Pendekatan Non Parametrik DEA

0,97. Keadaan seperti ini cukup memberi bukti bahwa setiap BPR mempunyai strategi manajemen yang hampir berbeda satu BPR dengan BPR lainnya dalam segi menekan biaya bunga, memperkerjakan karyawan, menggunakan teknologi, dan lain sebagainya. Nilai efisiensi biaya setiap BPR di Indonesia dapat dilihat pada lampiran dua.

4.1.2. Pendekatan Non Parametrik DEA

Metode DEA diciptakan sebagai alat evaluasi kinerja yang memerlukan satu macam input atau lebih dan menghasilkan satu macam output atau lebih. Secara sederhana analisis nilai efisiensi BPR tahun 2007 menggunakan tiga input yaitu tenaga kerja, bunga, dan aktiva tetap serta menggunakan dua output yaitu kredit dan ABA. Sebelum melakukan analisis, perlu diketahui nilai minimum, maksimum, mean, dan standar deviasi dari setiap variabel yang akan dianalisis. Tabel 4.5. Statistik Deskriptif Variabel DEA Variabel Minimum Maximum Mean Std. Deviation Total Kredit milyar rupiah 0,012475 959,9360 11,64400 38,345691 ABA milyar rupiah 0,000368 214,5220 3,418000 10,728447 Beban Tenaga Kerja 0,010891 63,02100 0,820041 1,9995880 Beban Bunga 0,000356 97,16800 1,256724 4,2771710 Beban Pemeliharaan, Penyusutan dan Penghapusan Aktiva Tetap 0,000333 25,26500 0,367144 0,9675660 Beban Tenaga KerjaTotal Aktiva 0,005158 0,593279 0,082340 0,0448600 Beban BungaDPK 0,001502 379,5530 0,924174 11,460549 Beban Pemeliharaan, Penyusutan dan Penghapusan Aktiva TetapTotal Aktiva Tetap 0,014248 131,5160 2,392998 7,2201560 Sumber : Bank Indonesia 2007, diolah Dalam menganalisis tingkat efisiensi digunakan delapan variabel yaitu kredit, ABA, beban tenaga kerja, beban bunga, beban pemeliharaan, penyusutan, dan penghapusan aktiva tetap, beban tenaga kerjatotal aktiva, beban bungaDPK, dan beban pemeliharaan, penyusutan dan penghapusan aktiva tetaptotal aktiva tetap. Rata–rata kredit yang disalurkan BPR sebesar 11,644 milyar rupiah dimana BPR ID 163 menyalurkan kredit terendah dibandingkan BPR lainnya yaitu hanya sekitar 0,012 milyar rupiah sedangkan BPR ID 928 menyalurkan kredit tertinggi yaitu sekitar 959,936 milyar rupiah. Penyaluran kredit BPR tersebut besar karena daerah dimana BPR berada merupakan daerah yang potensi dalam pertanian dan peternakan sehingga fokus penyaluran kredit pada BPR ini ditujukan pada masyarakat yang memiliki usaha pertanian dan peternakan di sekitar BPR berada. Penyaluran kredit pada sektor pertanian dan peternakan memang memiliki risiko yang besar tetapi BPR tersebut dapat meminimalisasikan risiko tersebut dengan mempekerjakan 63 orang pada bagian kredit dan 52 orang pada bagian operasional yang rata-rata berpendidikan minimal sarjana strata satu. Penempatan karyawan yang berkompeten dalam kedua bagian pekerjaan tersebut diduga akan mengurangi risiko dalam kesalahan analisa kredit sehingga tingkat risiko gagal bayar dapat diminimalkan. Variabel output lainnya yaitu ABA. Nilai ABA terendah dan tertinggi masing-masing dihasilkan oleh BPR ID 354 dan BPR ID 264. BPR ID 264 mengeluarkan biaya