‘bentuk’ atau ‘ekspresi’, dan bidang petanda signified untuk menjelaskan ‘konsep’ atau ‘makna’ Sobur, 2004: vii-vii.
Selain Saussure, tokoh penting lain dalam kajian semiotika adalah Charles Sanders Peirce 1839-1914, seorang filsuf Amerika, dan Charles Williams Morris
1901-1979 yang mengembangkan behaviourist semiotics. Kemudian yang mengembangkan teori-teori semiotika modern adalah Roland Barthes 1915-
1980, Algirdas Greimas 1917-1992, Yuri Lotman 1922-1993, Christian Metz 1931-1993, Umberto Eco 1932, dan Julia Kristeva 1941. Selain Saussure,
yang bekerja dengan semiotics framework adalah Louis Hjlemslev 1899-1966 dan Roman Jakobson 1896-1982. Dalam Ilmu Antropologi terdapat Claude Levi
Strauss 1980, dan Jacques Lacan 1901-1981 dalam psikoanalisis.
2.2.4 Semiologi dan Mitologi Roland Barthes
Roland Barthes 1951-1980 merupakan salah satu ahli semiotika. Namun, dalam karya-karyanya, Barthes lebih sering memakai istilah semiologi
dibandingkan semiotika. Menurut Hawkes, istilah semiologi biasanya digunakan di Eropa, sedangkan semiotika dipakai oleh mereka yang berbahasa Inggris. Akan
tetapi, komite internasional di Paris pada bulan Januari 1969 dan Association for Semiotics Studies pada kongres pertamanya pada tahun 1974 memutuskan hanya
untuk menggunakan istilah semiotika Sobur, 2004: 13. Menurut Barthes, semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-
tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya mencari jalan di dunia, di tengah-tengah manusia, dan bersama-sama manusia. Semiotika pada dasarnya
hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan humanity memaknai hal-hal things. Memaknai to signify artinya objek-objek tidak hanya membawa
informasi, dimana objek-objek tersebut hendak berkomunikasi, namun juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda Sobur, 2004: 16.
Selain ahli semiotika, Barthes juga merupakan intelektual dan kritikus sastra Perancis ternama. Bertens menyebutnya sebagai tokoh yang memainkan
peranan sentral dalam strukturalisme di tahun 1960-an dan 1970-an. Ia mengembangkan kajian yang sebelumnya punya warna kental strukturalisme
kepada semiotika teks. Barthes berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem
tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dan dalam waktu tertentu Sobur, 2004: 63. Kunci dari analisis Barthes adalah konsep
tentang konotasi dan denotasi, dimana ia menggunakan versi yang jauh lebih sederhana saat membahas model “glossematic sign” tanda-tanda glossematic
Wibowo, 2013: 21. Barthes memiliki konsep bahwa tanda konotatif tidak sekedar memiliki
makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Secara lebih rinci, linguistik pada dasarnya
membedakan tingkatan ekspresi E dan tingkat isi C yang keduanya dihubungkan oleh sebuah relasi R. Ketiga tingkatan tersebut pun membentuk
sebuah sistem ERC. Sistem ini menjadi unsur sederhana dari sebuah sistem kedua yang akibatnya diperluas. Menurut Hjelmslev, bahasa dapat dipilih menjadi
dua artikulasi. Artikulasi yang pertama, sistem primer ERC mengkonstitusi tingkat ekspresi untuk sistem kedua: ERCRC. Sistem 1 berkorespondensi
dengan tingkat konotasi. Artikulasi kedua, sistem primer ERC mengkonstitusi tingkat isi untuk sistem kedua: ERERC. Pada artikulasi ini, sistem 1
berkorespondensi dengan objek bahasa dan sistem 2 dengan metabahasa metalanguage Kurniawan dalam Sobur, 2004: 70.
Fiske menyebut model artikulasi pertama dan kedua sebagai signifikansi dua tahap two order of signification. Melalui model Barthes ini, telah dijelaskan
bahwa signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara penanda ekspresi dan petanda content di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Hal inilah
yang disebut Barthes sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda sign Wibowo, 2013: 21. Signifikasi tahap kedua adalah konotasi, dimana
digambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya.
Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting dalam sebuah ujaran.
