitu usaha untuk mengetahui sebanyak-banyaknya tentang seseorang yang akan diajak untuk berkomunikasi. Berdasarkan hasil empati ini, pemrakarsa komunikasi harus memilih strategi komunikasi yang tepat, agar proses komunikasi dapat berjalan efektif dan efisien (Wahyudi, 1994: 96-97).

Mulyana (2008) dalam buku Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, mengemukakan bahwa terdapat salah satu prinsip komunikasi, yaitu komunikasi adalah proses simbolik. Dalam berkomunikasi, simbol merupakan kebutuhan


(33)

pokok manusia. Susanne K. Langer berpendapat bahwa manusia memiliki kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambang-lambang. Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu hal lainnya yang berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang maknanya disepakati bersama, misalnya memasang bendera di halaman rumah untuk menyatakan penghormatan atau kecintaan kepada negara. Lambang adalah salah satu kategori tanda. Hubungan antara tanda dengan objek dapat juga direpresentasikan oleh ikon dan indeks, namun ikon dan indeks tidak memerlukan kesepakatan.

Ikon adalah suatu benda fisik (dua atau tiga dimensi) yang menyerupai apa yang direpresentasikannya. Representasi ini ditandai dengan kemiripan. Misalnya, patung Soekarno adalah ikon Soekarno. Rambu-rambu lalu-lintas di jalan raya yang menunjukkan arah untuk menuju pom bensin, masjid, atau rumah makan di depan, atau kondisi jalan (berbelok, menanjak, atau menurun) juga termasuk ikon. Sedangkan indeks adalah tanda yang secara alamiah merepresentasikan objek lainnya. Istilah lain yang sering digunakan untuk indeks adalah sinyal (signal), yang dalam bahasa sehari-hari disebut juga gejala (symptom). Indeks muncul berdasarkan hubungan antara sebab dan akibat yang punya kedekatan eksistensi. Misalnya, awan gelap adalah indeks hujan yang akan turun, sedangkan asap merupakan indeks api (Mulyana, 2008: 92-93).

Simbol ataupun hal-hal yang bersifat simbolik sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, pekerjaan bersifat simbolik. Satu diantaranya adalah pekerjaan sekretaris, dimana pekerjaan sekretaris dianggap lazim untuk dilakukan oleh seorang wanita. Sekretaris juga merupakan lambang kekuasaan yang menegaskan bahwa atasannya benar-benar seorang bos, orang yang memberikan perintah kepada orang lain untuk melakukan apa yang ia inginkan. Sampai sekarang citra simbolik ini pun masih terasa. Ada kesan bahwa semakin indah seorang sekretaris dipandang, semakin menyakinkanlah perusahaan yang bersangkutan. Namun, lambang pada dasarnya tidak mempunyai makna, kitalah yang memberi makna pada lambang. Makna sebenarnya ada dalam kepala kita, bukan terletak pada lambang itu sendiri. Apabila ada orang yang mengatakan bahwa kata-kata mempunyai makna, maka yang ia maksudkan sebenarnya adalah


(34)

bahwa kata-kata itu mendorong orang untuk memberi makna (yang telah disetujui bersama) terhadap kata-kata tersebut (Mulyana, 2008: 96).

Komunikasi adalah kompleks dan memiliki banyak bentuk namun tetap menjadi sebuah hal yang mendasar dalam kehidupan kita. Misalnya, ketika seorang dokter berbicara dengan pasien tentang masalah kesehatan dan menyarankan perubahan gaya hidup. Hal tersebut tentu membutuhkan komunikasi. Contohnya, komunikasi dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, profesional, teknologi, nasional, ataupun internasional yang adalah berbeda-beda. Komunikasi itu penting untuk efektifitas kerja. Pengetahuan dan keterampilan komunikasi merupakan dasar bagi kepemimpinan sebagaimana kemampuan tertentu lainnya untuk kepemimpinan yang efektif, misalnya dalam mengelola hubungan antarpribadi, mendapatkan pengaruh dan mengelola aliran informasi dalam organisasi, hingga mencapai tujuan organisasi.

2.2.2 Komunikasi Nonverbal

Komunikasi nonverbal merupakan komunikasi tanpa bahasa atau komunikasi tanpa kata, maka tanda nonverbal berarti tanda minus bahasa atau tanda minus kata (Sobur, 2004: 122). Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai potensial bagi pengirim atau penerimanya. Jadi, komunikasi nonverbal mencakup perilaku yang disengaja dan tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan, dimana kita banyak mengirim pesan nonverbal tanpa menyadari bahwa pesan-pesan tersebut bermakna bagi orang lain (Mulyana, 2008: 343). Adapun bentuk dari nonverbal tersebut menurut Duncan adalah berupa kinesik atau gerak tubuh, paralinguistik atau suara, proksemik atau penggunaan ruangan personal dan sosial, olfaksi atau penciuman, sensitivitas kulit, dan faktor akrtifaktual seperti pakaian dan kosmetik.

