Gambar
Tin aspek yan
meliputi a dan Likuid
dalam em Booklet P
Be efisiensi k
dengan ni dikategori
dengan ni 3,60 pers
dikategori persen dik
100,0
20,0 40,0
60,0 80,0
0,00
4.4. Distrib
ngkat keseh ng berpenga
aspek Permo ditas CAM
mpat predika Perbankan I
erdasarkan kurang dar
ilai efisiens ikan cukup
ilai efisiens en, yang d
ikan cukup kategorikan
NE 35,
16, 29,
6 3
6
busi Tingk
hatan BPR d aruh terhad
odalan, Kua MEL. Berda
at, yaitu tid Indonesia, 2
Gambar 4 ri 0,65 dan
si yang sam sehat dan 2
i antara 0,6 dikategorik
sehat seba sehat. Sela
6 3
6
Distribusi
,65 0,65 ≤
15, 20,
60,
N 0,7
8 5
1
kat Kesehat
dinilai deng dap kondisi
alitas Aktiv asarkan has
dak sehat, 2008.
4.4., terdap n dikategor
ma dan dika 29,60 persen
65–0.76 yan an kurang
anyak 20,50 anjutnya, 82
8 5
1
NE 6
0,76 ≤
Tin
6,3 9,8
82,4
gkat
N 0,8
K Nilai
7
E
tan Berdasa
gan pendeka dan perkem
va Produktif sil penilaian
kurang seh
pat 18,50 p rikan tidak
ategorikan k n BPR dikat
ng dikatego sehat seba
0 persen da 2,40 persen
K
N 7
E NE ≥ 0,8
4,10 11,00
esehatan E
84,4
B fisiensi S
F
arkan Nila
atan kualita mbangan su
f, Manajem n yang dilak
hat, cukup
persen BPR sehat; 35,
kurang seh tegorikan se
orikan tidak anyak 15,8
an sisanya BPR deng
B
8
PR Berda FA
7
s
ai Efisiensi
atif atas ber uatu bank,
men, Rentab kukan diteta
sehat, dan
R dengan ,60 persen
at; 16,30 p ehat. Untuk
k sehat seba 80 persen,
sebanyak an nilai efis
sarkan
Tidak Se Kurang S
Cukup Se Sehat
h h
e
SFA
rbagai yang
ilitas, apkan
sehat
nilai BPR
persen k BPR
anyak yang
60,10 siensi
e h
a ha
a t
t t
Sel dilihat pad
antara 0,7 dengan ni
BPR deng perhitunga
dan BPR I efisien te
Perhitunga pada perh
relevan un melihat di
jelas dapat
Gambar
0,0 20,0
40,0 60,0
80,0 100,0
120,0
76–0,87 d ilai efisiens
gan nilai efi an tingkat k
ID 1177. H erdapat BPR
an sehat ata hitungan CA
ntuk kasus istribusi nil
t dilihat pad lanjutnya d
da Gambar 4
4.5. Distrib
NE
Di
7
ikategorika si lebih dari
siensi lebih kesehatan B
Hal ini justru R yang di
au tidak seh AMEL seh
BPR di Ind lai efisiensi
da lampiran distribusi ni
4.5. dibawa
busi Tingka
7 9,33
0,65 0,
5,34
stribusi Ti
6
n N
an sehat da i 0,87 dika
h dari 0,87 y Bank Indon
u menarik k ikategorikan
hatnya BPR hingga krite
donesia yan i SFA berd
n 5. ilai efisiens
ah ini:
at Kesehat
6
ng N
5 ≤ NE
0,76 N
0,00 100,00
kat Kes ilai Efisie
e n
an 84,40 p ategorikan s
yang dikateg nesia yaitu B
karena pada n tidak se
oleh Bank eria tersebu
ng notabene dasarkan tin
si DEA den
an Berdasa e
N
hatanBer nsi DEA
E ≥ 0,87
50,00 50,00
d
persen dari sehat. Terda
gorikan tida BPR ID 29
a tingkat efi ehat oleh B
Indonesia h ut dirasakan
e adalah ba ngkat keseh
ngan nilai
arkan Nilai dasarkan
total 592 apat 0,50 p
ak sehat me 90, BPR ID
siensi BPR Bank Indon
hanya didas n masih ku
ank kecil. U hatan BPR
i Efisiensi D
kesehatan
Tidak Seh Kurang Se
Cukup Se Sehat
h h
a
BPR persen
enurut D 724,
yang nesia.
arkan urang
Untuk lebih
dapat
DEA
h at
h a
a t
t
Berdasarkan Gambar 4.5., hanya ada dua kategori pada BPR dengan nilai efisiensi lebih dari 0,87 yaitu kurang sehat BPR ID 1047 dan sehat BPR ID
964. Sama halnya dengan perhitungan nilai efisiensi SFA, terdapat BPR yang efisien tetapi dikategorikan tidak sehat oleh Bank Indonesia. Seluruh BPR dengan
nilai efisiensi antara 0,65–0,76 dikategorikan BPR-BPR yang sehat yaitu BPR ID 303 dan BPR ID 1572. Untuk BPR yang memiliki nilai efisiensi kurang dari 0,65
memiliki tingkat kesehatan yang bervariasi yaitu 75,34 persen dikategorikan sehat; 12,48 persen dikategorikan cukup sehat; 9,33 persen dikategorikan kurang
sehat dan sisanya 2,86 persen dikategorikan tidak sehat. Dari hasil perhitungan nilai efisiensi berdasarkan metode DEA, dapat disimpulkan bahwa persentase
terbanyak adalah BPR dengan nilai efisiensi kurang dari 0,65 atau tidak efisien dan dikategorikan sehat.