Makna denotasi bersifat langsung, dimana makna yang terdapat dalam sebuah tanda pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda. Sedangkan
konotasi diartikan sebagai “aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada
pembicara penulis dan pendengar pembaca.” Contohnya kata amplop. Amplop bermakna sampul yang berfungsi sebagai tempat mengisi surat yang akan
disampaikan kepada orang lain, kantor, atau instansi lainnya. Makna inilah yang disebut sebagai makna denotatif. Namun, dalam kalimat “Berilah ia amplop agar
urusanmu segera beres,” kata amplop telah memiliki makna konotatif, yaitu berilah ia uang. Kata amplop dan uang masih memiliki hubungan, karena amplop
dapat diisi dengan uang. Dengan kata lain, makna kata amplop mengacu pada uang, apakah uang pelicin, uang semir, atau uang sogok Sobur, 2004: 263.
Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda
terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara menggambarkannya. Konotasi tersebut bekerja dalam tingkat subjektif sehingga
kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai fakta denotatif. Karenanya, salah satu tujuan analisis semiotika adalah
menyediakan metode analisis, kerangka berpikir, dan mengatasi terjadinya salah baca misreading atau salah dalam mengartikan makna suatu tanda Wibowo,
2013: 22.
Gambar 2.1 Peta Tanda Roland Barthes
Sumber: Alex Sobur. 2004.
Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. hlm. 69.
1. Signifier Penanda
2. Signified Petanda
3. Denotative Sign Tanda Denotatif
4. Connotative Signifier Penanda Konotatif
5. Connotative Signified Petanda Konotatif
6. Connotative Sign Tanda Konotatif
Peta Tanda Roland Barthes di atas menjelaskan bahwa tanda denotatif 3 terdiri atas penanda 1 dan petanda 2. Namun, pada saat bersamaan, tanda
denotatif adalah penanda konotatif 4. Dengan kata lain, hal tersebut dapat dikatakan sebagai unsur material. Misalnya, hanya jika mengenal tanda “singa”,
konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin Cobley dan Jansz dalam Sobur, 2004: 69.
Konotasi identik dengan operasi ideologi, dalam kerangka Barthes disebut sebagai “mitos”, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan
pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, tanda, namun
sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya, dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem
pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda Sobur, 2004: 71.
Barthes menempatkan mitos sama dengan ideologi karena, baik di dalam mitos maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif dengan petanda
konotatif terjadi secara termotivasi. Ia memahami bahwa ideologi sebagai kesadaran palsu yang membuat orang hidup di dalam dunia yang imajiner dan
ideal, meski realitas hidupnya yang sesungguhnya tidaklah demikian. Ideologi ada selama kebudayaan ada. Kebudayaan mewujudkan dirinya melalui berbagai kode
yang merembes masuk ke dalam teks dalam bentuk penanda-penanda penting, seperti tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain Sobur, 2004: 71.
Menurut Barthes terdapat lima kode dalam semiotika, yaitu Sobur, 2004: 65-66:
1. Kode hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca
untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam teks.
Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara
pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita.
2. Kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan berbagai sisi.
Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat
dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema
dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu.
Barthes menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling “akhir”.
3. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas
bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna
berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan, baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara maupun pada
taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Misalnya, seorang anak belajar bahwa ibunya dan ayahnya berbeda satu sama lain dan
bahwa perbedaan ini juga membuat anak itu sama dengan satu diantara keduanya
dan berbeda dari yang lain―atau pun pada taraf pemisahan dunia secara kultural dan primitif menjadi kekuatan dan
nilai-nilai yang berlawanan yang secara mitologis dapat dikodekan. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini
dapat dikodekan melalui istilah-istilah retoris seperti antitesis, yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem simbol Barthes.
4. Kode proaretik atau kode tindakanlakuan dianggapnya sebagai
perlengkapan utama teks yang bersifat naratif. Jika Aristoteles dan Todorov hanya mencari adegan-adegan utama atau alur utama, secara
teoritis Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi, dan terbukanya pintu sampai petualangan yang romantis. Pada praktiknya,
ia menerapkan beberapa prinsip seleksi. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya. Pada kebanyakan
fiksi, kita selalu mengharap lakuan di-“isi” sampai lakuan utama menjadi perlengkapan utama suatu teks seperti pemilahan ala
Todorov.
5. Kode gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini
merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional
didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi
yang di atasnya para penulis bertumpu.
2.2.5 Citra