Pesan kinesik, terdiri dari tiga komponen utama, yaitu pesan fasial, pesan gestural, dan pesan postural. Pesan fasial menggunakan air muka untuk menyampaikan makna tertentu. Menurut Leathers, wajah mengkomunikasikan


(35)

penilaian dengan ekspresi senang dan tidak senang, wajah mengkomunikasikan berminat atau tidak berminat pada orang lain atau lingkungan, wajah mengkomunikasikan intensitas keterlibatan dalam suatu situasi, wajah mengkomunikasikan tingkat pengendalian individu terhadap pernyataannya sendiri, dan wajah barangkali mengkomunikasikan adanya atau kurangnya pengertian. Pesan gestural menunjukkan gerakan sebagian anggota badan seperti mata dan tangan untuk mengkomunikasikan berbagai makna. Menurut Galloway, makna tersebut antara lain mendorong/membatasi, menyesuaikan/mempertentang-kan, responsif/tak responsif, perasaan positif/negatif, memperhatikan/tidak memperhatikan, melancarkan/tidak reseptif, dan menyetujui/menolak. Pesan postural berkaitan dengan postur badan yang memiliki makna immediacy atau ungkapan kesukaan/ketidaksukaan, power atau status komunikator, dan

responsiveness atau emosi positif/negatif (Rakhmat, 2007: 290).

Pesan proksemik disampaikan melalui pengaturan jarak dan ruang, yaitu dimana seseorang mengungkapkan jarak keakrabannya dengan orang lain. Hall menemukan bahwa jarak dapat diperkirakan bergantung pada kondisi dan isi percakapan, yaitu percakapan publik (12 kaki atau lebih hingga batas yang dapat dilihat), percakapan informal dan bisnis (4 sampai 12 kaki), percakapan biasa (1,5 sampai 4 kaki), dan percakapan intim (0 sampai 18 inci). Fluktuasi jarak dalam setiap kategori tergantung pada sejumlah faktor, yaitu budaya dimana percakapan berlangsung, usia dari yang saling berinteraksi, topik yang sedang dibahas, keadilan, sifat hubungan, sikap, perasaan dari individu dan seterusnya. Misalnya, penggunaan ruang dan posisi juga penting di tempat duduk. Dalam situasi kelompok, posisi tertentu sering dikaitkan dengan tingginya tingkat aktifitas dan kepemimpinan terhadap yang lain. Berada di depan kelompok dan lebih terpisah dari kelompok dibanding siapapun, mendukung individu yang bersangkutan untuk memiliki posisi jarak dan wewenang. Contohnya adalah seorang guru di depan kelas, seorang hakim di depan pengadilan, seorang pemimpin agama di bagian depan gereja dan sebagainya (Ruben, 2013: 193).

Pesan artifaktual diungkapkan melalui penampilan, seperti pakaian dan kosmetik. Meskipun bentuk tubuh relatif tetap, dalam hubungan dengan orang lain seseorang sering berperilaku sesuai dengan persepsinya tentang tubuhnya (body


(36)

image). Hal ini erat kaitannya dengan tubuh yaitu dengan pakaian dan kosmetik kita berupaya untuk membentuk citra tubuh. Umumnya, pakaian digunakan untuk menyampaikan identitas atau mengungkapkan siapa diri kita kepada orang lain (Rakhmat, 2007: 292).

Pesan paralinguistik berhubungan dengan cara mengungkapkan pesan verbal. Paralinguistik mengacu pada setiap pesan yang menyertai dan lebih melengkapi bahasa. Bentuk vokal dan bentuk tertulis merupakan bagian dari paralinguistik. Bentuk vokal meliputi tinggi rendah suara, kecepatan berbicara, irama, batuk, tertawa, sengau, berhenti, bahkan keheningan yang bersumber dalam penyampaian pesan tatap muka (Ruben, 2013: 175).

Pesan sentuhan dan bau-bauan termasuk pesan nonverbal nonvisual dan nonvokal. Kita mampu menerima dan membedakan berbagai emosi yang disampaikan orang melalui sentuhan. Alat penerima sentuhan adalah kulit. Smith telah meneliti kemampuan kulit yang mampu menyampaikan berbagai perasaan yang pada umumnya meliputi: tanpa perhatian (detached), kasih sayang (mothering), takut (fearful), marah (angry), dan bercanda (playful). Sedangkan bau-bauan digunakan manusia untuk berkomunikasi secara sadar dan tidak sadar. Dr. Harry Wiener dari New York Medical College menyimpulkan bahwa manusia menyampaikan dan menerima pesan kimiawi eksternal (Rakhmat, 2007: 293-294).

