output yang dihasilkannya berarti besar beban tenaga kerja, beban bunga, beban pemeliharaan, penyusutan dan penghapusan aktiva tetap sama dengan besar total
kredit dan ABA. Nilai efisiensi terendah sebesar 0,002 yaitu BPR ID 354, BPR ID 1353, dan BPR ID 1593. Dengan rata-rata BPR di Indonesia memiliki nilai
efisiensi sebesar 0,089932 dan standar deviasi sebesar 0,067099. Untuk mengetahui sebaran nilai efisiensi dapat dilihat pada Tabel 4.7. dibawah ini. Batas
nilai efisiensi hasil analisis DEA mengikuti batas dari hasil analisis SFA.
Tabel 4.7. Sebaran Nilai Efisiensi DEA Nilai Efisiensi
Frekuensi Persentase
NE 0,65 1717
99,71 0,65
≤ NE 0,76 2
0,12 0,76
≤ NE 0,87 0,00
NE ≥ 0,87
3 0,17
Sumber: Lampiran 2, diolah
Berdasarkan Tabel 4.7., hanya ada tiga BPR yang memiliki nilai efisiensi lebih dari sama dengan 0,87 yaitu BPR ID 911, BPR ID 964, dan BPR ID 1047.
Untuk nilai efisiensi antara 0,65–0,76 sebanyak dua BPR yaitu BPR ID 303 dan BPR ID 1572. Sisanya sebanyak 1717 BPR atau sekitar 99 persen memiliki nilai
efisiensi kurang dari 0,65 atau dapat dikatakan bahwa 99,8 persen BPR di Indonesia tidak efisien dalam menjalankan kegiatan operasionalnya.
4.2. Perbandingan Nilai Efisiensi SFA dan DEA
Seperti yang telah dijelaskan diawal, hasil perhitungan nilai efisiensi akan berbeda walaupun dengan menggunakan sumber data dan tahun yang sama.
Untuk kasus ini, perbedaan nilai efisiensi berbeda karena variabel yang digunakan
dan pendekatan yang digunakan berbeda. Pada Tabel 4.8. dibawah ini dapat dilihat perbandingan nilai efisiensi SFA dan DEA sebagai berikut:
Tabel 4.8. Perbandingan Nilai Efisiensi SFA dan DEA Nilai Efisiensi
SFA DEA Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase
NE 0,65 135
7,84 1717
99,71 0,65 NE 0,76
278 16,14
2 0,12
0,76 NE 0,87 717
41,64 0,00
NE 0,87 592
34,38 3
0,17
Sumber: Lampiran 2, diolah
Berdasarkan Tabel 4.8. dapat disimpulkan bahwa nilai efisiensi yang dihasilkan dengan metode parametrik atau SFA lebih bervariasi atau menyebar.
Sedangkan nilai efisiensi yang dihasilkan dengan metode non parametrik atau DEA berkumpul pada tiga kategori yaitu kategori satu, dua dan empat. Untuk
kategori ketiga, tidak ada satupun BPR di Indonesia pada tahun 2007 yang digolongkan cukup efisien berdasarkan pendekatan DEA. Selain itu, dari
perhitungan nilai efisiensi dengan pendekatan SFA dapat dilihat faktor-faktor apa saja yang lebih mempengaruhi efisiensi yaitu cost of labour dan cost of fund.
Sedangkan berdasarkan analisis dengan pendekatan DEA tidak dapat dilihat variabel yang mempengaruhi besar atau kecilnya nilai efisiensi.
BPR yang memiliki nilai efisiensi tertinggi dalam perhitungan SFA yaitu BPR IDD 133 sebesar 0,976840 sedangkan dalam perhitungan DEA, nilai
efisiensi BPR ini sebesar 0,088000. BPR ID 1353 dengan nilai efisiensi biaya sebesar 0,224069 merupakan BPR yang nilai efisiensi terendah dalam perhitungan
SFA sedangkan nilai efisiensi dalam perhitungan DEA sebesar 0,002000.
Menurut perhitungan DEA, BPR yang memiliki nilai efisiensi terendah sebesar 0,002000 yaitu BPR ID 354, BPR ID 1353, dan BPR ID 1593. Sedangkan
menurut perhitungan SFA, nilai efisiensi BPR tersebut berturut-turut yaitu 0,629784 ; 0,237441 ; 0,224069. Dilihat dari nilai efisiensi baik berdasarkan SFA
maupun DEA, ketiga BPR tersebut yaitu BPR ID 354, BPR ID 1353, dan BPR ID 1593 sama-sama digolongkan sebagai BPR yang tidak efisien. Ketidakefisienan
BPR tersebut diduga karena penggunaan tenaga kerja yang melebihi batas kemampuan BPR dan pembayaran bunga Bank Indonesia, bank lain dan pihak
ketiga selain bank terlalu besar sehingga biaya yang dikeluarkan untuk kedua beban tersebut besar dan akhirnya membuat BPR tersebut menjadi tidak efisien.
Untuk BPR yang memiliki nilai efisiensi terbesar berdasarkan perhitungan DEA adalah BPR ID 911 dan BPR ID 964. Sedangkan menurut SFA, nilai efisiensi
BPR tersebut adalah 0,605867 dan 0,965880.
4.3. Distribusi Nilai Efisiensi Berdasarkan Modal Inti dan Tingkat Kesehatan