tenaga kerja yang paling besar dibandingkan BPR-BPR lain, hal ini karena BPR tersebut memperkerjakan 949 pekerja dengan komposisi empat orang komisaris; tiga orang direksi; 19 orang pejabat eksekutif; 75 orang bagian pendanaan; 595 orang bagian kredit; 62 orang satpam, supir dan office boy; 88 orang HRD, EDP, Card Centre dan IA. Sehingga biaya yang dikeluarkan untuk membayar gaji, upah dan honorarium besar. Sedangkan BPR ID 911 mengeluarkan biaya tenaga kerja yang paling kecil yaitu hanya 0,010891 milyar rupiah pada tahun 2007. Nilai terendah untuk variabel biaya bunga dikeluarkan BPR ID 1169 dan biaya bunga tertinggi dikeluarkan BPR ID 928. Sedangkan biaya pemeliharaan, penyusutan dan penghapusan aktiva tetap terendah dikeluarkan oleh BPR ID 241 dan yang tertinggi yaitu BPR ID 264. Sama halnya dengan biaya tenaga kerja, biaya pemeliharaan, penyusutan dan penghapusan aktiva tetap yang dikeluarkan BPR ini besar. Pengeluaran biaya aktiva tetap besar menjadi sangat wajar karena BPR ini memiliki 16 kantor cabang dan hampir kesemua kantor cabangnya boleh dikatakan merupakan kantor yang besar sehingga untuk melakukan pemeliharaan 16 kantor cabang tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit yaitu sebesar 19,747 milyar rupiah pada tahun 2007. Selanjutnya dilakukan analisis nilai efisiensi dengan metode DEA menggunakan 1722 BPR dengan asumsi input oriented dan constan return to scale. Dari analisis yang dilakukan didapatkan deskriptif statistika seperti Tabel 4.6. dibawah ini: Tabel 4.6. Deskriptif Statistika Nilai Efisiensi dengan DEA KetKK Min Maks Mean St.Dev Efisiensi 0,002 1 0,089932 0,067099 Sumber : Bank Indonesia 2007, diolah Nilai efisiensi tertinggi sebesar satu yaitu BPR ID 911 dan BPR ID 964. Hal ini menunjukkan input yang digunakan BPR-BPR tersebut sama dengan output yang dihasilkannya berarti besar beban tenaga kerja, beban bunga, beban pemeliharaan, penyusutan dan penghapusan aktiva tetap sama dengan besar total kredit dan ABA. Nilai efisiensi terendah sebesar 0,002 yaitu BPR ID 354, BPR ID 1353, dan BPR ID 1593. Dengan rata-rata BPR di Indonesia memiliki nilai efisiensi sebesar 0,089932 dan standar deviasi sebesar 0,067099. Untuk mengetahui sebaran nilai efisiensi dapat dilihat pada Tabel 4.7. dibawah ini. Batas nilai efisiensi hasil analisis DEA mengikuti batas dari hasil analisis SFA. Tabel 4.7. Sebaran Nilai Efisiensi DEA Nilai Efisiensi Frekuensi Persentase NE 0,65 1717 99,71 0,65 ≤ NE 0,76 2 0,12 0,76 ≤ NE 0,87 0,00 NE ≥ 0,87 3 0,17 Sumber: Lampiran 2, diolah Berdasarkan Tabel 4.7., hanya ada tiga BPR yang memiliki nilai efisiensi lebih dari sama dengan 0,87 yaitu BPR ID 911, BPR ID 964, dan BPR ID 1047. Untuk nilai efisiensi antara 0,65–0,76 sebanyak dua BPR yaitu BPR ID 303 dan BPR ID 1572. Sisanya sebanyak 1717 BPR atau sekitar 99 persen memiliki nilai efisiensi kurang dari 0,65 atau dapat dikatakan bahwa 99,8 persen BPR di Indonesia tidak efisien dalam menjalankan kegiatan operasionalnya.

4.2. Perbandingan Nilai Efisiensi SFA dan DEA