Pesan nonverbal menurut Mark L. Knapp memiliki lima fungsi, yaitu (1) Repetisi, yaitu mengulang kembali gagasan yang sudah disajikan secara verbal. Misalnya, setelah saya menjelaskan penolakan saya, saya menggelengkan kepala berkali-kali, (2) Substitusi, yaitu menggantikan lambang-lambang verbal. Misalnya, tanpa sepatah kata pun Anda berkata, Anda dapat menunjukkan persetujuan dengan mengangguk-angguk, (3) Kontradiksi, yaitu menolak pesan verbal atau memberikan makna yang lain terhadap pesan verbal. Misalnya, Anda memuji prestasi kawan Anda dengan mencibirkan bibir Anda, “Hebat, kau memang hebat”, (4) Komplemen, yaitu melengkapi dan memperkaya makna pesan verbal. Misalnya, air muka Anda menunjukkan tingkat penderitaan yang tidak terungkap dengan kata-kata; (5) Aksentuasi, yaitu menegaskan pesan verbal


(37)

atau menggarisbawahinya. Misalnya, Anda mengungkapkan betapa jengkelnya Anda dengan memukul mimbar (Rakhmat, 2007: 287).

Studi komunikasi nonverbal sebenarnya masih relatif baru. Pada zaman Yunani kuno, apabila bidang pertama dimulai dengan studi tentang persuasi, khususnya pidato, maka studi bidang kedua mengajarkan tentang ekspresi wajah sebagaimana dengan yang telah ditulis Charles Darwin pada tahun 1873. Sejak terdapat studi tersebut, banyak orang yang mengkaji komunikasi nonverbal ini demi keberhasilan komunikasi, bukan hanya ahli-ahli komunikasi, tetapi juga antropolog, psikolog, dan sosiolog. Simbol-simbol nonverbal lebih sulit ditafsirkan daripada simbol-simbol verbal. Ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa isyarat nonverbal pada umumnya adalah tidak berlaku secara universal. Nonverbal ini harus dipelajari, karena isyarat nonverbal yang merupakan bawaan hanyalah sedikit. Kita semua lahir dan mengetahui bagaimana tersenyum, namun kebanyakan ahli sepakat bahwa dimana, kapan, dan kepada siapa kita menunjukkan emosi ini adalah dengan dipelajari dan dipengaruhi oleh konteks serta budaya (Mulyana, 2008: 343).

Dilihat dari fungsinya, perilaku nonverbal memiliki bebeberapa fungsi. Paul Ekman menyebutkan lima fungsi pesan nonverbal, seperti yang dapat digambarkan dengan perilaku mata, yaitu sebagai berikut (Mulyana, 2008: 349):

a. Emblem. Gerakan mata tertentu merupakan simbol yang memiliki kesetaraan dengan simbol verbal. Kedipan mata dapat mengatakan, “Saya tidak sungguh-sungguh.”

b. Ilustrator. Pandangan ke bawah dapat menunjukkan depresi atau kesedihan.

c. Regulator. Kontak mata berarti saluran percakapan terbuka. Memalingkan muka menandakan ketidaksetiaan berkomunikasi.

d. Penyesuai. Kedipan mata yang cepat meningkat ketika orang berada dalam tekanan. Itu merupakan upaya tubuh untuk mengurangi kecemasan.

e. Affect Display. Pembesaran manik-mata (pupil dilation) menunjukkan peningkatan emosi. Isyarat wajah lainnya menunjukkan perasaan takut, terkejut, atau senang.

Komunikasi nonverbal memainkan peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, seperti halnya komunikasi verbal yang sering kita lakukan. Ada sejumlah kesamaan antara komunikasi verbal dan nonverbal, yaitu (1) adanya aturan yang memerintah, (2) memungkinkannya produksi pesan yang tidak disengaja dan disengaja, dan (3) berbagi ragam fungsi pesan secara


(38)

bersama-sama. Sedangkan perbedaan kunci antara komunikasi verbal dan nonverbal adalah (1) dibandingkan dengan bahasa verbal, telah terjadi kurangnya kesadaran dan perhatian terhadap isyarat-isyarat nonverbal dan dampaknya terhadap perilaku, (2) komunikasi nonverbal melibatkan aturan yang utamanya tertutup, daripada yang terbuka, dan (3) pengolahan pesan verbal diduga terjadi di belahan otak kiri, sedangkan belahan otak kanan sangat penting untuk pengolahan informasi yang berkaitan dengan kegiatan nonverbal (Ruben, 2013: 201).

Pengetahuan komunikasi nonverbal atau yang juga berupa bahasa tubuh banyak digunakan untuk bidang intelejen seperti di Amerika, dimana setiap agen FBI atau CIA dibekali kemampuan membaca bahasa tubuh dan mutlak untuk mereka miliki. Meskipun dalam dunia pendidikan komunikasi nonverbal belum mendapatkan banyak perhatian dibandingkan komunikasi verbal, bagi beberapa kalangan, mempelajari komunikasi nonverbal sangatlah penting. Dalam sebuah penelitian, Profesor Mehrabian menyimpulkan bahwa seseorang dapat dipercaya bergantung pada konsistensinya dalam tiga faktor komunikasi, yaitu verbal (perkataan), vokal (nada suara), dan visual (bahasa tubuh). Masing-masing faktor mempunyai pengaruh yang berbeda-beda. Perkataan yang diucapkan hanya merupakan 7% dari bagian yang menjadi perhatian lawan bicara, sedangkan bahasa tubuh 55%. Hal ini menunjukkan bahwa pesan nonverbal lebih mendapatkan perhatian lawan bicara daripada pesan verbal yang disampaikan (Putra, 2013: 14-15).