Status BPR-BPR di Indonesia dibagi menjadi enam status yaitu KBPR, Koperasi, LPN, MAI BD, PD dan PT. Berdasarkan perhitungan nilai efisiensi
dengan SFA, 111 BPR berstatus PT dengan BPR dikategorikan tidak efisien, 232 BPR dikategorikan kurang efisien, 527 BPR dikategorikan cukup efisien dan
sisanya 402 BPR dikategorikan efisien. Berdasarkan perhitungan nilai efisiensi DEA, 1293 BPR berstatus PT berada pada dua kategori yaitu tidak sehat
sebanyak 1290 BPR dan sehat sebanyak tiga BPR. Terdapat satu BPR yang berstatus MAI BD yaitu BPR ID 570. Menurut perhitungan SFA, BPR tersebut
dikategorikan cukup efisien sedangkan menurut perhitungan DEA, BPR tersebut dikategorikan tidak efisien. Untuk BPR-BPR dengan status lainnya dapat dilihat
pada tabel 4.10. dan lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran 7.
Tabel 4.10. Distribusi Status BPR Berdasarkan Nilai Efisiensi
Keterangan NE 0,65
persen 0,65
≤ NE 0,76
persen 0,76
≤ NE 0,87
persen NE
≥ 0,87 persen
KBPR SFA 0,00
25,00 75,00
0,00 DEA 100,00
0,00 0,00 0,00
KOP SFA 5,26
13,16 21,05
60,53 DEA 97,37
0,00 0,00 2,63
LPN SFA 0,00
8,00 48,00
44,00 DEA 100,00
0,00 0,00 0,00
MAI BD SFA 0,00
0,00 100,00
0,00 DEA 100,00
0,00 0,00 0,00
PD SFA 5,76
9,95 43,46
40,83 DEA 99,74
0,26 0,00 0,00
PT SFA 8,73
18,24 41,43
31,60 DEA 99,76
0,08 0,00 0,16
Sumber: Lampiran 7
Setelah melakukan pendistribusian status BPR berdasarkan nilai efisiensi, maka perlu dilakukan analisis varians dengan menggunakan uji t. Adapun hasil uji
t dapat dilihat pada Tabel 4.11. dibawah ini:
Tabel 4.11 Hasil Uji t Status BPR No. Status
BPR Mean St.
Dev SE. Mean
t hitung
df t tabel
1. KBPR 1,0000
1,4140 0,7070
1,4140 3
2,3530 2. KOP
9,5000 9,2370
4,6640 2,0370
3 3. LPN
6,2500 6,1310
3,0650 2,0390
3 4. MAI
BD 0,2500 0,5000
0,2500 1,0000
3 5. PD
95,5000 76,0240
38,0120 2,5120
3 6. PT
318,0000 183,4680
91,7340 3,4670
3
Sumber: Bank Indonesia 2007, diolah
Tabel 4.11. menunjukkan bahwa dua status BPR yaitu PD dan PT berbeda pada taraf nyata lima persen, artinya status PD dan PT pada BPR berpengaruh
nyata terhadap nilai efisiensi SFA. Hal ini ditunjukkan dari besarnya nilai t-hitung yang masing-masing lebih besar dari nilai t-tabel. Dari hasil uji-t tersebut dapat
juga disimpulkan bahwa status PT merupakan status yang lebih baik dalam rangka peningkatan efisiensi BPR.
Selanjutnya, distribusi KKBI Koordinasi Kantor Bank Indonesia berdasarkan nilai efisiensi dapat dilihat pada Tabel 4.12. dibawah. Berdasarkan
Tabel 4.12., BPR terbanyak berada di Semarang dengan jumlah 373 BPR. Menurut perhitungan SFA, 6,70 persen BPR di Semarang dikategorikan tidak
efisien, 18,23 persen BPR kurang efisien, 46,11 persen BPR cukup efisien dan sisanya 28,96 persen BPR dikategorikan efisien. Sedangkan perhitungan DEA
menunjukkan bahwa 100 persen BPR-BPR di Semarang dikategorikan tidak efisien.
Sedangkan di KKBI Palembang, jumlah BPR yang ada hanya sekitar 43 BPR yang meliputi wilayah Sumatera Selatan, Lampung dan Bengkulu. Menurut
perhitungan DEA, 100 persen atau 43 BPR di KKBI Palembang dikategorikan tidak efisien karena memiliki nilai efisiensi kurang dari 0,65. Sedangkan menurut
perhitungan SFA, 23,26 persen BPR pada KKBI ini dikategorikan tidak efisien, 23,26 persen BPR dikategorikan kurang efisien, 25,58 persen BPR dikategorikan
cukup efisien dan sisanya 27,90 persen BPR dikategorikan efisien. BPR-BPR yang berada pada pengawasan KKBI Pusat yaitu BPR-BPR
yang terletak di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Banten dan
Karawang berjumlah 235 BPR. Menurut perhitungan DEA, 99,57 persen BPR dikategorikan tidak efisien dan hanya ada satu buah BPR yaitu BPR ID 1047
dikategorikan efisien. Sedangkan menurut perhitungan SFA, BPR yang dikategorikan tidak efisien sekitar 12,34 persen, BPR yang dikategorikan kurang
efisien sekitar 14,04 persen, BPR yang dikategorikan cukup efisien sekitar 40,85 persen dan BPR yang dikategorikan efisien sekitar 32,77 persen. Sedangkan BPR-
BPR pada wilayah KKBI lain dapat dilihat pada lampiran 8.
4.4. Hubungan Nilai Efisiensi dengan Rasio-Rasio Keuangan