Pesan nonverbal pada umumnya memiliki enam sumber utama yang sangat penting, yaitu kinesik atau gerak tubuh, paralinguistik atau suara, proksemik atau penggunaan ruangan personal dan sosial, olfaksi atau penciuman, sensitivitas kulit, dan faktor artifaktual. Pesan nonverbal yang ditampilkan memainkan peran penting dalam hubungan interpersonal, khususnya dalam kesan awal. Baju atau gaun dan perhiasan fisik adalah aspek penampilan yang berfungsi sebagai sumber informasi potensial. Wajah adalah aspek sentral dari penampilan seseorang yang menyediakan sumber utama informasi tentang keadaan emosi seseorang. Rambut pun merupakan sumber pesan (Ruben, 2013: 201). Karenanya, pesan nonverbal dapat menjadi sumber informasi berkelanjutan bagi orang lain. Pada akhirnya, dengan secara berlanjut dan tak terhindarkan, kita mampu


(39)

memproses informasi tentang orang-orang, situasi, objek pada lingkungan, dan juga mengenai diri kita sendiri.

2.2.3 Semiotika

Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefenisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dianggap mewakili sesuatu yang lain. Istilah semeion diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial. “Tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Contohnya, asap menandai adanya api. Secara terminologis, semiotika dapat didefenisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda, dan mengartikan semiotika sebagai ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya, yaitu cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya (Bungin, 2007: 164).

Menurut Dick Hartoko, semiotika adalah bagaimana karya itu ditafsirkan oleh para pengamat dan masyarakat lewat tanda-tanda atau lambang-lambang. Luxemburg menyatakan bahwa semiotika adalah ilmu yang secara sistematis mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang, sistem-sistemnya, dan proses perlambangan. Sedangkan menurut Preminger, semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotika itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti (Bungin, 2007: 165).

Semiotika memang dimaksudkan sebagai ilmu tanda. Artinya, apabila kita mempelajari semiotika, maka kita mempelajari tentang berbagai tanda. Cara kita berpakaian, apa yang kita makan, dan cara kita bersosialisasi sebenarnya juga mengkomunikasikan hal-hal mengenai diri kita yang dapat kita pelajari sebagai tanda. Ziauddin Sardar dan Borin van Loon, dalam buku Cultural Studies for Beginners, berpendapat bahwa tanda merupakan konsep utama dalam cultural studies. Charles Sanders Peirce pun pernah menegaskan bahwa kita hanya bisa


(40)

berpikir dengan sarana tanda. Karenanya, tanpa tanda kita tidak dapat berkomunikasi. Tanda-tanda adalah basis dari seluruh komunikasi (Littlejohn dalam Sobur, 2004: 15). Manusia dengan perantaraan tanda-tanda dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya.

Tanda-tanda mengemban arti (significant) dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Sistem penandaan memiliki pengaruh yang besar. Paul Cobley dan Litza Jansz beranggapan munculnya studi khusus tentang sistem penandaan adalah benar-benar karena fenomena modern. Tanda dalam pandangan Peirce adalah sesuatu yang hidup dan dihidupi (cultivated), dimana tanda hadir dalam proses interpretasi (semiosis) yang mengalir (Sobur, 2004: 17).

Tanda-tanda dapat mengacu ke denotatum melalui konvensi. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang disebut simbol. Jadi, simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat arbitrer atau semena, dimana hubungannya berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat. Simbol itu muncul dalam konteks yang sangat beragam dan digunakan untuk berbagai tujuan. Simbol adalah “objek” atau peristiwa apapun yang merujuk kepada suatu hal. Simbol adalah suatu istilah dalam logika, matematika, semantik, semiotika, dan epistemologi. Simbol juga memiliki sejarah panjang di dunia teologi, dimana simbol dianggap sebagai sebuah sinonim dari “kepercayaan” (Sobur, 2004: 154).

Simbol (symbol) berasal dari kata Yunani “sym-ballein” yang artinya melemparkan secara bersama sesuatu (benda, perbuatan) yang dikaitkan dengan suatu ide. Adapula yang menyebutkan simbol berasal dari kata “symbolos”, yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan suatu hal kepada seseorang (Herusatoto dalam Sobur, 2004: 155). Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia

tahun 2003, karangan W.J.S Poerwadarminta, simbol atau lambang diartikan sebagai semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya, yang menyatakan suatu hal atau maksud tertentu. Misalnya, warna putih melambangkan kesucian, atau padi melambangkan kemakmuran.


(41)

Saussurean memiliki pendapat bahwa simbol merupakan diagram yang mampu menampilkan gambaran suatu objek meskipun objek itu tidak dihadirkan. Contohnya, peta bisa memberikan gambaran hubungan objek-objek tertentu meskipun objek itu tidak dihadirkan. Manusia memiliki kemampuan menggunakan simbol. Kemampuan manusia menciptakan simbol membuktikan bahwa manusia sudah memiliki kebudayaan yang tinggi dalam berkomunikasi, mulai dari simbol yang sederhana seperti bunyi dan isyarat, sampai kepada simbol yang dimodifikasi dalam bentuk sinyal-sinyal melalui gelombang udara dan cahaya, seperti radio, televisi, dan satelit (Sobur, 2004: 164).

Kajian semiotika bukanlah kajian yang benar-benar baru, namun analisis-analisis tentang bagaimana interpretasi dan penggunaan citra simbolik sudah berkembang di era 1940-an dan lumayan bersaing dengan penelitian efek atau dampak media massa yang populer di Amerika saat itu. Apabila kita telusuri dalam buku-buku semiotika yang ada, hampir sebagian besar yang menyebutkan bahwa ilmu semiotika bermula dari ilmu linguistik dengan tokohnya adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913). Saussure tidak hanya dikenal sebagai Bapak Linguistik, tetapi juga banyak dirujuk sebagai tokoh semiotika dalam bukunya

Course in General Linguistics (1916). Dalam bukunya tersebut, ia mengemukakan bahwa semiotika merupakan ilmu yang mengkaji tentang peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Menurut Saussure, penggunaan tanda secara sosial diatur oleh pemilihan, pengkombinasian dan penggunaan tanda-tanda dengan cara tertentu sehingga sesuatu mempunyai makna dan nilai sosial.

Menurut Saussure, penggunaan tanda secara sosial dan kaitannya dengan sistem tanda menggunakan dua model analisis bahasa dalam semiotika. Model analisis bahasa tersebut adalah langue, yaitu analisis bahasa sebagai sebuah sistem, dan parole, yaitu bahasa yang digunakan secara nyata oleh individu-individu dalam berkomunikasi secara sosial. Secara epistemologis, “semiotika signifikansi” pada prinsipnya adalah semiotika pada tingkat langue, sementara “semiotika komunikasi” adalah semiotika pada tingkat parole. Dalam kerangka

langue, Saussure menjelaskan bahwa tanda sebagai kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari dua bidang, yaitu bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan


(42)

‘bentuk’ atau ‘ekspresi’, dan bidang petanda (signified) untuk menjelaskan ‘konsep’ atau ‘makna’ (Sobur, 2004: vii-vii).

Selain Saussure, tokoh penting lain dalam kajian semiotika adalah Charles Sanders Peirce (1839-1914), seorang filsuf Amerika, dan Charles Williams Morris (1901-1979) yang mengembangkan behaviourist semiotics. Kemudian yang mengembangkan teori-teori semiotika modern adalah Roland Barthes (1915-1980), Algirdas Greimas (1917-1992), Yuri Lotman (1922-1993), Christian Metz (1931-1993), Umberto Eco (1932), dan Julia Kristeva (1941). Selain Saussure, yang bekerja dengan semiotics framework adalah Louis Hjlemslev (1899-1966) dan Roman Jakobson (1896-1982). Dalam Ilmu Antropologi terdapat Claude Levi Strauss (1980), dan Jacques Lacan (1901-1981) dalam psikoanalisis.

2.2.4 Semiologi dan Mitologi (Roland Barthes)

Roland Barthes (1951-1980) merupakan salah satu ahli semiotika. Namun, dalam karya-karyanya, Barthes lebih sering memakai istilah semiologi dibandingkan semiotika. Menurut Hawkes, istilah semiologi biasanya digunakan di Eropa, sedangkan semiotika dipakai oleh mereka yang berbahasa Inggris. Akan tetapi, komite internasional di Paris pada bulan Januari 1969 dan Association for Semiotics Studies pada kongres pertamanya pada tahun 1974 memutuskan hanya untuk menggunakan istilah semiotika (Sobur, 2004: 13). Menurut Barthes, semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya mencari jalan di dunia, di tengah-tengah manusia, dan bersama-sama manusia. Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) artinya objek-objek tidak hanya membawa informasi, dimana objek-objek tersebut hendak berkomunikasi, namun juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2004: 16).

Selain ahli semiotika, Barthes juga merupakan intelektual dan kritikus sastra Perancis ternama. Bertens menyebutnya sebagai tokoh yang memainkan peranan sentral dalam strukturalisme di tahun 1960-an dan 1970-an. Ia mengembangkan kajian yang sebelumnya punya warna kental strukturalisme kepada semiotika teks. Barthes berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem


(43)

tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dan dalam waktu tertentu (Sobur, 2004: 63). Kunci dari analisis Barthes adalah konsep tentang konotasi dan denotasi, dimana ia menggunakan versi yang jauh lebih sederhana saat membahas model “glossematic sign” (tanda-tanda glossematic) (Wibowo, 2013: 21).

Barthes memiliki konsep bahwa tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Secara lebih rinci, linguistik pada dasarnya membedakan tingkatan ekspresi (E) dan tingkat isi (C) yang keduanya dihubungkan oleh sebuah relasi (R). Ketiga tingkatan tersebut pun membentuk sebuah sistem (ERC). Sistem ini menjadi unsur sederhana dari sebuah sistem kedua yang akibatnya diperluas. Menurut Hjelmslev, bahasa dapat dipilih menjadi dua artikulasi. Artikulasi yang pertama, sistem primer (ERC) mengkonstitusi tingkat ekspresi untuk sistem kedua: (ERC)RC. Sistem 1 berkorespondensi dengan tingkat konotasi. Artikulasi kedua, sistem primer (ERC) mengkonstitusi tingkat isi untuk sistem kedua: ER(ERC). Pada artikulasi ini, sistem 1 berkorespondensi dengan objek bahasa dan sistem 2 dengan metabahasa (metalanguage) (Kurniawan dalam Sobur, 2004: 70).

Fiske menyebut model artikulasi pertama dan kedua sebagai signifikansi dua tahap (two order of signification). Melalui model Barthes ini, telah dijelaskan bahwa signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara penanda (ekspresi) dan petanda (content) di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Hal inilah yang disebut Barthes sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda (sign) (Wibowo, 2013: 21). Signifikasi tahap kedua adalah konotasi, dimana digambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya.

Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting dalam sebuah ujaran. Makna denotasi bersifat langsung, dimana makna yang terdapat dalam sebuah tanda pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda. Sedangkan konotasi diartikan sebagai “aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada


(44)

pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca).” Contohnya kata amplop. Amplop

bermakna sampul yang berfungsi sebagai tempat mengisi surat yang akan disampaikan kepada orang lain, kantor, atau instansi lainnya. Makna inilah yang disebut sebagai makna denotatif. Namun, dalam kalimat “Berilah ia amplop agar urusanmu segera beres,” kata amplop telah memiliki makna konotatif, yaitu

berilah ia uang. Kata amplop dan uang masih memiliki hubungan, karena amplop

dapat diisi dengan uang. Dengan kata lain, makna kata amplop mengacu pada

uang, apakah uang pelicin, uang semir, atau uang sogok (Sobur, 2004: 263).

Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara menggambarkannya. Konotasi tersebut bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai fakta denotatif. Karenanya, salah satu tujuan analisis semiotika adalah menyediakan metode analisis, kerangka berpikir, dan mengatasi terjadinya salah baca (misreading) atau salah dalam mengartikan makna suatu tanda (Wibowo, 2013: 22).

Gambar 2.1

Peta Tanda Roland Barthes

Sumber: Alex Sobur. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. hlm. 69.

1. Signifier (Penanda)

2. Signified (Petanda) 3. Denotative Sign (Tanda Denotatif)

4. Connotative Signifier (Penanda Konotatif)

5. Connotative Signified (Petanda Konotatif)


(1)

berasal dari masyarakat biasa yang cenderung merupakan kalangan bawah.

5. Simbol-simbol nonverbal sederhana yang dimiliki oleh Jokowi membantu beliau untuk mengkonstruksi dirinya secara alami sebagai pemimpin yang sederhana dan merakyat, karena beliau sendiri berasal dari rakyat, khususnya kalangan bawah.

6. Adakalanya simbol-simbol nonverbal Jokowi tersebut tidak dapat diterima oleh seluruh masyarakat, karena perbedaan budaya yang terdapat pada masing-masing orang.

7. Jokowi mampu mengkonstruksi penggunaan kemeja putih dan celana hitam sebagai setelan pakaian yang memiliki arti “kerja, kerja, dan kerja”, karena setiap kali melakukan kegiatan blusukan atau turun ke lapangan, beliau menggunakan setelan tersebut.

8. Jokowi telah membuktikan bahwa mitos mengenai pemimpin yang selalu memiliki jarak pemisah dengan rakyatnya adalah tidak benar. Karena beliau sendiri telah membuktikan dirinya yang tetap mau berbaur dengan rakyat dan tetap melakukan blusukan, meskipun berada di posisi kepemimpinan paling tinggi di Indonesia.

9. Kualitas komunikasi Jokowi pada situasi informal adalah paling baik dibandingkan formal dan semiformal, karena beliau dapat menunjukkan jati dirinya dengan bebas serta memperlihatkan kreatifitasnya sebagai seorang presiden.

5.2 Saran

Berdasarkan simpulan di atas, peneliti mengajukan beberapa saran yang kiranya dapat menjadi masukan yang bermanfaat bagi berbagai pihak, yaitu:

1. Saran dalam kaitan penelitian, peneliti yang menggunakan analisis semiotika sebaiknya menambah wawasan tentang ilmu mengenai tanda tersebut. Adapun yang meneliti mengenai tanda ataupun simbol dari komunikasi nonverbal Jokowi serta citra yang terbentuk dari beliau hendaknya mencari sumber-sumber yang dianggap relevan dan menyangkut dengan hal tersebut, baik melalui media cetak, media


(2)

elektronik, maupun berdiskusi dengan orang-orang yang dianggap dapat memberikan masukan bagi penelitian yang dilakukan, sehingga peneliti dapat menjawab permasalahan yang terdapat dalam penelitian yang serupa.

2. Saran dalam kaitan akademis, peneliti sebaiknya mempelajari bagaimana analisis yang akan dipakai dan paradigma yang digunakan dalam penelitian. Peneliti yang menggunakan analisis semiotika dalam paradigma konstruktivis hendaknya mampu mengaitkan dan memaknai proses yang terjadi dalam pembentukan sebuah tanda atau simbol. Peneliti berharap para mahasiswa dapat dibekali dengan materi mengenai semiotika di perkuliahan karena ilmu ini merupakan sebuah ilmu yang melekat erat dalam kehidupan kita sehari-hari yang dapat membantu kita dalam memaknai sebuah tanda atau simbol yang ada. 3. Saran dalam kaitan praktis, bagi setiap orang yang ingin memiliki citra

positif, hendaknya dilakukan sejalan dengan perbuatan. Seorang pemimpin yang ingin memiliki citra positif hendaknya mau melakukan hal-hal yang mampu membangun bangsa dan negara. Adapun citra tersebut dapat dikonstruksi sehingga mampu membentuk pola pikir yang positif pula di masyarakat. Peran dari latar belakang seseorang mampu mempengaruhi citranya tersebut di masa depan. Karenanya, sebaiknya setiap orang mau membangun dirinya sebagai pribadi yang positif, sehingga citra yang positif dapat terbentuk secara alami dalam kehidupannya di saat ini maupun masa depan.

5.3 Implikasi Teoritis

Implikasi teori dari penelitian ini adalah bagaimana penggunaan teori ini dapat membantu menjawab fokus masalah penelitian yang ada. Adapun teori yang digunakan adalah mengenai “Semiologi dan Mitologi” dari Roland Barthes. Teori tersebut menjelaskan bagaimana sebuah tanda dimaknai dengan signifikansi dua tahap (two order of signification), yaitu makna denotatif dan makna konotatif, yang terdapat dalam pembacaan lima kode Barthes, yaitu kode hermeneutik, kode semik, kode simbolik, kode proaretik, dan kode gnomik, dengan terlebih dahulu


(3)

dianalisis dengan konsep lexia. Adapun dalam proses pemaknaan ini, makna konotatif adalah makna yang sebenarnya. Pada penelitian ini, banyak simbol-simbol nonverbal yang memiliki makna denotatif yang selama ini dianggap sebagai makna sebenarnya. Padahal, dibalik makna denotatif tersebut terdapat makna konotatif. Makna konotatif tersebut menjabarkan kesan dan pesan yang hendak disampaikan oleh sebuah objek. Seperti pada penelitian ini, penggunaan simbol nonverbal alis mata dan gerakan tangan tidak hanya sekedar menggerakkan alis mata dan tangan, namun merupakan sebuah penekanan terhadap pesan yang disampaikan subjek penelitian, Jokowi, secara verbal.

5.4 Praktis

Secara praktis, peneliti berharap kepada setiap orang yang akan memimpin di masa depan agar memiliki sikap dan sifat yang mampu membangun bangsa dan negara. Hal tersebut dimulai dari diri setiap orang yang diharapkan dapat membangun dirinya sebagai pribadi yang positif dan mempertahankan niai-nilai budaya yang dimilikinya. Seorang pemimpin sebaiknya mampu berpartisipasi demi pembangunan masa depan penerus bangsa, dimana salah satunya adalah cepat, tegas, dan bijak dalam mengambil sebuah keputusan. Adapun dalam bertingkah laku, seorang pemimpin juga memiliki caranya tersendiri untuk memimpin sebuah negara. Namun, seorang pemimpin juga diharapkan mampu memahami bagaimana perbedaan pola pikir dan perasaan dari siapa saja yang ia pimpin dan tetap menjadi dirinya sendiri.


(4)

DAFTAR REFERENSI

Aditya, Sandhy. 2014. Jokowi Orang Desa yang Luar Biasa (Pemimpin Super Unik dan Inspirasional). Yogyakarta: Sinar Kejora.

Ambarita, Domu D. 2014. Jokowi: Spirit Bantaran Kali Anyar. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Arifin, Syamsul. 2012. Leadership: Ilmu dan Seni Kepemimpinan. Jakarta: Mitra Wacana Media.

Budiman, Kris. 2004. Jejaring Tanda-tanda: Strukturalisme dan Semiotik dalam Kritik Kebudayaan. Magelang: IndonesiaTera.

Bungin, Burhan. 2001. Metodologi Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif dan Kualitatif. Surabaya: Airlangga University Press.

______________. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.

Carnegie, Dale dan J. Berg Esnwein. 2013. Buku Sakti Public Speaking. Jakarta: Transmedia Pustaka.

Elbadiansyah, Umiarso. 2014. Interaksionisme Simbolik: Dari Era Klasik Hingga Modern. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Eriyanto. 2004. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Isi Media. Yogyakarta: LKIS.

Kukla, André. 2003. Konstruktivisme Sosial dan Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Jendela.

Mulyana, Deddy. 2008. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Navarro, Joe dan Marvin Karlins. 2014. Cara Cepat Membaca Bahasa Tubuh. Jakarta: PT. Zaytuna Ufuk Abadi.

Nugroho, Riant. 2004. Komunikasi Pemerintahan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Osdar, J. 2014. Sisi Lain Istana 2: Andaikan Obama Ikut Pilpres Indonesia. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.

Putra, Dianata. 2013. Rahasia Bahasa Tubuh. Jakarta: Titik Media Publisher. Putra, Febby Mahendra dkk. 2014. Jokowi Sang Fenomenal: Wajah Ndeso Masuk


(5)

Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Ruben, Brent dan Lea P. Stewart. 2014. Komunikasi dan Perilaku Manusia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Soemirat, Soleh dan Elvinaro Ardianto. 2004. Dasar-dasar Public Relations.

Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sutisno, P.C.S. 1993. Pedoman Praktis Penulisan Skenario Televisi dan Video. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.

Wahyudi, J.B. 1994. Dasar-dasar Manajemen Penyiaran. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Wibowo, Indiawan Seto. 2013. Semiotika Komunikasi: Aplikasi Praktis bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media.

West, Richard dan Lynn H. Turner. 2009. Pengantar Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Humanika.

Wulandari, Retno. 2014. Media Darling ala Jokowi: Menjadi Sosok yang Disukai Media. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sumber lain:

Februari 2015)

Februari 2015)

Februari 2015)


(6)

duniasejarah.com/benda/sejarah-dasi-dimulai-sejak-zaman-batu.html (Diakses pada tanggal 16 Maret 2015)

Maret 2015)

m.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20141020102508-6906/penjahit-legendaris-di-hari-bersejarah-jokowi/ (Diakses pada tanggal 18 Maret 2015)


Dokumen yang terkait

Dramatisme Pidato Kenegaraan Pertama Presiden Joko Widodo (Analisis Wacana Pidato Kenegaraan Pertama Presiden RI Joko Widodo Pasca Dilantik dalam Perspektif Dramatisme)

16 149 135

Ideologi dalam Teks Pidato Presiden Ir. H. Joko Widodo (Analisis Wacana Pidato Politik Pertama Presiden Ir. H. Joko Widodo pada Upacara Pelantikan Presiden)

6 40 23

ANALISIS WACANA POLITIK JOKO WIDODO SAAT PEMILIHAN PRESIDEN 2014

0 7 202

HUBUNGAN PEMBERITAAN KENAIKAN HARGA BBM DI TV ONE TERHADAP CITRA KEPRESIDENAN JOKO WIDODO (Survei Terhadap Pedagang di Pasar Kramat Jati Jakarta Timur Yang Menonton TV One )

2 31 141

CITRA JOKO WIDODO DAN JUSUF KALLA DALAM IKLAN POLITIK TELEVISI (Studi Analisis Semiotik Citra Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam Iklan Politik Televisi Masa Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Periode Mei - Juli 2014).

0 0 13

BAB I PENDAHULUAN - Komunikasi Nonverbal dan Citra Presiden Joko Widodo (Analisis Semiotika Komunikasi Nonverbal Serta Citra yang terbentuk dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo)

0 0 11

Komunikasi Nonverbal dan Citra Presiden Joko Widodo (Analisis Semiotika Komunikasi Nonverbal Serta Citra yang terbentuk dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo)

0 0 15

GAMBARAN CITRA POLITIK PRESIDEN DALAM VIDEO BLOGGING DI AKUN YOUTUBE PRESIDEN JOKO WIDODO Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 23

STRATEGI IMPRESSION MANAGEMENT PRESIDEN JOKO WIDODO MELALUI KOMUNIKASI PROGRAM PRIORITAS PEMERINTAH DALAM AKUN YOUTUBE “PRESIDEN JOKO WIDODO”

0 0 10

KOMUNIKASI POLITIK JOKO WIDODO PADA KAMPANYE PEMILIHAN PRESIDEN 2014 MELALUI YOUTUBE (ANALISIS WACANA KRITIS)

0 0 89